6. Ibu
Mengaktifkan nomor yang baru kubeli, aku langsung menggunakannya untuk menelefon Ibuku di kampung.
"Hallohhh?!" Terdengar suara tidak ramah di kejauhan sana, meskipun tak ramah tapi tetap aku rindukan.
"Bu? Ini Nina!"
"Ehh, Neng. Apa kabar??"
"Baik Bu, Ibu gimana, sehat?"
"Iya, sehat lah, gini-gini aja Neng."
"Alhamdulillah atuh Bu. Eh iya Bu, Nina mau cerita."
"Cerita apa?"
"6 bulan ini, Nina kerja di tempat baru, enak Bu, ketemu banyak orang, jalan-jalan ke banyak tempat."
"Bagus atuh kalau kamu seneng mah, Neng."
"Ibu kerjaan gimana? Gak balik kan?"
"Ibu masih ngurus salon, masih bantu-bantu si Ceu Patimah, creambath gitu, keramasin orang, sesekali facial."
"Alhamdulillah, ai Ibu mau gak punya salon sendiri??"
"Hah? Apaan?"
"Ibu denger Nina bilang apa."
"Kamu tau Ibu emang ngimpi punya salon, tapi da gimana? Gajih dari si Ceu Empat ge cuma cukup beli beras sama lauknya. Sama sesekali beli lipstik."
"Bu? Tadi Nina kirim uang ke rekening Ibu, dicek ya Bu, itu buat usaha Ibu, pake ya Bu buat bikin salon. Kan mimpi Ibu."
"Ehh yang bener kamuh neng? Nanaonan?? Kan Ibu bilang simpen hasil kerja kamu buat bekel usaha kamu sendiri. Ibu di sini biar usaha!"
"Bu denger dulu, kerjaan Nina yang ini enak, gajinya lumayan gede, makanya Nina ada lebih buat Ibu."
"Kerja apaan Neng enak gitu gaji gede? Kamu jangan macem-macem!! Ibu banting tulang ngumpulin duit biar kamu sekolah terus kuliah di kota bukan buat ngikutin jejak Ibu!!!" Aku menelan ludah, suara Ibu naik beberapa oktaf.
"Kerjaan bener kok Bu, Nina jadi asisten pribadi salah satu bos gitu Bu!"
"Ya alloh neng!! Ibu gak mau kamu jadi simpenan boss!"
"Asisten pribadi, Bu. Bukan simpenan."
"Tapikan di cerita-cerita mah sok kitu."
"Ini real life, Ibu!"
"Berapa emang kamu transper ke Ibu??" Suara Ibu terdengar biasa, jutek yang biasa maksudnya.
"30 juta bu!"
"Allahhuakbarrrrr!!! Kamu dapet uang segitu dari mana hah?? Jawab ibu yang jujur!!" Nada bicara Ibu naik kembali.
"Kerja Bu, ya allah gak percaya amat sama anak sendiri. Nina kerjanya di Jakarta Bu, udah gak di Bogor lagi. Nina kerja dari pagi sampe malem, kadang sampe pagi lagi ngurusin semuanya karena jadi asisten pribadi itu ya waktu kita 24 jam buat si Boss."
"Kapan kamu istirahatnya kalo kerja terus?"
"Ya hari minggu, Bu."
"Digaji berapa kamu jadi babu-nya boss?"
"Gaji pokok yang ditransfer perbulan rutin sih 18 juta Bu, tapi ada tambahan uang makan, uang pulsa, uang bensin padahal Nina kemana-mana dianter supir pribadi, terus ada uang kesejahteraan juga. Pokoknya ditotal-total mah ada deh 29 juta Bu."
"Neng yaalloh, gaji segitu kamu gak eungap kerjanya?"
"Ya ada kesempatannya ini Bu, lagian Nina seneng Bu, suka jalan-jalan, cobain makanan enak yang baru diliat. Asik Bu."
"Yaudah kamu sing betah yaa kerjanya."
"Siap Bu."
"Sehat-sehat Neng. Inget, kalo gak penting-penting amat gak usah telepon Ibu."
"Iya Bu, siap!"
"Yaudah, ini kita teleponan lama pisan. Sana gih kerja, ibu ge mau lanjut kerja."
"Iya Bu, dadah. Assalammualikum."
"Yooo!"
Ibu mematikan sambungan telefon. Aku langsung menonaktifkan nomor ini, mematikan HP lalu membuang simcard tersebut. Memasukkan kembali kartu lamaku ke ponsel ini.
