Mata Biru Es [2]
Ina mengerahkan segenap kemampuan untuk bergerak tanpa suara saat memasuki rumah. Dia tidak mencemaskan satpam yang berjaga atau asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak bertahun-tahun. Orang-orang itu akan selalu bersedia melindungi Ina dan Zora, termasuk dari kemungkinan mendapat amukan Navid. Yang ingin dihindarinya saat ini adalah dipergoki oleh sang ayah tercinta.
"Papa sudah tidur, Teh?" bisik Ina saat berpapasan dengan Yuli di ruang tamu. Yuli yang bertanggung jawab mengurus segala sesuatu di rumah. Selain Yuli, ada satu orang asisten lagi, Nunik.
"Sudah. Kamu dari mana, sih? Teteh menelepon berkali-kali, tapi tidak diangkat."
Ina dibanjiri rasa bersalah baru karena sudah membuat orang yang ikut susah oleh ulahnya, bertambah angkanya. Biasanya, Yuli sudah terlelap sejak pukul sembilan. Namun karena Ina belum pulang, perempuan itu masih terjaga. Tentunya untuk menunggunya.
"Zora ada di kamar? Dia sudah pulang, kan?"
Yuli mengangguk. "Bapak tadi pulang telat dan sepertinya sangat lelah. Begitu masuk kamar, tidak keluar lagi. Sudah, kamu cepat masuk ke kamar!" perintah Yuli. Namun kemudian perempuan itu menarik lengan Ina. "Kamu kenapa? Kok bajunya sobek dan ... hei ... ada darah di sikumu."
Ina buru-buru menempelkan telunjuk kanan ke bibirnya karena barusan suara Yuli cukup kencang. Jika sampai ayahnya terbangun, pastilah malapetaka untuk Ina akan menjadi sempurna. Karena kamar ayahnya berada di lantai satu, tak jauh dari ruang tamu ini. Barulah setelah itu Ina menunduk dan melihat ada darah yang sudah mengering di siku kirinya. Dia tidak tahu apakah ada luka lain di tubuhnya. Ina tidak sempat mencemaskan dirinya sendiri.
"Tidak ada apa-apa, kok. Tenang saja, Teh!" balasnya. Kemudian, Ina melambai sebelum buru-buru menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Kadang, dia begitu bersyukur karena kamarnya tak berada di lantai satu. Jika dia dan Zora sedikit berisik di kamar mereka, Ina tak terlalu cemas akan membangungkan sang ayah.
Dia sempat berdiri di depan pintu kamar Zora, menimbang-nimbang apakah perlu mendatangi kamar adiknya atau tidak. Namun setelah yakin bahwa tidak ada cahaya yang terlihat dari bagian bawah pintu, Ina akhirnya masuk ke kamarnya. Zora adalah salah satu manusia yang paling sulit untuk dibangunkan jika sudah terlelap. Ina selalu curiga bahwa tidurnya Zora sama seperti manusia koma.
Memutuskan membersihkan tubuhnya yang lembap oleh keringat, Ina pun langsung mandi. Rasa takut sudah membuat kelenjar keringatnya berproduksi dalam jumlah mengerikan sejak tadi. Setelah mandi, Ina baru melihat dengan leluasa luka di siku dan lutut kanan. Lalu masih ada memar di bahu kanan dan paha kanan atas.
Ina bahkan tidak bisa mengingat apakah tadi dia mengalami benturan hingga muncul memar. Luka-luka itu pun tidak bisa dijelaskannya. Ingatannya mengabur. Seakan kecelakaan itu terjadi seratus tahun silam.
Ina naik ke ranjang dan bersiap untuk tidur. Saat itu, barulah dia merasakan tubuhnya begitu lelah. Namun sayangnya, malam itu Ina kesulitan untuk tidur pulas. Berkali-kali dia terbangun. Otak gadis itu tampaknya bekerja keras. Karena memang Ina harus mempersiapkan rangkaian kebohongan jika terpaksa berhadapan dengan ayahnya dan Zora.
Ya, bahkan dengan Zora pun dia tidak siap untuk bicara apa adanya. Bukannya Ina cemas saudaranya itu akan mengadu pada Navid. Oh tidak, Zora jauh lebih baik dari itu. Dia sangat percaya pada kesetiaan dan loyalitas kembarannya. Akan tetapi, Ina belum siap mendapati tambahan omelan dari Zora saat ini. Dia sudah cukup mengutuki diri sendiri karena melakukan kecerobohan fatal.
"Aku harus bilang apa pada Zora?" tanya Ina pada dirinya sendiri untuk kesekian kalinya. Saat itu, dia terbangun entah yang keberapa kalinya. Ina sempat melirik ke arah jam dinding. Saat itu baru pukul tiga dini hari. Gadis itu sempat mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum kembali mencoba untuk tidur.
Ina akhirnya bangun terlalu siang. Gadis itu baru membuka matanya setelah Zora melompat ke atas ranjangnya tanpa rasa iba. Ina mencoba melanjutkan tidur dengan memunggungi adiknya. Sayang, pengabaiannya tidak diterima dengan baik oleh Zora.
