Rumah Kaca [2]
"Kamu bisa mandi, Ina. Aku sudah menyiapkan airnya. Pakaianmu sudah dirapikan. Semuanya ada di ruang khusus, masuknya lewat kamar mandi," terang Alistair. Lelaki itu menyeberangi kamar dan melewati Ina, menuju pintu keluar. "Kamu pengin minum sesuatu? Teh, kopi, atau cokelat?"
Bibir Ina menjawab begitu saja. "Cokelat."
Menyaksikan pintu tertutup di depannya, Ina baru menyadari kalau jantungnya berdentam-dentam. Dia luar biasa lega. Perempuan itu menghela napas sebelum mencubit lengan kirinya sendiri. Ina meringis karena perbuatannya sendiri.
"Wahai Ina, kenapa selalu memikirkan hal-hal buruk, sih? Kalau sampai Alistair tahu apa yang ada di kepalaku, mungkin dia akan menyihirku menjadi kaca," gumamnya dalam hati. "Kenapa aku bisa memikirkan tentang mandi berdua? Apa yang salah dengan otakku?"
Seperti ruangan di bawah, dua dinding kamar ini pun dipasangi kaca hingga ke langit-langit, hanya saja posisinya berhadapan. Ada sebuah day bed sofa merah tua yang menempel di salah satu dinding kaca bergorden warna putih. Memberi paduan warna yang kontras. Meja kayu memanjang berada di dekat sofa.
Kamar tersebut begitu luas dengan beragam perabot. Andai diubah menjadi dua buah kamar tidur pun masih lebih dari sekadar cukup. Ada meja dan kursi yang diduga Ina digunakan sebagai tempat Alistair bekerja jika sedang berada di rumah. Lalu rak buku yang menjulang hingga ke nyaris menyentuh langit-langit. Sebuah televisi menempel di dinding, berhadapan dengan ranjang.
Ranjang ukuran super king dengan seprai berwarna ungu, dipenuhi gambar bunga mawar. Ina tidak tahu siapa yang memilih seprai itu. Dia agak bergidik saat berimajinasi akan menghabiskan malam-malamnya di ranjang itu bersama Alistair.
"Astaga, Ina. Kenapa baru sekarang memikirkan hal-hal semacam ini? Memangnya kamu kira setelah menikah kalian bakalan tidur terpisah?" omelnya pada diri sendiri.
Mereka memang tidak membuat aturan soal ranjang, baik secara tersirat maupun tersurat. Tidak ada perjanjian khusus bahwa Alistair dan Ina tidak akan menjadi suami-istri seutuhnya, seperti yang banyak terjadi di film atau novel seputar pernikahan karena perjodohan. Dan itu membuat Ina gugup. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika suatu saat Alistair menuntut Ina untuk menggenapi tanggung jawabnya. Bagaimana kalau bukan "suatu saat", melainkan malam ini?
"Mudah-mudahan bukan malam ini, bukan pula besok. Bukan selamanya," harap Ina.
Kegugupan membuat Ina nyaris muntah. Apalagi dia baru ingat kalau sejak siang dia hampir tidak mengonsumsi apa pun. Buru-buru perempuan itu memasuki kamar mandi yang pintunya setengah terbuka. Dan dia segera berhadapan dengan pemandangan yang tak terduga dan membuat mulutnya ternganga.
Ina tidak asing dengan segala bentuk kemewahan karena berasal dari keluarga berada. Akan tetapi, tetap saja konsep yang ditawarkan oleh rumah Alistair ini cukup membuatnya terpana. Takjub. Kagum. Heran juga. Semua bercampur menjadi satu. Entah dari mana lelaki itu mendapat ide dekorasi yang tidak biasa.
Area kering langsung menyambut Ina. Ada wastafel dan kloset cantik oval berwarna putih. Kabinet wastafel didesain terbuka dengan tumpukan handuk yang tertata rapi. Ada laci-laci yang diduga Ina berisi aneka peralatan mandi. Setelahnya, susunan batu koral memanjang memisahkan bagian itu dengan area basah. Ketukan halus di pintu mengagetkan Ina. Dia bersyukur karena masih berpakaian lengkap.
"Ada apa?" tanyanya setelah membuka pintu. Jika Ina mengira Alistair akan bicara di depan pintu, dugaannya keliru. Lelaki itu malah masuk ke dalam kamar mandi.
"Maaf, tadi aku tidak bertanya lebih dulu padamu. Aku sudah menyiapkan air di bathtub. Tapi andai kamu lebih suka mandi di bawah pancuran, tinggal menyalakan ini," Alistair maju dan menekan sebuah tombol. Dalam sekejap air meruah dari atap. Bibir Ina lagi-lagi terbuka. Jika ini terlalu sering terjadi, mungkin mulutnya akan mengalami kram.
"Aku sengaja tidak menggunakan pancuran biasa. Tapi memilih rain shower," tunjuk Alistair ke atas. Air meluncur dari lubang-lubang kecil yang ada di langit-langit kamar mandi. Alistair mematikan shower.
"Oke, aku mandi di bathtub saja. Sekarang ... nggg ... kamu bisa keluar...." pinta Ina gugup.
