Lelaki Pemilik Sentuhan Ajaib [2]

Aku tergelak karena kata-kata Juno. "Bukan. Aku cuma ingin tahu. Memangnya nggak boleh?" alasanku, mengabaikan rasa hangat yang masih bertahan di kedua pipiku.

Juno merespons dengan santai. "Hidup manusia memang aneh ya, Na. Siapa sangka kalau kamu yang beberapa bulan lalu duduk ketakutan di rumah sakit, sekarang malah jadi istri Pak Al." Kening Juno mendadak dihiasi kerut halus. Lelaki itu hanya kalah tinggi dari Alistair beberapa sentimeter. Mengenakan setelah tanpa dasi, Juno terlihat menarik perhatian. Pastilah pria ini memiliki banyak pengagum di luar sana.

Sahutku, "Jangankan kamu, aku sendiri pun masih merasa kalau ini mirip mimpi." Itu bukan kalimat yang mengada-ada. Memang begitulah yang kurasakan saat ini.

"Aku cuma heran, kenapa kalian malah menghabiskan hari pertama sebagai pengantin baru di sini? Kukira kalian ke Eropa untuk berbulan madu. Karena kayak kubilang tadi, pak Al suka ke Eropa," ujar Juno.

Kata-kata "berbulan madu" yang diucapkan oleh Juno itu membuat wajahku kembali mengalami kenaikan suhu. "Kami memang nggak berbulan madu. Aku ... aku kan harus kuliah," dustaku. Sejak kapan aku lebih memedulikan kuliahku dibanding kemungkinan untuk menghabiskan waktu dengan berlibur?

Bibir Juno membulat. "Oh! Jadi, bulan madunya ditunda, ya? Hmmm, tapi ada bagusnya juga sih. Soalnya di hotel sedang ada beberapa masalah. Kalau Pak Al libur, pasti akan cukup merepotkan. Dan mungkin kalian tetap tak bisa bersenang-senang dengan maksimal karena ditelepon melulu dari hotel."

Kalimat terakhir lelaki itu menyedot perhatianku. "Memangnya ada masalah apalagi selain hubungan gelap antara karyawan yang sudah menikah dengan bawahannya?" tanyaku ingin tahu.

Aku dan Juno sedang berdiri di depan pigura yang memajang keindahan kota Alesund di Norwegia. Aku baru memperhatikan ada keterangan di bagian kanan bawah. Aku belum pernah menginjakkan kaki ke kota itu meski sudah pernah beberapa kali berlibur ke Eropa.

"Ada masalah serius lain di bagian dapur. Koki utama mulai bertingkah dan mengajukan banyak tuntutan. Gosipnya sih, sang koki mendapat tawaran menggiurkan dari hotel lain. Juga ada Marketing Director yang dianggap tidak mampu memenuhi kualifikasi." Juno mengedikkan bahu. "Ah, sudah ya, kamu akan bosan kalau aku cuma membahas soal pekerjaan. Biarkan Pak Al saja yang bekerja. Kamu nggak perlu ikut pusing. Oke?"

"Juno, kamu yakin kalau Vicky itu bukan mantan pacarnya Alistair, kan?"

Pertanyaan bodoh lagi, mungkin. Namun aku terlalu penasaran karena menahan keingintahuan itu di ujung lidahku selama ini. Yang aku tahu, Vicky bekerja sebagai sekretaris Alistair dan konon sangat bisa diandalkan. Jika mengingat kembali kemarahannya padaku, rasanya sangat mungkin jika mereka terlibat pertalian perasaan yang cukup dalam.

Bahkan hingga beberapa menit yang lalu pun Vicky masih menunjukkan betapa dia tidak menyukaiku. Jadi, sangat normal jika aku menduga mereka pernah terlibat asmara. Andai itu yang terjadi, aku mungkin tak akan membiarkan perempuan itu tetap pada posisinya dan bisa berdekatan dengan Alistair setiap saat, kan? Walau aku dan suamiku menikah tanpa cinta, aku tak akan diam saja. Mustahil aku tak melakukan apa pun untuk menjauhkan mantan pacar Alistair yang sepertinya cemburuan itu dari suamiku.

"Mereka berteman sudah bertahun-tahun, bertiga dengan suaminya Vicky. Nggak ada indikasi ke arah asmara. Jadi, kamu nggak perlu curiga. Dulu waktu di rumah sakit, aku sudah pernah bilang, kan? Kalau nggak percaya, tanya saja pada Pak Al." Juno tersenyum.

Suara ponselnya yang berdering menginterupsi obrolan kami. Aku kembali menumpukan fokus pada pigura di depanku. Pemandangan tepi laut dengan perbukitan sebagai latar belakang, tidak hanya sekadar indah. Bangunan bergaya unik pun menampilkan keindahan tambahan. Foto ini sungguh memikatku.

