Enggan Mengaku Terpesona [1]

"Marriage is like a cage; one sees the birds outside desperate to get in, and those inside equally desperate to get out."

(Michel de Montaigne)

Inanna Grace

Ini adalah hari yang ajaib, aneh, atau mungkin gila. Aku merasa seakan sedang melintasi dunia mimpi yang tidak terprediksi. Mana pernah kuduga kalau di usia yang baru menginjak angka dua puluh tiga tahun ini, pintu yang kumasuki tanpa sengaja, malah mengantarku pada gerbang pernikahan.

Alistair Valerius Damanik memasuki hidupku tanpa tanda-tanda. Semua terjadi begitu mengejutkan. Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk benar-benar merasa kaget. Seakan hanya dalam beberapa kerjapan mata aku sudah menjadi pengantinnya.

Mungkin, persamaan kecil kami cuma masalah nama. Karena ternyata aku dan Alistair menyandang nama dengan makna yang tak terduga.

"Nama 'Alistair' itu dari bahasa Skotlandia, versi lain dari 'Alexander'. Artinya perlindungan Tuhan. Sedangkan 'Valerius' itu maknanya sehat dan kuat, berasal dari bahasa Latin," ungkap suamiku ketika aku bertanya tentang namanya. "Bagaimana dengan namamu, Na? Ada artinya, nggak? Inanna itu nama yang unik, lho! Aku belum pernah mendengar sebelumnya. Kalau sekadar 'Ina' saja, maaf ya, memang menjamur, sih."

"Nggak usah minta maaf. 'Ina' memang nama yang pasaran, kok! Tapi, kalau 'Inanna', memang ada artinya. Menurut Papa, itu nama dewi cinta dari peradaban Mesopotamia. Sedangkan 'Grace' itu sama kayak 'Valerius', dari bahasa Latin. Artinya, anggun dan penuh rahmat. Sepertinya, Papa itu punya harapan yang terlalu muluk saat memberiku nama," celotehku, bercanda.

Alistair menanggapi kata-kataku dengan senyum tipis. "Semua orang tua kurasa akan begitu. Menggantungkan harapan setinggi mungkin ketika punya anak. Makanya, mereka berusaha memberi nama terbaik yang mereka tahu pada anak-anak mereka."

"Hmmm, betul juga."

Andai Alistair tahu bahwa dulu aku sangat sering memprotes Papa karena memberiku nama 'Inanna', kira-kira apa opininya? Namun aku tak mengatakan apa pun saat ini. Mungkin nanti, setelah hubungan kami semakin dekat.

Sebenarnya, aku sangat menyukai namaku. Namun setelah tahu artinya, aku merasa agak tak nyaman. 'Inanna' itu tak cuma nama dewi cinta. Sosok yang sama juga dianggap mewakili kecantikan, kesuburan, perang, keadilan, dan ... seks!

"Kamu betul-betul nggak pengin berbulan madu?" tanya Alistair sekitar dua minggu sebelum kami menikah. Dia hanya mengirimiku pesan via aplikasi WhatsApp.

"Nggak, nanti saja." Itu jawabanku. Untungnya lelaki itu tak bertanya lebih jauh tentang alasanku memilih menunda bulan madu.

Kedua keluarga kami menyarankan berbagai destinasi untuk bulan madu, mulai dari tempat eksotis di tanah air hingga luar benua. Akan tetapi, semuanya kutolak. Aku tidak siap berbulan madu dengan lelaki yang bahkan nyaris tidak kukenal. Ketika didesak oleh Papa, aku beralasan masih harus memikirkan kuliahku. Bulan madu bisa diatur setelah waktunya dirasa tepat.

Aku memang gadis muda yang naif dan cenderung bodoh. Aku ingin membuat pengakuan yang tak berani kulisankan di depan Zora atau kedua sahabat kami. Ssst, jangan bilang-bilang kalau aku terlalu terpesona pada Alistair sejak pertama kali melihatnya di rumah sakit! Lelaki itu seakan medan magnet berkekuatan luar biasa yang menyedot semua perhatianku. Aku yang tidak punya banyak pengalaman untuk urusan hati, terjerembab begitu saja tanpa bisa menyelamatkan diri. Bodohnya lagi, aku malah tak terlalu memusingkan perasaan lelaki itu padaku. Menyedihkan, ya?