Begitu menyala, ponselku langsung dihujani puluhan pesan dan belasan notifikasi missed call. Dari Nara.
Ya, selama 2 bulan ini aku dan Mas Nara dekat, tapi hanya via chat, kami gak pernah main bareng. Karena kondisi yang sibuk dan... dia pun gak pernah ngajak.
Me:
Kenapa sih?
Nara CDO:
Dari mana aja kamu??
Wasap ceklis satu
Ditelefon gak aktif!!
Me:
Low
Ini baru nemu colokan
Nara CDO:
Gak punya power bank, neng?
Me:
Lupa diisi.
Nara CDO:
Udah sampe apartment kamu?
Me:
Udah, mandi dulu ya
Capek
Nara CDO:
Yaudah
Rendeman air anget sana
Biar badannya ringan
Pake aroma terapi kalau ada
Me:
Siap
Aku charge hp yaa
Abis mandi dikabarin
Nara CDO:
Okee!
Selamat mandi 😘
Aku tak membalas chat tersebut. Kutinggalkan ponsel di meja samping kasur lalu menyalakan air panas di bathup untuk berendam air hangat.
Sambil berendam, aku memikirkan hubunganku dengan Nara.
Asli sih, aku gak tau hubungan kami tuh apa. Sebatas teman chat kah? Ada yang spesial pakai telur kah? Atau apa?
Aku mau punya hubungan, tapi aku gak tau cara memulainya bagaimana. Bukan tidak tahu cara memulai, tapi tidak tahu cara merespon.
Dari dulu, saat ada yang mendekati, aku selalu menjauh karena aku takut. Tapi sekarang, sepertinya aku harus menghilangkan rasa takutku. Aku juga ingin seperti orang-orang.
Jalan-jalan ke mall sama pacar, nonton ke bioskop, dinner romantis. Gitulaah. Kaya di film drama romantis kesukaanku.
****
"Nin? Kok lo gue perhatiin akhir-akhir ini sering senyum sih?"
"Senyum itu ibadah, Mas Aghi!"
"Halah, tai!"
"Jihhh?!"
"Siang ini kosong kan? Makan apa ya? Gue pengin makan enak deh!"
"Apa? Tinggal bilang dan Peri Nina akan mengabulkannya!"
"Cuhhh!"
Aghi nih lagi badmood apa yak? Padahal aku lagi seneng lohh!! Untuk pertama kalinya, Nara ngajak jalan, malem minggu nanti. Bahagia kan aku jadinya.
"Mau makan apa bos?" Tanyaku ramah.
"Keluar aja yuk dah! Naik motor tapi."
"Apakah Mas Bos Aghi gak takut kepanasan terus kulitnya kebakar?"
"Lu banyak cingcong gue bakar yaa!"
"Ampun pak Boss!"
Ketika jam makan siang, Aghi yang meminjam motor satpam kantor langsung mengajakku pergi.
Kami singgah di kedai mie ayam yang rameee banget.
"Gimana pun caranya, gue gak mau nunggu. Gue udah laper, bilang sama bapaknya kalau warungnya gak pengen diacak-acak, jangan bikin gue kelaperan." Ucap Aghi sambil membuka helm.
Aku mengangguk, langsung menuju pojokan tempat memesan.
"Ya Bu yaa??" Pintaku memelas.
"Yaudah, saya bilangin kamu udah mesen di duluan, jadi langsung dianter ke meja ya?"
"Iya Bu, meja nomor 9." Kataku.
Si Ibu mengangguk mengerti kemudian berlalu, sedangkan aku jalan menuju meja tempat Aghi menunggu.
"Boleh nanya gak lo kenapa?"
"Mie ayam gue mana?"
Baru Aghi bertanya, Ibu tadi datang dan memberikan dua porsi mie ayam, lengkap dengan es teler dan teh tawar hangat.
"Makasi, Bu!" Ucapku tulus.
"Iya Mbak."
Aghi tak mengucap kata apapun, ia langsung makan dengan lahapnya. Iya sih, mie ayam di sini emang terkenal enak, makanya ramai terus. Antriannya panjang gileee!!
Makan dalam diam, Aghi cepat sekali habis dan sekarang ia sedang menyantap es telernya.
"Dah, bayar yuk!"
"Tapi. Ini. Belom. Beres." Aku menunjuk mie ayamku.
