Chapter 27.0 - The Freya

Adzan ke lima di hari itu sudah menggema. Jarum jam yang menempel di dinding menunjukan pukul tujuh. Dengan wajah terlipat, Rafi menekan tombol remote yang sama berkali-kali. Setiap kali Rafi menekan, tampilan di layar datar itu berubah. Hingga pada percobaan ke dua puluh, Rafi mulai tersenyum.

Kedua matanya memandang lekat layar datar yang didominasi warna hijau. Terdapat sekitar dua puluh orang berlarian ke sana ke mari mengejar bola berwarna putih. Di bagian sudut kanan atas, tertulis tulisan "Queens Park Rangers vs Aston Villa".

Belum sempat ia meletakan remote, handphone-nya berdering cukup keras. Dengan malas ia mengambil dan mengangkat panggilan itu. "Ya ... oke."

Rafi terdiam sesaat setelah pihak si Penelepon menutup panggilannya. Kemudian, ia segera berdiri dan berjalan menuju lemari tua di ruang tengah. Dengan terampil, ia masuk ke dalam lemari, melewati lubang yang ia buat, dan berlari melalui terowongan.

Tidak sampai lima menit, Rafi sudah berdiri tepat di depan pintu di mana Reinard dan Nayla berada. Dengan tenang, ia membuka kunci gembok pintu tersebut, dan mendorongnya. Namun, ketika ia melihat ke sekeliling, seluruh tubuhnya mematung.

Tidak ada sosok Nayla ataupun Reinard di sana.

Lalu, sebuah kursi kayu menghantam kepala bagian belakang Rafi dengan keras. Seketika, Rafi terjatuh dan 'tak sadarkan diri.

Reinard terdiam dengan napas tersenggal-senggal. Ditatapnya Rafi yang tergeletak di lantai tak berdaya. "Nay! Cepet!" teriak Reinard.

Nayla yang melihat hal itu hanya bisa terdiam. Kedua matanya kosong menatap Reinard yang bermandikan keringat. Sadar apa yang tengah terjadi, Reinard menarik tangan Nayla ke luar ruangan itu.

Kedua mata Reinard bergerak ke kanan dan ke kiri. Ruangan itu cukup gelap. Beruntung cahaya bulan dari jendela 'tak berkaca membantu penglihatan mereka berdua. "Nay, kita harus keluar sekarang!"

"A-apa?"

"Kita harus keluar sekarang!" ujar Reinard lagi seraya menghampiri salah satu kaca, "kita bisa lewat ...."

"Kyaa!" teriak Nayla.

Sontak, Reinard berbalik dan memandang Nayla. Dalam keadaan tubuh bermandikan darah, Rafi berdiri dan memegang rambut Nayla. "Anjing! Beraninya lu ... sama gua!" teriak Rafi seraya mengerjapkan kedua matanya.

"Lepasin monyet!" teriak Reinard seraya berlari.

Rafi yang mengalami gangguan dengan penglihatannya, hanya bisa terdiam dan menerima serangan Reinard. Namun, dengan cepat tangannya menarik baju Reinard, hingga mereka berdua terjatuh bersamaan.

Tanpa melihat dengan jelas, Rafi mengunci kedua kakinya di pinggang Reinard. Sementara kedua tangannya, melakukan hal yang sama di leher Reinard.

Sadar akan posisi yang tidak menguntungkan, Reinard berusaha melepaskan kuncian di lehernya. Namun, tenaganya tak mampu mewujudkan hal itu.

"Nay!" teriak Reinard lirih.

Nayla hanya bisa terdiam menatap Reinard yang tengah bergulat. Tekad yang sempat ia buat, rupanya belum membulat sempurna. Apa yang sempat ia bicarakan beberapa waktu sebelumnya, 'tak berjalan sesuai lancar rencana.

"Gimana?" tanya Nayla yang masih dalam keadaan terikat.

"Gue udah omongin soal Texas dan Band Hill. Bang Maul bakal telepon kita nanti jam delapan, masih ada sekitar satu jam lebih. Tugas kita, adalah nyari posisi kita ada di mana," jawab Reinard.

"Caranya?"

"Gue juga gak tahu, tapi ... yang jelas kita harus pergi ke luar."

"Ngelawak, ya, lo. Gue sama lo itu aja diiket, mau gimana ke luarnya? Lo mau suruh gue kaya tadi?" protes Nayla yang sempat melompat dengan posisi tubuh masih terikat.

"Pokoknya sekarang lo puter kursinya," pinta Reinard.

"Buat?"

"Udeh ceper!"

Nayla hanya menggerutu dan kembali melompat. Selama hampir dua menit, akhirnya Nayla berhasil membelakangi Reinard. "Terus apa?"