Lalu entah kenapa kedua orang tua Alistair malah seakan memilihkan peran gemilang dalam skenario buatan mereka. Aku tahu diri kalau Alistair tidak akan pernah tertarik padaku. Bukannya mendadak aku berubah menjadi perempuan yang tidak percaya diri. Melainkan karena aku realistis. Lelaki seperti dia, mana mungkin tidak punya kekasih? Minimal barisan pengagum yang siap merenggut hatinya.

Mendadak, percakapan dengan pasangan Damanik yang sekarang sudah resmi menjadi mertuaku pun terngiang di telinga.

"Maaf Ina, saya kesulitan tiap kali membicarakan soal ini. Yang jelas, Alistair tidak akan hidup selamanya. Karena itu, kami ingin membahagiakannya. Kami ingin dia menikah. Anggaplah sebagai hadiah terakhir yang bisa kami berikan sebagai orang tuanya." Itu kata-kata Papa Binsar yang membuatku nyaris semaput. Beruntung jantungku sangat sehat, sehingga aku tidak mengalami masalah serius yang mengharuskanku dibawa ke UGD.

"Lalu, kenapa Bapak ingin saya menikah dengan dia? Saya rasa, Alistair pasti punya pacar. Kalaupun tidak, dia pasti takkan setuju menikah dengan cara dijodohkan seperti ini. Hmmm ... sudah bukan zamannya menikah dengan cara begitu, kan? Saya sendiri belum tertarik untuk berumah tangga. Mungkin, saya baru akan berkeluarga enam atau tujuh tahun lagi." Itu jawabanku kala itu.

Papa Binsar merespons kata-kataku. "Enam tahun itu masih lama, Ina. Kami cemas tidak akan ada waktu yang cukup. Al cocok denganmu, percayalah. Dan dia pasti akan setuju. Kami sudah melakukan semacam ... hmmm ... penelitian kecil-kecilan. Kamu mungkin tidak tahu, tapi saya dan Navid adalah teman lama. Cuma memang sekitar empat atau lima tahun belakangan, kami sudah jarang bertemu. Masing-masing memiliki kesibukan yang tak bisa ditinggalkan."

Terakhir, Mama Claire ikut ambil bagian dan membuat tulang-tulangku seolah berubah menjadi bulu angsa. "Saat ini, kami cuma menginginkan bantuanmu. Kami ingin Alistair merasakan hidup yang bahagia. Tolong ya, Na. Karena ... kanker otaknya tidak mungkin menunggu."

Siapa sangka jika kecemasan soal kanker otak itu hanyalah kebohongan? Namun di satu sisi, aku lega karena suamiku ternyata sehat. Artinya, aku tidak akan segera menjadi janda dalam waktu dekat, kalau terkait dengan masalah si kanker otak itu, kan?

Aku dan Alistair memiliki perbedaan usia yang mencolok, sekitar sembilan tahun. Jika diibaratkan, aku adalah pemain amatir yang harus berhadapan dengan lelaki matang yang sudah pasti punya banyak pengalaman. Aku kalah, ditinjau dari berbagai posisi. Kemenanganku cuma satu, umurku lebih muda. Kalaupun itu dianggap sebagai kelebihan, sih. Namun pada akhirnya aku yakin sudah berubah menjadi begitu lemah hanya karena sepasang mata berwarna unik milik Alistair.

Akan tetapi, tentu saja aku tidak akan pernah membuka rahasia gelapku itu sampai kapan pun. Terutama di depan Alistair. Dari Zora saja aku menyimpan semuanya sendiri. Aku terlalu malu untuk mengaku kalau hatiku mudah takluk pada orang yang tak kukenal. Entah hatiku ini normal atau tidak.

