Melukis Kisah di Florence [3]
Inanna Grace
Aku berdiri berlama-lama di depan cetakan sepatu yang terbuat dari kayu. Ada banyak cetakan yang tergantung di dinding dengan nama-nama terkenal tersemat di antaranya. Aku seakan tersedot ke dunia lain yang membuat gairahku melonjak-lonjak luar biasa. Ini benar-benar surga bagiku, selain tentunya berada di sisi Alistair. Duh, baru menyebut nama suamiku di dalam hati saja sudah membuat pipiku terasa panas luar biasa.
Entah berapa lama aku berdiri mematung saat berhadapan dengan koleksi sepatu Ferragamo. Semuanya membuat lidahku terkelu dan mata nyaris tak mampu mengerjap. Tempat ini benar-benar luar biasa.
"Rasanya kayak mimpi bisa berada di sini," bisikku dengan suara pelan.
Black satin sandal yang diciptakan tahun 1951. Suede sandal with carved and painted wood wedge sole and heel, produksi tahun 1943. Sandal with kidskin and nylon vamp with F-shaped wooden wedge sole, hasil ciptaan tahun 1947. Juga antelope skin shoe with "horned toe" yang unik, produksi tahun 1938. Aku juga terpana di depan gold kidskin sandal with pyramid heel, pertama kali diciptakan tahun 1930.
Akan tetapi, tentu saja aku paling terpengaruh saat melihat kidskin sandal with
layered cork sole and heel covered in suede. Sepatu itu diciptakan khusus untuk Julie Garland pada tahun 1938. Sepatu dengan sol mirip rainbow cake itu merupakan favoritku, sejak aku melihat gambarnya di usiaku yang baru sebelas tahun.
Saking sukanya, aku memiliki sepatu bermerek sama dengan bentuk sol mirip. Hanya saja milikku tidak berwarna-warni, melainkan berwarna silk. Platform wedge sandal itu memiliki tumit setinggi sebelas sentimeter, terbuat dari kulit anak sapi.
"Walau mereknya sama, tetap saja punyamu itu lebih mirip jiplakan doang, Na," ledek Zora di masa lalu. Namun, tentu saja gurauannya itu kuabaikan. Karena Zora tak bisa memahami kesukaanku pada dunia sepatu, meski dia tergila-gila pada busana.
Aku sendiri cuma memiliki empat pasang sepatu bermerek Salvatore Ferragamo. Ada flat shoes yang dikenal dengan nama varina, berwarna morning rose. Sepasang champagne sitletto-heel mule berwarna gold, dengan hiasan bunga hitam di bagian depan dari bahan organza. Yang terakhir dan kebetulan sedang kupakai, navy leather wedge heel ankle boots berwarna hitam. Sepatu ini terbuat dari kulit sapi muda dengan resleting di bagian sisi luar, memiliki tumit setinggi 70 milimeter.
Ada satu hal yang kupelajari di tempat itu, hasil penjelasan perempuan muda yang berjaga di sana. Bahwa Salvatore Ferragamo sengaja menyelipkan plat baja sepanjang empat sentimeter di tengah sepatu. Tujuannya adalah untuk membuat kaki merasa nyaman.
"Wah, iyakah? Ini informasi yang luar biasa," responsku ketika mendengar itu. Karena memang aku belum pernah mendengar tentang plat baja tersebut. Mungkin memang karena pengetahuanku tentang dunia sepatu memang sangat minim.
Entah berapa lama aku menghabiskan waktu di tempat itu. Carissa menunggu dengan sabar dan tidak menunjukkan tanda-tanda bosan. Mungkin dia sudah terlalu terbiasa dengan tingkah para turis yang berubah norak. Dan aku hampir yakin jika diriku pun termasuk golongan itu. Namun, mau bagaimana lagi? Tempat ini memang sudah lama kuimpikan. Kalau aku bersikap agak berlebihan, wajar saja, kan?
Kami makan siang yang sudah cukup telat dengan terburu-buru. Bukan salahku sepenuhnya, melainkan ada andil Carissa juga. Dia berjanji akan membawaku ke salah satu tempat pembuatan sepatu handmade yang cukup populer. Alhasil, aku tidak lagi tertarik makan siang tapi Carissa agak memaksa.
Aku hampir memasuki sebuah restoran yang dipenuhi pengunjung saat Carissa menarik tanganku. Logika yang berputar di kepalaku adalah, makanan yang tersaji sudah pasti bercita rasa nikmat jika sampai dipenuhi pengunjung.
"Di sini, mereka mengenakan biaya tambahan yang cukup besar untuk peralatan makan," cetus Carissa mengejutkan. "Walau kamu pasti punya uang untuk membayarnya, menurutku, kita sebaiknya menghindari restoran seperti itu. Omong-omong, kamu mau makan apa? Makanan eropa atau khas Florence?"
"Apa saja," balasku. "Piza saja, lebih praktis. Eh, tapi apa maksudmu dengan biaya tambahan untuk peralatan makan?" aku tak mengerti. Lalu Carissa memberi uraian panjang yang membuat mataku membesar. Meski kadang dia harus mengulangi kalimatnya atau menggunakan kata-kata yang lebih mudah kupahami.
