Nyonya Alistair [3]
Ina merasa bodoh, marah, murka, dan ingin berteriak sekencang mungkin kepada dunia. Bagaimana bisa dia begitu mudah dibohongi? Dalam sekejap, tirai gelap di depan matanya terbuka lebar. Menyajikan fakta yang ada, mendengungkan kebenaran yang tidak pernah dilihat oleh sepasang matanya.
Seharusnya sejak awal dia sudah tahu kalau dia yang menjadi korban di sini. Terlalu berat tebusan yang harus dibayarnya untuk sebuah kecelakaan yang membuat Alistair dirawat inap selama satu hari. Kecelakaan yang meninggalkan garis tipis bekas jahitan di kening lelaki itu. Tampaknya rasa iba sudah mengaburkan penilaian Ina. Juga faktor ayahnya dan calon menantu pilihan Navid yang mengerikan itu. Semua terjadi dalam waktu bersamaan dan membuat Ina tak punya waktu untuk berpikir objektif.
"Jadi, maksudmu ... aku sudah ditipu?" simpul Ina dengan tubuh terasa lemas.
Meski demikian, suara Ina meninggi, mengiringi rasa gerah yang mendadak menyekapnya. Keringat membanjir dan membasahi kaus perempuan itu. Padahal saat itu baru sekitar pukul setengah sembilan pagi. Namun mungkin tak ada bedanya bagi Ina dengan berendam di kolam panas dari neraka.
Seharusnya Ina tidak perlu semarah itu. Bukankah kondisinya saat itu sedang terjepit? Akan tetapi, rasanya memang lebih mudah untuk murka. Menyalahkan dunia untuk semua penderitaan yang sedang ditanggungnya. Ah, kalau memang keluarga Damanik terlalu menginginkan Ina menjadi menantu mereka, tak seharusnya dia dibohongi, kan? Apa susahnya bicara apa adanya saja? Siapa tahu Ina benar-benar ikhlas menjadi istri Alistair walau harus menikah tanpa cinta? Mengapa dia harus diintimidasi dan dibohongi?
Alistair mengangkat bahu. "Aku nggak bisa bilang kalau...."
"Dan kamu pasti tahu juga, kan? Makanya aku nggak percaya kalau kamu bersedia menikah sama perempuan asing kayak aku dengan alasan kamu adalah anak yang patuh," tuduh Ina dengan napas memburu. "Kenapa kamu membiarkan aku terjebak seperti ini dan ikut-ikutan menipuku? Kamu...."
Alistair berdiri dan menarik tangan Ina hingga perempuan itu pun terpaksa meninggalkan tempat duduknya. Lalu pria itu mulai berjalan dengan langkahnya yang panjang. Meski cengkeraman tangan Alistair tidak menyakitkan, Ina merasa seakan belenggu besi yang sedang memerangkapnya.
"Kita bicara di kamar saja. Kalaupun kamu mau marah dan berteriak, setidaknya cuma aku yang bisa mendengar," gumam Alistair dengan tenang.
Ina menurut tanpa kata. Ini kali pertama Alistair memegang tangannya, meski bukan dalam konteks romantis. Akan tetapi, tetap saja dada perempuan itu membadai tanpa bisa benar-benar mengerti apa penyebabnya. Setelah mereka sampai di kamar dan Alistair menutup pintu, lelaki itu hanya berdiri dan bersandar. Seakan siap mencegah andai Ina mencoba untuk kabur.
"Kamu, kenapa mau menikah denganku? Apa kamu sampai begitu putus asa hingga harus memaksa perempuan untuk menjadi istrimu? Jangan bilang kalau kamu punya orientasi seksual menyimpang dan berusaha menutupi hal itu dengan ccara menikah sama aku, perempuan tulen," bentak Ina. Sisi sinis Ina mencuat. Dia bisa melihat pupil mata Alistair melebar karena kata-katanya.
"Aku laki-laki normal, Ina," sahut Alistair.
"Kamu salah kalau mengira aku akan percaya dengan alasanmu. Anak yang patuh? Bah! Kamu kira menikah itu suatu permainan terkini, ya? Semacam cara baru untuk meningkatkan pemasukan hotel atau meningkatkan citra positif di mata rekan bisnis? Tolong, kasih tahu aku apa yang sebenarnya terjadi. Aku bodoh karena mau saja didesak untuk menikah sama kamu. Tapi aku bukan perempuan bodoh yang nggak bisa tahu apa alasanmu itu masuk akal atau nggak."
Baru saja kalimatnya tuntas, Ina malah terkelu. Benaknya bekerja dengan kecepatan mengejutkan hingga sebuah pemikiran melompat begitu saja. Ina bisa merasakan kedua pipinya mendadak membeku.
