Bukan Bulan Madu [2]

Inanna Grace

Aku berbaring memunggungi Alistair. Kondisi yang sama setiap malam. Kadang aku terbangun dengan kaki menindih pahanya atau lengan melintang di atas dadanya. Aku memang bukan orang yang mampu tidur dengan gerakan pelan. Mungkin juga aku berkali-kali menendang atau meninju suamiku. Entahlah, aku tak berani mengajukan pertanyaan soal itu. Karena tak siap jika Alistair membenarkan dugaanku.

Aku hampir tak pernah seranjang dengan siapa pun seumur hidup. Selain Alistair, hanya Zora yang pernah tidur di sebelahku. Dan saudari kembarku itu selalu memiliki segudang keluhan yang ditujukan padaku. Menurut Zora, aku mirip manusia barbar saat sedang terlelap. Katanya, aku pernah menyikut dagunya hingga memar. Tentu saja aku menolak mentah-mentah tuduhan yang tak memiliki bukti selain kesaksian Zora yang bisa saja palsu itu.

Malam itu, justru Alistair yang berkali-kali bergerak gelisah dalam tidurnya. Entah berapa kali aku terbangun karenanya. Suamiku bahkan menggumamkan sederet kalimat yang tidak jelas. Aku sempat ragu, tidak tahu harus melakukan apa. Namun kemudian kuputuskan untuk mengguncang bahu Alistair dengan hati-hati.

"Al ... kamu mimpi buruk, ya?" gumamku dengan suara pelan.

Hingga empat kali aku melakukan hal itu sebelum mata Alistair akhirnya terbuka. Kuusap keningnya yang dibasahi titik-titik keringat. Tanganku sempat menyentuh bekas jahitan berupa garis samar di sana untuk pertama kalinya

"Ina?" Alistair mengerjap.

"Kamu mimpi buruk. Maaf, aku terpaksa membangunkanmu. Kamu butuh sesuatu? Mau minum?" tanyaku sambil menarik tanganku perlahan dari kening suamiku.

Alistair menggeleng pelan. Aku benar-benar kaget saat tiba-tiba dia malah menarikku ke dalam dekapannya. Kepalaku menempel di dadanya dengan canggung. Tangan kiri Alistair melingkari pinggangku. Aku merasakan tubuhku kaku dan tidak berani bergerak. Sementara jantungku mendadak dag dig dug dan mungkin akan meledak. Apa yang harus kulakukan saat ini? Haruskah aku diam saja dipeluk seerat ini oleh Alistair?

"Kamu di sini saja, ya? Jangan ke mana-mana. Supaya aku nggak bermimpi buruk lagi," ujar suamiku dengan suara mengantuk.

Masalahnya, aku tidak akan bisa tidur dengan posisi seperti ini. Aku belum pernah dipeluk seseorang seerat ini, apalagi berjenis kelamin laki-laki. Zora pun langsung kusikut kalau mendekapku dengan kencang. Apalagi, rasa kantukku sudah menguap tanpa bekas. Dan kalaupun aku bisa terlelap, besar kemungkinan mimpi buruk yang ganti menghampiriku.

Alhasil, aku nyaris tak tidur semalaman. Namun lama-kelamaan tubuhku bisa rileks juga. Aku hanya mendengarkan suara napas suamiku yang teratur. Alistair benar, dia tak bermimpi buruk lagi. Laki-laki itu tertidur nyenyak sambil memelukku. Aku baru bisa memejamkan mata menjelang pagi. Itu pun karena kantukku sudah benar-benar tak tertahan. Aku ingat, sebelum memejamkan mata, aku pun memeluk pinggang Alistair. Kenapa rasanya begitu nyaman, ya?

Sepertinya, kejutan beruntun sedang berbaik hati menyapa hidupku. Bukan cuma pelukan erat Alistair yang harus kuhadapi malam itu. Esoknya, suamiku membuat lidahku terkelu lagi.

"Na, sekitar tiga minggu lagi aku harus terbang ke Eropa. Di sana cuma sebentar, sih! Lima hari saja. Ada urusan pekerjaan. Yah, sebenarnya nggak ada hubungannya dengan hotel. Hanya saja Papa meminta bantuanku. Aku akan bertemu dengan beberapa calon investor. Tampaknya mereka tertarik pada bisnis perhiasan. Pemiliknya pengin menjual atau minimal mencari pemodal baru untuk Gold Life?"

Aku yang sedang menemani Alistair sarapan, terperangah. Tentu saja aku pernah mendengar nama yang baru disebutkan oleh suamiku itu. Salah satu perusahaan perhiasan terbesar di Tanah Air. "Gold Life itu milik keluargamu juga?"

Kini, Alistair ganti mengernyit ke arahku. "Kukira kamu sudah tahu. Sebenarnya bukan milik keluarga, sih. Gold Life itu perusahaan yang didirikan pamannya Papa dan sekarang diurus anaknya. Cuma karena tidak ada yang punya waktu luang untuk terbang ke Florence, mereka meminta bantuanku. Karena dulu aku pernah kerja di sana juga walau nggak lama. Jadi, aku cukup paham soal Gold Life."

Ada satu kata yang menarik minatku hingga aku mengabaikan penjelasan tambahan suamiku. "Folrence, Italia? Kamu mau ke sana?" Bbibirku terasa kering mendadak.