"Maaf ya Na, aku bukan tuan rumah yang baik. Aku lupa menjamu tamu. Barusan Pak Al mengingatkan kalau kamu belum makan," senyum Juno melebar. "Eh, ataukah aku harus memanggilmu dengan 'Bu Alistair'? Atau 'Bu Ina'?"

Aku terkekeh geli. "Kalau kamu mau merasakan tinjuku, nggak masalah, sih. Aku bahkan mengenalmu lebih dulu dibanding Alistair. Kalau kamu mengubah panggilanmu, awas saja!"

Setelah tadi malam, ini kali kedua aku berada di dalam Hotel Megalopolis. Juno yang setahuku menjabat HRD Director membawaku menuju restoran. Rasa lapar mendadak menggelitik perutku begitu hidungku menghidu aroma aneka masakan.

Restoran Hotel Megalopolis sangat luas. Langit-langitnya begitu tinggi dengan beberapa pilar besar yang dibuat dengan cermat. Lalu ada semacam tirai putih tipis yang menjadi dekorasi, dipasang di sekitar pilar. Mataku langsung terpukau pada deretan pigura di salah satu dinding.

"Itu semua foto-foto milik Alistair juga, ya?" tebakku sambil mengarahkan telunjuk kananku. Juno mengikuti area yang kutunjuk.

"Iya," angguk pria itu.

"Hmm, aku tidak tahu kalau dia berbakat menjadi fotografer. Hasil jepretannya bagus, setidaknya menurutku sih," pujiku sungguh-sungguh.

Juno menarik kursi yang berada di depanku. "Memang bagus, kok. Kurasa Pak Al akan menjadi seorang fotografer andai beliau nggak bekerja di sini. Omong-omong, kamu mau makan apa?"

"Apa yang kamu rekomendasikan?" aku balik bertanya.

Karena Juno banyak menawarkan pilihan yang membuat kepalaku pusing dan perutku kian berteriak lantang, akhirnya aku menyerahkan mandat padanya untuk memesan makanan. Lelaki itu memilih golden bag spring roll sebagai hidangan pembuka. Dilanjutkan dengan tortelin soup. Untuk hidangan utama, Juno memilih beef wellington with red sauce. Semuanya bercita rasa lezat dan membuatku kekenyangan. Aku bahkan nyaris tidak mampu menghabiskan ginger creme brulle yang menjadi hidangan penutup.

"Ya ampun Juno, kalau tiap hari menyantap menu seperti ini, aku pasti akan berubah sebesar gajah hanya dalam hitungan minggu," aku mengelus perutku. Empat hidangan yang kucicipi benar-benar memanjakan lidah. "Kayaknya, aku nggak boleh terlalu sering makan di restoran ini," imbuhku.

"Wah, itu risiko yang terlalu berat untuk kutanggung, Na. Aku nggak mau dipecat karena membuatmu gendut," guraunya dengan ekspresi lucu.

Tawaku pun pecah karenanya. Aku masih tergelak saat menoleh ke satu arah dan mataku tertambat pada sesosok jangkung yang sedang mendekat ke arah meja kami. Alistair berjalan dengan wajah tanpa ekspresi.

"Juno, giliranmu untuk bergabung di rapat. Aku mau makan dulu," tukas Alistair dengan suara datar. Juno menurut tanpa banyak bicara. Lelaki itu hanya mengangguk sopan dan pamit dengan sikap formal. Alistair menggantikan Juno, duduk di depanku.

"Kamu belum makan?" aku merasa bersalah. Seharusnya aku lebih memperhatikan suamiku. Masalahnya, aku tak tahu jika Alistair belum mengisi perut di saat ini. Kukira, dia sudah makan sebelum rapat.

"Di ruang rapat sih disediakan camilan. Tadi pun aku sudah diingatkan untuk makan lebih dulu karena memang sudah siang." Alistair mengecek arlojinya. "Tapi aku ingin makan bersamamu."

Alistair memanggil pramusaji dan mendiktekan beberapa pesanan. Chili cheese nachos, chicken cream soup, dan rice bulgogi. Tanpa hidangan penutup. Alistair juga meminta segelas besar air putih.

"Apa yang kalian bicarakan hingga kamu tertawa begitu kencang. Aku bisa mendengarnya di pintu masuk restoran, lho," Alistair tersenyum tipis. Kedua tangannya terlipat di ujung meja.

"Bukan apa-apa. Aku kekenyangan dan yakin akan berubah gendut kalau terus-terusan makan makanan di sini. Semuanya enak dan nggak bisa ditolak," balasku riang. "Tadi, aku kebingungan karena banyak sekali makanan yang direkomendasikan Juno. Sampai akhirnya dia yang kuminta memilihkan makanan untukku. Hasilnya, perutku terasa penuh dan mungkin nggak bisa diisi sampai besok."

