Flaming Potato
Suatu yang membutakan, akan selamanya membuat lupa.
Ketika semua terlambat, barulah menyadari.
Setelahnya hanya menyisakan luka yang mendalam.
***
Malam ini, kami kedatangan kentang yang baru dibeli di pasar oleh nyonya rumah. Beliau hanya meletakkan satu kentang tadi di antara kami, sayur-sayur yang menunggu giliran untuk dimasak, sebelum akhirnya tidak memasuki ruangan ini selama beberapa hari ke depan. Pendatang baru ini, seperti lainnya, tidak banyak bicara apalagi memulai obrolan. Biasanya ada beberapa di antara kami mengajaknya bicara sejenak sekadar menjaga kesan ramah. Namun, dia tetap memilih diam kecuali diajak bicara.
"Wortel, kamu tidak bicara dengan Kentang hari ini?" tanya Terong kepadaku sambil berbisik agar yang dibicarakan tidak tersinggung.
Biasanya kami bergiliran mengajak Kentang bicara dan membiarkannya memilih siapa yang akan menjadi teman dekatnya. Namun, hingga saat ini dia sepertinya belum menemukan satu pun.
"Ah, belum," jawabku. "Aku hampir saja lupa."
Sebenarnya kami, para sayur, tidak nyaman membiarkan Kentang sendirian di dalam kegelapan ruangan ini. Terlebih dia adalah pendatang yang mana harus merasa nyaman, tapi kami pun juga belum mengerti akan tindakan Kentang yang masih saja menutup diri.
Aku dekati Kentang di tempat dia biasa berada, di bagian pojokkan rak sayur yang memang jarang digunakan lantaran kami takut kotor dan gelap. Kami pun kasihan dengan keadaannya sementara pendatang baru ini seakan merasa nyaman di sana.
Aku sapa Kentang seperti yang lain lakukan.
Kentang bergerak sedikit, tanda dia mendengar dan tahu akan keberadaanku. Namun, tidak terdengar sepatah kata pun darinya.
Suasana menjadi canggung. Aku coba mencari topik yang barangkali menarik perhatiannya.
"Kentang, kamu datang dari negeri mana? Siapa tahu kamu ada kisah untuk kami," ujarku dengan nada sedikit canggung, mencoba terkesan tertarik padanya tanpa terlihat aneh.
Para sayur memang berasal dari berbagai tempat di dunia, sebagian lalu didagangkan di pasar kemudian bersatu di sebuah dapur yang membeli mereka. Meski memang tidak banyak pengalaman lantaran umur sayur memang tidak begitu panjang, setidaknya sebagian telah melalui berbagai tempat yang tidak bisa dijangkau sayuran lain.
"Aku berasal dari sebuah peternakan yang tidak jauh dari sini," jawabnya, dia pun terdengar lebih canggung dan gemetar entah karena masih malu atau mungkin karena aku terkesan seperti menginterogasi. "Seperti yang lain, aku dijual tepat setelah panen."
Dia memang merespons pertanyaan dari sayur lain dengan baik, namun tetap saja jika sesi pertanyaan ini sudah berakhir, maka dia akan menutup mulut hingga sayur lain akan bicara padanya. Namun, kali ini aku pastikan sayur lain dapat mendengar obrolan kami agar mereka juga turut bicara padanya alih-alih mengutus sayur lain satu demi satu.
Sesuai harapan, dapat kulihat sayur-sayur lain tampak bergeser mendekat untuk mendengarkan. Memang sudah beberapa kali pertanyaan diberikan kepada Kentang, tapi hanya sebatas antara kedua sayur itu baru kemudian disebarkan melalui sayur lain layaknya kabar beredar. Kesannya memperlakukan Kentang seperti orang asing yang dihindari bagiku. Sehingga langkah ini cukup bagus untuk Kentang memulai hidup baru bersama sayur lain.
"Kamu dari tanah milik siapa lebih tepatnya?" tanya Kubis.
"Yang tulisannya ada nama 'Will's' itu," jawab Kentang.
