Oh, No! [3]
Ina berdiri tanpa bicara, lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah-langkah panjang. Hari ini, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Bukannya menuju kamarnya sendiri, Ina malah mencari Zora. Saudaranya itu ternyata sedang mandi ketika Ina memasuki kamar gadis itu.
"Hei, kenapa malah bengong di sini? Lupa ya, di mana letak kamarmu?" Zora menyeringai tanpa dosa begitu mendapati Ina berbaring di ranjangnya.
Jika menuruti hatinya yang mangkel, Ina sangat ingin menarik handuk yang membelit tubuh Zora. Namun karena hal itu tidak akan memberi efek apa pun kecuali teriakan panik dan –kemungkinan besar- makian tak sopan atau pemandangan yang tidak diinginkan, dia terpaksa mengurungkan niatnya.
"Kamu memang pengkhianat!" simpul Ina tanpa bertele-tele.
Kata-kata yang tertahan sejak tadi dan sempat diralatnya, akhirnya meluncur juga. Zora tidak mampu menyembunyikan kegusarannya karena kata-kata itu. Memandang wajah yang serupa dengannya tanpa berkedip.
"Aku tidak mengkhianatimu. Dan aku merasa kata-katamu itu sangat egois," kritiknya. "Ini sudah malam dan badanku sangat lengket. Apa salah kalau aku memilih untuk mandi dulu?" Zora membela diri.
Ina berdiri, berhadapan dengan Zora. Mereka memiliki kemiripan yang menakjubkan hingga susah dibedakan bagi mata awam, kecuali orang-orang terdekat mereka yang jumlahnya bisa dihitung.
"Kamu seharusnya menemaniku. Kamu senang ya, kalau Papa benar-benar menjodohkan kita? Kamu nggak tahu kalau Papa serius?" Ina membanting kaki saking kesalnya. "Tapi kamu malam memilih menghindar. Sepertinya kamu benar-benar menyukai Winston, ya? Makanya kamu lupa kalau ini problem besar buatku."
Zora mengangkat dagunya dengan angkuh, gaya khasnya kalau sedang kesal. "Apa salahku kalau Winston ini keren? Apa salahku kalau Martin itu pendek dan sawo matang?" tanyanya telak.
Ina mendengus. "Kamu tahu bukan itu yang kumaksud!"
Zora melangkah menuju lemari besar yang menampung koleksi pakaiannya yang luar biasa banyak. Lemari itu sepertinya sudah terlalu sesak dengan pakaian. "Kamu nggak pernah bisa bersabar. Nggak tahu situasi. Langsung marah di depan Papa, nggak bisa menahan diri. Kamu tuh tak pernah berpikir jernih dan mencari cara agar bisa meluluhkan hati Papa. Kalau mau memenangkan perang dengan senjata seadanya, butuh taktik, Na. Bukan langsung melabrak dan mengomel."
Itu kalimat yang sangat benar untuk menggambarkan Ina. Dia memiliki sisi keras kepala dan ketidaksabaran yang sering menyusahkan. Zora nyaris selalu menjadi orang yang harus mengingatkan saudaranya untuk sedikit menahan dirinya. Malangnya, kekeraskepalaan Ina memiliki angka tinggi yang kemungkinan besar mengalahkan skor IQ gadis itu. Tidak terhitung berapa kali mereka mendapat masalah karena hal tersebut.
"Kamu bisa menerima perjodohan, kan? Aku nggak!" tegas Ina. "Dan aku nggak akan bisa tidur nyenyak kalau nekat diam saja. Aku harus bicara sama Papa."
"Dan hasilnya?" tanya Zora seraya menarik sehelai kaus dari tumpukan terbawah.
Kesal, Ina akhirnya meninggalkan kamar Zora. Dia datang untuk memarahi saudaranya yang hari ini menunjukkan pembelotan. Bukan untuk menerima sindiran. Selain itu, Ina juga mulai tidak tahan dengan aroma keringat dari tubuhnya. Terakhir kali Ina mandi, sudah berlalu empat belas jam.
Andai mandi bisa ikut meluruhkan kekusutan yang menyandera benaknya, Ina pasti rela memberikan sebagian koleksi sepatunya. Namun sayang, air tidak punya kekuatan untuk membuatnya lega dada. Bahkan setelah berjam-jam berlalu, Ina masih kalut oleh warna-warni perasaan yang mendompak benaknya. Marah, kesal, gemas, sedih, tak berdaya.