Kukira Alistair akan tertawa mendengar ucapanku. Namun ternyata aku salah. Lelaki itu malah mengatupkan bibir dan memandangku dengan serius. Aku menjadi jengah dan meraba leherku tanpa sadar. Apakah ada kata-kataku yang keliru?

"Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu. Aku malah meminta Juno untuk makan siang denganmu. Harusnya aku tidak melakukan itu," gumam suamiku.

Kata-kata Alistair menusukkan perasaan tidak nyaman di dadaku. "Aku yang sudah mengganggu pekerjaanmu. Nggak apa-apa, kok. Lain kali, aku nggak akan merecokimu lagi. Jadi, kamu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak perlu mengurusiku di saat punya banyak pekerjaan yang harus dibereskan."

Lelaki itu malah memajukan tubuhnya. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu istriku, kamu nggak merecokiku, Na."

Perasaanku kusut masai lagi mendengar kalimatnya, meski bukan dalam artian yang buruk. "Terima kasih." Itu satu-satunya respons yang bisa terpikirkan olehku.

"Untuk apa?" Alistair malah bertanya, membuatku kalang kabut.

"Untuk ... untuk ... semuanya."

Kedatangan pramusaji membawakan hidangan pembuka pun menyelamatkanku. Aku menarik napas luar biasa lega. Aku juga berdoa semoga tidak sampai cegukan di depan Alistair. Karena itu akan menjadi sesuatu yang sangat memalukan untukku.

"Kamu mau mencicipi ini? Eh tadi kamu makan apa?" tanya Alistair sembari menunjuk ke salah satu piring.

"Aduh, aku benar-benar kekenyangan," responsku. Aku lalu menyebutkan nama makanan yang kuingat dengan agak susah payah. Di depanku, Alistair tampak begitu menikmati hidangan yang dipesannya.

"Kenapa kamu nggak santai dan tertawa seperti saat bersama Juno? Apa aku ini sangat membosankan?" tanya Alistair lagi, mengagetkan.

Pertanyaan tak terduga itu diucapkan Alistair setelah dia selesai makan. Bibirku terbuka karena heran luar biasa. Kutatap dia lekat-lekat, mengira lelaki itu hanya bergurau. Namun tampaknya Alistair serius dengan ucapannya.

"Aku ... nggak berpikir seperti itu. Kamu pasti tahu kalau aku cukup nyaman ... di depan Juno. Dia yang menemaniku saat kita pertama kali bertemu. Ingat? Saat itu aku begitu ketakutan untuk dua alasan. Kamu yang sangat pendiam dan Vicky yang begitu galak."

Upayaku untuk bergurau tampaknya sangat mengenaskan. Alistair tidak tampak terhibur. Dia malah berdiri dan mengulurkan tangan kirinya ke arahku. Aku menyambut dengan ragu. Perutku benar-benar mulas saat jemari kami bertautan. Astaga, mengapa berpegangan tangan dengan Alistair saja bisa menjadi begitu menyusahkanku?

"Kamu tidak keberatan menunggu di kantorku sendirian saja? Aku ada rapat lagi. Atau ... kamu bosan dan mau pulang saja?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Aku akan menunggumu. Tapi kalau aku tertidur, kamu nggak boleh marah."

Aku merasakan ibu jari Alistair membuat gerakan mengelus. Mendadak, suhu tubuhku seolah meninggi. Mungkin aku terkena demam misterius hanya karena elusan jemari suamiku. Apakah itu sesuatu yang masuk akal?

"Aku nggak akan marah padamu, Na. Apalagi cuma gara-gara kamu tertidur. Hanya saja, aku punya sedikit masalah."

"Yaitu?" aku menoleh ke kanan. Kami berjalan bersisian meninggalkan restoran yang kian dipenuhi banyak orang.

"Aku nggak suka melihatmu tertawa seperti tadi saat di depan Juno atau orang lain. Tawamu itu harusnya hanya ada saat bersamaku. Maaf kalau aku begitu egois," cetus Alistair. "Ini memang aneh, aku tahu. Mungkin malah kamu merasa nggak wajar karena aku bicara seperti tadi. Tapi, aku nggak pengin berbohong. Aku cuma merasa nggak nyaman saja. Dan aku pengin kamu tahu soal itu."

Itu kalimat pertama Alistair yang menyinggung tentang perasaannya terhadapku. Aku kehilangan napas, kata-kata, dan tenaga sekaligus. Lidahku terlalu kaku untuk bicara. Namun jauh di dalam hatiku, aku merasa ingin melompat-lompat kegirangan. Di mataku, Alistair tampaknya sedang cemburu. Aneh tapi aku suka.


Lagu : Cemburu (Atiek CB)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top