"Hei, tukang tidur! Bangunlah, ini sudah siang," ucapnya. "Tadi malam kamu pulang jam berapa? Dan kenapa aku tidak bisa menghubungimu sama sekali? Lain kali, jangan mematikan ponsel kalau kita sedang bersekutu melakukan kejahatan. Bagaimana kalau ada perkembangan yang tak diinginkan? Kita kan harus saling mengabari." Zora mengguncang bahu Ina dengan gerakan cepat.
"Zora, aku mau tidur lagi."
"Ini sudah pukul delapan lewat. Mau tidur sampai kapan? Sampai besok? Berhentilah bersandiwara dan segera ceritakan apa yang terjadi. Papa sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Jadi, kamu nggak perlu takut ketahuan sudah pulang hampir tengah malam."
Ina menguap tapi tidak sudi membalikkan tubuhnya. "Aku masih mengantuk, Ra. Aku pengin tidur satu jaaammm saja."
Zora malah membalikkan tubuh Ina dengan paksa. Hingga sang kakak tidak punya pilihan selain menurut meski dia benar-benar merasa jengkel karena Zora begitu keras kepala. Jika tidak, kemungkinan besar bahunya yang memar akan bertambah babak belur.
"Kata Teh Yuli, kamu pulang dengan gaun sobek dan tangan berdarah. Apa yang terjadi? Apa ada yang menjahatimu? Kalau iya, kenapa kamu tidak menelepon atau lapor polisi?" oceh Zora.
Saat itulah Ina menyadari bahwa Zora tampak pucat dan cemas. "Kamu nggak kuliah? Hari ini kamu kan ada kuliah pagi." Ina menguap.
"Aku bolos. Aku terlalu cemas, tahu! Apalagi Papa tadi sempat bertanya kenapa kamu belum turun untuk sarapan. Aku terpaksa bohong dan mengarang cerita kalau tadi malam kita terlalu asyik mengobrol sampai tidur kemalaman. Setelah Papa pergi ke kantor, barulah aku leluasa membangunkanmu." Zora cemberut. "Apa yang terjadi? Perlu tidak kita lapor ke polisi?" ulangnya. Zora tampak ngeri dengan kata-katanya sendiri. Ina segera tahu apa yang ditakutkan adiknya.
"Aku baik-baik saja." Ina terpaksa duduk dengan gerakan malas. Gadis itu menguap lagi. Saat itulah Zora baru memperhatikan memar di bahunya karena Ina cuma mengenakan kaus tanpa lengan. Ina mengeluh terang-terangan, tidak lagi punya kesempatan untuk menyembunyikan semuanya dengan rapi. Akan tetapi, pulang ke rumah tanpa mobil dan gaun sobek, mustahil tidak mengundang pertanyaan.
"Na, pasti terjadi sesuatu, kan? Kamu jangan berusaha menyembunyikan apa pun! Ini masalah serius. Cepat mandi, kita harus ke kantor polisi secepatnya," Zora mengangkat tangan, mengelus pipi Ina dengan gemetar. "Atau ... tidak boleh mandi, ya? Aku...."
Ina tertawa terbahak-bahak. Rasa kantuknya ikut terbang mendengar kata-kata adiknya. Ditambah wajah pias yang mengibakan.
"Memangnya kamu kira apa yang terjadi padaku, sih? Aku tidak apa-apa, Zora. Cuma ada sedikit insiden di jalan yang ... nggg ... katakanlah kecelakaan. Tapi tidak serius, kok! Dan mobil penyok bagian depannya. Tapi ada yang akan mengurusnya. Aku cuma lecet dan memar karena ... entahlah! Aku sendiri tidak tahu. Yang di bahu ini mungkin karena sabuk pengaman." Ina mengelus bahunya. Matanya sudah benar-benar terbuka.
"Kamu serius, kan? Tidak bohong?" desak Zora.
"Tidak." Ina menguap sekali lagi. "Ah, kamu sudah mengganggu tidurku. Aku benar-benar mengantuk, tidurku tidak nyenyak. Entah berapa kali aku terbangun," gadis itu menggeliat. Rasanya nyaman sekali. Meregangkan tubuh adalah aktivitas favorit yang selalu dilakukan Ina saat membuka mata di pagi hari.
"Kecelakaannya seperti apa? Parah, ya? Soalnya, mobilmu kan sampai penyok. Papa tidak tahu, ya?" Zora masih cemas. "Eh, mobilmu di kantor polisi atau di bengkel."
Ina berlagak santai, berusaha tidak menunjukkan kerusuhan hatinya yang menyulitkan sejak kemarin. "Sudah, kamu jangan ikut-ikutan cemas! Nanti aku mau mengurus mobil. Papa tidak tahu dan semoga tetap begitu." Ina menatap serius saudaranya. "Kamu tidak berencana untuk memberi tahu Papa, kan?" tanyanya curiga.
Zora cemberut, tampak tersinggung. "Kamu kira aku si pengadu?" sungutnya. "Tadi malam aku menunggumu sampai tertidur. Lain kali, pastikan ponselmu menyala kalau sedang pergi sendiri. Apalagi kalau kita sedang melakukan konspirasi yang bisa membuat Papa marah besar kalau sampai tahu. Aku cemas sekali karena kamu tak bisa dihubungi."
Ina beranjak dari atas kasur dan mulai melipat selimut. "Oh ya, omong-omong soal konspirasi, aku lupa mau tanya. Bagaimana kencanmu dengan Martin?"
Lagu : Risau (Atiek CB)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top