Bukan Bulan Madu [1]
"Love is often the fruit of marriage."
Moliere
Inanna Grace
Aku bersyukur karena tampaknya Tuhan memberikan akal sehat pada Alistair. Hingga dia tetap bersikap santai meski melihatku cegukan dan salah tingkah. Alistair membantu merapikan meja. Dia bahkan melarangku mencuci piring dan beralasan kalau aku sudah memasak makanan yang enak. Alhasil, aku cuma duduk sembari menatap punggung lebar suamiku dari belakang saat dia berdiri menghadap ke wastafel.
Kukira, perbincangan soal rencana masa depanku tidak akan berlanjut, minimal hari itu. Aku memilih untuk merapikan susunan sepatu yang mulai berantakan setelah membuatkan suamiku segelas cokelat panas. Aku tidak ingin Alistair menilaiku sebagai perempuan jorok. Setelah itu, aku pun mencuci muka dan menyikat gigi, bersiap untuk tidur.
Berhubung di rumah ini hanya ada satu televisi, Alistair selalu menghabiskan waktu di kamar. Aku bisa tidur dengan nyaman dan tidak terganggu dengan suara televisi. Alistair penggemar acara otomotif, tayangan yang mengupas tentang dunia hewan dan arkeologi, serta musik. Aku sendiri bukan penikmat si kotak ajaib. Aku menonton televisi hanya sesekali, terutama saat ada pertandingan sepakbola. Sayang, Alistair bukan penikmat olahraga itu.
Kukira malam itu aku akan segera terlelap karena kantuk sudah mulai menggelayuti kedua mataku. Namun Alistair tampaknya justru ingin memanfaatkan waktu untuk berbincang denganku.
"Na, aku mau tanya sesuatu. Apa kamu serius mau berhenti kuliah?" Alistair bersuara.
Aku yang sedang membenahi selimut, menghentikan aktivitasku dengan mendadak. Alistair malah menyusun bantal di belakangku, membentuk tumpukan yang lumayan tinggi. Aku menangkap itu sebagai isyarat jika suamiku ingin kami bicara.
"Serius," sahutku seraya menyandarkan punggungku di tumpukan bantal. Alistair melakukan hal yang sama. Kami cuma terpisah oleh ruang kosong sekitar dua puluh sentimeter. Aku sudah tidak lagi secanggung dulu saat berduaan dengan Alistair.
Aku bersiap membuka mulut untuk memberikan alasanku. Namun di saat yang sama, kilat menyambar dan membuatku mendongak. Air hujan yang memukul-mukul kaca di atap kamar kami, membuatku berkedip kaget. Aku masih sulit membiasakan diri tidur di kamar dengan atap kaca yang membentangkan pemandangan malam. Terutama saat ada hujan dan kilat menyambar-nyambar.
Tanpa bicara, Alistair bangkit dari ranjang dan menekan sebuah tombol di dekat meja kerjanya. Perlahan, penutup langit-langit pun bergerak.
Aku buru-buru bersuara. "Kenapa ditutup? Kamu kan selalu tidur tanpa penutup itu."
"Hujannya terlalu deras. Dan kamu terkaget-kaget tiap lima detik," Alistair kembali bersandar di sebelahku. "Kalau kamu berhenti kuliah, apa yang akan kamu lakukan, Na?"
"Aku belum tahu," balasku. Sebenarnya, itu bukan jawaban yang sepenuhnya jujur. Sejak dulu aku sudah memiliki cita-cita yang tak pernah kuungkapkan pada dunia. Bahkan pada Zora atau papaku. Karena aku mencemaskan reaksi orang-orang di sekelilingku. Pertanyaannya, apakah aku harus menyimpan rahasia juga dari Alistair?
"Keinginan untuk berhenti kuliah itu, datang begitu saja hari ini. Setelah Uci bertanya apa rencanaku di masa depan. Kamu ingat Uci, kan?" aku menoleh ke kiri, menatap wajah menawan Alistair dengan saksama.
"Tentu saja aku ingat," sahut lelaki itu.
"Tahu apa yang kurasakan?" tanyaku lagi
"Apa, Ina?"
"Awalnya aku bingung menjawab pertanyaan itu. Tapi setelahnya aku tersadar, aku sama sekali nggak punya rencana spesifik. Aku nggak bisa lagi mengikuti prinsip air mengalir. Situasinya sekarang sudah beda, kan? Aku bukan lagi perempuan bebas, sudah saatnya aku lebih serius memikirkan masa depan. Dan menyelesaikan kuliah bukanlah prioritasku."
Alistair mengerjap. "Kalau boleh tahu, apa alasannya? Kenapa kamu tidak merasa menuntaskan pendidikan sebagai prioritas? Kuliahmu hanya tinggal dua semester, kan?"
