Pasangan Pilihan (Darurat) [2]

Lelaki itu sengaja berpindah tempat duduk ke sebelah Ina.

"Kenapa? Apa di matamu aku ini terlihat manja? Aku anak sulung," beri tahu Ina, agak tersinggung. Gadis itu menahan sederet kata yang ingin ingin dilepaskannya ke dunia.

Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang menggelinjang liar di benaknya. Tentang penyakit Alistair, kesediaannya menikah, hingga kekasih lelaki itu. Ina tidak bisa percaya kalau manusia semenawan Alistair tidak memiliki pasangan sama sekali. Bahkan penyuka sesama jenis pun biasanya memiliki pasangan, kan? Yah, kendati hasil penyelidikan Alvian menyatakan bahwa Alistair memiliki selera yang normal untuk urusan pasangan.

Namun, Claire dan Binsar sudah berkali-kali menegaskan agar Ina tidak membahas hal-hal seperti itu dengan Alistair. Yang jelas, lelaki itu memang bersedia menikah dengan rela dan bukan karena paksaan. Cukup sampai di situ.

Ina memiliki banyak sekali ketidakpuasan. Kenapa dia tak boleh membahas semua hal penting itu dengan Alistair? Memangnya, apa salahnya? Justru semua itu membuat Ina menjadi curiga. Kadang, dia adalah gadis yang memiliki banyak pikiran buruk dan negatif. Akan tetapi, karena bisa diibaratkan kedua tangan dan kakinya terikat sehingga tak bebas melepaskan diri dan menjauh dari keluarga Damanik, Ina terpaksa bertahan. Meski begitu, ada rasa takut di hatinya jika dia sudah salah mengambil keputusan.

"Entahlah, hanya saja rasanya kamu lebih pas menjadi anak bungsu."

Ina tersenyum setengah kecut. Baginya, kata-kata Alistair merupakan bentuk penilaian kurang bagus untuknya. Namun, kenapa dia harus peduli? Lalu di detik yang nyaris bersamaan, Ina membantah pikirannya sendiri.

Dia memang harus peduli, meski cuma sedikit. Karena dia akan menikahi lelaki ini meski mungkin umur rumah tangga mereka tak akan lama. Alistair, entah bagaimana menyeruak masuk ke dalam hidup Ina tanpa aba-aba. Ditutup dengan permintaan orang tua Alistair yang cukup aneh. Yang karena kesalahannya sendiri, lebih dari sulit untuk ditolak Ina. Apa pun yang pantas disesali Ina, mustahil diperbaiki atau diubah.

"Kamu sendiri anak bungsu, kan? Seperti apa rasanya?"

"Tidak istimewa. Intinya, ya ... seperti anak bungsu."

Jawaban macam apa itu? Ina menahan diri agar tak menggerutu. "Apa kamu selalu dimanja? Semua keinginanmu selalu dituruti, Alistair?" Ina menoleh ke kanan dengan gerakan cepat. "Eh, apakah sebaiknya aku memanggilmu Alistair atau Al saja? Atau 'Pak'?"

Lelaki itu mengangkat bahunya dengan santai. "Terserah. Asal jangan 'Pak'."

Kata-kata yang irit itu sudah membunuh setengah dari gairah Ina untuk mengobrol. Lelaki satu ini tampaknya menganut paham "makin sedikit makin baik". Ina ingin meninggalkan Alistair sendirian karena merasa tidak ada gunanya mereka duduk berdekatan. Komunikasi sepertinya akan menjadi barang langka bagi mereka berdua kelak.

Namun, Ina tidak bisa melakukan itu karena sudah pasti akan memancing kecurigaan ayahnya. Dan Zora. Meski ayahnya dan pasangan Damanik juga terlihat asyik mengobrol, Ina tidak yakin ayahnya akan menurunkan kewaspadaannya. Navid pasti curiga, itu tak akan terbantahkan. Ina yang menolak mati-matian dijodohkan dengan Martin, mendadak membawa lelaki yang diakui sebagai kekasihnya. Lengkap bersama orang tua Alistair. Padahal selama ini Ina bahkan tidak pernah menyebut-nyebut nama Alistair.

Bagaimana bisa dia minta restu untuk menikah jika Navid melihat mereka menunjukkan ketidaknyamanan satu sama lain? Ina tahu dia mungkin akan menyesali keputusannya. Namun membayangkan kalau ayahnya akan terseret menjadi korban pemberitaan nasional karena ulahnya, lebih mengerikan lagi. Ina yakin, keluarga Damanik akan menggunakan poin itu untuk menekannya pada akhirnya nanti. Meski sampai saat ini belum ada tanda-tanda kalau kecemasan Ina akan terbukti. Lebih baik mencegah segalanya selagi bisa, kan?

Selain itu, gambaran bahwa dia akan terperangkap dalam pernikahan bersama Martin, membuat bulu tangan Ina meremang. Ini mungkin tanggung jawab terbesar yang harus dipikul Ina. Sebagai konsekuensi dari semua sikap kekanakannya. Dia berhadapan dengan dua pilihan yang bisa dibilang sama-sama buruk. Bagaimana bisa hidupnya berubah begini drastis? Seakan semua masa-masa bahagia itu sudah lewat entah berapa abad silam.

"Aku tak boleh menjadi gadis pengecut. Semua ini memang salahku, kok! Jadi, aku harus menerima semuanya dengan lapang dada," Ina mengingatkan dirinya sendiri.

Ya, Tuhan punya cara yang genius untuk menurunkan sentilan untuknya. Ina meminta Zora untuk makan malam dengan Martin, janji yang harusnya dipenuhi gadis itu sendiri. Meski di depan ayahnya dia sepakat menghabiskan beberapa jam dengan Martin, Ina malah mendesak Zora untuk menggantikannya. Rahasia yang masih aman hingga detik ini.

