Chapter 11.0 - The Big Question
Siapa?
Dika terdiam membisu. Matanya terpatri kuat pada nomor yang tertulis di layar handphone-nya. Tanpa memejamkan mata, alam bawah sadarnya bergerak cepat mengingat adakah orang yang sempat meminta nomor handphone-nya.
Lima detik beralu, tapi tidak ada satu pun kejadian yang membuatnya berhenti bertanya-tanya. Dengan berpangku dagu, digesernya gambar telepon berlatar hijau itu, dan didekatkan ke telinga kirinya.
"Assalamualaikum, Bang Maul... halo."
Sepersekian detik kemudian, Dika menyadari sosok yang mengucapkan salam kepadanya. "Waalaikumsalam, Rangga ya?"
"Iya, Bang! Maaf nih Bang, ganggu."
"Enggak kok, enggak ... cuma ... tadi sempet bingung, siapa ini yang nelpon."
Terdengar suara si Kacamata yang terkekeh pelan.
"Gimana-gimana? Ada perlu apa nih?"
"Enggak, Bang! Cuma ... mau nanya soal ... besok, nih ...."
"Besok?" tanya Dika yang merasa heran, "oh ... osjur[1]?"
"Iya, itu."
"Duh ... kalo itumah, kurang tahu ... lagian, bukan anak HMTI[2] juga. Cuma yang pasti kalo dulu, di hari terakhir cuma games dan closing. Terus nanti ada perwakilan buat penyerahan jaket parka HTMI," jelas Dika pelan.
"Itu ... wajib?"
"Ya ... kalau soal wajib mah tergantung kitanya. Cuma kalo dibilang wajib ya wajib," jawab Dika. Samar-samar terdengar suara deru mesin dan beberapa orang yang tampak menghela napas.
"Pada di mana hayo?"
"Biasa, Bang ... kuliner kita," jawab si Kacamata seraya terkekeh.
"Kalau boleh saran sih, ikut aja. Kalian, 'kan selama empat tahun bakal di sini. Jadi, kalo enggak ikut takutnya kalian ya ...." Dika memilih tidak melanjutkan perkataannya. "... bilangin sama anak-anak yang lain ya, di grup juga. Kalo bisa dateng semua."
"I-iya, Bang! Tapi ... gak janji bakal datang semua."
"Kok gak bisa?"
"Iya ... cuma satu orang sih, Nayla."
"Kenapa Nayla?" tanya Dika dengan nada pelan penuh perhatian.
"Gak tahu, Bang. Tadi aja pas susulan pemograman gak dateng dia. Udah coba ditelepon ama Reinard, gak diangkat. Tadi juga Reinard sempet ngomong mau ke rumah Nayla jam tujuh kurang, tapi gak tahu sekarang," jelas si Kacamata.
Dika mengangguk pelan. Sesaat, Dika teringat akan tingkah Reinard yang "berisik" di warnet---menggeser CPU dengan kasar, menjatuhkan uang logam, mengetik password dengan cepat hingga lengah dengan capslock. Lalu, ia pun teringat akan alasan mengapa Reinard sempat berdiri di akhir waktu.
"Halo, Bang?"
"I-iya?" jawab Dika yang tersadar dari ingatannya.
"Udah dulu ya, Bang! Makasih! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Sejenak, Dika memandang handphone. Beberapa potongan kejadian yang terjadi hari ini, tampak bertebangan membentuk sebuah sketsa di benak pikirannya.
Nayla yang satu kelompok sama Reinard. Terus dia gak hadir di tes susulan. Reinard datang ke rumah Nayla jam tujuh malam. Sekitar jam delapanan Reinard datang ke warnet dengan kondisi kurang fokus, terburu-buru. Reinard juga pinjem earphone. Dan tadi ....
Dibukanya aplikasi Gmail di handphone-nya dan membuka email "[email protected]".
... jam 8:52 malam, Reinard mengirim email melampirkan file berformat '.wav', batin Dika seraya menatap file tersebut. Eh, baru sadar via Google Drive. Kalo gak salah .... Ditekannya tombol kotak di tengah, hingga sebuah gambar seorang pria berpakaian hijau tengah memangis di depan wanita berpakaian biru.
"Ok Google ... batas maksimal file lewat gmail."
Tidak sampai lima detik, handphone miliknya bergetar. Menampilkan beberapa situs yang menjelaskan informasi tentang gmail. Dengan cepat, jempol kananya menekan situs teratas, dan meletakan handphone-nya di atas meja.
Kedua matanya dengan perlahan bergerak dari kiri ke kanan. Sesekali telunjuk kirinya mengusap layar datar bercahaya itu ke atas. Hmm ... jika file yang hendak dikirim lebih dari 25 mb, maka satu-satunya cara adalah menggunakan Google Drive.
"Keur naon, Dik?" tanya si Gondrong seraya meletakan sepiring nasi lengkap dengan sepotong dada ayam.
"Ah ... enggak," jawab Dika seraya tersenyum.