Aku berusaha keras menunjukkan sikap santai. Isi perut dan dadaku seakan terpuntir tiap kali Alistair dan aku saling pandang lebih dari dua detik. Makin hari puntirannya kian kencang. Aku menghela napas. Tampaknya aku harus mulai terbuka pada Alistair jika tak mau dia salah paham terhadap keinginanku untuk meninggalkan bangku kuliah.
Tanyaku pada Alistair, "Mau mendengar jawaban jujur?"
"Tentu saja. Aku lebih suka begitu meski mungkin nggak terlalu enak didengar." Alistair tersenyum tipis. "Kamu bisa cerita apa saja padaku, Na. Aku nggak akan menghakimimu," katanya dengan penuh tekanan.
Aku menarik napas panjang. Dari mana aku harus memulai? Tampaknya, malam ini kami akan terlibat obrolan panjang nan serius. Aku juga tak tahu seperti apa reaksi Alistair setelah mendengarku bicara jujur. Namun, kurasa risiko itu harus kuambil. Alistair adalah suamiku, wajar jika dia mengetahui rahasiaku. Siapa tahu, dia bisa memaklumi pemikiranku. Sehingga aku tak lagi merasa menjadi manusia anomali yang menggelikan, tumbuh dan besar dengan pemikiran yang tak sama seperti adik atau teman-temanku.
"Tolong jangan tertawa, ya?" pintaku dengan ekspresi serius.
"Nggak akan," tegas Alistair.
Aku pun akhirnya mulai bersuara. "Jujur saja, aku mungkin contoh manusia yang nggak punya cita-cita terkait masalah pendidikan, Al. Aku kuliah hanya demi memenuhi tanggung jawab kepada papaku. Kamu tahu sendiri, orang tua pasti menuntut anak-anaknya untuk sekolah setinggi dan sebaik mungkin. Menjadi sarjana adalah semacam keharusan. Yah, nggak cuma tuntutan dari orang tua saja, sih, tapi juga dari lingkungan.
"Kalau aku sejak awal bilang nggak tertarik kuliah, pasti sudah dihakimi. Mungkin akan dianggap sebagai cewek pemalas yang tak sayang dan nggak menghargai diri sendiri. Atau gadis bodoh yang maunya hura-hura saja dan mengabaikan pendidikan. Seakan-akan pilihan untuk nggak kuliah adalah sesuatu yang sangat memalukan dan mencederai norma, nyaris sama seperti melanggar hukum.
"Padahal, kuliah bukan berarti satu-satunya jalan untuk menjadi manusia cerdas, kan? Apalagi di zaman sekarang, saat manusia bisa mendapatkan ilmu dengan mudah tanpa harus duduk di bangku kuliah. Tanpa bermaksud membela diri, berapa banyak orang-orang di luar sana yang kuliah supaya nantinya bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus dibanding kalau hanya tamat SMA? Ijazah yang lebih dibutuhkan ketimbang proses mencari ilmunya."
Aku berhenti sejenak untuk menahan diri agar kata-kataku tidak lepas kendali hingga dianggap gila oleh suamiku. Sekaligus ingin melihat respons Alistair. Dia mendengarkan setiap kalimatku dengan penuh perhatian. Tak ada tanda-tanda Alistair akan terkena serangan jantung karena semua ucapanku. Paling tidak, fakta itu membuatku sedikit lega.
"Jadi, walau aku nggak pengin kuliah, aku tak pernah membahas masalah itu di depan Zora atau Papa. Karena aku mencemaskan reaksi mereka. Aku pernah sambil lalu membahas soal itu saat sedang mengobrol dengan Zora, Milly, dan Uci. Kejadiannya saat kami masih kelas dua SMA. Aku nggak akan pernah lupa respons semua orang, membuatku merasa jadi manusia aneh yang hina," kataku, tak berdusta.
"Seperti apa reaksi mereka?" tanya Alistair dengan nada sabar.
"Kalimat senada dengan 'gila, kalau zaman sekarang nggak kuliah, mau jadi apa nantinya'? Seakan-akan manusia yang berguna itu cuma orang-orang yang menjadi sarjana. Setelah itu, aku malah diceramahi panjang lebar, dianggap nggak berpikir normal. Padahal, kalau normal diartikan harus seragam dengan sekeliling, bukankah itu terlalu dangkal?
"Akhirnya, aku terpaksa memilih kuliah walau memang sempat menganggur setamat SMA. Entah karena stres atau apa, aku sempat sakit-sakitan. Daya tahan tubuhku menurun, bolak-balik ke dokter pun nggak terlalu ada efeknya. Hasil pemeriksaan ini-itu, aku dinyatakan sehat. Zora ikut-ikutan menganggur walau dia seharusnya bisa langsung kuliah.