"Ina, pernikahan itu bukan permainan. Aku kan tadi sudah bilang. Jadi—"
Ina menyela, tak mendengarkan kata-kata Alistair. "Jangan bilang kalau ... kalau papamu dan papaku sudah mengatur ini semua dan aku cuma orang bodoh yang buta dan nggak bisa melihat...."
Alistair menggeleng dengan cepat, melegakan Ina. Setidaknya dia bisa menghormati Navid karena tidak terlibat dalam rencana busuk seperti ini. Andai sebaliknya, Ina tidak tahu apakah dia bisa memaafkan ayahnya. Setelah Martin, kini Alistair? Memangnya dirinya dianggap sebagai boneka jari yang bisa dimainkan sesuka hati setelah membuat beberapa kesalahan?
"Biar kujelaskan dulu. Kamu duduk dulu di sofa itu." tunjuk Alistair ke satu arah. Ina menurut meski dengan bibir terkatup rapat dan rahang menegang. Lelaki itu duduk di sebelahnya, suatu hal yang tidak terduga oleh Ina. Tadinya dia mengira suaminya akan tetap berdiri atau malah duduk di ranjang.
"Aku memang pernah menderita kanker otak beberapa tahun lalu. Tapi terdeteksi awal dan berhasil diatasi. Saat ini aku sudah sembuh total, hanya saja aku tetap rajin check-up. Aku betul-betul nggak mengira kalau Papa dan Mama akan menggunakan penyakitku untuk menekanmu."
Suara Alistair terdengar lembut, tapi tidak mampu memadamkan api yang berkobar di dada Ina. Dia terlalu marah hingga kesulitan untuk bicara. Tangan kanannya mulai menggosok pelipis dengan gerakan cepat. Seakan berharap akal sehatnya bisa berkuasa lagi di kepala. Supaya dia mampu mengeluarkan kalimat cerdas yang juga mengekspresikan perasaannya.
"Aku minta maaf untuk semua ini, Ina. Aku sendiri nggak bisa berpikir jernih. Itu...." Alistair berhenti tiba-tiba. Ina bisa memindai perubahan warna kulit di wajah lelaki itu. Kulit putihnya mendadak memerah, nyaris setua paprika. "Begini, anggap saja aku yang salah. Papa dan Mama sudah bertahun-tahun ini memintaku menikah. Aku selalu menolak karena memang nggak punya pasangan. Mereka beralasan bahwa sebagai anak sulung dan laki-laki satu-satunya, berdarah Batak pula, seharusnya aku lebih serius memikirkan pernikahan. Karena aku membawa marga dalam keluarga kami."
Ina membeku. Tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Tidak ada yang bisa mengulang waktu dan mengembalikannya pada masa sebelum pernikahan mereka digelar. Ina tidak mungkin membatalkan apa yang sudah terjadi.
"Penolakanku tampaknya sudah membuat Mama dan Papa kesal. Mereka bahkan sudah berkali-kali berusaha menjodohkanku dengan kandidat yang dianggap layak. Selama tiga tahun terakhir, desakan untuk menikah itu malah semakin besar. Sampai akhirnya terjadi kecelakaan itu. Dan entah bagaimana Papa dan Mama justru mendapatkan ide untuk memintamu menjadi istriku. Awalnya...." Alistair menatap Ina lekat-lekat. "Maafkan aku Na, tapi kukira ... kamu bersedia menikah karena uang."
Ina membelalak. "Uang? Kamu kira papaku nggak mampu memberi cukup uang? Aku bukan orang miskin dan bukan juga cewek matre."
Alistair menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Maaf, aku nggak bermaksud menghinamu. Tapi, menurutku, itu pemikiran yang logis," dia membela diri. "Yang jelas, aku nggak pernah berpikir kalau Papa dan Mama akan menggunakan riwayat kesehatanku untuk memintamu jadi istriku. Tapi ... kalau boleh jujur, saat ini aku sungguh lega. Meski mungkin kamu bersedia karena merasa kasihan sama laki-laki yang umurnya diprediksi nggak panjang lagi, rasanya lebih menyenangkan. Ketimbang kamu mau menikah karena dibayar Papa."
Kata-kata Alistair, anehnya, mereduksi hampir setengah kemarahan Ina. Entah bagian mana yang menyentuh hatinya. Suara yang lembut, kalimat yang diucapkan dengan nada perlahan, ekspresi yang menggambarkan penyesalan? Ina tidak tahu pasti. Ah, dia cuma bisa menyimpulkan satu hal. Dirinya berubah bodoh jika sudah berkaitan dengan Alistair.
