Bukan Sitti Nurbaya [1]
A successfull marriage requires falling in love many times, always with the same person.
(Mignon McLaughlin)
Inanna Grace tidak mampu menahan jerit tertahan yang meluncur dari bibirnya. Kepanikan menyerbu gadis itu begitu kalimat ayahnya tuntas. Dia sempat menatap wajah identik di sebelahnya yang tak kalah kaget, Zora Estrid.
"Apa maksudnya itu, Pa?" Ina segera bersuara. "Papa nggak serius, kan?"
Wajah Navid Kusuma masih memerah, tanda bahwa lelaki paruh baya itu sedang terbakar emosi. Zora menggeleng pelan, memberi isyarat agar saudari kembarnya tidak membuka mulut lagi. Akan tetapi, mana mungkin Ina mau menurut begitu saja? Tak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang diinginkan adalah semboyan hidup Ina.
"Nggak serius katamu? Inanna Grace, apa menurutmu Papa sedang main-main?"
Ina langsung berkeringat dingin. Jika ayahnya sudah menyebut nama lengkap anak-anaknya, artinya cuma satu. Marah besar. Gadis itu menunduk, merasakan tulang punggungnya seakan mencair saking cemasnya.
"Seumur hidup kalian sudah mendapat semuanya dengan mudah. Tapi, kapan Papa tidak harus cemas karena ulah kalian berdua? Nilai yang jelek, tingkah yang tak terkontrol, hobi belanja yang bikin mumet. Kapan kalian bisa berubah jadi anak-anak manis yang membahagiakan hati Papa?" tanya sang ayah.
Napas Navid agak terengah karena bicara dengan cepat. Ina takut ayahnya akan pingsan karena terlalu marah. Namun dia tidak mungkin menyuarakan kecemasannya karena kemungkinan besar akan membuat situasi tambah parah. Dia juga harus menelan bantahan yang siap meluncur karena semua kata-kata ayahnya adalah kebenaran. Dia dan Zora memang separah itu.
"Jadi, mulai sekarang Papa akan bikin peraturan untuk kalian. Jika masih ingin hidup nyaman, tolong seriuslah menyelesaikan kuliah. Tidak ada lagi pesta. Dan untuk sementara Papa akan menarik kartu kredit kalian berdua. Kalian juga harus bersiap untuk dijodohkan. Karena kalau membiarkan kalian mencari pasangan sendiri, Papa tidak yakin kalian akan memilih laki-laki normal."
Ina menggigit bibirnya. Ayahnya sudah dua kali mengulangi soal perjodohan itu. Selama ini Navid tidak pernah mencampuri urusan percintaan kedua putrinya. Namun entah kenapa kali ini malah sebaliknya.
Gadis itu mengerling ke arah Zora yang tampak sama cemasnya. Ina yakin, Zora yang jauh lebih penurut itu tidak akan berani bersuara. Jika salah satu di antara mereka tidak ada yang bicara, itu sama saja menyetujui usul ayahnya. Membayangkan harus menjalani hubungan dengan lelaki asing berdasarkan keinginan ayahnya, membuat Ina sulit bernapas.
Menegakkan tubuh dan mengumpulkan keberanian sekuat tenaga, Ina akhirnya bersuara. Kedua tangannya mengepal. "Pa, soal perjodohan itu ... kurasa bukan...."
Navid menukas cepat. "Apa Papa minta pendapatmu, Ina?"
Gadis itu terdiam sesaat tapi bukan berarti dia akan menyerah. Ina berusaha mencari kalimat paling halus yang bisa melisankan penolakannya. "Kami sudah dewasa, Pa. Kenapa harus dijodohkan? Lagi pula, aku dan...."
"Papa sudah menemukan orang yang tepat untuk kalian. Laki-laki dari keluarga baik-baik yang pasti bisa membimbing kalian supaya tidak separah ini. Papa akui, Papa salah mendidik kalian. Papa memanjakan dan memberikan segalanya karena ingin kalian bahagia. Tapi ternyata, Papa malah menciptakan dua anak nakal yang mengecewakan."
Kata terakhir yang diucapkan dengan suara lirih itu jauh lebih menyembilu ketimbang makian apa pun. Itu yang dirasakan Ina. Mengetahui bahwa dia dan Zora sudah membuat ayahnya kecewa sampai taraf itu, memukul telak perasaannya. Kini, dia benar-benar tidak berani membantah lagi.
Ketika berada di dalam kamarnya, Ina terdiam lama. Zora berbaring di sebelahnya, tampaknya ikut merenung. Mereka memang membuat ulah yang sulit dimaafkan dua hari lalu.