Aku bukan orang yang gampang menaruh simpati pada seseorang. Atau jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu sama sekali tak pernah kualami. Apalagi hingga sampai terkelu dengan jantung berdentam-dentam seakan baru melewatkan satu sesi maraton. Cuma Alistair yang bisa memberiku efek seperti itu, membuatku mirip orang bodoh. Dia tidak menyerupai lawan jenis mana pun yang pernah kukenal dalam hidup. Bukan teman-temanku berhura-hura. Bukan pula temanku di sekolah dan kampus.

"Aku masih penasaran kenapa kamu menyembunyikan pada kami semua tentang kapan dan di mana kamu mengenal Alistair," ucap Zora untuk kesejuta kalinya, beberapa hari sebelum aku menikah. Uci dan Milly yang sedang bertamu ke rumahku, menggumamkan kalimat dukungan untuk kata-kata saudara kembarku itu. Namun, tentu saja aku mustahil memberi tahu mereka semuanya, kan?

"Itulah kenapa ada yang namanya rahasia," aku berteka-teki. "Aku pengin ada bagian tertentu dalam hidupku yang kusimpan sendiri, nggak kubagi dengan kalian," kataku, sok misterius. "Kalau kalian semua tahu ceritaku, apa serunya?"

"Halah, banyak alasan," omel Uci. "Pasti ada kejadian memalukan di balik perkenalan kalian," tebaknya dan membuat darahku seolah membeku seketika. "Entah kamu menumpahkan minuman di bajunya karena kecerobohanmu, menginjak kakinya secara nggak sengaja waktu antre di supermarket, atau malah mengira Alistair yang meremas bokongmu pas lagi di kelab. Hal-hal kayak gitu, yang sering ditulis di cerota-cerita romantis," tebaknya sok tahu. Seketika, aku merasa lega.

"Jangan menebak-nebak. Pokoknya semua itu salah. Cerita kami lebih romantis dibanding novel-novel cinta," sesumbarku.

Awalnya aku yakin kalau Alistair adalah tipikal pria yang tidak akan pernah cukup dengan satu orang pasangan, alias setia. Lelaki semenawan dia pasti menyerupai cahaya lampu bagi sekawanan laron. Aku mengambil kesimpulan itu saat dia menatapku begitu intens di pertemuan pertama kami. Nyatanya, justru Martin yang tampaknya lebih mencurigakan.

Mungkin itu opini setengah matang dan super bodoh dari orang yang tidak punya pengalaman memadai. Makanya aku terkejut mendapati Alistair ternyata bisa digolongkan pada manusia irit kata karena tadinya kukira dia adalah lelaki yang suka merayu kaum hawa. Hingga dia menjadi suamiku. Eh, bukan berarti Alistair merayuku mati-matian. Cuma, dia lebih banyak bicara saja dibanding dulu.

Lelaki itu ternyata orang yang santai dan punya persediaan kosakata jauh lebih banyak dibanding yang kukira. Dan Alistair banyak tersenyum juga. Ya ampun, aku nyaris harus selalu memejamkan mata tiap kali dia memamerkan senyumnya. Menyilaukan karena keindahannya. Apakah kesimpulanku ini menggelikan? Sepertinya, iya.

Ah, aku tidak mengira akan berpendapat seperti itu hanya karena melihat seorang lelaki merekahkan senyum. Namun tampaknya Alistair mengubah banyak hal dalam hidupku. Hatiku sepertinya berada dalam bahaya serius.

"Aku yakin, kalau aku terus-terusan memandangi Alistair sambil senyum-senyum sendiri, lama-lama dia pasti mengira kalau istrinya adalah perempuan gila," bisikku pada diri sendiri. Kami kembali duduk di amben sambil memandang ke arah kolam renang yang airnya berkilau oleh cahaya matahari.

"Kamu barusan ngomong apa, Ina? Aku nggak dengar," ujar Alistair, mengejutkan.

Tentu saja aku kalang kabut karena tak berniat untuk bicara padanya. "Eh, nggak kok! Aku nggak ngomong apa-apa," sahutku buru-buru.