"Aku kuliah tanpa hasrat tertentu. Aku bahkan nggak tahu jurusan apa yang mampu membuatku bergairah. Aku cuma pengin jadi sarjana supaya nggak dianggap aneh. Dan punya semacam tiket bebas dari cemoohan sebagai anak nggak berbakti kalau nekat cuma tamat SMA saja. Makanya aku memilih kuliah di fakultas sejuta umat dengan jurusan yang sangat banyak dipilih orang. Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen." Aku berdeham dengan tenggorokan yang terasa kering. Selain karena banyak bicara, aku juga gugup. "Aku menyedihkan, ya?" tanyaku.
"Menyedihkan apanya? Aku nggak menganggap begitu," bantah Alistair buru-buru. "Pertama, aku mau bilang, terima kasih karena sudah berbagi soal ini denganku. Percayalah, aku nggak akan menghina atau menghakimimu hanya karena masalah ini. Kedua, kalau ternyata kamu nggak pengin kuliah sejak awal, harusnya kamu bicara terbuka dengan Papa. Siapa tahu beliau bisa memaklumi keinginanmu. Ingat, nggak semua orang tua pengin anak-anaknya mengikuti standar yang berlaku di masyarakat. Dan aku setuju sama kamu. Bahwa orang tak harus kuliah untuk membuktikan bahwa hidupnya berguna atau otaknya cerdas."
Aku benar-benar lega mendengar uraian yang meluncur dari bibir Alistair. Aku bahkan sempat terpikir ingin memeluknya tapi terlalu malu dan gengsi untuk melakukan hal itu. Karena itu, aku cuma tersenyum pada suamiku.
"Zora, Uci, dan Milly berencana akan membuka butik. Mereka menawariku untuk bergabung, tapi aku tidak tertarik sama sekali. Di lain sisi, menyelesaikan kuliah pun tidak lagi menarik minatku. Aku nggak mau lagi menjalani sesuatu yang tak benar-benar kunikmati. Aku juga bersyukur karena nggak sampai depresi karena memaksakan diri melakukan hal yang tak kuinginkan. Salah satu teman SMA-ku ada yang mengalaminya. Dia ingin kuliah di bidang seni rupa tapi orang tuanya memaksa supaya dia mengambil jurusan teknik. Sudah dua tahun ini dia harus ditangani oleh psikiater."
Alistair mengangguk. "Hal seperti itu memang banyak terjadi. Aku juga punya teman yang mengalami hal seperti itu."
"Apa keputusanku itu membuatku egois? Kamu malu ya punya istri sepertiku?" tanyaku lagi.
Alistair tertawa kecil. Dia malah memegang tangan kiriku dan menggenggamnya. Kehangatan menyusup hingga ke dalam jiwaku. Aku ingin menarik tanganku, tapi bukan karena aku tidak menyukai tindakan Alistair. Aku menikmati setiap sentuhan kulit yang melibatkan kami berdua, sangat. Namun aku tidak suka dengan reaksi kimia yang menjadi dampaknya. Ada banyak badai dan remasan yang bergulung di perut dan dadaku, luar biasa menyiksa. Dan itu impak yang menakutkan untukku.
"Kamu nggak egois, wajar seseorang ingin melakukan apa yang membahagiakannya. Dan tidak, aku sama sekali nggak malu punya istri kamu. Memangnya kenapa kalau kamu tidak menjadi sarjana?" respons Alistair.
Aku kesulitan berpikir dan memberi jawaban yang cerdas karena genggaman Alistair meremukkan konsentrasiku.
"Tak masalah kalau kamu memang tak berniat untuk melanjutkan kuliah. Mungkin kamu memang harus serius mulai memikirkan apa yang ingin kamu lakukan, Na. Sesuatu yang membuatmu senang, bahagia," usul Alistair.
Aku tersenyum setengah hati. "Aku senang karena berpendapat seperti itu. Paling nggak, setengah bebanku berkurang. Sekarang, aku cuma perlu menyiapkan mental untuk menghadapi Papa. Karena sudah pasti Papa nggak akan senang dengan keputusanku."
Alistair meremas tanganku, membuatku menoleh lagi ke arahnya. "Hei, yang sekarang bertanggung jawab padamu itu aku, bukan papamu. Kamu adalah istriku. Jadi, jangan terlalu mencemaskan Papa. Kurasa, beliau akan mengerti walau mungkin awalnya agak sulit," Alistair menghiburku.
Aku seakan tersadar kalau situasinya memang sudah berbeda. "Ya, kamu benar. Aku kadang masih suka lupa kalau aku sudah menikah," aku menyeringai. Lalu, aku memutuskan untuk bicara apa adanya pada suamiku. Mumpung aku sedang memiliki keberanian. Belum tentu kami bisa berbincang seperti ini lagi di masa depan, kan?
