Chapter 1.0 - The Call

Sabtu, 17 Desember 2016, 14:17 WIB

Suasana kabupaten Kota Kembang saat itu sangat tidak bersahabat. Angin kencang dan awan mendung membuat langkah Nayla semakin cepat. Selama perjalanan, mulutnya berkomat-kamit 'tak bersuara. Ditendangnya satu persatu bebatuan kecil yang bertebaran di jalanan.

Sesaat, matanya memicing menatap sebuah bangunan yang dipenuhi etalase kaca. Sebuah tulisan "Fotocopy Barokah" terpampang jelas di bagian atas.

"Bang, nge-print!" ujar Nayla singkat. Diletakan flashdrive berwarna kuning itu hingga menimbulkan suara keras.

Pria gendut itu hanya terdiam seraya meringis kecil. Dengan—amat—perlahan, pria itu bangkit dari kursinya dan mendekati Nayla. "File-nya ...."

"Hah?"

"Nama ...." Pria itu tidak melanjutkan perkataannya. Matanya terpenjam tiba-tiba seraya membungkukkan tubuhnya. Sementara tangan kanannya, mengusap-usap perutnya yang buncit. "... file-nya apa?"

"TP[1] Pemograman delapan, pake romawi," jawab Nayla singkat.

Pria itu hanya mengangguk dan berbalik mendekati salah satu komputer berwarna hitam.

Sejenak, Nayla terdiam memandang langkah si Gendut yang begitu rapat. Dipicingkan kedua matanya, guna mencari jawaban atas keanehan tersebut. Beberapa detik kemudian, kedua matanya terbelalak secara tiba-tiba. Tangan kanannyabergerak menutupi mulut dan hidungnya, kala melihat noda air di bagian pantat si Gendut. Tiba-tiba, ponsel hitam milik Nayla berdering.

"Halo?"

"Lo masih di mana? Pak Hakim udah masuk!" ujar Reinard dari seberang.

"Serius? Ini gue lagi nge-print."

"Masih lama?"

"Bentar lagi ... eh, bentar ...." Nayla kembali melihat ponselnya yang kembali bergetar. Kini, sebuah panggilan dari sang ibu penyebabnya. "... bentar, Nyokap gue telepon. Jangan di tutup dulu!"

Dengan satu sentuhan, Nayla kembali mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Halo, Mah? Kenapa?"

"Nayla, kamu pulang jam berapa?" tanya ibunya dari seberang.

"Sore paling, Mah. Soalnya nanti ada praktikum susulan." Terdengar suara "Oh" yang panjang dari seberang. "Emang kenapa, Mah?"

"Nanti sore, jam tiga-an Mamah sama Papah mau ke Surabaya. Kata Pakdemu, Nenekmu masuk ruang ICU karena jatoh di kamar mandi pas mau wudhu."

Kini giliran Nayla yang mengeluarkan suara "Oh" panjang. "Terus, Mamah bakal nginep di sana berapa hari?" tanya Nayla lagi.

"Kayanya lama, soalnya kamu tahu, 'kan ... Papahmu pasti gak mau menyesal kaya dulu. Kakekmu sendiri kecolongan sampe Papahmu nangis-nangis."

"Iya, sih ...."

"Kamu libur kapan?"

"Senin lusa juga udah libur."

"Berarti tanggal ... 26 ya. Yasudah, nanti kamu ke sini aja."

"Naik pesawat?"

"Kereta aja, nanti dijemput."

"Ih, gak mau ah! Lama!"

"Yasudah gimana nanti aja."

Nayla hanya mengangguk pelan.

"Mamah mau beres-beres dulu."

"I-iya, Mah," jawab Nayla seraya menghela napas. Belum sempat napasnya habis, ia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. "Halo ...."

"LAMA!" teriak Reinard.

Nayla meringis pelan seraya menjauhkan ponselnya. Diusap telinga kirinya yang sakit, seraya mendekatkan ponselnya ke sisi lain.

"Lu ngapain aja sih? Lama amat! Udeh belom nge-print-nya?"

"Bentar lagi ah, elah! Lagian masih ... sepuluh menit lagi!"