"Itu pintu yang menuju ke ruangan pakaian," tunjuk Alistair ke satu arah sebelum keluar dari kamar mandi. "Seharusnya kita melakukan tur kecil-kecilan di sini sebelum menikah. Supaya kamu nggak terlalu kaget setelah melihat rumah ini."
Lalu lelaki itu meninggalkan Ina sendiri yang masih belum pulih dari rasa kaget untuk semua yang dilihatnya. Bathtub putih berbentuk bundar itu sengaja "ditanam" di lantai. Untuk memisahkan bak mandi dan area pancuran Alistair memasang pintu kaca frameless.
Mengenyahkan keraguan, Ina segera menikmati air hangat di dalam bathtub usai mengunci pintu kamar mandi. Tubuhnya yang lelah dan pegal mendapatkan penghiburan dari air hangat. Ina bahkan mendesah nikmat tanpa sadar. Rasanya begitu nyaman. Di rumah, dia jarang memanfaatkan bak mandi untuk berendam dan bersantai.
Perempuan itu bersandar sembari memandang ke sekeliling. Lantai dan dinding kamar mandi ditutupi oleh batu granit berwarna hitam. Sangat kontras dengan bathtub, wastafel, dan kloset yang semuanya berwarna putih. Ina tidak pernah benar-benar tahu kalau sebuah kamar mandi bisa memberikan sensasi yang begitu berbeda. Berendam air hangat di kamar mandi yang begitu indah melemparkan perempuan itu ke dunia baru.
Ina hampir tertidur di dalam bathtub hingga dia mendengar ketukan lagi. Refleks, kedua tangannya disilangkan di depan dada dengan punggung tegak. Setelah menyadari bahwa dirinya sudah mengunci pintu, barulah Ina lebih rileks.
"Kamu mau apa?" tanya Ina dengan suara yang dikencangkan dengan sengaja. Sebab dia khawatir Alistair tak bisa mendengarnya.
"Aku cemas kamu ketiduran. Cokelatmu sudah dingin."
Ina menarik napas lega. "Aku akan keluar lima menit lagi." Perempuan itu menarik napas sesaat. "Dan jangan mengetuk lagi." Tidak terdengar respons apa pun untuk permintaan itu.
Setelahnya, Ina segera menjangkau handuk yang tadi digantungkannya di tempat khusus yang menempel di dinding. Ina kembali terpana saat memasuki ruang pakaian. Ada dua buah lemari yang memenuhi dinding, saling berhadapan. Penasaran, Ina mulai mendorong pintu geser. Ada satu lemari yang dipenuhi dengan pakaiannya dan Alistair. Sementara yang satu lagi berisi sepatu mereka berdua. Juga tas-tas milik Ina. Barang-barang Alistair sendiri tidak terlalu banyak. Kalah telah dengan milik Ina yang membutuhkan berkoper-koper saat dipindahkan ke rumah itu.
Alistair sedang menonton televisi saat Ina kembali ke kamar. Lelaki itu memasuki kamar mandi tanpa bicara dan kembali setelah berganti pakaian. Kaus dan celana longgar menggantikan kemeja dan jeans-nya. Ina masih berdiri kaku di sisi ranjang, tidak tahu harus melakukan apa. Seperti halnya Alistair, Ina juga mengenakan kaus dan celana panjang. Padahal biasanya Ina lebih nyaman dengan celana pendek dan tanktop saat tidur.
"Itu cokelat dan rotimu. Kamu belum makan sejak siang. Tapi maaf, rotinya hanya dipanggang tanpa olesan. Selainya habis."
Alistair kembali ke ranjang dan duduk dengan santai. Ina baru memerhatikan kalau lelaki itu tampaknya sedang bekerja. Ada laptop menyala di pangkuannya. Karena perutnya menolak untuk berkompromi, Ina akhirnya menuju meja kerja suaminya. Duduk di kursi nyaman berbahan kulit, Ina mulai mengunyah roti panggang buatan lelaki yang kini menjadi pasangannya. Seperti yang Alistair bilang, cokelatnya memang sudah dingin. Tapi Ina tidak terlalu keberatan.
Hingga belasan menit kemudian, yang terbentang di antara mereka hanya kebisuan. Suara yang berasal dari televisi memenuhi kamar. Ina dikusutkan oleh aneka pikiran. Sebelum hari ini, dia sama sekali tidak terdorong untuk mencari tahu tentang hal-hal pribadi yang terkait dengan Alistair. Mulai dari lokasi rumah, keseharian, hobi, riwayat pendidikan dan asmara, hingga detail pekerjaan yang ditekuninya. Alvian cuma menyediakan informasi umum yang diminta Ina saja. Di hari pertama pernikahannya Ina baru merasakan penyesalan. Karena pengetahuan nol besarnya.
"Aku tidur di ... sini?" tanya Ina sambil menunjuk sisi ranjang yang kosong. Dia baru saja menyikat gigi dan memilih untuk tidur. Tengah malam sudah berlalu entah sejak kapan. Rasa kantuknya entah meleleh di mana.
Lagu : Tentang Aku [Jingga]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top