Oh, No! [1]

"Don't marry the person you think you can live with. Marry only the individual you thing you can't live without."

(James Dobson)

Ina tidak sempat memikirkan pakaian yang pantas untuk menyambut tamu tak terduga itu. Atau sekadar membedaki wajahnya yang berminyak. Dia baru pulang kuliah, sebelum mampir di restoran Jepang yang letaknya tidak jauh dari kampus bersama Milly dan Uci. Zora menyusul belakangan dan mereka menghabiskan terlalu banyak waktu di sana. Uci si sumber informasi terpercaya, mengabarkan tentang rencana pembukaan sebuah restoran eksklusif yang juga memiliki butik dan bioskop pribadi tiga minggu lagi.

"Bayangkan berapa banyak waktu yang kita hemat karena nggak perlu pindah tempat kalau pengin makan, belanja, sekaligus nonton," komentar Uci penuh semangat.

Ina mencebik. Ujarnya, "Seolah kita ini penganut motto 'waktu adalah uang'."

"Kan lumayan menghemat waktu, Na," Uci bersikukuh. "Cuma perlu datang ke satu tempat saja."

Si kembar baru tiba di rumah nyaris pukul delapan. Itu pun setelah Navid menelepon dan meminta keduanya segera pulang, tanpa penjelasan apa pun. Ina dan Zora sama sekali tak curiga. Itulah sebabnya mereka begitu kaget saat berhadapan dengan dua teman lama Navid yang selama ini cuma namanya yang akrab di telinga. Fatalnya lagi, keduanya membawa istri dan anak lelaki mereka.

Keluarga Fadel membawa serta putra mereka yang jangkung dan berkulit terang, Winston. Sementara dari keluarga Tobias ada Martin, hanya sedikit lebih tinggi dibanding Ina. Dan gadis itu tidak bisa menghalau rasa kecewa saat tahu Martin yang ingin dijodohkan Navid dengan dirinya.

Seumur hidup, Ina nyaris selalu didekati lawan jenis yang sama tinggi dan berkulit cokelat. Martin pun bukan pengecualian. Sementara Zora terlihat bersemangat begitu tahu Winston adalah orang yang dipilihkan sang ayah untuknya. Ina cemberut. Pengkhianat.

"Kita akan membuat perhitungan nanti," ancamnya pada Zora yang cuma memandang Ina dengan tatapan tak paham.

Ina akhirnya merasa tidak perlu repot-repot mandi atau berdandan cantik. Dia segera bergabung dengan para tamu meski benaknya seperti benang kusut. Ina melirik ayahnya berkali-kali, berharap akan melihat kilau jail di mata Navid. Sehingga dia tahu bahwa ayahnya memang cuma ingin membuat kesal kedua putrinya.

Sayangnya, Ina keliru. Ayahnya tampak serius dan tidak sedang menggoda si kembar. Navid diam-diam menyiapkan makan malam yang tanpa cela, tentu dengan bantuan asisten di rumah mereka. Takkan ada yang mengira bahwa Navid sudah hidup sendiri sejak si kembar lahir dan tidak fasih menyambut tamu. Karena hari itu ayahnya berperan sebagai tuan rumah yang hebat.

Navid menyibukkan diri dalam obrolan bersama teman-teman dan istri-istri mereka. Zora dan Ina diberi kesempatan untuk saling kenal dengan Martin dan Winston. Ina sungguh tersiksa terlibat obrolan basa-basi yang menurutnya tidak perlu. Sebaliknya dengan Zora yang tampak santai sekaligus senang.

Kadang Ina tidak yakin jika mereka memang benar-benar kembar identik. Kian dewasa, ada makin banyak terbentang perbedaan di antara keduanya. Minat dan kesukaan mereka tidak selalu sama. Selain ketertarikan berbeda soal fashion, mereka juga berbeda minat seputar dunia memasak. Ina menguasai keterampilan memasak lauk pauk, Zora lebih bisa diandalkan untuk urusan kue kering atau puding.

"Kamu sekarang sudah semester berapa, Na? Setelah jadi sarjana, pengin bekerja di mana? Atau malah berniat mencoba untuk berbisnis?" Itu cuma contoh dari beberapa pertanyaan membosankan yang dilontarkan oleh Martin.