"Kamu ... kenapa bersedia menikah?" tanya Ina setelah berhasil membuat dirinya lebih tenang. "Aku masih tetap pengin tahu alasan yang sebenarnyanya. Tolong, jangan bohong. Jangan anggap aku bodoh."
Alistair akhirnya menjawab dengan hati-hati. "Karena aku mulai yakin kalau memang harus menikah jika ingin hidup tenang. Kalau nggak, orang tuaku sepertinya akan selalu merecokiku. Kamu tahu sudah berapa kali aku dijodohkan? Percayalah, sudah lebih dari sepuluh kali. Meski aku selalu menurut tiap kali direkomendasikan untuk menjalani acara semacam kencan buta. Tapi nggak ada yang berakhir bagus. Kencan pertama tidak pernah berlanjut kemana-mana," urai Alistair.
Ina mengernyit. "Itu belum menjawab pertanyaanku! Kenapa kamu akhirnya malah bersedia menikah denganku? Kamu mendapat keuntungan yang nggak kuketahui? Bukan mustahil kalau yang mendapat keuntungan finansial itu malah kamu, kan?"
Sikap menantang yang ditunjukkan Ina terang-terangan itu tampaknya tidak berhasil membuat Alistair gentar. Lelaki itu tetap tenang, tidak terlihat tanda-tanda jika Alistair terusik atau terganggu.
"Punya istri? Apa itu bisa dimasukkan ke dalam kategori 'keuntungan'?" Pertanyaan itu seharusnya terdengar jenaka. Namun saraf humor Ina tampaknya sudah telanjur tumpul. "Selain pada dasarnya aku ini anak yang patuh walau kamu nggak percaya itu, menikah juga jadi jalan keluar lain. Karena kayak yang kubilang tadi, Papa dan Mama makin gencar mendesakku untuk menikah. Makin lama, permintaan mereka makin mengganggu. Makanya, aku akhirnya memutuskan untuk menurut. Aku pengin hidup tenang. Dan satu-satunya hal yang membuat Mama dan Papa masih ikut campur urusan pribadiku, cuma masalah pernikahan," urai Alistair.
Ina terdiam selama beberapa saat sembari mencerna semua kata-kata suaminya. Apakah alasan Alistair masuk akal? Entahlah! Otak Ina terlalu keruh untuk memikirkan semuanya dengan jernih. Namun untuk saat ini, dia bisa menerima alasan Alistair itu.
"Boleh tahu seperti apa cara Mama dan Papa membujukmu?" Alistair bersuara lagi.
"Aku nggak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi." Ina membuka mulut sembari menarik napas. "Yang jelas, tiba-tiba orang tuamu mengajak bertemu. Lalu membicarakan soal kanker otak yang kamu derita. Diikuti permohonan untuk menikah denganmu. Kondisimu mengkhawatirkan, hal-hal semacam itu. Yang kutangkap, mereka mengisyaratkan kalau umurmu ... nggak panjang lagi. Maaf."
Alistair tetap tenang. Sahutnya, "Nggak apa-apa. Teruskan, aku ingin tahu."
"Sebentar, aku cuma penasaran. Maaf kalau ini terdengar kasar. Kenapa kamu nggak punya pasangan dan sampai dijodohkan berkali-kali? Pasti ada alasannya, kan? Kamu nggak tertarik sama perempuan, ya?"
Alistair membelalakkan mata. Tawanya pecah kemudian. "Apa kamu nggak percaya dengan pengakuanku tadi kalau aku nggak menderita orientasi seksual menyimpang? Demi Tuhan dan semua manusia suci yang pernah ada, aku adalah laki-laki tulen, Ina. Belum dan semoga nggak pernah, berganti selera. Aku sangat menyukai perempuan."
"Hmmm ... bagus." Ina tak tahu harus merespons dengan kalimat apa.
"Nah, sekarang bisa nggak kalau kita kembali ke tema sebelumnya? Kamu belum selesai cerita soal cara orang tuaku membujukmu. Kenapa pada akhirnya kamu mau?"
Ina menghirup oksigen sepenuh paru-parunya. Benaknya memutar ulang adegan lawas yang mengubah arah hidupnya untuk selamanya itu. Ina berusaha mencari-cari ancaman samar yang membuatnya meleleh. Namun kenapa sulit sekali untuk berkonsentrasi dan menemukan apa yang diinginkannya?
"Aku cuma nggak pengin papaku tahu apa yang terjadi. Aku juga sengaja menutupi segalanya dari Zora. Situasi kami sedang ... katakanlah ... sangat sulit. Terutama untukku. Bukan karena papaku bangkrut atau semacamnya lho, ya. Tapi karena aku dan Zora memang sudah bertingkah lepas kontrol," beber Ina.
"Maksudmu?" tanya Alistair.
