30. The End

Ekstra part

***

Baca. Baca. Baca!

Serius, itu adalah hal wajib yang sama pentingnya seperti bernafas untuk mahasiswa kaya aku gini.

Soalnya kalo gak baca, aduhh! Bukannya pinter malah jadi bego.

Sekarang, kemana-mana aku bawa buku. Sarapan sambil baca, duduk di subway sambil baca, sampe boker juga sambil baca.

Aku butuh banyak pengetahuan baru untuk menyelesaikan proyekku ini. Menyelesaikan studiku. Dan, sumpah, berat banget.

Ponselku berdenting, ada pesan masuk.

Sarah:
Sore mau mampir?
Coline kangen sama kamu
Dia tanya Tynin-nya terus

Me:
Okee!
Aku juga kangen sama dia

Coline itu anaknya Sarah, anak kecil menggemaskan yang pinter banget.

Aku dekat dengan Sarah, Aghi lah yang memberi kontaknya saat aku pertama kali pindah ke sini, katanya biar aku ada temen. Entah teman ngobrol ataupun cari tempat tinggal. Untungnya Sarah gak sombong, meskipun udah lama tinggal di Paris, jiwa Indonesianya yang ramah masih tersisa.

Siang ini aku janjian dengan pembimbingku untuk membahas proyekku, apa saja yang harus dirampungkan, mana saja yang harus dieleminasi agar meminimalisir dana dan mempercepat proses pengerjaan.

Hampir dua jam lebih, aku berterimakasih pada Prof. Minerva yang bersedia meluangkan waktunya sebegitu lama untuk membantuku.

Selesai, aku langsung menuju rumah Sarah.

"Hallo!" Sapaku pada Coline yang langsung melompat ingin digendong.

"Mama, pleurs." Bisiknya pelan.

Aku meliriknya, kemudian mengangguk, mengusap tangannya sebagai dukungan kalau semuanya baik-baik saja.

"Okay, it's okay!" Aku menenangkannya.

Berjalan ke ruang tengah, aku langsung tahu kenapa Sarah menangis. Ada Jared, pacarnya yang lebih muda dua tahun darinya. Cowok gak jelas.

"Hay Jared!" Sapaku ramah tapi ia mengabaikanku.

"Nin? Aku sama Jared keluar sebentar ya beli bahan buat makan malem, gak apa?"

"Oke, aku bisa main sama Coline." Jawabku.

Aku mengerti. Selain ke groceries store mereka pasti akan mampir apartmentnya Jared, and do the shit things, biar amarahnya Jared tersalurkan dengan benar.

Pengen sih sebenernya nasehatin Sarah untuk putus sama pacarnya itu, apalagi sering main tangan dan gak ragu buat mukul Sarah di depan Coline. Tapi, aku merasa gak punya hak.

Pedro, bapaknya Coline, jauh lebih baik dibanding si Jared curut ingusan.

Aku menemani Coline bermain di kamarnya, pakai sayap palsu dan mahkota biar jadi peri. Coline tertawa, anak manis ini menangkap potongan kertas yang berguguran dari tongkat ajaib yang kupegang.

Ponselku berbunyi, aku melirik dan ternyata sebuah panggilan video dari Aghi.

"Hayyy!!" Sapaku.

"Perasaan halloween udah lewat, kenapa lo jadi perinya sekarang?"

"Yee peri Nina itu kan harus selalu standby!"

"Gak jelas lo! Lagi ngapain?" Aku men-switch kamera, menyorot Coline yang sedang mengobrol bersama bonekanya.

"Etdah itu bocah, emaknya mana?"

"Jalan-jalan sama pacarnya."

"Jaaah!"

"Ciye, cemburu yaaa?"

Aku gak tahu hubungan Aghi dan Sarah terjalin kembali atau engga. Dulu Aghi bilang mau deketin Sarah, tapi sampe sekarang gak ada kemajuan, dan Sarah pun punya pacar.

"Yakali! Eh, minggu depan lo sibuk gak, Nin?"

"Emm, kayanya gue minggu depan masih persiapan. Minggu besoknya ujian terus baru deh mulai proyek! Kenapa gitu?"

"Jemput gue lah di bandara, minggu depan gue ke sana, bareng diplomat!"

"Serius?? Diplomat beneran dari kemenlu?" Tanyaku.