"Jangan banyak melamun. Aku tahu, kamu pasti masih kaget karena baru sadar sudah ditipu Mama dan Papa. Mewakili mereka, aku minta maaf," cetus suamiku. Tampaknya Alistair sudah salah paham tapi aku tak meralat kata-katanya. Lelaki itu mendadak berdiri. "Udaranya cukup panas. Aku pengin bikin es teh manis. Kamu mau?"

"Mau," sahutku tanpa pikir panjang. Setelahnya, aku memandangi punggung Alistair yang menjauh dan menghilang di balik pintu belakang.

Ingatanku kembali ke masa lalu, yaitu ketika aku terlalu terpana saat menyadari bahwa keluarga Damanik sedang menawariku pernikahan. Hubungan yang akan mengikat Alistair padaku. Ayahnya bahkan berjanji bahwa Alistair akan menjadi suami yang setia. Aku hanya perlu mengasihi dan menemaninya menjalani hidup di tengah badai penyakit berbahaya yang diderita Alistair.

Saat barusan tahu kalau itu semua setengah kebohongan, aku merasa sakit hati. Aku telah dipermainkan sedemikian rupa hingga terjebak. Namun, apakah adil kalau aku menimpakan kesalahan kepada ayah dan ibunya Alistair? Bukankah aku juga punya saham karena membiarkan semuanya terjadi. Mereka bahkan tidak benar-benar memaksa atau mengancamku, kan? Hatiku saja yang terlalu lemah.

Lalu di saat itulah aku mulai mengenal sisi pengertian dari suamiku. Dia menawariku untuk mengakhiri pernikahan kami karena tidak ingin melihatku menangis di masa depan. Mungkin itu hanya sebuah kalimat sederhana, tidak lebih. Namun, percayalah padaku, jika kalian terlahir sebagai Inanna Grace, itu sudah cukup untuk membuat tulangku meleleh.

Sebentar, ada yang harus kujelaskan di sini. Papaku adalah orang yang penuh kasih sayang, garansi. Tidak ada yang salah dengan memiliki seorang ayah supersibuk tapi tetap mencurahkan perhatian kepada anak-anaknya. Namun ketiadaan seorang ibu takkan pernah bisa tergantikan. Ada lubang yang menganga di dalam hatiku. Entah dengan Zora. Namun aku yakin dia pun tidak jauh beda, meski kami tak pernah membicarakan hal-hal seperti itu.

Salah satu rahasia besarku, tidak mampu bertahan dengan bujukan dan kata-kata yang diucapkan dengan lembut. Aku memang keras kepala tapi kelembutan membuatku tidak berdaya. Dan sejak mengenal Alistair dan keluarganya, hidupku berubah total dalam hitungan minggu. Sejauh mana perubahannya, aku belum tahu.

Tadi, Alistair masih memegang tanganku saat kami tiba di ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Suamiku memiliki selera tersendiri untuk urusan menata rumah. Dia mampu memanfaatkan setiap area dengan maksimal. Aku mengagumi setiap pilihan yang dibuatnya. Namun, pegangan tangannya itu masih terasa hingga sekarang. Diam-diam, aku menunduk untuk melihat tanganku. Tak ada perubahan apa pun di kulitku tapi entah kenapa masih ada rasa hangat yang kurasakan.

Alistair kembali dengan dua gelas tinggi berisi es teh manis. Embun mulai membasahi permukaan luar gelas. Dari tempatku duduk, aku bisa mendengar suara dari arah dapur. Tampaknya, Dini sedang memasak.

"Rumahmu ini...."

"Aku tahu kamu mau bilang apa. Unik, nggak biasa, atau semacam itu," balas Alistair santai. Dia meletakkan salah satu gelas di depanku. "Aku pengin menunjukkan rumah ini padamu," katanya lagi.

Aku menahan senyum. "Rumahmu nggak terlalu besar. Sepertinya aku sudah melihat semuanya. Kamar mandi dan ruang baju yang bikin aku kaget setengah mati."

"Ini bukan rumahku, Ina," ralat Alistair.

