All I Want For Christmas Is You // Blake Richardson

Setibanya aku di kamar, aku segera melemparkan tubuhku ke atas kasur. Perjalanan yang begitu lama berhasil menguras tenagaku begitu saja. Yang sekarang aku inginkan hanyalah tidur.

Percayalah, menjadi penyanyi dengan musik yang didengarkan banyak orang adalah hal terbaik seumur hidup, namun semua itu dapat menjadi begitu melelahkan ketika harus pergi ke tur, berpindah dari satu kota ke kota lainnya, satu negara ke negara lainnya, dan satu benua ke benua lainnya.

Hotel dan bus tur menjadi rumah baru yang sama sekali tak terasa seperti rumah. Makanan rumahan berganti begitu saja dengan makanan di hotel dan terkadang makanan lokal yang begitu asing di lidah.

Semua itu tak menyenangkan, dan begitu melelahkan sehingga ketika aku kembali berada di tempat familiar dan ketika tubuhku bertemu dengan kasur yang sudah kudambakan, aku segera menutup mata dan tertidur.

Rasanya begitu tenang.

Tapi momen itu tak bertahan begitu lama. Mataku seketika terbuka ketika ponselku bergetar hebat di dalam celana jins yang masih merekat pada kakiku. Aku segera merogoh saku celanaku dan mengambil benda pintar itu.

Mataku membulat dan seketika kerutan dikeningku menghilang, diganti menjadi sebuah senyuman.

Hanya dengan melihat namamu beserta gambarmu yang kuambil diam-diam ... hariku menjadi dua kali jauh lebih menyenangkan.

Aku segera menjawab panggilanmu tanpa berpikir panjang.

"Hai," aku menyapa, senyumku semakin lebar.

"Hai," suaramu terdengar di sebrang sana.

Sudah terhitung empat bulan aku tak bertemu denganmu.

Empat bulan yang begitu lama dan menyiksa.

Pekerjaan kita yang sungguh jauh berbeda dan jarak yang secara tak tahu dirinya berada di antara kita membuat bertemu denganmu menjadi sesuatu yang hampir tidak mungkin.

Selama empat bulan aku dipaksa untuk merasa puas hanya dengan mendengar suaramu. Selama empat bulan aku dipaksa untuk melihat wajahmu di layar laptopku seolah-olah kau bukanlah hal yang nyata.

"Apa kau sudah sampai?" kau bertanya.

"Yeah, aku baru saja tiba di rumah. Bagaimana denganmu?"

"Aku baru saja tiba. Mom sedang menyetir mobil ke rumah dari stasiun."

Aku tersenyum. Akhirnya kita berada di kota yang sama.

"Besok aku akan bertemu denganmu?"

"Yeah. Malam natal. Aku akan ke rumahmu."

"Bagus. Aku tak sabar untuk bertemu denganmu."

"Yeah," katamu, aku bisa membayangkanmu tersenyum seraya menaruh kepalamu pada jendela mobil, matamu memandangi jalanan yang penuh dengan salju. "Tapi untuk sekarang kita harus beristirahat terlebih dahulu."

"Yeah. Selama malam," bisikku, entah kenapa aku merasa aku harus berbisik.

"Selamat malam," jawabmu, kau juga ikut berbisik.

Detik kemudian kau mematikan sambungan telepon. Meski aku tak ingin berhenti mendengar suaramu, aku tahu bahwa saat ini yang paling terpenting adalah kau dan aku beristirahat.

Aku mematikan ponselku dan menaruhnya di atas nakas, kulepas jins serta kausku sebelum kembali berbaring di atas kasur.

Kantuk menyerang. Mataku tertutup dan secara perlahan namun pasti, ketidaksadaran menarikku, membawaku ke dunia mimpi di mana aku bisa memilikimu setiap waktu.

---

Aku tak sempat memperhatikan dekorasi rumah saat aku sampai kemarin, tapi sekarang aku menyadari bahwa pohon natal sudah dipasang dengan berbagai macam bentuk kado duduk di bawahnya. Rumah juga dipenuhi dengan dekorasi-dekorasi natal lainnya. Mom sedang memasak berbagai macam makanan dan kue bersama Abby, aku membantu selama beberapa kali namun sering kali aku akan dipaksa keluar dari dapur karena bagi keduanya aku sama sekali tak membantu.

Aku begitu suka suasana ini. Suasana kehangatan bersama keluarga, bersama orang-orang familiar di tempat yang juga familiar.

Malam kemudian tiba. Mom sudah menyiapkan masakan spesial untuk makan malam. Segalanya sudah tertata rapi, dan kemudian bel rumah berbunyi, aku berlari membuka pintu.

Kau berdiri di balik pintu dengan senyum lebarmu. Tanpa berpikir dua kali, aku segera menarik tubuhmu pada pelukanmu.

Aku menghela napas lega ketika aku kembali memilikimu di dalam pelukanku, ketika aku bisa kembali menghirup aroma tubuh dan rambutmu.

Kau di sini.

Bersamaku.

Entah berapa lama kita berpelukan, tetapi hawa dingin mulai terasa tak menyenangkan. Aku segera melepas pelukan kita dan menarikmu masuk ke dalam dan menutup pintu. Saat itu aku tersadar dua orang tuamu sudah masuk ke dalam rumah di tengah-tengah pelukan kita.

Aku mencium bibirmu. Bibir yang sudah tak lama kusentuh. Tanganmu melingkar pada leherku dan tanganku melingkari pinggangmu.

Menciummu adalah sebuah candu. Rasanya begitu berat untuk melepaskan, tapi kita akhirnya mengakhiri ciuman kita ketika kebutuhan akan oksigen menjadi tak dapat ditawar.

"Aku merindukanmu," kataku.

"Aku juga."

"Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu."

"Selamat natal."

"Selamat natal."

Kita kemudian berjalan menuju ke arah meja makan di mana semua orang sudah menunggu kita berdua. Aku melirik ke arah gundukan kado di bawah pohon.

Aku tak membutuhkan kado.

Aku membutuhkanmu.

---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top