Chapter 17.0 - The Answer
Azhar terdiam dengan muka ditekuk. Jika, cakue ini adalah keinginannya, maka Azhar memilih menutup pintu nafsu makannya. Diliriknya jam digital di handphone-nya yang kini sudah menunjukan pukul sepuluh pagi.
Njir .. lama, gumam Azhar seraya menghela napas.
"Nih, Bos ... sorry lama. Itu udah dikasih bonus, dua biji."
"I-iya, Bang. Ini uangnya, makasih ya!"
"Iya ... sama-sama."
Dengan langkah gontai, Azhar mengisi lambungnya dengan cakue sebanyak dua kali. Sesampainya di mulut pintu kost sahabatnya, Azhar hendak mengucapkan salam. Namun, bibirnya mendadak kelu kala melihat yang dilakukan sahabatnya.
Dilihatnya sahabatnya tengah duduk di atas kursi dengan kaki terbuka lubar. Tangan kirinya mencengkeram lutut kirinya, sedangkan sikut kanannya menempel keras pada lutut yang lain. Ditompang kepalanya yang bulat dan botak dengan tangan kanannya.
"Ngapain lu?"
"Ah!" ujar Dika spontan seraya menepuk paha kanannya, "lama amat sih? Ngapain aja?"
"Nungguin, pesenan lo yang lama! Eh iya, lupa ...." Dengan cepat Azhar melangkah keluar dan berdiri di dekat pintu. "... assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Mana cakue gue?"
"Nih," jawab Azhar seraya memberikan cakue pesanan Dika. Kemudian, kedua matanya terpaku dengan sticky notes yang menempel di dinding.
Secara perlahan, Azhar menggerakan kedua matanya mengikuti pergerakan garis yang dibuat. Sesekali, Azhar melangkah maju untuk melihat kata yang tertulis.
"Ini ...."
"Mind map," jawab Dika seraya seraya berdiri dan mengelap kedua tangannya di baju Azhar.
"Anjing!" ujar Azhar seraya menepis tangan Dika.
Mendapati respon tersebut, Dika hanya menggosok-gosokan kedua telapak tangannya ke celananya. "Gue sengaja bikin mind map gini, biar gue sendiri gak lupa sama pola pikir gue."
"Bodo amat," jawab Azhar ketus.
Dika hanya terdiam. Menoleh sejenak dan kembali memandang mahakaryanya. "Kita mulai dari sini ...," ujar Dika seraya menunjuk sebuah sticky notes bergambar simbol tanda tanya.
"Oke ... terus?"
"Menurut lo sendiri, ini soal apa?"
Azhar terdiam sejenak. "Penculikan?"
"Gue tadi juga mikir gitu, tapi ... ternyata salah."
"Salah karena?"
Dika berjalan dengan sedikit melomat dan mengetuk sticky notes di sisi kanan. "Motif. Coba motif penculikannya kira-kira apa?"
"Uang ... balas dendam ... udeh."
"Oke ... gue sebenernya udah bikin hampir empat alasan mengapa mereka menculik Reinard dan Nayla. Dua diantaranya, udah lo sebutin: uang dan balas dendam. Namun, ada hal yang aneh di balas dendam.
"Orangtua Reinard itu wiraswasta. Ibunya pengelola warung nasi, dan ayahnya pengusaha ATK[1]. Jelas, bukan hal yang ... memerlukan sebuah pekerjaan yang menimbulkan resiko balas dendam. Begitupun dengan kedua orangtua Nayla yang cuma PNS. Ayahnya guru SMA, Ibunya guru SD."
"Berarti uang?" potong Azhar.
"Nah, yang ini juga agak aneh ... kalo lo jadi penculik, lo mau nyulik siapa? Reinard atau Nayla?" tanya Dika pelan.
"Nayla. Soalnya, ortu dia, 'kan PNS."
Dika menepuk kedua tangan sebanyak lima kali. "Cocok lu jadi penjahat."
"Serius Anjing!"
Dika hanya terkeleh pelan. "Nah, kalo gitu emang aneh, 'kan?"
"Oh ... gue paham, kenapa mereka malah nyulik dua orang? Malah jadi ribet."
"Bener, tapi ada lagi yang lebih aneh lagi," ujar Dika seraya tersenyum penuh rahasia.
"Apa?"
"Kalo abis nyulik, lo mau ngapain?"
"Paling gue ...." Azhar terdiam sejenak. Dipandangnya wajah Dika yang masih tersenyum. "... gak tahu. Lo udah tahu, 'kan? Ngapain nanya lagi."
Dika hanya berdecak. "Come on, man! Gue ngasih kesematan buat lo."