"Oh ya? Ini rumah papamu, ya?" tanyaku kaget. Sejak kami tiba di rumah ini, aku sudah berasumsi jika Alistair pemiliknya. Tampaknya aku memang terlalu mudah mengambil kesimpulan.

"Tidak ada lagi papaku atau papamu. Kamu tetap harus memanggil 'Papa' pada Pak Binsar Damanik," guraunya.

"Hahaha, aku tahu," gelakku. Mataku masih terasa perih karena terlalu banyak menangis. Penampilanku saat ini pastilah cukup mengerikan.

Ponsel suamiku berdering di saat itu, membuat Alistair terpaksa bicara selama nyaris satu menit. Aku bisa mendengar protes suamiku kepada siapa pun yang menjadi lawan bicaranya. Aku meringis diam-diam. Sungguh aneh rasanya karena menyebut lelaki ini sebagai suamiku. Namun apa boleh buat, kami terikat dalam hubungan aneh yang sulit untuk dibayangkan.

"Ada masalah, ya?" tebakku saat melihat wajah Alistair berubah muram.

"Seharusnya kita berbulan madu. Ke luar negeri atau ke luar kota, ke mana pun kamu mau. Inilah yang terjadi kalau aku berada di rumah. Meski ini hari pertama aku menikah, nggak ada yang memedulikan itu." Alistair menggerutu lumayan panjang. "Barusan Om Willy yang menelepon. Kamu masih ingat, kan? Suami dari Tante Tiur, adik Papa."

Aku mengernyit sesaat sebelum mengangguk cepat. Baru kemarin aku mendapat kesempatan bertemu dengan keluarga besar Alistair. Aku mengingat "Tante Tiur" sebagai perempuan mungil paruh baya yang trendi. Lelaki ini memiliki banyak anggota keluarga yang belum kuhafal nama dan wajahnya sepenuhnya.

"Ada apa? Kamu harus ke hotel?" tebakku.

Alistair mengangguk. "Om Willy itu yang menjadi general manager selama tiga tahun terakhir. Sementara aku bawahan beliau, executive assistant manager. Selama ini boleh dibilang, aku wakil Om Willy. Aku nyaris nggak pernah mengambil cuti. Tapi hari ini tentu saja situasinya beda. Sayangnya, menjadi pengantin baru nggak dianggap sebagai posisi istimewa. Ada urusan yang harus dibereskan dan aku diminta untuk datang ke hotel segera." Alistair menatap layar ponselnya yang sudah mati. Benda itu masih berada di tangan kanannya.

Aku tidak tahu apakah ada pengantin baru yang sudah harus dihadapkan dengan masalah pekerjaan seperti Alistair. Namun aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghabiskan waktu yang nyaman, berdua dengan suamiku. Keluarga Alistair sudah sejak awal meributkan acara bulan madu, tapi kutolak. Belakangan, Alistair malah mendukung keputusanku dan meminta agar mereka dibiarkan menghabiskan waktu berdua saja. Tanpa gangguan dari pihak mana pun. Tanpa aneka keriaan yang melibatkan kami berdua.

"Aku ikut, ya?" usulku tiba-tiba. Pemikiran itu menusuk kepalaku tanpa terduga. Bahkan Alistair pun melongo mendengar kalimatku.

"Kamu mau ikut? Tapi ... mungkin kamu harus menunggu lama karena aku harus menghadiri rapat. Dan...."

Aku mengangkat bahu, membuang gengsi dan rasa malu. "Nggak apa-apa, aku mau menemanimu. Ketimbang aku di sini sendirian. Atau ... kamu lebih suka aku keluyuran dengan teman-temanku? Kurasa mereka akan pingsan kalau tahu seorang pengantin baru sudah...."

"Oke, mending kamu ikut ke hotel saja!" putus Alistair. "Oh ya, sebelum aku lupa, jangan bilang ini rumahku. Sekarang. ini rumahmu juga. Rumah kita." Dia memberi penekanan pada dua kata terakhir.

Dan hatiku menghangat seketika. Pipiku juga. Bodoh. Untung kali ini aku tidak cegukan.

Lagu : Terpesona (Glenn Fredly & Audy)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top