Si Gondrong hanya terdiam dan meja samping pelanggan satu-satunya saat itu. Digapainya remote TV di sampingnya, dan ditekannya tombol berwarna merah. Sebuah iklan layanan masyarakat akan bahaya narkoba, muncul di layar cembung itu.
"Susah kalau soal inimah," ujar si Gondrong lagi seraya mengangkat satu kakinya ke kursi.
"Hmm? Apa?"
"Noh," jawab si Gondrong seraya menunjuk ke arah TV dengan dagunya, "yang satu ngegali, yang lain ngubur."
"Maksudnya?"
"Yeuh ... misal, si Om nangkep bandar narkoba. BB[3] 200 gram sabu. Terus, ku si John dijual ka bandar lain. Sok?"
Dika terdiam seraya mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi. "Kata siapa? Hoax kali?" imbuhnya seraya mengoleskan secuil daging ke saus tomat dan melahapnya.
"Eh, teu percaya. Bener, gak Om?"
"Naon?" tanya si Om seraya berjalan masuk dengan tangan menyilang.
"Soal oknum nu ngajual BB narkoba."
"Oh, heeuh! Bener, Dik! Ada beritana."
"Teu hoax?"
"Gak, gak hoax. Si Akiong sama Freedy juga di berita ngomong ada oknum yang ikut 'bermain'," jelas si Om seraya menggerakan kedua jari telunjuk dan tengahnya, "coba maneh pikir. Loba kasus narkoba di lapas-lapas. Ibarat air, gak bakal muter kalau gak ada yang muterin."
"Iya, juga sih."
"Makin ke sini, makin ... bervariasi modus jual belina," imbuh si Om lagi.
"Heeuh nya ... beda kalo yang udah pengalaman mah," celetuk Dika seraya terkekeh pelan.
"Goblog, anjing maneh mikir urang pemake," ujar si Om seraya memasang wajah tidak terima, "tapi ... soal narkoba ... itu mah, balik ke diri masing-masing."
"Gak cuma narkoba, sih Om ...," potong si Gondrong pelan, "... pada dasarnya emang semua yang terjadi, baik penyimpangan norma ataupun kebaikan, balik lagi ke individu masing-masing. Bukan begitu, Bapak Penulis?" tanya si Gondrong seraya menatap wajah Dika.
"Hade!" jawab Dika seraya mengacungkan jempolnya.
"Kalo perlu quotes-quotes ala bapak Mario Teguh, AADC pun punya ...," celoteh si Gondrong seraya melirik ke sosok satu-satunya yang berambut polos.
"Goblog. Jadi urang teh, Acep Teguh the Golden Ways?"
"Bojong Soang Ways," celetuk Dika yang teringat nama jalan di mana AADC berada.
"Tah! Hade Om! Ke nanti di bikin poster. Ceritakan keluh kesah perut anda kepada kami ... ATBW. Acep Teguh Bojong Soang Ways," balas si Gondrong.
"Pake quote! Sahabat-sahabat saya yang super kelaparan, jadilah sosok yang mencintai pribadi diri sendiri. Sayangilah diri anda, terutama lambung di kala lapar. Sehingga nanti, anda terhidar dari penyakit asam lambung naik," imbuh Dika seraya mengikuti intonasi kata motivator tersebut.
"Hade!"
Sementara itu, sosok yang tengah mereka bicarakan hanya terdiam. "Garelo maneh mah!" ujar si Om seraya pergi ke luar. Melihat ekspresi itu, Dika dan si Gondrong hanya tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba, handphone hitam milik Dika bergetar. Sebuah notifikasi, "file sudah diunduh" tertulis di status bar layar datar itu.
"Aa Bud!"
"Euy?"
"Pinjem earphone lah," pinta Dika.
"Kela," ujar si Gondrong pelan. Diangkat pantatnya yang menempel di atas kursi, lalu dibiarkan kakinya melangkah mendekati etalase kaca. "Satu atau dua?"
"Satu set!"
Si Gondrong hanya tertawa dan memberikan earphone miliknya. "Ati-ati, suka keluar suara."
"Kan, emang iya! Namanya juga ... ah teuing lah!" ujar Dika pasrah. Suara tawa kemenangan yang menggema, tak membuatnya berubah pikiran untuk meladeni guyonan si Gondrong.
Dipasangkan, salah satu earphone ke telinga kanannya, sesaat sebelum ia menekan tombol play di handphone-nya. Sepersekian detik kemudian, Dika melepas earphone-nya dengan ekspresi terkejut.
Ini ....
***
Catatan:
[1] Osjur : Ospek jurusan.
[2] HMTI : Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika.
[3] BB : Barang bukti.
Dipublikasikan pertama kali:
27 Juli 2017
P.S. maaf telat update, penulis sibuk di real life karena suatu hal. Besok pun kemungkian gak bakal update. Jadi Insha Allah lusa (Sabtu, 29 Juli) update lagi.
Salam,
Kakadima
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top