Dimulai dengan aksi belanja gila-gilaan yang angkanya bisa membuat penderita sakit jantung langsung mendapat serangan. Malamnya mereka berdua menghadiri pesta di sebuah kelab trendi yang baru dibuka. Kelab bernama Party Time itu dipenuhi kaum berduit. Meski si kembar tidak suka mencicipi minuman beralkohol, mereka tetap rajin menyambangi tempat seperti itu. Apa yang dianggap tren atau keren oleh anak muda sebaya mereka, mustahil diabaikan. Belum lagi tambahan rayuan dari dua sahabat mereka, Milly dan Fryda.
Sayangnya, kunjungan ke Party Time ternyata menciptakan masalah besar. Di sana mereka bertemu dengan Sonya, cewek yang pernah bermasalah dengan Zora karena cowok bernama Dominic. Sonya menuding Zora merebut Dominic yang diakuinya sebagai pacar. Pada akhirnya, Zora segera menjauhi Dominic begitu tahu bahwa cowok itu memang masih bersama Sonya.
Masalahnya yang pernah terjadi setahun lalu dan seharusnya sudah terlupakan itu, tampaknya masih diingat Sonya dengan memori sejernih kristal. Dan saat mereka bertemu di Party Time, cewek itu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mempermalukan Zora di depan semua orang. Bertengkar karena masalah lawan jenis adalah hal yang sangat memalukan di mata Ina.
Sindiran-sindiran menyakitkan, awalnya. Hingga akhirnya Ina tidak bisa diam saja karena Sonya terang-terangan memaki Zora. Bagaimanapun, Ina tak suka melihat adiknya dihina. Dan meski Zora berusaha menarik keluar Ina dari Party Time, gadis itu tidak mau menurut. Hingga pecahlah pertengkaran yang diikuti dengan adu jotos. Ina terluka di lengan, terkena cincin Sonya yang dicurigainya terbuat dari baja. Namun dia sangat puas karena berhasil membuat mata cewek nyinyir itu lebam. Dan bibir yang bengkak.
Terakhir kali Ina memukul seseorang saat dia berusia tiga belas tahun. Artinya, sepuluh tahun silam. Meski emosinya mudah tersulut, Ina tidak akan menggunakan tinju jika tidak benar-benar terpaksa.
Pihak keamanan bertindak cepat dengan memisahkan keduanya. Begitu juga teman-teman mereka. Akan tetapi, beberapa kerusakan sudah telanjur terjadi. Ina dan Zora bisa menangani Party Time, tapi gagal bernegosiasi dengan Sonya. Alhasil, persoalan itu sampai ke telinga Navid.
Pengacara yang dikirim keluarga Sonya mengancam akan memenjarakan Ina, itu yang tadi didengarnya dari Navid. Dan entah apa yang dijanjikan ayahnya sehingga Ina tidak akan berhadapan dengan masalah hukum. Padahal Ina yakin dia tidak akan kalah karena punya banyak saksi. Toh, bukan dia yang memulai semuanya. Namun sepertinya Navid tidak setuju. Pertimbangan nama baik, bisnis, dan entah apalagi yang akhirnya membuat Navid mengalah.
"Na," Zora akhirnya bersuara. "Papa nggak serius, kan?"
"Kamu kan tadi mendengar sendiri kata-kata Papa," sahut Ina.
Zora mendesah. "Dijodohkan? Kita sebenarnya hidup di zaman apa, sih? Dan Papa kok tega..."
"Kita hidup di zaman yang salah," balas Ina sekenanya. "Aku sih tahu kalau kita memang salah. Sangat salah. Tapi kok... Papa menghukum kita separah ini, ya? Terlalu berlebihan."
"Dijodohkan? Ya ampun! Kecuali Papa bisa menemukan cowok sekeren Jason Godfrey atau yang memiliki mata seindah Josh Lucas. Tapi, kalau melihat bagaimana maranya Papa, aku sungguh nggak yakin. Paling banter Papa merekomendasikan cowok bertampang kayak Hugh Laurie."
Kening Ina berkerut. "Siapa itu?"
"Ah, susah memang bicara dengan orang yang buta sama dunia hiburan dan seolah hidup di zaman batu. Yang kusebut tadi itu nama aktor dan presenter," cetus Zora berlebihan. "Jangan cuma kenal pemain sepakbola saja, Na. Kita ini sebenarnya kembar atau tidak, sih?"
Ina terhibur dengan kata-kata konyol Zora. "Kenapa tidak menyebut nama artis lokal saja yang sering berseliweran di Instagram? Setidaknya aku kan jadi punya bayangan siapa yang kamu maksud."
Zora malah memiringkan tubuh dan menatap Ina dengan sungguh-sungguh. "Kalau menyebut nama selebriti lokal, aku merasa berdosa, Na. Kesannya kok menghina. Beda rasanya kalau yang disebut itu orang bule. Jauh dan tak terjangkau, seakan kita bukan sedang bergosip."
Lagu : Cukup Siti Nurbaya (Dewa 19)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top