"Bukan salah gue kan kalo lo lelet?"
Aku menelan mie yang tak sempat dikunyah ini, lalu menenggak teh tawar banyak-banyak. Meninggalkan Aghi, aku langsung menuju kasir, memberikan uang 500 ribu kepadanya sambil mengucapkan terima kasih.
Menyusul Aghi yang sudah di parkiran, aku naik ke boncengannya dan ia langsung menarik gas kencang.
Asli dah, kalo gak pegangan, jengkang udah aku nubruk aspal.
Sepanjang sisa hari, Aghi menolak rapat. Dia sambil ngedumel gak jelas. Intinya, dia mengurung diri di ruangan, yang artinya mengurung kami berdua di ruangan.
"Biarin, rasain aja tuh! Lebay! Gak masuk akal, najis!!" Baru kali ini aku mendengar dumelan Aghi dengan jelas. Abis dari tadi washaawishuuu gak jelas gitu di telinga.
Jam pulang kantor, Aghi langsung menelefon Mas Ijul, menyuruhnya pulang duluan.
"Lo sama gue, kita naik MRT! Ke apartment lo!" Ucap Aghi.
"Siap!" Aku yang tahu kalau ada yang gak beres cuma bisa manut.
Kami berjalan bersama turun ke lantai dasar, kemudian berjalan ke stasiun MRT terdekat. Eh? Kalo MRT namanya stasiun juga? Atau halte?? Yang jelas bukan bandara kan ya? Udah lah, stasiun aja, kan kaya kereta, ada rel-nya. Hehehe!
"Tinggal dibanyakin nih tujuannya, terus bikin subway juga. Keren deh!" Ucap Aghi tiba-tiba.
"Iyaa bener." Sahutku.
"Kita ke Senayan dulu!"
"Eh? Ngapain?"
"Bawel lu!!"
Ternyata Aghi mampir ke mall dulu, cuma buat beli PS4 dan perlengkapannya, setelah itu? Kita naik taksi menuju apartmentku. Dia capek jalan katanya.
Sampai di apartment, Aghi membongkar kardus PS, memasangnya sendiri kemudian memberiku satu buat stik ps.
"Gue gak bisa."
"Pencet aja asal."
"Okee okee!" Daripada disemprot, ya mending iya-in aja.
Aghi mengajariku sedikit fungsi-fungsi dari tombol yang ada, aku pun lumayan mengerti. Baru akan bermain, ponselku berdenting. Masuk dua chat, yang pertama dari Bu Ovi.
Bu Ovi:
Nin?
Aghi sama kamu?
Me:
Iya Bu
Ini ada di apartment saya
Bu Ovi:
Okeee
Makasi yaaa
Me:
Ada apa sih Bu?
Mas Aghi kaya badmood gitu
Bu Ovi:
Gaboleh kawin
Hahaha
Udah urusan keluarga
Me:
Oke Bu
Menutup roomchat tersebut, aku membuka pesan lain yang masuk.
Nara CDO:
Kamu balik sama Aghi ke mana?
Tadi sempet liat dari lift kalian jalan
"Buruan napa!!" Bentak Aghi, sampai HP-ku loncat ikutan kaget.
"Bisa biasa aja gak sih??" Ucapku kesal.
"HP lu gue ganti nanti! Lagian, gaji udah gede, masih aja pake HP butut, malu-maluin lo!"
"Yeeee!"
"Ayok maeen!"
Emang dasarnya aku nih pinter kali yaa, jago laah aku jadinya. Udah dua kali si Aghi kalah. Aku yes yes yes, dia shit shit shit. Makin kesel kayanya beliau yang terhormat ini.
"Delivery makanan gih, gue mau mandi, beres gue mandi, meja makan harus penuh!" Aghi membanting stik ps yang baru dia beli tadi, anjirrr 600 ribu dibanting gitu aja. Kesel!!!
"Iya boss, siap boss!" Hanya itu tanggapanku.
Gak pake gojeq gofut gofuckyourself, aku langsung menelefon ke restoran. Pakai trik tadi: bayar lebih biar bisa cepet.
Ya kalo dipikir-pikir rugi duitku abis gak karuan buat makan si kucrut, tapi kan untung aja bisa di-reimburse hehehehe.
Makanan sudah tersedia, dari junk food sampe nasi pecel ada semua di meja makanku yang lumayan lebar ini.
"Naah, gini kek!!"
