Chapter 25.0 - The Other Question

"Oy!"

"Ah! Baru aja gue mau telepon lo!" ujar Aldena pelan, "ada yang aneh sama ...."

"Reinard telepon!" potong Dika.

Sontak, Azhar dan Aldena terdiam. "Kok bisa?"

"Mereka telepon ke AADC!"

Beberapa detik kemudian, Azhar dan Aldena mendengus kesal. "Anjir! Gue pikir serius!"

"Emang serius, goblok!"

Azhar dan Aldena kembali terdiam, dan memandang satu sama lain. Dengan sedikit terburu-buru, Dika meletakan kantong plastik yang ia bawa di dekat Aldena. Lalu, diambilnya sebuah HVS dan sebuah spidol dengan kasar. Sementara Azhar dan Aldena hanya bisa memandang apa yang Dika lakukan.

"Reinard ngasih tahu kalau mereka udah pergi ke band hill!" ujar Dika seraya menempelkan kertas tadi menggunakan sticky notes. Terdapat tiga kalimat bertuliskan "Tonight, we have a meet in Texas", "Band Hill", "Iya".

"Itu ...."

"Reinard denger informasi soal itu. Kayaknya malam ini mereka bergerak."

"Mereka?" tanya Azhar.

"Tiga orang dari mereka bergerak, yang satunya nunggu di markas."

Aldena mengangguk paham. "Terus sekarang mereka di mana?"

Seketika Dika terdiam, dan memandang kedua sahabatnya. "Itulah masalahnya. Reinard gak tahu dia ada di mana. Mereka dikunci di sebuah ruangan dari luar. Cuma ada meja kursi, tiang penyangga besi, dan mereka masih dalam keadaan terikat."

"Tunggu ... gimana mereka bisa telepon lo kalau dalam keadaan terikat?" tanya Azhar.

"Mana gue tahu! Gue gak nanyain ke mereka! Mereka juga telepon ke AADC karena satu provider! Dan battery si Reinard udah low! Gue nanti jam delapan bakal telepon dia lagi. Sekarang ...."

"Dik!" potong Aldena cepat, "tenang ...."

Dika terdiam, dan memejamkan kedua matanya. Dengan perlahan ia menarik oksigen dengan hidungnya, dan diembuskan secara perlahan. Dibiarkan tubuhnya yang buncit beristirahat di tepi kasur.

"Oke ... gue gak tahu gimana caranya mereka, tapi mereka berhasil telepon, dan ... ini yang gue dapet," jelas Dika seraya mengetuk kertas tadi.

"Lo gak ngerasa aneh?"

Dika terdiam mendengar perkataan Aldena. "Aneh karena?"

"Dia ngomong langsung, 'kan? No code."

"Iya."

"Logikanya kalau lo yang jadi penculiknya, apa lo bakal ngebiarin handphone mereka dengan bebas gitu aja?"

Dika tak mampu menjawab pertanyaan Aldena. Kedua tangannya menyilang di dada. Dalam keheningan, Dika memejamkan kedua matanya selama lima detik.

"Tapi, Den ... di rekaman pun kita sempet telepon mereka, dan mereka menerimanya," ujar Azhar.

"Itu cuma kebetulan."

"Tapi bisa juga hal ini pun kebetulan, 'kan?" potong Dika.

"Dan apa hal kebetulan itu akan terulang sebanyak dua kali?" Aldena balik bertanya seraya menatap kedua sahabatnya. "Ini bisa aja sebuah jebakan! Gue yakin setidaknya lo pun sempat berpikir itu, 'kan?"

Dika memilih menutup rapat-rapat mulutnya.

"Lo coba mikir matang-matang, jangan terburu-buru! Lo harus mengenyampingkan emosi lo."

Sejenak, Dika memandang Aldena dan Azhar bergantian. Kemudian, ia mengambil napas dalam-dalam, dan menganggukan kepalanya. "Oke, kita tunda dulu hal ini," ujar Dika pelan, "terus soal not balok gimana?"

"Soal itu ... mending lo liat sendir ini," ujar Aldena.

Dika menerima beberapa lembar halaman partitur yang di print bolak-balik di kedua sisi. "Banyak amat perasaan?"

"Itu sebenarnya ada 106 halaman. Print bolak-balik jadi 53 halaman," jawab Azhar. Mendengar hal itu, Dika tersentak beberapa detik. Lalu, ia kembali mengamati setiap halaman tadi dengan perlahan. "Terus jumlah yang gue minta?"