Ayahnya adalah pria paling penyayang yang pernah dikenal Ina dalam hidupnya. Ina tidak pernah mengenal ibunya, perempuan cantik yang dipuja Navid dengan sepenuh jiwa. Gadis itu cuma mengenal ibunya dari ratusan foto yang disimpan ayahnya, sebagai pengingat bahwa di hidupnya pernah terisi oleh sosok bernama Samara Andini.
Samara akhirnya melepaskan hidup setelah kelahiran si kembar yang konon cukup sulit. Navid pernah menyinggung bahwa istrinya mengalami perdarahan yang berakibat fatal. Ina dan Zora bahkan tidak sempat menyusu pada ibunya. Sejak berumur dua hari, keduanya cuma memiliki seorang ayah dalam hidup mereka.
Terlahir sebagai kembar identik, belakangan Ina yakin kalau mereka cuma berbagi kemiripan fisik yang luar biasa. Ada beberapa sifat dan kebiasaan yang saling bertolak belakang. Namun Ina tidak pernah merasa benar-benar terganggu hingga hari ini.
Dia seakan berdiri mengadang badai sendirian karena Zora memilih untuk berseberangan. Ina tahu, akan ada saatnya dia mengikatkan diri pada pernikahan. Mencintai seseorang, membagi hidup dan napas bersama. Memiliki anak-anak yang akan memeriahkan rumah dan membuat cinta mereka kian kokoh. Akan tetapi, bukan dalam waktu dekat.
Meski Navid mengatakan bahwa tidak akan memaksa Ina dan Zora menikah sesegera mungkin, gadis itu tidak tenang. Mengetahui bahwa ayahnya menyiapkan seorang lelaki untuk dijadikan pasangan hidupnya, sudah cukup mengganggu. Menyadari bahwa dia takkan pernah tertarik pada Martin, jauh lebih menyiksa.
Ina mungkin belum benar-benar mengenal makna cinta. Ina bahkan curiga jika dia takkan pernah bisa mencintai seseorang dalam kadar besar, kecuali keluarga dan dua sahabatnya. Karena selama ini dia merasa belum menemukan seperti apa rasanya mencintai seseorang hingga hidup rasanya tak lengkap tanpa kehadiran si pujaan hati. Cinta seharusnya menggenapi hidup hingga tak lagi merasa kekurangan untuk alasan apa pun.
Seminim-minimnya pengalaman Ina soal asmara, boleh kan kalau dia punya harapan? Bahwa suaminya kelak adalah, kalau bisa, orang yang dicintainya dengan sungguh-sungguh. Bukan "hadiah" yang disodorkan ayahnya meski dalam bungkus kado paling menyita perhatian. Pasangan itu semestinya hadiah yang berasal dari Tuhan, bukan dari manusia lain.
Ina tahu kalau ada kalanya sikapnya sulit untuk ditoleransi, bahkan oleh ayahnya. Namun dia tidak pernah mengira kalau Navid akan menjodohkannya dengan lelaki asing seperti Martin untuk menghukumnya. Dia tidak pernah tahu kalau ayahnya akan tega melakukan hal-hal seperti itu.
Gadis itu memutuskan untuk tidak akan menyerah. Seberapa marah ayahnya, dia yakin akhirnya akan bisa memenangkan hati Navid. Ina takkan sudi menyerahkan hidupnya kepada orang yang tidak dicintainya. Tidak Martin, tidak siapa pun. Dia ingin memiliki pasangan yang memuja dan mencintainya seperti perasaan Navid pada Samara. Tatapan Navid yang merajakan istrinya tiap kali menatap foto-foto Samara, ingin dilihat Ina pada mata suaminya kelak. Dia tidak ingin menerima yang kurang dari itu.
Entah berapa lama dia bergumul dengan perasaannya. Yang pasti, Ina baru terlelap saat fajar hendak menggesa malam. Dan gadis itu bermimpi, seseorang menarik tangannya menuju cahaya. Sayang, dia tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang sekilas mengingatkan Ina pada raksasa itu.
Satu hal yang tidak bisa dilupakan gadis itu adalah, genggaman hangat yang membuat hatinya meledak dalam bahagia.
Lagu : Samar Bayangan (Nicky Astria)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top