Ina menjawab semuanya dengan ogah-ogahan. Lelaki itu mirip petugas sensus yang sedang mencari data detail untuk melengkapi laporannya. Akan tetapi, sikap sopan Martin membuat Ina tidak tega bersikap judes. Lagi pula dia harus menahan diri jika tidak ingin mendapat masalah baru dari ayahnya.

"Martin, boleh aku tanya satu hal?" tanya Ina ketika ada kesempatan bicara berdua dengan lelaki itu. Dia sengaja mengajak Martin ke halaman belakang. Mereka duduk di sofa yang menghadap kebun mawar. Kebun yang pernah begitu dicintai sangat nyonya rumah dan tetap dipelihara atas perintah Navid setelah istrinya berpulang.

"Tanya soal apa?" tanya Martin dengan senyum bertahan di bibirnya.

"Kenapa kamu mau saja dijodohkan?" Ina tiba-tiba menyadari sesuatu. "Maksudku ... kamu diajak ke sini karena ingin diperkenalkan denganku. Tahap awal sebuah perjodohan."

Martin malah tersenyum, membuat Ina makin gemas karena merasa tidak punya sekutu. Dia memang bodoh jika berharap lelaki yang bersedia datang untuk dikenalkan dengannya itu akan memberi dukungan. Jika Martin menolak datang, itu baru bentuk dukungan. Kadang, otak Ina memang bekerja dengan cara yang aneh.

"Kenapa aku harus tidak mau?" Martin balik bertanya. Alisnya tampak bertaut. "Orang tua pasti punya niat baik. Dan selama ini mereka tidak pernah mengecewakanku. Kebetulan aku sedang tidak punya pacar. Tidak ada salahnya aku datang ke sini. Minimal menambah teman," imbuhnya sederhana.

"Bagaimana kalau mereka memaksa kita untuk ... me ... menikah?" Ina terbatuk-batuk di ujung kalimatnya. Martin malah terlihat santai mendengar kata-katanya. Laki-laki itu tertawa, tampak geli mendengar kalimat Ina.

"Kalau memang cocok, kenapa tidak? Aku yakin, orang tua kita tidak akan memaksa sampai sejauh itu kalau kamu atau aku menolak. Santai saja, Ina," balas Martin.

Benar juga! Mendengar kalimat itu, beban seberat semesta yang menggelayuti pundak Ina pun seakan mendebu. Bahunya terkulai, dadanya mendadak terasa lega luar biasa. Ina meyakini kata-kata lelaki itu. Senyumnya mengembang.

"Kamu betul. Terima kasih ya, Martin," Ina menepuk pundak lelaki itu sekilas.

"Jadi, sejak tadi kamu stres karena memikirkan masalah itu? Pantas saja wajahmu cemberut," tebak Martin.

Sisa malam itu dihabiskan Ina dengan senyum yang lebih banyak mengembang dibanding sebelumnya. Kini dia bisa melihat segalanya dengan dada ringan dan mata yang berbintang. Ina kehilangan kegusaran saat mendapati Zora yang terlihat nyaman bersama Winston. Dia juga meralat tudingan pengkhianat kepada saudaranya yang sempat dilontarkan tadi, meski cuma dalam hati.

Ina bahkan bersenandung kecil setelah mengantar tamunya pulang. Kalaupun Zora keheranan melihat sikapnya yang berubah drastis setelah bicara berdua dengan Martin, dia tidak menunjukkannya.

"Wah, kamu tampaknya senang sekali. Martin memang sesuai seleramu, ya?" tebak ayahnya. "Papa kan tidak mungkin memilihkan pasangan yang tidak oke untuk kalian. Jadi, siapa nih yang mau lebih dulu menikah?" guraunya lagi.

Mendadak, Ina merasakan es membekukan tengkuknya.

"Pa, itu ... itu maksudnya apa?" tanyanya tergagap. "Papa nggak serius minta aku dan Zora buru-buru menikah, kan?"

Lagu : Kesal (Imaniar)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top