"Iyaah! Ada rapat di sana hahahaha satu-satunya orang yang dari perwakilan swasta Nin!"

"Idiw, keren amat!"

"Conférence des Parties! Bahas perubahan iklim."

"Sejak kapan lo ngikut gituan?"

"Ehh perusahaan kita kan concern banget ke perubahan iklim."

"Emang iya ya?"

"Lu masih bolot aja, Nin! Dah ah, sampe ketemu minggu depan!"

"Bye Aghi!"

Meletakkan ponsel, aku melirik Coline yang ternyata sudah tertidur.

Kupindahkan ia ke ranjangnya, sementara aku sendiri mengambil buku lalu duduk bersandar di kasurnya.

Gini deh hari-hariku kalau mampir ke rumah Sarah. Keseringan ditinggal.

******

Aku keluar ruangan dengan tegang, gak tau jawabannya bener apa engga karena merasa persiapannya kurang.

Aku gak jemput Aghi karena jadwal ujianku dipercepat. Tapi syukurlah Aghi mengerti dan kami janjian nanti malem, Aghi mau mengunjungi tempatku.

Ingin menyambutnya dengan baik, aku mampir untuk berbelanja bahan masakan. Tinggal di negara yang jauh dengan kampung halaman dan memiliki budaya berbeda, bikin aku jadi doyan masak. Biar pas kangen makasan Indonesia bisa langsung bikin. Ya walau rasanya gak mirip-mirip banget, tapi lumayan laah.

Makanan sudah jadi, beberapa yang proses buatnya cepet sudah tersedia, jadi aku tinggal sebentar untuk mandi. Biar gak bau asap dapur.

Selesai mandi, aku mengecek ponsel. Aghi mengirimkan lokasi live-nya, jadi aku bisa memantau pergerakannya.

Tak sampai lima menit, foto Aghi sudah menutupi fotoku di peta, yang artinya dia sudah sampai. Langsung saja aku turun ke bawah, menyambutnya.

Kami berpelukan singkat. Hampir 2 tahun gak ketemu, Aghi makin mateng aja. Asli.

"Nyari apartment jauh amat sih Nin?"

"Murah, Ghi. Kan beasiswanya gak termasuk tempat tinggal."

"Ya duit lo kan udah banyak!" Ucapnya saat kami naik tangga menuju tempatku.

"Engga kok, duit gue buat Ibu."

Aghi mengangguk. Saat sampai di depan kamar, aku mengambil kunci untuk membukanya lalu mempersilahkan Aghi masuk.

"Lo siapin ini bukan buat racunin gue kan?"

"Ya allah Ghi! Gue udah bisa masak tau sekarang!" Mungkin Aghi kapok. Dulu, dia pernah aku masakin mie instan yang sudah kadaluarsa soalnya.

"Oke, langsung makan nih ya? Gue laper, sengaja gak makan!" Serunya.

Aku mengangguk. Kubantu Aghi membuka coat tebalnya lalu menyangkutkannya di tiang gantungan dekat pintu.

Aghi duduk lesehan, emang aku gak punya set meja makan, dan apartment ini kecil, jadi kami makan di lantai kayu dengan meja persegi empat yang biasa kupakai belajar.

"Gimana rapatnya?" Tanyaku.

"Gue banyak diemnya, bingung mau nembalin apaan. Tapi pas coffee break ya gue deketin orang-orang, ngasih masukan dikit-dikit sekalian kenalin potensi Indonesia. Kali aja ada yang tertarik dateng terus invest."

"Kok gak berhubungan sama perubahan iklim?"

"Makanya gue bahas pas coffee break,"

Aku mengangguk. Mengerti maksud dari pernyataannya.

Tumben-tumbennya, Aghi mau membantuku cuci piring. Dan setelah itu, dia duduk di satu-satunya bean bag yang kumiliki.

"Cerita Nin, gimana kabar lo?" Tanya Aghi.

Aku duduk di lantai, bersandar ke dinding lalu menekuk kaki, memeluk lututku.

"Ya gitu aja. Sebulan pertama homesick parah, terus masih gak betah juga karena gue gak terlalu fasih bahasa sini, lo tau sendiri. Tapi, yaaa berubah, gue memaksakan diri beradaptasi, dengan bahasa, budaya, makanan, bahkan cuaca. Jadi, semua baik-baik aja."