Awalnya, Zora yang pencemas itu menolak mentah-mentah. Namun Ina pun bisa menjadi orang yang sangat persuasif jika situasi mendesak. Dia benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu bersama Martin, apa pun alasannya. Siapa sangka kalau dia masih harus mengulangi momen seperti itu lagi di masa depan? Ketika itu, memanfaatkan kemiripannya dengan Zora adalah satu-satunya siasat yang terpikir oleh Ina. Zora memang akhirnya setuju, tapi Ina ternyata membuat kekacauan yang mengerikan.

Ina akhirnya membuka mulut setelah hening selama beberapa saat. "Ayahku mungkin nggak akan percaya kita akan menikah. Kamu dan..."

Alistair menukas santai. "Serahkan saja semuanya pada ayahku."

Bibir Ina terbuka, tapi kemudian dia mengurungkan niat untuk membicarakan soal Martin. Tidak akan ada gunanya. Kecuali mereka terganjal restu Navid. Ina berdoa semoga ayahnya lupa akan keluhannya tentang umur Martin yang lebih tua beberapa tahun dibanding dirinya. Rentang usia Ina dengan Alistair justru lebih jauh, nyaris sembilan tahun.

"Ina...."

Ina menoleh, berhadapan dengan Alistair. Dia masih belum terbiasa dengan hidung tinggi dan mata indah berwarna mengejutkan itu. Dalam hati Ina bertanya-tanya apakah Alistair menyadari kalau mereka akan terikat pada hubungan yang sakral? Bukan sekadar jalinan kasual yang bisa dihentikan kapanpun salah satu dari mereka menghendaki. Apakah pria itu juga mengetahui kenapa orang tuanya meminta Ina menikahi Alistair? Mungkinkah Binsar dan Claire menceritakan semuanya dengan jujur. Kalau tidak, alasan apa yang mereka pakai kepada putra keduanya?

Benak gadis itu terlalu berisik oleh berbagai pertanyaan yang mirip gema. Tidak satu pun mendapat jawaban yang melegakan. Yang Ina tahu adalah, kedua orang tua Alistair sangat melindungi dan menyayangi sang anak. Entah berapa kali mereka menekankan agar Ina dan Alistair tidak membahas hal-hal yang dianggap tak perlu. Bahkan sekadar untuk membicarakan kanker otak lelaki itu.

Tersadar kalau Alistair menunggu responsnya, Ina akhirnya membuka mulut. "Apa?"

"Sudah kubilang, serahkan saja pada ayahku. Kamu bisa dibujuk, Om Navid juga kurasa sangat bisa."

"Aku bisa dibujuk? Memangnya kamu kira apa yang terjadi sampai aku mau menerima tawaran perjodohan kita?" tanya Ina. Dia tersinggung mendengar ucapan Alistair.

"Nggak usah marah-marah, deh! Kalau kamu melihatku seperti singa mau memangsa rusa, ayahmu pasti nggak percaya kalau kamu mau menikah denganku secara sukarela."

Lelaki itu ada benarnya. Itulah sebabnya Ina menarik dan membuang napas beberapa kali demi menenangkan diri. Lalu, dia berusaha mengubur kegeramannya meski sesungguhnya gadis itu sangat kesal.

Alistair tampaknya sangat benar. Ketika akhirnya periode nostalgia antara Navid dan Binsar kelar, ayahnya mulai mengajukan pertanyaan tentang bagaimana Ina mengenal keluarga teman lamanya.

Gadis itu tidak sempat merasa terkecoh karena Binsar sudah bicara dengan lancar, memberi tahu Navid tentang rencana masa depan anak-anak mereka. Navid tidak bisa menahan kaget dan gembira sekaligus. Pemandangan itu sedikit melegakan Ina. karena tampaknya nama Martin pun akan segera terlupakan.

Ina yang sempat was-was kalau ayahnya akan mengajukan banyak pertanyaan yang mungkin membuatnya gugup atau cegukan, bisa menarik napas lega. Navid menepati janji, akan mundur jika Ina memang memiliki seseorang yang dicintai. Pria yang memenuhi syarat di mata sang ayah. Setidaknya, tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat di mata Ina.

Ina tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Navid dan Binsar kemudian, saat mereka berdua menghilang ke ruang kerja ayahnya. Claire pun membuntuti. Sementara Alistair tetap berada di ruang tamu, duduk santai di sebelahnya.

"Kamu punya album foto?"

Pertanyaan tak terduga itu membuat Ina keheranan. "Kamu mau melihat album foto keluargaku?" dia mencari tahu apa yang diinginkan Alistair.

"Iya. Kenapa? Nggak boleh, ya?"

"Bukan begitu, aku cuma heran saja." Ina menahan dongkol. "Aku kan nggak bilang apa pun yang bisa diartikan sebagai larangan."

"Aku hanya pengin melihat seperti apa kamu saat kecil."

"Oh."

Mencegah bibirnya terbuka, Ina akhirnya beranjak dari tempat duduknya. Dia memasuki ruang keluarga dan kembali dengan setumpuk album foto yang cukup berat. Ketertarikan Alistair tidak bisa dimengertinya. Namun gadis itu tidak yakin kalau dia akan mendapat jawaban yang memuaskan, mengingat lumayan iritnya kata-kata yang dilisankan Alistair. Kecuali lelaki itu sedang tertarik untuk berpidato panjang. Setidaknya begitulah yang dikira Ina. 


Lagu : Mengapa (Nicky Astria)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top