27. Udahlah
"Gue gak ada urusan ya sama lo, mending gak usah ikutan!" Ucap Nara dengan suara yang membuatku takut. Dia gak pernah seserem ini sebelumnya.
"Dia asisten gue, tanggung jawab gue!" Aghi sudah berada di sampingku sekarang. Ia terdengar tegas, Aghi yang biasa rempong melambai, kini 100% pria dewasa.
"Kalian gak usah ribut! Aku gak mau ribut. Nara kamu mending pergi deh!" Kataku.
"Aku mau cek kamu, mastiin kamu baik-baik aja. Tadi aku denger dari Mbak Ona kalau Tya dateng ke kantor bikin ribut. Kamu gak apa-apa?"
"Gak usah sok peduli lo! Urus sana istri lo biar gak kaya singa betina lepas! Ehh pasti susah ya? Lo kan yang dikontrol dia." Ceplos Aghi, kemudan aku tiba-tiba terdorong ke samping.
Nara menyerang Aghi. Dan mereka ambruk berdua di lantai.
Mampus!
Ini aku harus gimana? Mana badan Nara lebih gede lagi dari Aghi. Aduhhh!
"Nara ihhh!!!" Aku berusaha menarik Nara yang sedang memukuli Aghi, tapi bisa ku lihat meskipun posisi Aghi di bawah, dia bisa melawan.
Aku terus menarik Nara, tapi gak ngaruh. Akhirnya aku keluar dari apartment, mencari telefon di lorong lalu menelefon security.
Saat kembali ke unit, posisi sudah berubah, kini Aghi yang memukuli Nara. Aku mencoba mendekat, menarik Aghi, dan syukurlah aku mampu menarik Aghi.
Tampang keduanya sama-sama kacau, ngeri aku liat mereka, mukanya merah. Dan ketika kulihat Nara ingin menyerang Aghi kembali, aku refleks memeluk Aghi, agar ia tidak terkena pukulan tersebut, dan...
Bahu kiriku langsung berdenyut.
"Nin? Sorry, sorry bangeet! Shit!" Kudengar suara Nara panik.
"Udah lo balik gih!" Bentak Aghi, dan saat itu lah security yang kupanggil tadi datang. Aghi langsung memerintahkan mereka membawa Nara pergi.
Bahuku, kebas. Asli, dari yang tadi nyut-nyutan sampe jadi mati rasa.
"Lo ngapain sih? Segala ikut-ikutan!" Seru Aghi kesal.
"Ya kalian ngapain berantem?" Aku sedang mengkompres wajah Aghi, memar di area wajahnya mulai terlihat.
"Dia duluan, ya gue mah bales. Mumpung laki, Nin. Coba tadi istrinya? Kan gak enak kalo gue bales, huh, cowo macem apa gue?"
Aku hanya mengangguk. Aku tahu sih alasan Nara marah. Aghi melukai egonya, padahal itu yang selama ini ia jaga. Nara ingin dilihat kalau dia bisa mandiri tanpa bantuan keluarga istrinya. Tapi yang orang luar lihat adalah Nara yang bergantung di keluarga itu.
Eh tunggu, kenapa aku belain Nara??
"Sakit gak itu pundak lo?"
"Bahu, Ghi!"
"Ya itu laah, sakit gak?"
"Mati rasa tau!"
"Waah??"
"Tapi tadi sakit, perih nyut-nyutan gitu. Sekarang kebas."
"Bisa lo gerakin gak?" Tanya Aghi.
Aku menggeleng. Belum mencoba, sedari tadi aku membersihkan wajah dan mengompres Aghi ya pakai tangan kanan. Gak pakai tangan kiri sama sekali.
"Yaudah, nih udah ah! Lo lemesin sana bahu lo!" Aku melempar handuk kecil dingin yang mengompres wajahnya ke baskom, lalu ia berjalan ke dapur.
Aku menarik nafas panjang, masih syok dengan kejadian tadi.
Memegang bahuku dengan tangan kanan, aku meringis. Kalau disentuh ternyata sakit.
Aghi kembali dengan eskrim yang memang ku-stock di kulkas, lalu duduk selonjoran di karpet karena sofa sedang kutiduri.
"Baru lagi loh gue berantem, seru juga ternyata. Sering-sering bikin masalah gih!"