"Kesempatan, ndasmu!" jawab Azhar dengan nada ketus, "gue paling telepon ke ortu dia. Gue bilang siapin uang tunai sebanyak Rp50 juta."
"Oke, sekarang misal ... ortunya udah siapin uang terus telepon lo. Gimana?"
"Gue angkatlah, Bego!"
"Nah, aneh, 'kan?" ujar Dika lagi.
Azhar mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi. "Aneh di mana?"
"Nih, coba play ...," jawab Dika seraya melempar handphone-nya yang berisi rekaman telepon. Dengan penasaran, Azhar menekan keypad handphone hitam itu sebanyak satu kali.
"Udah nyambung?"
Azhar terdiam mendengar suaranya sendiri.
"Udah, eh itu udah direkam 'kan?" tanya Dika di rekaman.
Azhar memejamkan kedua matanya. Ditumpahkan semua konsentrasinya, pada indera pendengarannya.
"Anjing! Gak diangkat!" umpat Dika lagi.
"Telepon lagi," ujar Azhar.
Kemudian, terdengar suara nada yang sama berulang-ulang selama hampir lima belaa detik.
"Ha-halo?" tanya Reinard dari rekaman.
"Stop!" pinta Dika seraya beranjak dari kasurnya, "gimana? Ada yang aneh, 'kan?"
"Aneh di?"
Dika kembali tersenyum. "Jika mereka emang niat nyulik karena uang, maka mereka harusnya gak ada alasan buat gak ngangkat telepon yang pertama. Faktanya, mereka membiarkannya, 'kan? Lalu ... jika memang gak disengaja pun, harusnya yang jawab itu pelaku. Bukan Reinard. Karena itulah, gue mikir motifnya bukan uang."
Azhar mengangguk paham. "Terus .. kalau emang bukan uang ... Apa?"
Dengan cepat Dika bergerak ke arah kiri dan menunjuk sticky notes berwarna hijau. "Improve."
"Improve?"
"Improvisasi. Bagaimana kalau ... mereka awalnya gak mau nyulik, tapi karena suatu hal mereka 'terpaksa' melakukan hal itu?" jelas Dika seraya menekan kata "terpaksa".
"Jadi ... maksud lo alasan Reinard dan si ... Layla ...."
"Nayla."
"... iye, Nayla karena mereka sebenarnya saksi penting dalam kejatahan mereka?"
Dika mengangguk pelan. "Sejenak, kita coba susun dari awal lagi alur kejadiannya," ujar Dika seraya menunjuk ke arah sticky notes yang berada di sudut kiri atas, "kita mulai dari sini."
"Hmm ...." Azhar memicingkan kedua matanya.
"Jam dua lebih, Reinard nelepon Nayla. Dia marah-marah karena hampir telat di matkul pemograman terstruktur."
"Lanjut."
Dika bergerak turun, dan menunjuk sticky notes lain, tepat di bawah yang tadi. "Sekitar setegah tiga lebih dikit, Nayla datang sambil ngos-ngosan. Terus, sibuk nyari gunting, buat motongin screenshot program dia."
"Berarti, Nayla abis nge-print?"
"Bener. Oleh karenanya, gue bikin tempelin soal Nayla sedang nge-4, di sini!" ujar Dika lagi seraya mengetuk sticky notes di yang sejajar dengan sticky notes tentang Reinard menelepon Nayla.
"Next, Nayla dan Reinars bertengkar pasca kelas bubar. Itu artinya jam empat lebih dikit. Terus ... kata Rangga, dia dan Reinard jalan bareng gedung F. Dan di sana, Nayla gak ada."
"Karena itu, lo bikin sticky notes 'She Lost' warna merah?" tanya Azhar seraya mengetuk sticky notes yang dimaksud.
"Iya ... itu artinya, sejak pukul empat, Nayla udah ilang."
Azhar mengangguk pelan.
"Sekitar jam tujuh-an, Rangga juga nelepon ke Reinard. Dan dari dia juga, Reinard berencana pergi ke rumah Nayla. Lalu, sekitar pukul sembilan kurang gue ketemu Reinard di warnet Danet. Dia kaya orang dikejar anjing, terburu-buru, dan gak fokus. Bahkan, dia sempet pinjem earphone gue. Gue balik pas jam sembilan. Dapet email sekitar jam setengah sepuluh. Dan hingga sekarang Reinard ilang."
"Itu artinya, dia ilang sejak jam sembilan."
"Benar. Dan setelah gue cross check, semua fakta di atas ... motif semua ini adalah improvisasi ... atas kasus narkoba."
"Wait ... kok bisa?"
Dika hanya tersenyum penuh rahasia.
***
Catatan:
[1] ATK : Alat Tulis Kantor
Dipublikasikan pertama kali:
4 Agustus 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top