"Itu lumayan jauh, lho," komentar Kubis. "Lantas, bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"
"Aku diantar bersama kentang lain untuk dijual di pasar terdekat sini, tempat biasa dijual berbagai makanan seperti daging mentah dan buah," terang Kentang. "Kebetulan nyonya rumah kalian sepertinya hanya membutuhkan satu kentang saja."
"Apa yang akan Nyonya Rumah lakukan setelahnya?" ujar Terong seakan bertanya untuk dirinya sendiri.
"Untuk dimasak, seperti kita semua," sahut Labu yang berada di bawah sana. Untuk tubuhnya yang besar, dia memang tidak bisa disimpan dalam rak bersama kami, tapi suaranya dapat terdengar dari jauh. "Aku sudah lama diam di sini tapi belum juga dimasak. Lama-lama bakal membusuk aku, ini sungguh memalukan."
"Mungkin Nyonya Rumah ingin mengumpulkan beberapa bahan dulu," tebakku. "Siapa tahu beliau kekurangan bahan hari ini dan berencana membelinya besok."
"Jadinya apa, ya?" tanya Terong, terdengar penasaran. "Kalau labu dicampur dengan kita semua, sepertinya jadi hidangan yang mewah."
"Kalau dicampur bakal kacau semua," sahut Kubis. "Mungkin dimasak terpisah jadi hidangan terpisah juga."
"Itu masuk akal," sahut Labu. "Nah, anggap saja Kentang ini bahan terakhir dan tinggal Nyonya Rumah beli bumbu dapur hari ini atau besok."
"Aku penasaran bagaimana rasanya dimasak," kata Terong seakan bicara pada dirinya sendiri.
Kami semua memang penasaran bagaimana menjadi santapan karena memang sudah menjadi takdir kami. Jika sudah dimasak dan siap saji, tugas kami telah berakhir. Untuk bahan makanan lain yang mungkin belum sempat dimasak dan telanjur busuk, menurut kami itu suatu akhir yang tragis. Tiada satu pun dari kami yang menginginkan akhir seperti itu. Semoga saja Nyonya Rumah memasak kami besok.
***
Dini hari biasanya kami hanya akan saling menyapa dan mengobrol sejenak sebelum kemudian tidur untuk melewati hari. Kami akan bangun jika telah tiba saatnya dimasak, itu pun kalau memang benar akan terjadi hari ini.
Meski kemarin sudah lumayan bagus untuk awal komunikasi bersama Kentang, dia tetap diam memojok di kegelapan sana sementara sayur lain saling bicara. Aku yang merasa kasihan mulai mendekat.
"Kentang, kamu mau bermain bersama kami?" tawarku.
"Bermain apa?" sahut Kentang.
"Apa saja, biasanya kami akan saling menebak nama benda atau kegiatan penghuni rumah," jawabku.
"Kalian duluan saja, aku ... tidak merasa ingin ikut." Jawaban Kentang membuatku sedikit kecewa.
"Ayo, Kentang, kami mau kamu ikut juga!" seru Kubis.
Akhirnya, Kentang bersedia ikut meski terlihat terpaksa.
Kami duduk di bagian tengah rak yang sering menjadi pusat pertemuan antar sayur, sementara Labu turut menyimak dari bawah sana, dia tetap bisa mendengar dengan jelas karena jaraknya tidak terlalu jauh. Aku membiarkan Kentang duduk di sisiku selagi menunggu sayur lain berkumpul dan siap untuk memulai percakapan harian.
Biasanya Kubis yang akan memulai obrolan karena dia paling sering bicara di sini. "Bagaimana kabar kalian? Apa masih berdebu?"
"Sepertinya." Terong membalas sambil mencoba menggoyangkan badannya yang agak berdebu. "Andai aku bisa bergerak sebebas tuan dan nyonya rumah, mungkin aku sudah bersih berkilau."
"Aku sependapat," sahut Kubis. "Namun, sayangnya mereka tidak tahu jika sayur pun mau dimandikan secara rutin."