"Buruan cepet! Mumpung Pak Hakim lagi bawa kabel buat proyektor!"

"Iya!" jawab Nayla seraya menekan ikon merah di layar ponselnya. "Bang ...." Nayla terdiam karena sosok pria yang melayaninya kini menghilang entah ke mana. "... parah," keluh Nayla pelan kala ia teringat akan noda air tadi.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari lantai dua. Mata Nayla menangkap seorang wanita dengan rambut ekor kuda tengah menuruni tangga. "Fotocopy, Téh?" tanya si Wanita.

"Nge-print, tapi tadi udah sama si abang-abang yang gendut."

"Oh ... bentar, ya, Téh," ujar si Wanita seraya berjalan mendekati salah satu printer yang baru saja berhenti. "Yang ini, bukan, Téh?"

Nayla melihat empat kertas yang diberikan dan mengangguk pelan. "Iya, yang ini."

Si Wanita mengangguk. "Dipotong Téh?"

"Iya, dipotong aja."

Si Wanita kembali mengangguk dan berjalan mendekati meja kayu di pojok ruangan. Sesekali si Wanita mengangkat tumpukan kertas dan meletakan kembali. "Bentar, ya Téh," ujar si Wanita.

"Kenapa?"

"Ini ... guntingnya gak ada."

Nayla hanya menghela napas kasar seraya membuang muka. Namun, ekor matanya menangkap cutter berwarna merah yang tengah menganggur di dekat komputer. "Pakai cutter aja," usul Nayla seraya menunjuk cutter yang dimaksud.

"Ah, i-iya ...," jawab si Wanita terbata-bata. Diambilnya cutter itu dan kembali berjalan mendekati kertas tugas Nayla.

Belum sempat Nayla menghela napas lega, matanya kembali terbelalak kala melihat si Wanita yang hendak memotong kertas tugasnya. "Eh, Mbak! Potonginnya pake penggaris!" protes Nayla.

"Oh, i-iya lupa ...," balas si Wanita seraya terkekeh pelan. Kembali si Wanita berjalan mendekati meja kayu dan terdiam beberapa saat.

Untuk kesekian kalinya, Nayla menghela napas kasar. Nayla terbelalak kala menyadari widget jam di ponselnya menunjukan pukul 1.22 PM. Sadar ia akan terlambat, Nayla langsung mengambil kertas tugasnya, melipat dan memasukan ke dalam tasnya. "Udahlah! Berapa semuanya?" tanya Nayla dengan nada cukup tinggi.

"Eh, se-semuanya ... bentar ...." Si Wanita itu kembali mendekati meja kayu dan mengambil kalkulator berukuran sedang. "... semuanya jadi Rp4.500,00."

Diambilnya selembar lima ribuan dan diletakannya uang itu dengan kasar di atas etalase kaca. "Kembaliannya ambil aja!" ujar Nayla ketus.

Nayla kembali berdecak kesal. Ditinggalkan tempat yang menyinta waktu lama tadi dengan terburu-buru. Tidak lama kemudian, ponsel Nayla kembali bernyanyi. "Lagi otw di jalan!" jawab Nayla sesaat setelah menggeser tombol hijau di ponselnya.

"Cepet! Soalnya, eh ...." Reinard sejenak terdiam 'tak melanjutkan perkataannya.

"Halo? Halo?"

"Bentar," bisik Reinard.

Nayla sejenak terdiam, memusatkan perhatiannya pada indera pendengerannya. Samar-samar, terdengar suara yang begitu khas dari ponselnya.

Anjir! Pak Hakim! gumam Nayla panik. Belum sempat ia berlari, terdengar suara Reinard dari seberang yang membuat langkahnya kembali berhenti.

"Kenapa? By the way, tadi ada Pak Hakim?" tanya Nayla.

"Ho'oh. Tapi dia pergi lagi," jawab Reinard tenang.

"Lah? Kok?"

"Flashdisk-nya ketinggalan, jadi tadi turun lagi. Moga aja ketinggalan di ...."

"Arghh! Flashdisk-nya!" potong Nayla.

"... lo kenapa?"