Di masa lalu, entah berapa kali aku merengek pada Papa agar diizinkan pergi ke kota itu. Sayang, Papa belum mampu meluangkan waktu untuk menemani. Karena aku dan Zora tidak diizinkan pergi hanya berdua. Aku pencinta sepatu dan sangat ingin melihat sendiri kota yang sudah menyumbangkan Salvatore Ferragamo pada dunia. Di Florence bahkan berdiri museum Ferragamo yang terkenal itu.

"Iya, betul. Aku mau mengajakmu. Kenapa? Tidak tertarik? Kamu ingin pergi ke tempat lain?" Tampaknya, Alistair sudah salah memahami responsku.

"Bukan begitu!" sergahku cepat. "Aku ... aku justru sudah lama pengin ke Florence. Eh, sebentar! Kamu betul-betul mau mengajakku ke Florence?"

Mata biru es Alistair berbinar. "Ya, aku mau mengajakmu ke Florence. Kamu sungguh pengin ke sana?"

"Ya." Kutatap suamiku dengan sungguh-sungguh. "Kamu benar-benar mau mengajakku?" ulangku, masih tak percaya.

"Tentu saja! Kamu istriku, memangnya aku harus mengajak siapa lagi?" Alistair tertawa geli. "Harus berapa kali kita tanya jawab soal ini? Jadi, kamu mau ikut?"

Alistair tampak antusias. Dan fakta itu membuatku begitu gembira. Aku tidak menyadari kalau perasaan itu mendorongku untuk menjangkau punggung tangan Alistair dan menghadiahi elusan lembut.

"Mau, apalagi kalau gratis," aku tergelak.

Alistair menatapku dengan senyum lebar menghias wajahnya. "Kamu punya paspor, kan? Biar visanya segera diurus. Di hotel, ada yang biasa membereskan masalah visa. Nanti kamu tinggal datang ke kedutaan saja untuk wawancara dan biometrik."

"Punya! Sebentar, biar kuambil," kataku sambil buru-buru berdiri. Aku benar-benar senang hingga meninggalkan dapur dengan tergesa, seolah cemas jika Alistair akan berubah pikiran. Alistair menggumamkan sesuatu tapi aku tak mendengarnya dengan baik.

Tujuanku selanjutnya adalah kamar tidur kami. Aku langsung berjalan ke ruang pakaian yang bersebelahan dengan kamar mandi. Dalam waktu singkat, aku segera menemukan benda yang kucari.

Aku sempat melompat-lompat di sana hingga napasku terengah. Tentu saja aku tak mungkin melakukan hal semacam ini di depan Alistair karena dia pasti kaget melihat istrinya bertingkah sangat kekanakan. Bagaimanapun, aku masih belum bisa bertingkah apa adanya di depan suamiku. Karena masih terlalu mencemaskan reaksi Alistair nantinya.

Sebelum kembali ke lantai dasar, aku sempat menempelkan paspor di dadaku sambil memejamkan mata. "Ya Tuhan, semoga aku benar-benar bisa ke Florence bersama Alistair. Aamiin!" doaku dengan sungguh-sungguh.

Setelah itu, aku pun kembali ke dapur dan menaruh benda itu di atas meja. Alistair tertawa kecil. "Aku kan masih belum mau berangkat ke hotel, Na. Aku tadi bilang, paspornya nanti saja. Sekarang, temani dulu aku sarapan."

"Oh, maaf. Aku nggak dengar," sahutku sambil kembali duduk di depan suamiku. Wajahku pasti berseri-seri luar biasa. Aku benar-benar tak bisa menyembunyikan perasaan. "Eh, Al, temanku bilang aku ini mendapat berkah karena punya suami sekeren kamu. Kalau tahu kamu mengajakku ke Florence, pasti semua heboh dan iri.". aku terkekeh geli membayangkan ekspresi Zora, Uci, dan Milly jika tahu berita besar ini. "Mereka hanya nggak tahu apa yang membuat kita menikah."

Dalam sekedip aku tahu kalau baru saja melisankan kalimat yang keliru. Perubahan di wajah Alistair begitu kentara. Suamiku tampak muram meski dia berusaha menyembunyikannya dengan berpura-pura berkonsentrasi dengan sarapannya, nasi goreng udang yang dimasak oleh Dini.

"Kenapa? Aku salah bicara, ya?" tanyaku terus-terang sambil menggigit bibir.

"Tidak ada yang salah. Aku malah senang kalau ada yang beranggapan kalau kamu mendapat berkah karena menikah denganku."

Aku tidak buta dan bisa melihat dengan jelas kalau Alistair sama sekali tidak merasa senang. Entah apa yang mengganggunya, yang jelas dia mendadak menjadi pendiam. Senyumnya tak lagi terlihat. Dia terlihat berubah serius.

Karena tidak berhasil mencari tahu apa yang sedang terjadi, aku berusaha membuang kegemasan di hatiku. Aku bukan orang penyabar. Namun setidaknya aku berusaha menghargai Alistair. Dia dan aku masih sangat asing satu sama lain meski terikat pernikahan. Aku tidak akan memaksanya membuka mulut untuk mengungkapkan rahasia hati. Aku akan membiarkan Alistair memberikan kepercayaan dan membuka diri atas kemauannya sendiri.

Aku pun kemudian sibuk menyusun rencana. Aku sibuk membayangkan apa yang akan kulakukan bersama Alistair di Florence. Kira-kira, apakah akan terjadi hal-hal mengejutkan di sana?


Lagu: Kristal-Kristal Cinta (Irma June & Hedy Yunus)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top