Aku refleks menjitaknya.
"Sembarangan aja lu!"
"Jangan Nin sama dia, kasar gitu."
"Elunya nyebelin."
"Kesel gue sama dia, asli. Apalagi sama istrinya sama sebondoroyot keluarganya."
"Kenapa emang?"
"Sok iye, najis gue, punya saham gak seberapa aja lagaknya tinggi banget. Gue tau dia tajis, bisnisnya banyak di mana-mana, di kantor mah ya dia masih di bawah bokap gue kali."
Aku mangut-mangut.
"Lo gak apa-apa, Nin?" Tanya Aghi.
"Hah? Kenapa apanya?"
"Iya kepala lo gak sakit? Bahu lo gimana?"
Nyeri di kepalaku hilang saat melihat Aghi dan Nara bertengkar. Sedangkan bahuku, aku masih belum memeriksanya.
"Kepala udah gak terlalu, Ghi. Kalau bahu gue masih kebas."
"Bangun dulu coba lo, gue cek sini!"
"Gak ah, sakit kalo dipegang."
"Mau dikompres gak?" Tanya Aghi.
"Gak usah, gue tiduran gini dulu aja."
"Okee, okee, gue ngurus kerjaan dulu yaa!" Aghi menarik tas laptopku, kemudian ia membukanya.
"Gak apa-apa lo yang kerja?"
"Udah santai!"
"Makasih, Ghi!" Ucapku tulus, lalu memejamkan mata. Mengistirahatkan badanku yang lelah ini.
******
+62 ××××
Please jangan di-block
Aku mau ketemu kamu, Nin
Bisa?
Pesan tersebut masuk, dan tanpa basa-basi aku langsung mem-block nomor baru Nara, seperti biasa.
Aku melanjutkan menulis, ketika pintu ruangan terbuka, aku menutup tulisan tersebut, menyambut Aghi dengan senyum.
"Kesambet lu?"
"Tuh kan, disenyumin malah begitu. Giliran fokus ke layar dikatain 'gak liat lo, bos lo dateng, heh?!' serba salah."
"Hahaha, ribet ya gue ternyata."
"Ihh kemana aja baru tau?"
"Ini mbak Putri ngasih sertifikat yang harus gue tanda tangan, tapi gue males, lo scan aja ttd gue terus print yak!"
"Astagfirullah Ghi, tibang tanda tangan doang."
"Ihh males!"
"Yaudah oke okee!" Aku menerima tumpukan sertifikat yang Aghi berikan.
Well, pantes ini anak gak mau, banyak banget gila!
Kantor lagi santai, Aghi lagi gak banyak rapat karena kami sedang bikin acara, makanya ini butuh sertifikat
"Nina ada?" Pintu tiba-tiba terbuka, dan aku melihat Nara.
"Lo gak bisa sopan ya!?" Aghi langsung membentaknya, suaranya bikin aku kaget.
"Mau apa lagi sih Nar? Mau bikin ribut? Capek kali!" Seruku, sumpah aku udah kesel banget sama drama-drama yang dia bikin.
"Ikut aku sebentar yuk? Please!"
"Gak bisa, dia lagi kerja."
"Gue selesaiin entar kerjaan dia, apa sih?? Bentar doang ikut gue gak sampe satu jam!"
Mau meledak kepalaku, kalau bisa ngilang sih aku pengin ngilang. Capek!
Karena ingin semua selesai dan Nara tidak lagi mengganguku, akhirnya kusetujui permintaannya. Izin sama Aghi juga, dan dia cuma jawab terserah.
Nara mengajakku ke ruangannya. Masuk ke dalam di mana terdapat meja kerjanya, tempat yang tak pernah kudatangi sebelumnya.
"Di ruang rapat, Nin!" Nara membuka pintu, tipe ruangannya ternyata sama kaya Aghi, ada ruang rapat khusus.
Begitu masuk, aku langsung tegang.
Ada mbak Tya di sana, duduk menunggu dengan raut wajah yang tidak bisa kubaca.
"Duduk Nin!" Ucap Nara lembut.
Aku agak jalan jauh, sengaja agak sedikit kepojok dan bersebrangan dengan Mbak Tya. Aku takut.
