Tersapu Badai [2]

Saat nama Zora melintas, benak Ina langsung kusut masai lagi. Ina memang sudah membuat banyak kekacauan hari ini. Lagi. Dan andai Navid mengetahui dengan detail semua yang terjadi, "murka" cuma ungkapan yang remeh dan terlalu simpel. Kawin paksa pun menjadi sangat sederhana. Dikuliti, diasingkan ke pulau yang cuma dihuni anakonda, atau ditinggalkan tanpa air dan alas kaki di Gurun Sahara terdengar lebih masuk akal.

"Temanmu bilang apa? Maksudku soal ... bosmu." Ina tidak tahan terus berdiam diri. "Sejak tadi dia cuma memelototi atau membentakku. Dia tidak mau menjawab saat kutanya kondisi pacarnya. Aku memang salah dan ceroboh. Tapi, temanmu itu galaknya setengah mati." Ina bergidik.

Juno segera meralat, "Bos, bukan pacar. Alistair namanya. Semoga saja nggak ada masalah serius walau katanya beliau susah keluar dari mobil karena pintunya penyok. Yang jelas sih, Vicky bilang ada luka di kepala Pak Alistair. Terbentur dasbor atau semacam itu."

Ina langsung berada di mode penyangkalan. "Aku mengaku, tadi memang nggak hati-hati. Tapi aku nggak menabraknya terlalu keras sampai ... sampai dia terbentur di dasbor dan terluka separah itu. Memangnya nggak ada sabuk pengaman di mobil sebagus itu? Aku cu...."

"Oh, jadi kamu yang menabrak Alistair?"

Ina mendongak dan berhadapan dengan pria paruh baya nan jangkung serta bertubuh langsing dengan penampilan perlente. Wajahnya datar, menyulitkan Ina untuk menilai kira-kira seperti apa perasaan lelaki itu. Hanya saja, Ina menangkap kerutan di kening pria ini.

Sementara satu langkah di belakang lelaki itu, seorang perempuan yang juga sudah tidak muda lagi, berdiri sembari memerhatikan Ina dengan penuh perhatian. Meski usianya sudah matang, perempuan bule itu masih menawan. Ekspresi kaget terlihat di wajahnya. Entah mengapa.

"Pak Binsar, Bu," Juno buru-buru berdiri dan mengangguk takzim. Ina mengekori apa yang dilakukan pria yang baru dikenalnya itu meski tak mampu bersuara. Dia hanya merasa aneh karena perempuan bule itu disapa "Bu".

"Dia yang menabrak Alistair?" ulang Binsar lagi. Kali ini, pertanyaan itu ditujukan pada Juno. Yang ditanya pun mengangguk dengan kikuk.

Kata Juno, "Ina, perkenalkan, ini orang tua Pak Alistair, bosku itu. Ini Bapak dan Ibu Binsar Damanik."

Ina nyaris pingsan mendengar kalimat itu. Gadis itu berdiri kikuk dengan berat badan yang dipindahkan dari satu kaki ke kaki lainnya. Ina ingin memberi kesan baik, minimal bersalaman dengan kedua orang tua lelaki yang ditabraknya itu. Namun dia tidak yakin mereka akan menerima uluran tangannya dengan senang hati.

"Saya Ina," ucap gadis itu akhirnya, dengan suara lirih yang mungkin tidak mampu didengar manusia normal berusia di atas lima puluh tahun. Kepalanya tertunduk.

"Apa anak muda sekarang nggak merasa perlu untuk bersalaman saat memperkenalkan diri?" suara Binsar membuat Ina tersentak. Buru-buru gadis itu mengulurkan jemarinya dengan agak membungkuk.

"Kamu tunggu di sini, kami mau melihat kondisi Alistair dulu." Kini, perempuan bule itu yang bicara. Ina kembali kaget karena kefasihannya berbicara dalam bahasa Indonesia.

"Baik ... Bu." Ina sempat ragu mengucapkan sapaan itu. Namun dia akhirnya merasa lega karena tidak ada yang mengajukan protes. Pasangan Damanik itu pun berlalu sambil saling berbisik serius.

"Mereka itu ayah dan ibu dari bosmu?" Ina masih merasa sulit percaya. Dia memperhatikan saat Vicky tersenyum luar biasa manis di kejauhan. Mungkin bisa digolongkan sebagai senyum duchenne, yaitu senyum yang mengekspos gusi dan gigi. Ina pun merasa mulas. "Dan temanmu itu, bisa juga ternyata tersenyum selebar itu. Padahal di depanku dia cuma bisa membentak-bentak dan memelotot dengan galak," gerutunya.

Kalaupun Juno merasa geli, lelaki itu tidak menunjukkan perasaannya. Dia malah kembali duduk. Diam-diam Ina bersyukur karena ada lelaki itu. Meski dia tidak mengenal Juno, ketenangannya menulari Ina dengan cukup baik.

"Vicky orang yang ramah, kok," belanya. "Dia hanya panik karena melihat kondisi Pak Alistair. Mereka sudah bersahabat bertahun-tahun. Siapa yang nggak kalang kabut melihat sahabatnya terluka?"