Aku mengangguk.
"Gue tinggal sama lo untuk waktu yang tidak ditentukan yaa!"
"Ihhh ihhh ihhh!"
"Apa? Mau protes apa?? Lagian, lo gak punya pacar ini sih, gak keganggu kan lo?"
"Ya tapikan!!!" Aku bingung mau ngomong apa.
"Pindahin barang-barang lo, gue mau pake kamar utama, enak, ada kamar mandinya."
"Terus gue harus lari-lari ke kamar mandi depan kalo mau pipis doang?"
"Derita lo." Ucapnya.
Ihhhh, boleh gak sih mengutuk Aghi jadi berlian?? Hilang sudah ini sih, me-time sambil rendeman di air hangat.
Aku tak mendebatnya lagi. Makan hati banget ya?? Boleh gak sih tukeran kerjaan sama mbak Putri. Kayanya aku lebih ikhlas ketimbun kertas surat daripada menghadapi anak manja satu ini.
Aghi menyelesaikan makannya, ia langsung beranjak ke sofa, menonton TV.
"Ghi, gue tidur ya." Kataku saat selesai beberes. Cuci piring dan pindahan barang ke kamar kedua.
"Gak! Temenin gue."
Aku mengambil selimut dari kamar, lalu membungkus badanku sebelum akhirnya menghempaskan diri di ujung sofa.
Aghi tak banyak bicara, ia sibuk dengan ponselnya sementara aku mau gak mau mantengin sinetron receh yang gak banget. Ya gimana ya? Remote-nya dia yang pegang sih.
"Gak logis banget tau gak, emak gue!" Aku langsung tersentak mendengar itu. Kaget anjir, udah mau terlelap itu tadinya.
"Kenapa?" Kuberanikan diri bertanya.
"Gak jelas. Sumpah gak jelas! Siapa juga yang mau jadi presiden."
"Hah? Presiden??"
"Nah, lo aja bingung kan? Apalagi gue coba Na?" Aku gak ngerti Aghi ngomong apa. Sumpah.
Aku diam. Begitu pun Aghi. Ia kembali sibuk dengan ponselnya, dan kesempatan ini tidak kusia-siakan, aku langsung memejamkan mata.
Kudengar volume TV mengecil, lalu terasa Aghi beranjak dari sofa, aku sekilas mendengar suaranya, tapi tidak terlalu fokus karena ia berbicara dalam bahasa Inggris yang cepat.
Mataku sudah setengah watt ketika aku merasakan seseorang membentulkan posisi kakiku yang menekuk.
"Sorry Nin, gue cuma gak tau harus marah-marah ke siapa lagi." Terdengar suara Aghi. Aku ingin meresponnya, tapi mataku sudah berat, jadi aku hanya diam saja.
"Gue cerita ke keluarga kalau gue mau ngelamar Jasmine."
Aku masih tetap diam, berusaha tetap terjaga agar dapat mendengarkan cerita Aghi.
"Tapi gak diizinin sama Mami, katanya gak boleh nikah sama Bule. Katanya kalau istrinya bule, gak bisa jadi menteri, gak bisa jadi presiden. Ya siapa juga kan ya yang mau jadi menteri atau presiden?"
"Gak masuk akal banget. Gue lebih nerima deh kalau Mami bilang, karena beda agama, beda budaya, atau apalah. Eh ini, malah gara-gara gabisa jadi presiden. Kan kacau!"
"Kesel gue, asli! Maaf yaa, malah lo yang kena. Abis gue gak bisa kalau kesel ke Mami, takut nanti durhaka, jadi mending melipir dulu di sini."
Dari suaranya, Aghi sudah terdengar tenang.
"Udah yaa, udah mau jam 4 subuh nih. Lo gue tinggal sini aja ya, gue males pindahin lo ke kamar. Daaaahhh Nina, gue masuk kamar dulu."
Aku sepenuhnya bingung. Curhatan Aghi itu bagian dari mimpi atau indera pendengaranku masih di alam sadar?
Gak tau lah apa, yang jelas sih... sorry Ghi, turut berduka yaaaa.
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Ps: sekarang iklan dulu yaa baru cast abang2 ganss wkwk
*****
Anomali series dan the Sambadha's sudah bisa dibeli e-booknya yaaa
****
Terima kasih
****
Salam dari Aghi si tukang ngambek
Dan Mas Nara yang sedikit terabaikan grgr ambekannya Aghi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top