Chapter 16.0 - The Clues

Dika menunjuk sebuah kertas putih di samping Azhar. "Kita mulai dari sana dulu."

Azhar mengambil kertas yang dimaksud dan membacanya. "Pokémon FireRed, Departemen Store F4?" tanya Azhar seraya menunjukan tulisan yang ia baca.

Dika mengangguk dan membuka browser Google Chrome di laptop Azhar. Namun, belum sempat ia mengetikkan apa yang ia cari, si Empunya dengan cepat menahan pergerakan tangan Dika.

"Apa?"

Azhar hanya berdecak pelan. Diarahkannya kursor putih di layar datar itu, ke arah simbol silang berwarna merah di sudut kanan atas. "Jangan pake Chrome, berabe."

"Terus?"

Namun, Azhar hanya terdiam 'tak merespon pertanyaannya. Sadar kosentrasi sahabatnya terbagi dua, Dika memilih mengikuti arah pandangannya. Dilihatnya kursor putih itu mengarah ke sebuah aplikasi berlambang bawang berwarna ungu. Tepat di bagian bawahnya, tertulis "Tor Browser" dengan jelas.

"Tor? tanya Dika pelan.

"Lo gak tahu?" Azhar balik bertanya.

Dika menggeleng pelan. "Gue cuma tahu, Mozilla, Chrome, Opera, sama yang paling legend ...."

"IE[1]-ya?"

"Yoi!" jawab Dika seraya tertawa, "terus ... itu browser baru ya?"

"Tor? Anjir parah lu gak tahu, padahal anak FIF[2]!" ledek Azhar seraya tertawa keras.

Dika yang mendengar itu hanya bisa berdecak kesal. "Udeh, ah! Terus kenapa harus pake ini?"

"Lo pernah denger deep web?"

"Hoo ... kagak."

Azhar tergeming selama tiga detik.

"Lo tahu soal dr.Kariadi[3] gak?"

Azhar menggeleng pelan.

"Yey! Katanya anak Indonesia."

Sadar arah pembicaraannya ke mana, Azhar hanya mengangguk pelan. "Jadi ... Tor browser itu dipake buat nge-deep web."

"Terus?"

"Deep web itu, diibaratkan sebagai lautan. Makanya, dulu sering ada istilah berselancar di internet. Lo tahu alasannya?"

"Karena internet itu luas? Hmmm ... penganalogiam mungkin?"

"Bener. Dan kita itu dianalogikan sebagai peselancar yang menikmati laut itu di atasnya. Tapi, ada juga yang menikmatinya dengan cara lain."

"Nyelem?"

"Ho'oh. Lo tahu, semakin dalam lautan, maka intensitas cahaya ..."

"Makin berkurang."

"Pinter," ujar Azhar seraya mengusap rambut Dika yang pendek. Mendapati perlakuan seperti itu, dengan cepat Dika menepis tangan Azhar.

"Kampret lo, lanjut!"

"Intinya ... Tor ini alat nyelem."

Dika terdiam sejenak. "Jadi ... kita pake Tor kalau mau nge-deep web."

"Iye," jawab Azhar singkat.

"Google.com termasuk deep web?"

"Enggak."

"Terus lo mau pake peralatan selem kaya tabung oksigen, sepatu katak, buat surfing?" tanya Dika pelan. Belum sempat Azhar menjawab, dengan cepat Dika menempelkan telunjuknya ke bibir Azhar. "Introspeksi jadi cowok tuh. Bukan debat mulu."

"Eh anjir kalo ...."

"Ahh ... berisik lo!" potong Dika seraya membiarkan jari-jemarinya menari di atas keyboard. Sepuluh detik kemudian, layar datar itu beberapa situs dengan judul halaman yang cukup mirip.

Sejenak, Dika mengamati satu persatu deskripsi yang ada. Lalu, diketuknya satu kali mouse pad-nya di situs pertama.

"Gue keluar dulu ya," ujar Azhar seraya berdiri.

"Ke mana?" tanya Dika tanpa mengalihkan pandangannya.

"Jajan. Mau beli takoyaki dulu," jawab Azhar, "lo mau nitip?"

"Cakue. Lima belas ribu."

"Busyet! Banyak amat?"

Dika hanya menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Otak gue lagi dipake, perlu energi ekstra," jawab Dika seraya menoleh sesaat ke arah sahabatnya, "by the way, lelet amat ya."

"Emang, tor browser itu mengganti velocity dengan anonymity. Jadi, ya lebih lelet."

Dika hanya berdecak kesal dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Dipandangnya layar laptop sahabatnya, dengan tatapan datar.

Lama .... gumam Dika lagi. Tangan kirinya dengan berusah payah mengambil handphone miliknya, yang digunakan untuk merekam percakapan telepon tadi. Ditekannya tombol keypad di handphone-nya sebanyak satu kali. Dengan mata terpejam, Dika mendengarkan dengan seksama rekaman itu.

Ada enam orang termasuk Reinard dan Nayla. Menurut Reinard, mereka semua ahli dalam bersenjata. Mungkin juga ahli dalam bidang yang mereks geluti. Kemungkinan ini penculikan, tapi motifnya apa?

Dika berdiri dan melempar handphone-nya tadi ke kasur. Diambilnya sebuah sticky notes berwarna merah. Lalu, ditempelkan di dinding berwarna putih.

Motif ..., ujar Dika seraya menulis apa yang ia ucapkan di sticky notes tadi. Motifnya apa? Uang? tanya Dika lagi seraya menempelkan sticky notes berwarna lain. Sesaat setelah menulis, diambilnya kapur berwarna hijau, lalu ditarik sebuah garis lurus di antara sticky notes tadi.

Dika hanya terdiam dan sesekali mengulang aktivitasnya yang sama. Menempelkan sticky notes, menulis apa yang dipikirkan, dan menarik garis lurus dengan kapurnya. Sesekali menarik sticky notes yang sudah tertempel, meremasnya, dan menghapus garis kapur tadi kain basah.

Selama hampir sepuluh menit lebih, Dika melakukan hal itu. Dipandangnya secara perlahan ratusan sticky notes yang membentuk jaring laba-laba dari kapur itu di dinding kamarnya.

Tanpa sadar, kakinya menyengol layar laptop sahabatnya. Oh, iya ... udah ada, ujar Dika yang teringat tentang apa yang ia cari.

Kedua matanya dengan cepat bergerak dari kiri ke kanan. Jari telunjuknya, sesekali menekan tombol panah ke arah bawah di keyboard.

Tunggu ... kalau gitu ... anjir! gumam Dika seraya mengepalkan tangan kanannya.

***

Catatan:
[1] IE : Internet Explorer
[2] FIF : Fakultas Informatika
[3] dr. Kariadi : Salah satu pahlawan Indonesia. Dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto secara Anumerta (20 Mei 1968).

#P.S.
Penulis juga terinspirasi membuat cerita dengan tokoh yang memilik sifat mirip seperti beliau. Mohon bersamar menunggu buku yang satu ini.

Dipublikasikan pertama kali:
3 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top