"Mereka hanya memandikan kita kalau mau memasak," sahut Terong. "Bahkan dalam beberapa kasus asal gigit saja, tidak peduli seberapa kotornya itu."
Aku bergidik membayangkan tubuhku yang mulai kotor ini dimasukkan langsung ke dalam mulut manusia. Bisa jadi aku yang seharusnya memberi manfaat untuknya justru membawa penyakit sekaligus.
"Kalian berlebihan." Ucapan dari Kentang sontak membuat kami langsung memusatkan perhatian padanya. "Mereka saja tidak peduli dengan diri sendiri."
"Kau benar," sahut Kubis. "Ah, aneh sekali."
"Aku pikir, apa tidak hanya sebatas ini saja hidup?" Pertanyaan mendadak dari Kentang membuat kami semua terdiam.
Setelah beberapa saat hening, terdengar kali ucapan dari Kentang.
"Maksudku, apa kita hanya ada sebatas untuk dimakan saja? Tidak ada cara lain untuk hidup? Apa tidak boleh kita hidup bebas di luar sana daripada mati konyol di sini?"
Kini, Kentang yang mulai bicara dan mengungkapkan isi hati. Sepertinya ini yang selama ini dia pendam.
"Aku pikir, sebaiknya kita coba jalani hidup yang bermakna dulu, daripada nanti sekadar lahir kemudian mati dimakan," lanjut Kentang. Dia pun berpaling dan kembali melangkah ke dalam kegelapan. Meninggalkan kami yang kebingungan.
***
"Apa yang Kentang katakan barusan membuatku resah," ungkap Kubis padaku beberapa saat setelah kepergian Kentang. "Maksudku, tidak ada salahnya sayur ingin hidup bebas tanpa berakhir dalam perut makhluk hidup lain, tapi ..." Dia menggantung kalimatnya.
"Kamu rasa ada yang janggal?" tanyaku, memastikan.
"Sepertinya," jawab Kubis. "Kalau misal kita bisa hidup bebas di luar layaknya binatang dan manusia, apakah itu menjamin kita akan bahagia? Ujungnya kita tetap membusuk juga."
"Kamu benar." Aku setuju dengan pendapatnya. "Tapi, mungkin yang Kentang maksud itu agar hidup kita tidak sekadar dari tanah, diambil, kemudian dimasak saja."
"Lantas, jadi apa lagi?" tanya Kubis. "Umur sayur tidak pernah panjang dan kita dibatasi gerak, berbeda dengan mereka yang bisa bebas ke mana saja."
"Begitulah," sahutku, mencoba untuk tidak berdebat. "Mungkin Kentang sedang mencoba menghibur diri."
"Aku yakin dia mungkin ingin meluapkan sesuatu." Tiba-tiba saja Labu menyahut, rupanya dia diam mendengarkan sejak tadi. "Dia tidak ingin hanya sekadar hidup lalu kemudian dimasak."
"Menurut Labu bagaimana?" tanyaku.
"Menurutku tentang apa?" sahut Labu.
"Menurutmu tentang 'sekadar hidup' tadi." Aku perjelas pertanyaanku.
Labu hening sejenak sebelum akhirnya kembali bicara. "Memang tidak ada yang melarang sayur untuk hidup bebas, sayangnya aku belum pernah mendengar kisah tentang itu."
Labu terkesan tidak memihak siapa saja, dia seakan pasrah akan nasib menjadi santapan di masa yang akan datang tapi di sisi lain juga tampak ingin hidup bebas seperti yang diinginkan Kentang.
"Lantas, bagaimana?" Aku bertanya. "Bagusnya seperti apa?"
Kudengar Kubis berdecak, dia terdengar kesal atau bahkan pusing dengan pembahasan ini. "Ah, sudahlah. Apa pun yang terjadi, ujungnya kita tetap bakal membusuk."
Keheningan pun berlanjut cukup lama.