"Sinta khawatir, lo jarang banget kabarin dia. Dan emang sih, lo juga jarang kabarin gue."

"Lo lebih pengalaman tinggal di negara orang kali, Ghi!"

"Yes! Paham, sibuk, tugas kuliah maksa kita untuk belajar terus-terusan. Kalau bisa santai, bawaannya pengen jalan-jalan, mumpung di Negara orang, eksplore sana sini. Ya kan?"

Aku mengangguk.

"Jakarta gimana?" Tanyaku.

Aghi tersenyum.

"Masih chaos kaya biasa, masih macet!"

"Lo gimana?"

"Gimana apanya?" Aghi balik bertanya.

"Lo gak ada cerita kalau rekrut asisten baru."

"Ya karena emang gak ada, mbak Putri doang, Nin."

"Terus lo kemana-mana?"

"Sendiri!"

"Mandiri banget, Aghian Prawiradilaga!" Pujiku. Dan tiba-tiba saja, terdengar hujan turun dari balik jendela.

"Bahkan langit pun setuju lo muji gue, sampe langsung dikasih hujan."

"Itu tandanya langit gak setuju!" Seruku kesal.

Aghi tertawa.

"Gimana? Udah dapet cewek yang sesuai kriteria lo?" Tanyaku.

Aghi manyun, ia menggeleng.

"Lo move on lama juga ya Ghi?!"

"Apa kabar situ, Neng?! Gimana move on-nya?" Aghi melorot dari beanbag, ia jadi duduk di sampingku.

"Gue baik-baik aja, ngerasanya sih gitu."

"Kalo ketemu Nara nih? Lo gimana?"

"Gak tau, kayanya biasa aja."

"Good!"

"Kok good sih?"

"Kalo lo bilang, jijik, atau salting, atau baper, itu tandanya lo masih ada rasa. Tapi kalo lo biasa aja, ya berarti udah rela."

Aku tersenyum. Aghi selalu bisa memberikan kalimat penenang dengan santai. Dia mungkin gak ngerasa, tapi ucapannya barusan membuat diriku sendiri bangga, puas, karena sudah berhasil menyembuhkan luka.

"Lo gak belajar? Katanya ada ujian."

"Kan ada lo, masa lo dicuekin?"

"Belajar aja sana, gue numpang tidur, kalau hujan reda, bangunin gue, biar gue balik ke hotel."

"Mau gitu aja?" Tanyaku.

Aghi mengangguk.

Aghi naik ke kasurku. Kuredupkan lampu kamar, hanya menyalakan lampu meja di sudut ruangan untuk membaca.

Suara hujan di luar terdengar mengerikan, tapi entah kenapa, itu malah membuatku fokus membaca.

Malam semakin tinggi, tapi hujan tak kunjung reda.

Mengambil ponsel, aku mengecek ramalan cuaca. Di sini sih tertulis kalau hujan akan turun sepanjang malam sampai pagi.

Meletakkan ponsel. Aku juga menutup buku terakhir yang kubaca malam ini. Lalu dengan ragu, naik ke kasur.

Merebahkan diri di sebelah Aghi, aku langsung menyamping, memunggunginya.

Pikiranku masih fokus ke buku-buku, mengulang beberapa teori yang harus kuhafal dan lain sebagainya.

"Nin?!" Panggilan itu membuyarkan fokusku.

"Ya?!" Aku menyaut tanpa menoleh ataupun berbalik.

"Dingin yaa!"

"Ini penghangatnya udah nyala tau, apa lo mau pake jaket tebel? Atau selimutnya mau sendiri aja? Jadi lo diuntel selimut." Tawarku.

"Engga, udah gini aja." Katanya, tapi tiba-tiba ia mendekat lalu memelukku dari belakang.

Eh, eh, eh, ini kok gini sih?

"Nin?" Suara bisikan Aghi kini terdengar sangat dekat, dan ia membuatku harus memejamkan mata untuk tidak bereaksi berlebihan.

"Hemm?!" Hanya itu sahutan dariku.

"Gue bingung sebenernya, tapi kalo gak gini makin bingung karena ganjel."

"Lo ganjen sama siapa?"

"Ganjel Nin, bukan ganjen."

"Ohh, kenapa?" Aku mencoba sesantai mungkin, karena suara Aghi pun terdengar santai.