"Ada di halaman terakhir," jawab Aldena, "tapi, Dik ...." Aldena 'tak melanjutkan perkataannya, setelah melihat ekspresi wajah Dika. Kedua bola mata Dika terbuka, begitupun mulutnya. Dengan cepat, matanya bergerak dari kiri ke kanan mengamati jumlah angka yang ada.

"Ini ...."

"Impossible, right?"

Dika terdiam memandang jumlah angka setiap not balok yang anda. Rata-rata setiap not berjumlah lebih dari lima ratus. Belum sempat ia berdiri, Dika kembali dijatuhkan dengan simbol persegi panjang berwarna hitam.

"Ini apa?"

"Tadi gue sempet searching sama Azhar, dan ternyata itu tanda istirahat, semuanya berjumlah enam," jawab Aldena.

"Itu artinya, 7x6 = 42, 42+6=48. Ada 48 jumlah not yang harus disubsitusi dengan huruf dan karakter. Sementara itu, rata-rata setiap not di partitur adalah 500-an. Jelas, gak mungkin."

Dika terdiam mendengarkan perkataan sahabatnya. Dibantingnya kertas tadi ke lantai, hingga menimbulkan suara yang keras. Lalu, kedua tangannya mengusap, dan menompang wajah bulatnya.

Anjing, salah! batin Dika pelan.

"Den, Zar ... lo makan aja dulu," ujar Dika pelan tanpa bergerak.

"Dik gue ...."

"Zar," potong Aldena seraya menahan tubuh Azhar, "kita makan duluan di luar."

Dika hanya mengangguk sebanyak satu kali.

Terdengar langkah kaki yang bergerak menjauh dari posisi Dika. Masih dalam posisi yang sama, Dika mencoba mengintip kondisi kamar dari sela-sela jarinya. Sepi. Tidak ada satupun sosok yang ia lihat selain benda-benda 'tak bernyawa lainnya.

Kedua matanya kembali terpejam. Bayangannya kembali bergerak dari akar permasalahan dengan perlahan. Perkataan, teriakan, kejadian, fakta, dan opini menggema di telinga Dika. Semakin dalam ia bergerak, semakin keras, dan cepat suara yang ia dengar.

Tiba-tiba, terdengar suara ledakan yang begitu besar hingga membuatnya terjaga. Dengan cepat Dika berjalan ke luar kamar dan, melihat langit malam mulai dipenuhi dengan asap keputih-putihan. Tidak lama, sebuah benda berwarna merah melesat ke udara, dan kembali meledak.

"Tahun barunya kapan, kembang apinya kapan."

Dika hanya terdiam mendengar perkataan itu. Ekor mata menangkap kedua sahabatnya yang tengah bersandar di dinding beralaskan lantai keramik. Dengan tenang, mereka berdua menikmati makanan yang ia beli beberapa saat lalu.

"Gabung, Pak," ujar Aldena lagi.

Dika hanya tersenyum, dan kembali memandang langit malam.

"Abis ini, kita mulai dari awal lagi," imbuh Azhar lagi.

"Emang lu pada mau?" tanya Dika lirih, "yang tadi aja malah salah, dan gue ngebuang waktu selama hampir empat jam."

"Bukannya ngebuang waktu, semua itu ada tahapannya. Lo sendiri setidaknya berhasil menyusun kronologi soal ini. Dan lo malah takut untuk melakukan kesalahan lagi?" Azhar balik bertanya.

"Ini soal nyawa, Zar. Bukan game yang bisa di restart."

"Karena ini bukan game lah lo jangan gak bisa keluar begitu aja," ujar Aldena pelan, "kita kembali ke rencana awal. Pecahkan semua ini, lalu laporkan ke polisi atau BNN."

Dika terdiam selama beberapa detik, dan menghela napas. Dibiarkan kedua matanya menatap langit malam yang dihiasi oleh kembang api tadi. Sesekali mereka membentuk sebuah bunga yang sedikit abstrak. Gelapnya langit malam, bagaikan kanvas hitam yang tengah dilukis oleh cahaya.

"Eh, gue kok liat yang mirip kerang ya?" tanya Aldena.

"Mana?" tanya Azhar.

"Tadi, di kembang api yang barusan."

Azhar terdiam, dan menatap ke arah langit. Namun, lukisan cahaya tadi sudah menghilang. "Itu paradoks kali."

"Paradoks?"

"Eh, bukan paradoks ... apa ya ... Dik! Istilah yang sesuatu mirip ...." Azhar terdiam melihat ekspresi Dika yang masih menatap ke arah langit dengan tersenyum. "Dik ... lo gak papa?"

"Den, gue punya satu pertanyaan buat lo."

"Apa?" tanya Aldena pelan.

"Lo bisa ngegambar?"

***

Dipublikasikan pertama kali:
19 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top