"Lo diem!" pinta Reinard

"Ya pastilah gue diem! Orang ... ah!" teriak Nayla seraya menggerakan tangannya. Lalu, terdengar suara rintihan Reinard pelan.

"Lo ngapain!"

"Gue bilang diem!"

"Lo ngapain dulu!"

"Gue lepasin ikatan tali lo."

"Pake?"

"Gigi, lah!" jawab Reinard singkat, "udeh lo diem!"

Nayla mengangguk dan membiarkan Reinard melepaskan ikatannya. Walau merasa geli karena rambut Reinard, Nayla berusaha mati-matian untuk tidak bergerak. Selama hampir sepuluh menit, Reinard berhasil melepaskan ikatan tangan Nayla. Lalu, dengan cepat Nayla melepaskan ikatan tangan Reinard.

"Sekarang apa?"

"Tunggu di belakang pintu, ketika mereka masuk. Serang mereka!"

Nayla terdiam mendengar hal itu. "Lo ... becanda, 'kan?"

Reinard mengerutkan dahinya. Ditatapnya wajah Nayla dengan tatapan dingin. "Lo pikir semua ini becanda apa?"

Nayla tergeming. Dirinya hanya bisa menatap Reinard yang sibuk membawa kursi kayu tadi ke belakang kursi. "Lo serius mau mukul mereka pake ini?"

"Kalau gue bisa milih, gue pengen pake tongkat golf," jawab Reinard pelan.

Nayla kembali terdiam. Matanya kosong menatap lantai ruangan yang hitam. Melihat hal itu, Reinard mengusap rambut Nayla dengan lembut.

"Gue tahu lo sedikit terguncang dengan semua ini, tapi lo harus kuat. Setidaknya, sampai kita keluar dari sini, lo harus tegar," ujar Reinard pelan, "lo harus kuat."

Saat itu, Nayla merasa yakin jika semua ini akan berjalan lancar. Namun, semua itu berubah ketika Reinard menghantam Rafi dengan keras. Perasaan yang sempat membuatnya yakin, sirna seketika.

"Nay!" teriak Reinard seraya menatap Nayla yang masih terpaku, "la ... ri cepet!"

Nayla terdiam mendengar perkataan itu. Tubuhnya yang sempat bergetar dengan hebat, seketika berhenti.

"Lo berani pergi ... gue bunuh temen, lo!" bentak Rafi.

"Nay! ... gu-gue ... bisa ngelawan ini ... sendirian," jelas Reinard lagi pelan. Kemudian ia berteriak dan mencoba melepasan kuncian di lehernya.

"Diem lu!" Rafi kembali mengunci leher Reinard semakin kuat.

Sontak, Reinard mengerang dan meronta-ronta dengan hebat. Namun, dirinya kembali terdiam dan memandang wajah Nayla.

"Nay!" teriak Reinard lagi, "gembala yang baik ... memberikan nyawanya ... bagi domba-dombanya ... Yohanes 11:12."

Nayla tertegun mendengar hal itu. Air matanya yang sedari tadi mengalir seketika berhenti.

Reinard kembali meronta-ronta, berguling ke sana kemari mencoba melepaskan kunciannya. Mulai dari di sisi kiri, di atas, di kanan, hingga di bawah. Sesekali, Reinard mengerang dengan berteriak, tapi usahanya itu tak membuahkan hasil.

"Percuma! Lo gak bakal bisa lepas!"

Reinard hanya bisa menelan ludah. Tenaganya sudah mulai habis. Kedua pandangannya pun mulai berbuah menjadi abu-abu. Secara perlahan, kedua matanya tertutup. Namun, telinganya masih mampu menangkap suara-suara disekitarnya.

Nayla ... maaf, gumam Reinard.

Lalu, telinganya menangkap sebuah teriakan yang begitu keras. Bersamaan dengan itu, kuncian yang melingkar begitu kuat di lehernya, seketika terlepas.

Reinard terbatuk-batuk seraya memegang lehernya. Kedua matanya kembali berangsur pulih secara perlahan. Dalam keadaan setengah sadar, Reinard merasakan sebuah kelembutan dan kehangatan di pipinya.

Samar-samar, telinganya menangkap sesuatu yang berdetak dengan cepat. Suara itu bersatu padu dengan tangisan yang begitu ia kenal. Tangisan yang menggema dengan syahdu dan lembut.

"Nay ...."

"Maaf, Rei ... maaf."

Reinard hanya bisa terdiam. Tersenyum, dengan mata terpejam.

"Reinard ... maaf."

***

Dipublikasikan pertama kali:
21 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top