Ina merespons, "Panjang ceritanya. Yang jelas, kamu kira papaku nggak akan murka andai tahu kalau ternyata Zora menggantikanku untuk berkencan dengan lelaki yang mau dijodohkan denganku? Percayalah, meski aku baru sekali mengalaminya, acara perjodohan itu memang sangat menyebalkan."
Alistair tampak terpana. "Kamu ... sudah dijodohkan? Artinya, kamu sudah punya calon suami yang kemudian kamu tinggalkan karena menikah denganku?"
"Nggak tepat kayak begitu. Belum sampai jadi calon suami. Karena aku menolak mentah-mentah. Aku nggak suka," sergah Ina.
"Oke, kamu sudah menolak. Tapi...." Alistair tiba-tiba berhenti.
"Apa?" Ina mengangkat wajahnya.
"Kenapa kamu bersedia diminta menikah denganku? Itu juga suatu jenis perjodohan, kan? Yang berbeda cuma orangnya saja."
"Aku nggak tahu," tukas Ina sambil menggeleng. Pertanyaan Alistair memang sangat logis. Tentulah lelaki itu heran dengan jawabannya. "Kalau nanti aku sudah tahu alasannya, aku akan memberitahumu."
Alistair tidak berkedip saat menatap Ina, membuat perempuan itu merasakan kehangatan berkumpul di wajahnya.
"Begini Na, semua sudah terjadi. Kalau sejak awal kamu memberitahuku atau menolak usul orang tuaku, tentu kita nggak sampai seperti ini. Kurasa...."
Ina memotong, "Aku memikirkan papaku. Aku nggak mau apa yang kulakukan malah merusak nama baiknya. Aku tidak ingin membuat skandal lagi. Apalagi kali ini skalanya jauh lebih besar. Pokoknya, aku melakukan semua ini karena memikirkan keluargaku"
"Skandal? Lagi?" Alistair mengangkat alisnya.
"Jangan tanyakan itu sekarang!" Ina menggeleng.
"Tapi, kurasa kita harus saling terbuka mulai sekarang. Kita sudah melihat efek dari menyembunyikan beberapa hal penting, kan?" komentar Alistair.
Ina akhirnya menyerah. Tatapan intens dan kata-kata Alistair sepertinya punya kekuatan magis, menyedot semua keinginannya untuk berdusta. Dengan kalimat terputus-putus yang diucapkan tidak nyaman, Ina akhirnya bercerita tentang Martin dan kebiasaannya yang membuat Ina hampir gila karena takut. Alistair mendengarkan tanpa protes, tanpa menggerakkan satu otot pun di wajahnya. Hingga Ina tuntas berkisah.
"Baiklah, aku sekarang sudah paham. Lalu, apa rencanamu selanjutnya?"
Ina tergagap disodori pertanyaan itu. Selama berdetik-detik bibirnya terkatup rapat tanpa suara. Kali ini, Alistair tampaknya tidak sesabar sebelumnya.
"Begini saja. Kita sudah terikat dalam sebuah pernikahan, suka atau tidak. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Dan aku dibesarkan di dalam keluarga yang berpendapatn bahwa menikah hanya sekali seumur hidup. Sungguh, aku sudah mempertimbangkan itu semua saat akhirnya bersedia menikah denganmu walau dengan cara dijodohkan. Apalagi, aku baru tahu kalau orang tuaku sudah menggunakan cara yang manipulatif untuk membuatmu setuju menjadi istriku.
"Aku merasa punya tanggung jawab moral untuk menebusnya. Minimal, aku akan berusaha menjadi suami yang baik dan setia untukmu. Jadi, aku tetap pada pemikiran awal. Anggap saja kita menikah dulu sebelum berusaha untuk pelan-pelan saling kenal. Kita sudah menikah, status itu tak bisa diubah begitu saja. Kita adalah suami istri. Mari menjalani semua ini sebaik mungkin. Pelan-pelan kita belajar. Aku yakin, kita bisa bahagia."
Ina tidak punya bayangan tentang "saling mengenal" yang diucapkan Alistair. Namun mendadak rasa sedih menerpanya begitu dalam. Perempuan itu akhirnya malah membungkuk dan menangis kencang. Dia hampir yakin Alistair akan berlari ke luar kamar karena takut mendengar suaranya.
Sayangnya, Ina salah besar. Alistair bertahan di tempatnya tanpa bicara. Hanya meletakkan sekotak tisu di atas pangkuan Ina. Perempuan itu mulai bertanya-tanya lagi, apa memang dia tidak pernah menginginkan pernikahan ini?
Lagu : Tak Pernah Berubah (Fariz RM, Malyda, Deddy Dhukun)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top