Chapter 19.0 - The Different
"Bu, pesen empat lagi dibungkus."
"Nasinya aja, Mas?" tanya seorang wanita berjilbab dengan logat Jawa.
"Enggak, sama temennya," jawab Rafi pelan.
Wanita itu hanya mengangguk. Dibukanya tutup tempat nasi berwarna silver itu, dan diambilnya nasi sebanyak dua centong. "Apa aja, Mas?" tanya wanita itu lagi.
Rafi sejenak terdiam berpikir. Dibiarkan kakinya melangkah mendekati si Wanita, dan berdiri tepat di sampingnya. Kedua matanya, mengintip makanan yang ada di balik kain putih.
"Telur dadar satu, tahunya satu, terus ...." Dengan cepat, wanita itu mengambil satu persatu makanan yang diucapkan oleh Rafi. "... udah," imbuh Rafi pelan.
Wanita itu hanya mengangguk dan segera melipat kertas nasi berwarna cokelat. "Yang ini apa Mas?"
"Samain aja," jawab Rafi singkat. Tiba-tiba, handphone-nya berdering. Dengan tenang, ia merogok saku celananya, dan terdiam membaca nama "Azki" di layar. "Apa?"
"Lo di mana, Fi?" tanya Zaki dari seberang.
"Warteg. Kenapa?"
"Ke apotek! Beli kondom sama baby oil. Nanti malem kita main!"
Rafi berdecak kesal. "Kalo Bos tahu, abis lo semua."
"Yang penting 'nikmatin' aja dulu, urusan itu ... belakangan," jawab Zaki seraya terkekeh, "David udah setuju ... dia ke dua, gue yang pertama. Lo kalau mau beli tuh barang, entar dapet giliran ke tiga."
"Gue gak ikutan," jawab Rafi ketus. Belum sempat Zaki membalas, Rafi memutuskan panggilan itu secara sepihak. "Berapa, Bu?" tanya Rafi seraya memasukan handphone-nya ke saku semula, dan mengeluarkan dompet hitamnya.
"Semuanya jadi ... Rp48.000,00. Satu porsinya dua belas."
Rafi hanya mengangguk. Diberikan uang selembaran Rp50.000,00 dengan wajah tersenyum.
"Matur nuwun ya, Mas."
"Ngih," jawab Rafi pelan. Kemudian, ia berjalan meninggalkan warung tegal tersebut dengan langkah tenang. Selama perjalanan, Rafi hanya terdiam. Sesekali ia berhenti memberi jalan kepada mobil yang melaju pelam.
Selama hampir satu jam lebih, Rafi melakukan perjalanan itu. Untuk mengaburkan jejak, ia sengaja membeli semua makanan itu di tempat yang jauh. Bahkan, untuk pulang pun ia harus tiga kali naik-turun angkot.
"Kiri!" ujar Rafi.
Angkot ketiga yang ia tumpangi, mulai mengalami perlambatan hingga berhenti.
"Nuhun, Mang!" ucap Rafi lagi seraya memberikan uang Rp5.000,00. Sesaat setelah angkot tadi jalan, dengan Tenang Rafi melangkah masuk ke dalam gang kecil. Tidak sampai sepuluh menit, ia berdiri di depan sebuah rumah berwarna hijau.
Dibukanya pintu gerbang dari tiang besi kecil sepinggang itu, hingga menimbulkan suara "Kriettt." Tanpa membuka kedua sepatunya, ia melangkah menjajaki lantai berwarna putih, dan berdiri di depan pintu.
Dengan cepat, ia mengetuk pintu kayu polos itu sebanyak dua kali. Kemudian, ia mengetuk lagi sebanyak satu kali, sesaat setelah ia menunggu selama satu detik. Satu detik kemudian, ia kembali mengetuk untuk ketiga kalinya sebanyak dua kali dengan cepat.
Lalu, terdengar sebuah suara kunci yang dibuka dari dalam. "Lama amat?" ujar David seraya membuka pintu rumah itu, "udah ke apotiknya?"
"Kagak," jawab Rafi singkat seraya masuk.
"Kenapa? Lo gak mau gabung?"
Rafi hanya terdiam. Ia memilih fokus mengeluarkan dua nasi bungkus dari kantung plastik, dan menyimpannya di atas meja. "Gue gak tertarik," jawab Rafi singkat.
"Udahlah, dengan atau tanpa dia pun, kita tetep maen," celetuk Zaki yang muncul dari ruang keluarga.
"Bos ke mana?" tanya Rafi.
"Siap-siap. Dia pergi dulu bentar," jawab Zaki seraya duduk
"Terus file-nya udah di baca?"
"Udah."
"Cuma ini?" protes David yang sudah membuka semua nasi bungkus di meja, "coba yang itu apa aja?"
"Ah, sama!" jawab Rafi seraya menepis tangan David yang hendak merampas kantung plastiknya.
"Buat siapa yang itu?" tanya Zaki.
"Siapa lagi coba?" Rafi balik bertanya. Dipandang kedua rekannya dengan tatapan datar. "Ada pertanyaan lain?"
"Kagak."