"Lo tau kan tipe cewek gue?"

"He'em." Jawabku singkat.

"Menurut lo, semua itu ada gak di diri lo?"

"Hah? Apaan?"

"Jawab aja sih, gue tau lo denger."

Jantungku mendadak berdetak tak karuan. Ini Aghi nanya tuh buat apa?

"Gue? Gue gak masuk kriteria lo kali, hehe!" Aku berusaha santai

"Nah iya setuju! Tapi gue heran, kenapa setahun ini gue mikirin lo mulu ya?"

"What?!"

"Serius Nin, gue gak tau sejak kapan pastinya, tapi gue sadar pas gue udah gak denger kabar dari lo, saat gue meeting sendirian, dan saat gue nengok sekeliling ruangan terus gak ada lo dipojokan. Gue ngerasa hidup gue sepi."

Aku diam saja. Berusaha mengatur nafas.

Apakah aku harus jujur juga? Kalau sebenarnya tiap hari aku harus menahan diri untuk tidak menanyakan kabarnya, karena aku merasa sudah bukan siapa-siapanya lagi setelah resign. Kalau aku sengaja tak mengabari Sinta karena takut keceplosan mencari tahu keberadaannya dan takut ia jadi risih padaku.

Gosh!

"Tau gak Nin? Gue salut sama lo, lo perempuan yang kuat. Dan ditengah kegilaan dunia ini, lo masih bisa cukup waras. Well, lo orang terwaras yang gue temui.

"Dari dulu gue menganggap lo gak cuma sekedar asisten, tapi teman, bahkan sahabat karena lo selalu sabar ngadepin sifat gue yang emang nyebelin. Awalnya gue kira lo sabar karena itu tugas lo. Tapi di luar jam kerja, di luar pekerjaan, lo tetep konsisten sabar. Walaupun lo harus mengakui juga kalau lo kadang sedikit nyebelin."

Aku diam, masih mengatur napas agar tenang.

"Terus, saat lo kasus sama Nara, apalagi istrinya. Gue salut banget, lo bisa tetep tenang, rela dipermalukan depan umum bahkan disakiti gak cuma batin tapi juga fisik. Pikiran lo selalu penuh keraguan, tapi tubuh lo selalu tahu respon yang tepat dalam menghadapi situasi. Mungkin itu insting atau hidup di jalanan bikin lo belajar untuk tahu mana yang gak cuma baik, tapi juga yang menyelamatkan lo."

Aghi diam sesaat.

"Mungkin sejak saat itu gue suka sama lo, jadi diem-diem mau lindungin lo. Tapi gue masih gak yakin, dan gue merasa perlakuan itu hanya sekedar kepedulian gue sama temen.

"Dan saat Nara resmi cerai, jujur gue dagdigdug ngeri lo balik sama dia. Tapi lo konsisten. Lo gak menghubungi dia sama sekali, dan gue tau... kalian sempet say goodbye di farewell party. Di situ gue sadar, lo orang yang omongannya bisa dipegang.

"Gue liat sendiri Nin, gimana lo nangisin Nara, pengen ngatain lo bego. Tapi gak jadi! Karena hari-hari berikutnya gue liat lo bangkit. Bahkan menyibukan diri untuk lanjut kuliah. Gue makin suka sama lo, karena lo adalah cewek yang mau belajar, dan ingin berkembang."

Aghi diam lagi. Kali ini kudengar ia menghirup napas panjang, lalu menghembuskannya pelan, membuat bulu kudukku berdiri karena sapuan nafasmya itu.

"Dan saat lo pergi. Baru lah gue mau mengakui ke diri sendiri, kalau gue gak cuma suka dan kagum doang sama lo. Tapi gue jatuh cinta sama lo. Gue jatuh cinta sama kisah hidup lo, perjuangan lo, ketegaran lo, dan pribadi lo yang---" Aghi tak meneruskan, ia hanya menghembuskan nafasnya.

Menelan ludah.

Kuberanikan diriku berbalik. Lalu menatap Aghi yang entah kenapa, terlihat seperti anak kecil yang ketahuan mencuri mangga.

Aghi menatapku dengan tatapan teduh yang tak bisa kujelaskan.

Aku diam, tak mengeluarkan sepatah kata, pun Aghi yang hanya memandangku dalam diam.