"Sebenarnya, aku tadi nggak sepenuhnya jujur sama kamu, Al. Sejak dulu, aku sudah tahu apa yang ingin kulakukan. Tapi ya itu tadi, aku takut dengan reaksi orang-orang. Makanya, aku terpaksa kuliah dengan harapan akan bebas melakukan apa yang kuinginkan setelah jadi sarjana nantinya," aku membuat pengakuan.
"Maksudmu? Aku nggak paham," balas Alistair.
Aku berdeham. "Sejak dulu, aku cuma pengin melakukan satu hal. Membangun kerajaan sepatu. Aku pengin mendirikan butik khusus sepatu, nggak dicampur dengan baju atau tas. Aku juga pengin memproduksi sendiri semua sepatu itu dengan jumlah terbatas setiap modelnya. Intinya, aku pengin menciptakan sepatu yang nggak pasaran dan cuma ada di tokoku." Aku tersenyum malu. Baru kali ini aku membahas cita-citaku itu pada seseorang. "Mimpiku terlalu tinggi, kan? Itulah sebabnya aku nggak pernah membahas ini di depan siapa pun. Aku pasti cuma dianggap gila karena selama ini hanya tahu berhura-hura."
Alistair memandangku serius dengan matanya yang unik itu. "Mimpimu nggak terlalu tinggi, itu bahkan cita-cita yang sangat bagus. Karena kamu sudah tahu apa yang kamu inginkan. Kenapa nggak pernah membahasnya dengan Papa? Beliau pasti paham dan akan mendukung cita-citamu."
Aku cuma mampu tersenyum kecut. Mungkin Alistair ada benarnya, tapi aku tak terlalu yakin. Papa memang cederung pengertian, tapi belum tentu Papa bersedia membiarkanku tak kuliah. Dulu, Papa sangat sering bicara tentang anak dari teman-temannya yang hebat di sekolah dengan prestasi mentereng. Atau para sepupuku yang memiliki prestasi mengagumkan di bidang akademik. Itulah sebabnya aku tak pernah berani bicara jujur tentang cita-citaku. Karena aku tahu, walau tak pernah mengungkapkannya terang-terangan, Papa berharap kedua putrinya akan memiliki prestasi di bidang pendidikan.
"Baiklah, hari ini kita sudah bicara cukup serius. Kamu sampai terlihat begitu tegang. Tanganmu bahkan sedingin es," cetus Alistair. Dia meremas jemariku yang masih berada di genggamannya dengan gerakan lembut. Tindakan itu membuat perutku seperti jungkir balik. "Pelan-pelan, kita pikirkan jalan keluarnya. Soal melanjutkan kuliah atau nggak, itu tergantung padamu. Aku akan mendukung apa pun keputusanmu, Na. Sementara soal kerajaan sepatu impianmu itu, akan kita wujudkan."
Aku terpana mendengar seseorang di luar Zora dan Papa, berjanji untuk merealisasikan cita-citaku. Apalagi, aku melihat Alistair serius dengan ucapannya. Tak ada ekspresi atau kilau geli di wajah dan matanya.
"Terima kasih, Al," kataku. Cuma itu yang mampu kulisankan.
Sementara itu, suara hujan masih bergemuruh di luar sana. Aku adalah orang yang cenderung takut pada suara hujan yang ditingkahi petir menggelegar. Namun Zora membuatku terpaksa berani. Sejak kami memiliki kamar masing-masing, Zora akan melompat ke ranjangku tiap kali ada suara petir. Aku sebenarnya memilih untuk berlindung di bawah selimut yang menutup rapat sekujur tubuh. Zora membuatku mustahil menunjukkan rasa cemas. Sejak kecil, aku selalu ingin menunjukkan keberanian di depan Zora. Aku tak pernah menampakkan ketakutan karena itu bisa membuat adikku makin panik.
"Kamu takut hujan atau petir?" tanya Alistair, mengejutkan.
"Kamu ... tahu?"
"Aku bisa menebaknya tiap kali melihat reaksimu saat ada hujan atau petir. Andai kamu lupa, ini ketiga kalinya hujan turun sejak kita menikah. Responsmu selalu sama."
Aku menimbang-nimbang untuk membuka satu rahasiaku lagi pada Alistair. Akhirnya kupilih kalimat singkat. "Ya, aku memang agak ... penakut. Kalau cuma hujan, aku nggak terlalu terganggu. Tapi kalau sudah ditambah petir ... itu cukup ... menyeramkan."
"Tidurlah, kamu tampaknya sudah mengantuk," saran Alistair. "Dan jangan takut karena ada aku di sini. Nanti kita akan bicara lagi. Percayalah, kerajaan sepatu ala Inanna Grace itu bukan sesuatu yang muluk."
Lagu: Bintang-Bintang (Titi DJ)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top