***
Malamnya, para sayur mulai berkumpul tak terkecuali Kentang yang sedari tadi memenuhi pikiranku. Pemikirannya memang betul telah membuatku meragukan segala yang aku yakini.
"Hai, Kentang, kamu bilang sayur lebih layak hidup bebas. Benar begitu?" tanya Terong untuk memulai percakapan.
Kentang berdiri di antara sayur lain dan aku berada di depannya, berusaha menatap ke dalam jiwanya untuk menguak isi pikiran sayur ini.
"Bukannya sudah sepantasnya semua makhluk memiliki kebebasan?" sahut Ketang. "Kita harusnya bebas, daripada merana di sini dan kemudian mati dalam pencernaan makhluk lain."
"Maksudnya seperti apa?" tanyaku.
"Dunia begitu luas untuk dijelajahi, kalian tidak penasaran akan kehidupan di luar sana? Kalian tidak iri melihat manusia dan binatang bergerak bebas sementara kita hanya akan berada di suatu tempat dengan segala keterbatasan?" Kentang terdengar tenang menjelaskan itu semua. "Aku tidak ingin hidup monoton yang hanya berakhir dengan menyedihkan seperti sayur dan buah terdahulu."
"Percuma saja," sahut Kubis. "Ujungnya kita tetap akan membusuk."
"Setidaknya kita akan membusuk dengan kenangan menyertai," balas Kentang. "Kalian tidak ingin hidup yang lebih berwarna? Aku yakin kalian pasti akan berubah pikiran segera setelah melihat cahaya kebebasan."
"Apa itu cahaya kebebasan?" tanyaku.
"Yaitu tujuan hidup kita sesungguhnya." Jawaban Kentang lagi-lagi membuat kami kebingungan.
"Apa maksudmu?" tanyaku, tidak mengerti apalagi menghayati.
Kentang tetap tenang dalam menjawab. "Beberapa waktu itu, aku telah melihatnya, cahaya yang bersinar begitu terang hingga mampu mengubah malam kembali menjadi siang. Cahaya yang seakan memberiku sebuah pesan akan kehidupan berikutnya. Itu tujuanku, cahaya itu. Aku akan menunjukkannya kepada kalian besok."
"Kamu berkali-kali mengucapkan kata 'cahaya' yang mana membuatku resah," komentar Kubis.
"Kamu hanya belum mengerti karena terbelenggu dengan pikiran kolot," sahut Kentang dengan enteng. "Tidak apa, biarkan kebenaran perlahan memberitahu. Kamu akan mengerti."
Itulah saat terakhir kami melihat Kentang sebelum cahaya kehidupan yang sesungguhnya mulai bersinar.
***
"Wortel, bangun!"
Dalam posisi setengah sadar, aku berusaha mencerna ucapan yang dilontarkan Terong kepadaku. Dia terdengar gemetar, sepertinya dilanda panik.
Aku mengumpulkan kesadaran lalu menatapnya. "Apa?"
Tiada balasan darinya selain isak tangis. Ucapannya pun terbata-bata seakan telah menyaksikan hal yang mestinya tidak dilihat.
Aku ulangi pertanyaanku. Begitu pandangan di sekelilingku mulai tampak jernih, aku menyadari semua telah terlambat.
Api. Di sekeliling kami hanya ada api.
Benda-benda berjatuhan, tidak terkecuali sayur yang berjuang mempertahankan hidup. Jeritan mereka, semua keributan ini, telah menyatu dalam pikiranku.
Rumah ini terbakar. Entah apa penyebabnya yang pasti kami semua tidak bisa melarikan diri mengingat ruang penyimpanan ini selalu terkunci.
"Tolong!" Terdengar jeritan Kubis dari rak di atasku. Dia tampak berusaha menyeimbangkan diri hingga badannya menggelinding dan menyatu bersama api.
Terdengar lagi isak tangis Terong. "Wortel ..."
Aku bergerak mendekat dan mencoba menenangkannya. "Ki ... Kita akan mencoba kabur."