Meskipun diam, aku merasa Aghi seolah membaca apa yang ada di kepalaku, apa yang aku rasakan dan apa yang ingin kuucapkan.

Hingga akhirnya, kami sama-sama tersenyum, dan Aghi pun memelukku erat. Kubenamkan wajahku di dadanya, mencoba menarik nafas banyak-banyak agar dapat menikmati aroma tubuhnya.

Merasa tenang, tiba-tiba aku menangis, kemudian tertawa kecil. Membuat Aghi melepas pelukan ini. Ia menarikku ke atas, menyamakan posisi, lalu menempelkan hidungnya di hidungku.

"Jangan gila, please! Gak sudi gue nikah sama orang gila!" Katanya, membuatku tertawa lagi.

"Gak nyangka!" Bisikku.

Aghi memelukku lagi, kali ini menggoyang-goyangkan tubuh ke kanan dan ke kiri.

"Gue gak nyangka, waktu gue bilang Mami kalau gue bakal nikah di umur 33, itu tuh secara gak langsung, gue nentuin kalau gue bakal nunggu lo kelar S2 dulu!"

"Emang kita mau nikah?" Tanyaku jahil.

Tentu, aku mau banget nikah sama Aghi (kalau direstui keluarganya), karena meskipun nyebelin, Aghi adalah orang yang gak akan pernah bikin aku bosen. Dia akan terus nyebelin sampai kalau dia gak nyebelin, kita bakal kangen digangguin sama dia.

"Gue seret dah lo ke KUA!"

"Jahat banget sama calon istri!" Ledekku.

"Agak jijik ya dengernya?"

Aku tertawa.

Dan tawaku terhenti karena usapan ibu jarinya di bibirku.

"Kiss me later, and love me forever!" Kataku.

"I can kiss you now, and will love you forever!"

Aku mundur sedikit. Oke juga tuh jawabannya.

"Mendingan now-forever kan? Daripada later-forever? Yaaa meskipun rhyme-nya begitu." Ucapnya.

Aku tersenyum, kemudian mengangguk kecil.

Tanpa ragu, aku mendekatkan diriku lalu mendaratkan bibirku di bibirnya. Aghi mengecup bibirku pelan lalu aku pun melakukan hal yang sama, kemudian menarik diri.

"Gitu doang? Padahal gue udah jadi anak baik loh 2 tahun ini." Katanya, nada suara protesnya lucu, jadi aku tertawa pelan.

"Terus mau gimana?" Tanyaku.

"Lo kangen sama gue gak sih? Jujur!"

"Kangen!"

"Kangennya segimana?"

"Banyak lah pokoknya." Kataku.

"Yaudah, cium gue sampe kangennya ilang!"

"Dih ngatur!"

"Ayok ih cepetan! Kangen nih!" Manjanya kumat.

Aku tersenyum, lalu mendekat lagi untuk menciumnya. Aghi tiba-tiba merengkuh wajahku dengan tangannya, kemudian menciumku dengan lembut. Kupejamkan mata saat ia memperdalam ciumannya, dan aku pun mulai membalas dengan melumat bibirnya.

Memutar posisi tubuh kami, Aghi kini sudah berada di atasku. Kedua tangannya berada di samping kepalaku, menyanggah tubuhnya.

"Lucu ya? Kita yang dulu sama-sama nganggep temen, eh malah bisa jatuh cinta tanpa alasan." Kataku, saat Aghi menggesek-gesekan hidungnya ke hidungku.

"Yeah! Jodoh selucu itu! Tapi ada yang lebih lucu lagi." Bisiknya, kini bibirnya sudah turun ke leherku.

"Apa?" Tanyaku dengan suara sedikit tercekat karena Aghi bukan cuma mencium leher, tapi juga menghisapnya.

"Mami setuju, bahkan saat gue belum bilang kalau gue suka sama lo." Bisiknya pelan, lalu melanjutkan aksinya.

"Hah?!!" Syok, aku mendorong Aghi pelan, agar bisa menatapnya.

"Kok bisa?" Tanyaku.

"Papi, orang tua kampret itu ternyata mata-matain gue dan kita semua. Orang-orang yang ada disekitar gue. Siapa aja yang deket, gitu-gitu lah."

"Gak ngerti."

"Nama kamu ada di daftar hijau, jadi saat aku mulai cerita soal cewek bernama Nina, Mami langsung meladeni dengan sedikit memaksa biar aku cepet samperin kamu ke sini."