Rafi hanya terdiam. Kedua kakinya melangkah masuk ke ruang keluarga. Terdiam beberapa detik di depan lemari dan membukanya.
"Fi!" panggil Zaki pelan. Dilemparnya sebotol kayu putih berukuran besar ke arah Rafi, "mereka tadi sempet di bius sama si David."
"Chlorofoam?" tanya Rafi seraya menggeser papan yang menghalangi jalan di balik lemari.
"Iye."
Rafi hanya mengangguk pelan. Disimpannya kantung plastik berisi makanan itu di gorong-gorong dan membalikan tubuhnya. "Kalo ada apa-apa, hubungi gue aja," ujar Rafi seraya menutup pintu lemari dari dalam. Kemudian, ia merangkak mundur dengan kaki yang keluar pertama kali.
Setelah berhasil keluar, kedua matanya menatap gorong-gorong gelap yang sempat ia lalui kemarin. Selama dua menit, Rafi berjalan dengan tenang. Jalan yang berliku dan bercabang, 'tak membuatnya kesulitan.
Kedua kakinya berhenti di persimpangan ke sepuluh. Tanpa menunggu lama, ia melangkah ke kiri dan mempercepat langkah kakinya. Tidak sampai sepuluh detik, ia melihat sebuah anak tangga dari beton yang berlumut. Dengan cepat, ia berlari meniti anak tangga, dan mendorong pintu kayu yang menempel secara horizontal.
Sesampainya di atas, kedua matanya tertuju pada dua pintu besi tempat Reinard dan Nayla berada. Setelah berhasil menutup pintu kayu ruang bawah tanah, ia segera berjalan mendekati pintu besi tadi. Membukanya secara perlahan dan menatap Reinard dan Nayla yang tertidur.
Diangkat satu alisnya tinggi-tinggi melihat Nayla yang tertidur. Gadis itu diikat di kursi kayu dengan kepala tertutup. Dipandangnya kemeja putih berlengan 3/4 dengan tatapam datar.
"Lo mau ngapain lagi ...."
Rafi tersadar dan menoleh ke arah Reinard. "Lagi? Maksud lo?"
"Jangan sok bego! Temen-temen lo ngebius gue ama Nayla. Lo pikir buat apa mereka bawa gituan, hah!" Reinard bertanya dengan sedikit membentak. Dadanya dengan cepat mengembang dan mengempis. Sesekali, Reinard mengambil napas lewat mulut.
Rafi terdiam mendengar penjelasan Reinard. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Nayla dari belakang. Dipandangnya simpul tali yang ia buat dengan teliti. Sepersekian detik kemudian, Rafi menghela napas lega, dan kembali berdiri.
"Dia baik-baik aja, simpul talinya masih sama, gak berubah," ujar Rafi pelan seraya membuka jaketnya.
"Lo mau ngapain?"
Rafi hanya terdiam tidak menjawab. Ditutupinya tubuh Nayla bagian depan dengan jaketnya. "Yang jelas gue gak ada minat seperti yang lo pikirkan," jawabnya singkat.
Rafi mulai melepaskan kantong hitam yang membungkus kepala Nayla. Didekatkan botol kayu putih tadi ke hidung Nayla seraya menepuk-nepuk pipi gadis itu. Beberapa detik kemudian, Nayla tersadar.
Belum sempat Nayla berteriak, dengan cepat Rafi membekap mulut gadis itu. "Lo teriak, gue bunuh. Paham?"
Sejenak, kedua matanya memandang Reinard yang terikat di sisi lain.
"Temen lo juga gue bunuh kalo lo teriak. Paham?"
Dengan tubuh bergetar hebat, Nayla mengangguk seraya menangis.
Rafi mengangguk pelan. Dilepasnya lakban hitam yang menutupi mulut Nayla lalu diremasnya. Kemudian, ia mengangkat sebuah meja kecil dan meletakannya di depan Nayla.
"Kalo lo mau makan, nih makan. Gue gak ngasih dua kali," ujar Rafi seraya membuka bungkus nasi untuk Nayla. Lalu ia kembali menaruh kursi di depan Reinard, dan membuka bungkus nasi yang lain.
"Lo mau ngapain?"
"Lo gak punya waktu buat curiga, gue kasih waktu satu jam buat lo makan. Abis itu, lo tanggung sendiri."
Reinard terdiam memandang kedua mata Rafi dalam-dalam.
"Kenapa lo ngelakuin ini sama gue dan Nayla?"
"Satu jam," ujar Rafi seraya berjalan meninggalkan mereka berdua.
"He-hei," teriak Nayla dengan sedikit terbata-bata, "ka-kamu belom lepasin tangan kita, 'kan?"
"Lo kuliah, 'kan? Pake otaklo buat makan tanpa tangan," jawab Rafi seraya kembali melanjutkan perjalanannya dan menutup pintu besi tadi.
Sejenak, ia menghela napas kasar. Kedua matanya memandang rerumputan yang ia lihat dari balik pecahan kaca. Samar-samar, pertanyaan yang terlontar dari mulut Reinard menggema.
Anjing!
***
Dipublikasikan pertama kali:
8 Agustus 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top