"Bentar-bentar, gue pergi dulu!" pamit Nayla seraya memutuskan telepon, berbalik dan berlari ke tempat sebelumnya. Sial! Gara-gara si Abang Gendut jadi kacau! batin Nayla lagi.

"Mbak, flashdisk-nya ketinggalan!" ujar Nayla sesampainya di tempat fotocopy.

"Flashdisk?" tanya si Wanita dengan tatapan bingung.

"Nah! Itu itu yang lagi dipegang sama Mbak flashdisk saya."

"Oh ini ... mangga Téh," ujar si Wanita seraya menyerahkan flashdrive di tangannya. Nayla yang tengah terburu-buru segera mengambilnya dan kembali berlari keluar. "Dih ... eweuh ka sopan santun san! Bilang makasih kek," imbuh si Wanita pelan.

Dengan mulut berkomat-kamit 'tak karuan, wanita itu duduk di depan komputer. Digerakan kursor putih itu untuk menutup semua aplikasi yang memenuhi layar datar tersebut. Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki yang membuatnya menghela napas kasar.

Yang tadi lagi geura, ampun Gusti, batin si Wanita. Dengan malas, si Wanita berbalik dan terdiam seribu bahasa.

Kedua matanya menangkap sosok pria bertubuh jangkung, putih, dengan model rambut undercut tengah membukungkan tubuhnya. Napasnya tersenggal-senggal, sedang wajah tanpa jerawatnya dipenuhi dengan keringat yang mengalir deras. Jaket kulit berwarna cokelat yang tengah dikenakannya, menambah sisi maskulin di mata si Wanita.

"Maaf, lama ...," ujar si Jangkung pelan seraya tersenyum. "... eh, si Abang-abang yang gendut mana, Téh?"

"Oh, apa? A-anu ... lagi ... lagi pergi dulu keluar. Ke-kenapa gitu, Kang?" tanya si Wanita terbata-bata.

"Enggak, tadi, 'kan abis nge-print, terus di tinggal dulu buat makan di warteg. Cuma, tadi sempet ngejar maling dulu," jelas si Jangkung singkat, "udah selesai, 'kan?"

"Apa? Oh ... yang ... ini bukan?" tanya si Wanita seraya menunjukan kertas berisi kunci gitar beberapa lagu pop Indonesia dan mancanegara.

"Iya, yang itu!"

"Oh, bentar, ya ... ini mau di jilid atau langsung masukin ke plastik aja?" tanya si Wanita.

Si Jangkung tampak terdiam sejenak. "Gak usah, Téh, di-steples aja," imbuhnya.

Si Wanita hanya termenung kecewa dan melakukan keinginan si Jangkung. Sesekali, si Wanita memandang si Jangkung dengan sembunyi-sembunyi. "Ini, Kang!"

"Berapa semuanya?"

"Rp15.000,00 aja," jawab si Wanita singkat seraya tersenyum.

"Rp15.000,00? Murah, nya. Padahal ampe 23 halaman," ujar si Jangkung seraya menyerahkan uang sepuluh ribuan dan lima ribuan. "Mangga."

"Iya." Si Wanita tekekeh pelan. "Eh, Kang flashdisk-nya, Kang?"

"Oh iya, hampir lupa," jawab si Jangkung seraya menepuk jidatnya pelan. Dengan cepat si Wanita mencabut flashdrive yang masih menancap di komputer tadi dan memberikannya kepada si Jangkung. "Mangga, Téh!" pamit si Jangkung seraya meninggalkan tempat tersembut.

Dengan tenang, si Jangkung membuka setengah resleting jaketnya. Lalu, kertas chord gitar yang sudah dilipatnya disimpan ke dalam jaketnya. Tidak lama ponselnya bergetar hebat hingga ia membuatnya berhenti sejenak.

"Halo," ujar si Jangkung pelan. Sejenak, si Jangkung terdiam cukup lama. Matanya terpejam, sedang tangan kanannya mengusap wajahnya perlahan. Terdengar embusan napas kasar dari si Jangkung.

"On the way," jawabnya singkat.

***

Dipublikasikan pertama kali:
16 Juli 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top