Sumpah! Aku geli denger Aghi mendadak ngomong aku-kamu begini.

"Tapi kan aku gengsi ya? Masa iya baru ditinggal kamu sebulan aku langsung susulin." Ucapnya mengakui.

"Terus?"

"Aku memilih untuk meyakini diri sendiri dulu. Sambil ngasih waktu ke kamu untuk pulih dengan sendirinya. Dan, saat yang tepat ya sekarang."

"Kenapa mikir gitu?"

"Buktinya kamu gak bilang aku gila, kamu malah tiba-tiba cium aku, hehehe!"

Aku tersenyum, kemudian menarik kerah kemejanya agar ia mendekat dan aku bisa menciumnya lagi.

Aghi diam, jadi kali ini lidahku yang bermain di bibirnya. Melumat bagian atas, bawah, memberikan sedikit hisapan, baru masuk ke dalam lalu bermain lidah. Kuulangi terus aksi itu sampai aku tidak bisa membalas ketika Aghi menyerangku dengan lidahnya.

"Gosh Nin! Dua tahun loh aku gak main!" Bisiknya kemudian menggigit telingaku pelan, kemudian lidahnya pindah ke belakang telinga dan turun ke leher.

Kupejamkan mataku, menikmati setiap kecupan, jilatan dan bahkan hisapan kecil yang Aghi lakukan.

Tanpa berfikir panjang, tanganku terarah ke kemejanya, membuka kancing-kancingnya satu persatu.

Aghi menarik diri, menatapku heran, tapi ia tak banyak bicara. Kulepas kemeja biru muda itu, melemparnya ke lantai, lalu Aghi pun menunduk dan mulai menciumku lagi.

Tangan Aghi yang sedari tadi sangat sopan, kini sudah berada di ujung kausku, dengan satu gerakan, ia menarik baju ini ke atas sehingga terlepas begitu saja.

"Ternyata gak kecil-kecil banget ya!" Aku langsung menyilangkan tangan di dada, sementara Aghi malah tertawa.

Ia menggengam pergelangan tanganku, menariknya lalu membawa tangan ini ke sisi kepalaku, kemudian kepalanya terbenam di dadaku.

"Shit!" Makiku pelan ketika Aghi menggigit pelan puncak payudaraku, padahal aku masih mengenakan bra.

Hanya sebentar di bagian dada, ciuman Aghi turun ke perutku, membuatku sedikit geli saat lidahnya menari-nari di sana dan turun lebih jauh lagi.

Kurasakan Aghi menggengam karet celana training yang kukenakan dan dalam hitungan detik ia menariknya lepas.

Aku menatapnya, Aghi gak pernah sekeren ini di mataku sebelumnya. Entah kenapa gak dari awal aja aku jatuh cinta padanya. Tapi, aku tak menyesali apa yang sudah terjadi.

Memerhatikan Aghi melepas celana jeansnya, ini sungguh pemandangan yang indah. Melihat bgaimana perutnya yang berotot terlihat menggoda, juga lekukan kecil di kedua sisi pinggulnya.

"Kenapa?" Bisiknya. Ia sudah berada di atasku lagi. Sebelah tangannya mengusap pelipisku, dan sebelahnya lagi melepas kaitan di belakang punggungku.

"I love you!" Ucapku spontan.

"Dih nyolong start! Kan harusnya aku yang duluan ngomong itu."

"Yaudah aku tarik, sok kamu duluan ngomong."

"Gak apa, gak usah ditarik. Malah bagus. Aku jadi tau kalau aku jatuh cinta ke orang yang tepat."

Aku tersenyum. Aghi bisa romantis juga ternyata.

"I love you, too. Nina!" Ucapnya lantang kemudian menarik kain terakhir yang menutupi tubuhku.

Aku yang sedari tadi rebah, kini bangkit. Memeluk pinggulnya dan tanganku mencengkram pangkal celana hitam ini. Tak tahu kenapa, ingin menjadi bagian dalam melepas kain penutup terakhirnya.

Terlepas, aku langsung menelan ludah melihat miliknya. Dan itu membuat Aghi tertawa.

"Mau tanya, kamu toleran sama oral sex gak?" Aghi mengangkat daguku dengan telunjuknya. Aku menatapnya lalu mengangguk.