"Kamu yakin kalau bosmu bukan pacarnya Vicky?" Ina tak percaya.

"Yakin, Na. Soal Pak Binsar dan Bu Claire, mereka memang orang tua bosku. Nggak ada cerita anak adopsi di sini," gurau Juno sembari menoleh untuk menatap Ina. "Kamu nggak mau menghubungi seseorang? Keluargamu, misalnya?"

Ina buru-buru menggeleng. "Nggak usah," jawabnya singkat. Matanya masih tertambat pada pasangan Damanik dan perempuan galak itu. Gadis itu mengerjapkan matanya yang agak sipit itu dengan rasa kesal yang kian merabung. "Sebenarnya, apa yang terjadi dengan bos kalian? Siapa tadi namanya? Ali...." Ina berusaha mengingat-ingat hingga membuat kedua alisnya nyaris bertaut.

"Alistair," tukas Juno. "Ada luka di kepala. Mungkin butuh jahitan. Berdoalah semoga kondisinya baik-baik saja. Karena kalau sebaliknya maka ha...." Juno berhenti. Namun Ina sangat tahu apa kelanjutan kalimatnya. Dadanya berdebar menggila lagi. Rasa takut mencengkeram dan mencuri napasnya.

"Kalau sebaliknya, maka aku akan dilaporkan ke pihak berwajib. Bahkan, andai nggak ada masalah serius pun, belum tentu persoalan tabrakan ini bisa selesai dengan damai," komentar Ina dengan suara pelan. Dia menghela napas.

"Jangan berpikir terlalu jauh," saran Juno.

Wajah Navid melintas di kepala Ina, berwarna merah karena kemarahan yang menggentarkan. Belum lagi Zora yang pasti akan merasa turut menjadi korban dalam gelombang masalah hasil ciptaan Ina. Kepala Ina terasa lengar dalam hitungan detik. Risiko yang dihadapinya terlalu berat. Rasa putus asa mulai merambat dan menyiksa gadis itu.

Juno tampaknya pria baik yang bersimpati padanya. Lelaki itu berusaha keras untuk mengajak Ina mengobrol. Mungkin agar Ina lebih rileks dan tenang. Namun ini adalah situasi yang mustahil dilewatkan Ina dengan hati ringan. Dia mati-matian menahan diri agar tidak menelepon Zora. Kepanikan saudara kembarnya sungguh tidak dibutuhkan saat ini.

Ketika Binsar dan istrinya kembali berdiri di depan Ina, lelaki itu bersuara datar. "Kita harus bicara. Tapi sebaiknya tidak di sini. Kamu pasti belum makan, kami juga. Lewat sini, Ina," ujarnya. Lelaki itu tidak memberikan kesempatan pada Ina untuk membantah. Ina agak terhibur karena lelaki itu masih mengingat nama orang yang membuat anaknya celaka.

Ina berdiri dengan gerakan terburu-buru, nyaris terjerembab ke lantai kalau saja tangannya tidak segera mencengkeram kursi. Gadis itu meringis saat rasa nyeri tambahan berasal dari kakinya. Pump shoes dengan hak setinggi delapan sentimeter itu mendadak menyulitkan Ina, hasil dari kegugupan yang mencabik-cabik dadanya.

"Kamu baik-baik saja?" Claire mendekat. Matanya menatap Ina dengan penuh perhatian.

"Saya baik-baik saja, Bu," balas Ina cepat. Lidahnya terasa kelu memanggil "Bu" pada perempuan jangkung berdarah kaukasia itu.

"Kamu sudah diperiksa dokter? Ada yang sakit?" tanyanya lagi. Mata Claire menjelajahi tubuh Ina, membuat gadis itu jengah luar biasa.

"Tidak ada yang sakit, saya baik-baik saja," ulang Ina, kaku. Dia lega saat akhirnya melihat Claire menggangguk.

"Kita makan dulu, ya? Jangan takut, kami tidak marah padamu, Ina," ucap perempuan itu sambil menghadiahi Ina senyum tipis.

Akan tetapi, kenapa Ina sama sekali tidak mampu merasa lega? Bahunya terasa kaku. Firasatnya membisikkan bahwa dia harus menghadapi serentetan interogasi. Ina menguatkan diri, berusaha bersiap menghadapi semua kemungkinan. Yang paling masuk akal adalah tuntutan hukum. Atau minimal menyeret ayahnya untuk berhadapan dengan Binsar Damanik.

Memikirkan kemungkinan itu saja sudah membuat Ina kehabisan napas. Tidak ingin terlihat menyedihkan, gadis itu berusaha melangkah dengan gagah, mengekori pasangan paruh baya itu. Mereka bertiga berjalan kaki tanpa bicara, menuju restoran yang letaknya berseberangan dengan rumah sakit.

Saat ini, membayangkan dia harus makan, apalagi di depan pasangan ini, sudah membuat Ina mual. Namun tentu saja dia tidak punya nyali untuk mengajukan protes.

Lagu : Kidung (Chrisye, Rafika Duri, Trio Libels)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top