"Bagaimana? Aku belum siap mati seperti ini!" Tangis Terong pun semakin keras.
Aku berusaha kembali memenangkan. "Kita akan bersembunyi. Anu, di area yang tidak akan tersentuh api."
"Di mana?" Balasan dari Terong membuatku terdiam. "Semua yang ada di ruangan ini mudah terbakar. Kita akan mati dengan menyedihkan."
Aku kembali berpikir. "Kita harus lari. Mau pasrah atau mati berjuang, itu terserah kamu! Aku akan maju, bagaimanapun juga!"
Kulihat Terong pun bergerak mengikuti langkahku. Kami melompat dari rak yang jaraknya cukup dekat ke tanah. Karena badan kami cukup keras, kami tidak pecah dan tidak pula terkena api. Kami kembali berusaha melangkah menghindar.
Dari kejauhan, kulihat sosok besar telah dilahap api. Rupanya dia yang pertama kali terkena api karena posisinya yang selalu berada di bawah.
"Labu!" jeritku.
Dapat kudengar suara lirihnya. "Lari."
"Siapa pelakunya?!" semprot Terong di sela tangisnya. "Api ini tidak mungkin muncul begitu saja!"
Labu kembali menjawab. "Kentang. Aku melihatnya membawa api."
Melihat sayur yang meregang nyawa membuat hatiku remuk. Aku bisikan ucapan terima kasih sebelum akhirnya dia tidak bicara lagi.
"Wortel!" Kudengar jeritan Terong.
Begitu aku menoleh, kulihat separuh badannya telah dilahap api. Di belakangnya, terlihat bayangan sosok yang aku yakini sebagai biang keladi. Badannya pun separuhnya telah dilahap api bersama Terong yang telah menjadi hitam.
Aku hendak bicara, tetapi Kentang memotongnya.
"Kamu tahu, ini cahaya kebebasannya," ucapnya lirih. "Bersama, kita akan mati tanpa harus berserah diri."
"Kau gila!" seruku. "Itu sama saja dengan mengakhiri hidup sayur lain!"
"Aku melakukannya demi kebaikan kita semua." Dia terbatuk akibat asap yang memenuhi ruangan. "Aku tidak ingin kita berserah diri lalu ... mati."
"Nyatanya, kita akan mati terbakar," sahutku. "Kamu sadar yang kamu lakukan itu ada akibatnya?"
"Kalau aku tidak tahu akibatnya, aku tidak akan melakukannya," sahut Kentang. Api perlahan melahap dirinya. Sebelum menyatu bersama api, dia berucap untuk terakhir kalinya. "Karena aku tidak ingin mati seperti itu."
Tidak kukira, semua akan berakhir di sini. Dia yang mendambakan kebebasan telah gugur bersama keinginan terpendamnya. Sementara lainnya terpaksa menerima akibat dari keputusannya. Kini, tiada lagi sayur yang tersisa. Hanya api yang terkurung dalam ruangan yang akan roboh ini. Kentang ingin bebas, tapi apa kebebasan yang dia maksud itu? Apa harus mengorbankan nyawa? Dia telah tiada, menyisakan tanda tanya besar. Aku tidak akan mengerti maksud dari kehendaknya.
Jika dia mengharapkan kebebasan, dia mungkin berpikir sebaiknya mengakhiri segalanya daripada harus berserah diri. Namun, sepertinya dia tidak ingin pergi sendirian dan terpaksa mengambil keputusan ini.
Aku mengutuknya. Aku tidak mau mati seperti ini. Di lain sisi, untuk teman-temanku yang telah gugur, aku minta maaf karena hanya bisa menyaksikan dalam diam. Tidak mampu berbuat banyak selain merenung. Sementara dalang di balik tragedi ini telah menikmati hasilnya. Barangkali tersenyum bahagia di atas penderitaan kami hingga maut menjemput.
Kini, hanya tersisa aku. Berdiri sendirian dikelilingi api yang melahap habis teman-temanku. Membiarkan cahaya kebebasan yang dia maksud melahap diriku.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top