"Goodgirl!" Serunya dengan nada licik. Kemudian ia mendorongku agar kembali merebah.

Membuka kedua tungkai kakiku, aku langsung meremas rambutnya begitu merasakan lidah Aghi bermain di bawah sana.

Gosh!!!!

Nafasku mendadak manjadi lebih cepat dari biasanya. Aghi tidak berhenti, lidahnya malah semakin liar dan aku menjerit saat ia menghisap clit dan terus bermain hingga membuatku merasakan seperti ada sesuatu yang meledak.

"Aghiaan!!" Jeritku sambil meremas rambutnya.

Aghi bangkit, tersenyum jahil padaku.

"Cepet banget!" Ucapnya dengan suara meledek.

Nafasku masih terengah-engah, Aghi mendekat dan menghujani wajahku dengan ciuman yang bisa dibilang seperti ingin memakanku.

"Know what? I feel like I just seen a flower blooming, and it's so beautiful!" Bisiknya. Aku yakin, wajahku sangat merah saat ini.

Saat nafasku kembali normal, aku memegang lengannya, lalu sekuat tenaga memutar posisi, hingga kini ia ada di bawah.

Aku mencium bibirnya sebagai permulaan, dan bisa kurasakan tangan Aghi bermain di dadaku.

Melepas ciuman, aku memindahkan bibirku ke lehernya, seperti yang ia lakukan, aku tak hanya mencium tapi juga melakukan sedikit hisapan di bawah telinganya. Dan kudengar ia mendesah pelan.

Turun ke bawah, aku mengusap dada dan perutnya dengan kedua tanganku. Merasakan otot-ototnya yang keras sebelum turun lebih jauh ke otot yang lain.

Saat genggaman tanganku mantap, aku mulai menggerakannya pelan, teratur lalu mulai mempercepat gerakan.

Kudengar lenguhan dari Aghi, jadi aku meliriknya dan ternyata ia sedang terpejam.

Tersenyum melihatnya menikmati sentuhanku, langsung saja aku menundukan kepalaku dan mulai melakukan oral.

"Oh my fucking god!" Kudengar Aghi mendesis saat lidahku juga ikut bermain seiring dengan naik turunnya kepalaku.

"Oke, oke, oke, udah!" Aghi menarikku, membuatku menempel di atas tubuhnya yang keras, tapi hangat.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Keluarnya kudu spesial!" Ucapnya jahil lalu memutar tubuhku.

Aku siap!

Aku tak keberatan saat Aghi membuka tungkai kakiku dan ia menempatkan diri di posisi siap bermain.

"Kalau sakit bilang. Oke?" Ucapnya lembut. Dan bisa kurasakan sesuatu yang keras di bawah sana menyentuhku.

Aku mengangguk mantap.

Aghi mulai menciumku, lidahnya masuk dan mulai membelit lidahku. Aku membalas ciuman yang sudah menjadi candu ini.

"Ouchh!" Jeritanku tertahan karena mulutku sibuk mencium Aghi.

Sementara di bawah sana, kurasakan milik Aghi sudah masuk, meski belum semua.

"Mau lanjut?" Tanyanya saat menarik diri.

Aku mengangguk, lalu menariknya agar dapat menciumnya lagi.

Kufokuskan diriku mencium Aghi, dan lagi-lagi, aku sedikit menjerit ketika Aghi menekan miliknya masuk.

Mengatur nafas, aku meminta Aghi diam sebentar.

Kami berdua sama-sama menengok ke bawah, mengecek keadaan di sana. Dan kulihat, ternyata belum semua miliknya masuk.

"Dikit lagi." Katanya.

"Yaudah, teken lagi, tapi langsung semua."

"Yakin?"

"Yakin!"

Tanpa aba-aba atau ciuman, Aghi langsung menekan miliknya dan membuat kami berdua melenguh panjang.

"Ahhhhh!" Jeritan Aghi terdengar lega sedangkan jeritanku merupakan refleks dari suatu hal yang sulit kujelaskan.

Aku merasa hangat, meskipun disatu sisi aku merasa perih. Lalu, yang paling utama kurasakan adalah, aku merasa utuh.

Aghi menciumi payudaraku, bermain dengan putingnya dan ia bahkan menggunakan gigi alih-alih menghisap.