Sebagai salah satu kota di Eropa yang ramai dikunjungi turis setiap tahunnya, Florence tampaknya memanfaatkan keunggulan itu. Banyak restoran yang tidak mencantumkan daftar harga di buku menu. Itu mungkin bukan hal yang aneh. Yang luar biasa mengejutkan bagiku, ada biaya tambahan jika seseorang memilih untuk makan di restoran. Makanan yang dibawa pulang berbeda harganya jika dimakan di restoran. Di situlah pengunjung dikenai biaya tambahan yang mencakup sewa peralatan, misalnya. Kadang, biaya tambahannya bahkan seharga dengan makanannya.
"Kamu sedang bercanda, kan?" keluhku seraya mengikuti Carissa. "Aku ingin segera makan sebelum melihat orang membuat sepatu."
"Aku tidak bercanda, itu memang terjadi di sini. Meski aku tahu suamimu punya banyak uang, tetap saja konyol jika membayar makanan lebih mahal dibanding yang seharusnya. Ayo, aku tahu piza terenak di sini dengan harga normal," responsnya.
Piza yang kumakan memang enak, jauh lebih lezat dibanding piza yang ada di Indonesia. Namun aku tidak tahu apakah piza itu memang yang terenak di Florence atau Carissa cuma sedikit berlebihan memberi pujian.
Ketika akhirnya kami mengunjungi sebuah toko sepatu yang juga merupakan semacam bengkel kerja, mataku membulat. Bagian depan memajang aneka sepatu buatan tangan dengan harga hingga puluhan ribu euro. Carissa memimpin dan memperkenalkanku pada seorang pria tua yang murah senyum, Signore Dante Beccari.
Lelaki itu tidak bisa berbahasa Inggris, sementara aku pun buta aksara jika sudah menyangkut bahasa Italia. Carissa banyak membantu saat aku mengajukan pertanyaan. Isyarat tangan lebih banyak berbicara. Signore Beccari tampak tidak keberatan dengan pertanyaanku yang tidak bisa disebut sedikit.
Aku seorang pencinta sepatu. Namun baru kali ini benar-benar paham bahwa ada banyak sekali proses yang harus dilalui sebelum sebuah sepatu selesai. Terutama untuk buatan tangan yang dikerjakan oleh Signore Beccari.
Saat kembali ke hotel, baru aku menyadari kalau kakiku luar biasa pegal. Tubuhku berkeringat karena aku memilih berjalan kaki ke banyak tempat. Belum lagi beragam tempat yang dipenuhi turis dan kadang menyulitkan untuk lewat. Carissa tidak memprotes sama sekali dan mengaku sudah terbiasa menjelajahi Florence dengan berjalan.
Alistair belum pulang, dan entah kenapa itu membuatku mendadak sedih. Seharusnya aku menikmati hari yang indah ini bersama Alistair. Apalagi, kami tak berbulan madu setelah menikah. Namun dalam sekedip aku tersadar kalau Alistair datang ke sini untuk urusan pekerjaan. Selain itu, kurasa dia akan mati bosan andai kuminta menemani ke Museo Salvatore Ferragamo berjam-jam seperti tadi.
Mandi memang membasuh rasa lelah yang bersemayam di tubuhku. Keluar dari kamar mandi, aku memekik melihat seorang lelaki duduk di tepi ranjang. Teriakanku sudah pasti mengancam kenormalan pendengaran manusia normal karena kulihat pria itu sampai menutup kedua telinganya.
"Al ... ya ampun! Kukira siapa. Kamu mengejutkan...." aku memegangi dada yang isinya terasa nyaris rontok.
"Maaf. Aku nggak berniat membuatmu kaget." Alistair menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Bagaimana harimu, Na? Menyenangkan?"
Aku mengangguk. Aku mengenakan celana pendek dan kaus saja. Jantungku mendadak menggila lagi. Aku berusaha tampil tenang dan berpura-pura sibuk membereskan pakaian yang tadi kugeletakkan di atas kasur.
"Sangat mengasyikkan, malah. Aku tadi bertahan cukup lama di museumnya Ferragamo. Carissa juga mengajakku ke toko sepatu yang merangkap bengkel kerja. Aku bisa melihat proses pembuatan sepatu handmade, bisa banyak bertanya juga."
"Hmmm, nanti kamu harus menceritakan semuanya dengan lengkap, ya? Aku mau mandi dulu."
Alistair selesai mandi lebih cepat dibanding yang kukira. Aku masih berkutat dengan isi tasku, mencari losion untuk tangan dan kakiku. Aroma sabun menguar di udara.
Alistair sudah rapi meski hanya mengenakan celana jeans dan kaus. Itu memang pakaian favoritnya. Aku hanya melihatnya mengganti jeans dan kaus saat dia ke hotel atau ada acara resmi. Alistair mendekat dan duduk di sebelahku. Sofa yang kami duduki diperuntukkan bagi tiga orang, tapi suamiku malah menempel di sebelahku. Lalu tanpa meminta izin, Alistair mencium pipi kananku.
"Kenapa kamu menciumku?" tanyaku dengan suara lirih. Tanganku masih berpura-pura sibuk mengaduk isi tas. Aku bahkan sudah lupa benda apa yang kucari. Alistair mengambil tasku dan menjauhkannya dari jangkauanku. Setelahnya, Alistair malah menarik tanganku dan membuatku duduk di pangkuannya.
Ujarnya, "Tentu saja aku harus menciummu. Apa kamu tahu kalau aku merindukanmu seharian ini, Na?"
Andai pun kata-kata itu cuma gombalan ala Alistair, aku tidak akan keberatan. Kutatap mata biru esnya yang berpendar indah. Yang kutahu kemudian, aku juga ingin mencium suamiku.
Lagu : Bila Kau Tak Di Sampingku (Sheila On 7)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top