Tanganku bermain di rambutnya saat ia asik di dadaku. Ketika aku mulai santai, kurasakan Aghi bergerak.

Awalnya aku meringis, tapi itu hanya sebentar karena selanjutnya yang kurasakan adalah sebuah sentuhan di dalam sana yang amat sangat... aku gak tahu bagaimana mendeskripsikan ini dengan kata.

Semakin Aghi bergerak, aku merasa semakin jauh terbang meninggalkan bumi.

Ciuman dibibirku lah yang membuat aku kembali sadar kalau aku belum pindah ke surga. Aghi menciumku lembut sambil ia terus bergerak.

Mempercepat gerakannya, aku langsung mencium Aghi lebih ganas dari sebelumnya karena aku merasakan ledakan itu akan datang lagi.

Tak kuat menahan, kugigit bibir bawah Aghi saat tubuhku menggelinjang dibuatnya.

Nafasku terengah-engah, mataku bahkan sudah tak jelas apakah ia akan memejam atau masih ingin terbuka dan menikmati keindahan tubuh Aghi yang sekarang sudah mengkilat karena keringat.

Merasakan ciuman di pelipis, aku merengkuh wajahnya lalu menarik agar bisa mengecup dahinya.

Aghi mencium leherku, dan lagi-lagi menghisapnya.

"Sekarang giliran aku ya, asli udah gak kuat nahan ini." Bisiknya.

Aku mengangguk.

Mempersiapkan diri, Aghi memainkan payudaraku dulu sebentar sebelum mulai bergerak.

Tidak seperti tadi yang ritmenya teratur, kini ia mendesak lebih cepat di dalamku. Membuatku mendesah disetiap gerakannya.

Ohhh

Shit

Shit

Shit

Fuck

Ohh

Shit

"Gossh!" Aku menjerit karena ledakan itu datang lagi dan kali ini Aghi menekan miliknya lebih dalam. Kurasakan tak hanya aku, tapi Aghi juga berkedut.

Dengan nafas terengah-engah, aku merengkuh wajah Aghi dengan kedua tangan. Ia ternyata sama kewalahannya sepertiku.

Kukecup keningnya lama sekali, sebelum Aghi merobohkan dirinya, ia sama sekali tak menyangga tubuhnya. Membuat tubuh kami bersatu dan aku merasakan kehangatan yang jauh lebih intim dari sebelumnya.

"Anjir, cuma 15 menit! Rekor tercepet gue nih! Gila lu!" Bisiknya dengan suara lelah.

Tak menyauti, aku memejamkan mata dan menikmati momen ini. Tanganku mengacak rambutnya, sambil sesekali memberikan pijatan di kepalanya.

Hanya mendengar deru nafas dan merasakan detak jantungnya. Aku merasa damai. Mataku tetap terpejam, membiarkan indera lainnya ikut menikmati momen ini.

Kulitku, ia nyaman bersentuhan dengan kulit tubuh Aghi yang hangat. Telingaku, ia nyaman mendengar deru nafas terengah-engah dari manusia yang sedang menindihku ini. Hidungku, ia jatuh cinta pada aroma keringat yang keluar dari tubuh Aghi.

Dan mulutku, tentu saja dengan ikhlas merapal doa, agar momen ini tak hanya terjadi sekali. Tapi berkali-kali. Sebanyak-banyaknya. Sesering mungkin. Selama kami berdua hidup.

Karena panca inderaku tahu. Tak ada yang lebih menyenangkan selain mengenal satu sama lain saat tidak ada apapun yang menutupi.

Aku ingin selamanya seperti ini.

Bersama manusia paling nyebelin se-muka bumi.

Aghian Prawiradilaga.

**********

KELARRRRR

**********

ANJIR LAH
GUE BIKIN CHAPTER EUE EUE INI JAM TIGA PAGI ANJIRRRRR

*********

UDAH YAA
DAH BANYAK BANGET INI 4000 KATA

MAAP CAPSLOCK JEBOL ✌

********

Nina pamit yhaaa

***
Photo bomb Aghi dulu deh yaak dikit

Dah ni banyak, si kampret pamit yaww

******

Mau ada Q&A gak?
Yang masih janggal akan gue jelaskan

Tanya aja di paragraf ini, cuma pertanyaan di paragraf ini yang dijawab. Silahkan tanya apapun.

Okee??

Byeeee

#rdh#

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top