"Kalian mungkin udah saling kenal, udah saling tau nama. Tapi aku masih mau kenalin kalian, Nin... ini Acitya, istri aku. Ya, ini Nina... orang yang kita bahas sebulan terakhir ini."
Ini apa? Nara jadi moderator gitu ceritanya? Apaan sih?? Kenapa ditemuin gini??
"Nin, kamu tahu kan? Aku proses cerai sama Tya."
"Aku gak mau cerai Mas! Ibu kamu juga gak mau!!" Seru Mbak Tya.
"Tapi, Ya..." Nara tak menyelesaikan ucapannya, ia hanya melirik kepadaku, seperti meminta dukungan.
"Mas, keluarga gak mau kita pisah. Kamu gak mikirin Argya apa?"
Argya?? Itu nama anak mereka?
"Argya udah cukup besar, cukup tahu kalau orang tuanya suka berantem, Ya."
"Cukup besar? Gila kamu, Mas! Dia masih 7 tahun!"
"Tapi dia tahu, orang tuanya gak beres."
"Kamu cuma seminggu sekali sama dia, tau apa kamu?!"
Nara diam.
"Cewek ini ngasih kamu apa? Apa yang dia bisa kasih ke kamu dan aku gak punya itu, Mas?!" Mbak Tya tiba-tiba menunjukku.
Aku menunduk, Nara sendiri tidak mengeluarkan jawaban apapun.
"Nina? Kamu cewek kan? Sama kaya aku, coba, pakek sedikit perasaan kamu, seandainya kamu jadi aku, rela suami kamu ninggalin kamu dan anak kamu?" Suara Mbak Tya kini tidak terdengar arogan, ia berbicara lembut, seperti ingin aku mengerti keadaannya. Dan... aku mengerti, jadi aku mendongkak, menatap wajah mbak Tya yang bercucuran air mata.
"Mbak Tya, maaf sebelumnya. Saya gak pernah tahu kalau saya jadi orang ke tiga di hubungan kalian. Saya kenal Nara, dia gak bilang apa-apa soal statusnya, jadi saya pikir dia single.
"Pas saya tahu, saya syok. Saya gak tahu harus apa." Aku berhenti sebentar, melirik Nara sekilas lalu melanjutkan ceritaku mumpung ada kesempatan menjelaskan.
"Saya sayang sama Nara, jujur. Tapi saat saya berfikir ulang, saya sadar kalau saya gak berhak atas dia. Nara sudah punya keluarga. Saya udah putusin hubungan sama Nara, Mbak. Udah lama, dari sebelum dia gugat cerai Mbak Tya.
"Mbak Tya bener, saya perempuan, saya punya hati. Dan saya sudah melakukan apa yang harus dilakukan. Dan mestinya saya gak ada di sini. Karena ini udah jadi masalah rumah tangga Mbak Tya sama Nara. Saya gak mau ikut campur, Mbak!"
Aku selesai menjelaskan. Mbak Tya masih menangis, Nara sendiri terlihat kalut.
"Terus apa, Mas? Apa yang bikin kamu mau cerai?!" Tuntur Mbak Tya.
"Ada yang gak bisa aku ceritain ke kamu lah, Yaa!"
"Nara, kamu anggep Mbak Tya tuh apa? Kalau kalian emang pasangan, harusnya kamu terbuka!" Tegurku.
Nara menoleh, menatapku dalam.
"Aku sayang Nin sama kamu. Aku mau sama kamu saat ini semua selesai."
"Sayang kamu lebih layak buat istri dan anak kamu, Nar!"
"Tapi aku maunya kamu, Nin!" Seru Nara, membuatku diam.
"Kenapa Mas, kamu gak pernah bisa ngomong ke aku kaya kamu ngomong ke Nina barusan?" Aku melirik Mbak Tya, air matanya makin deras.
"Kamu tahu jawabannya, Ya!"
"Karena Bapak jodohin kita? Karena kamu gak enak nolak permintaannya?" Ucap Mbak Tya, Nara hanya terdiam.
Di titik ini, aku melihat Nara yang sebenarnya. Ia gak lebih dari sekedar pengecut.
Dan Mbak Tya, dia pun gak layak sama Nara. Mbak Tya harusnya dapet yang lebih dari Nara. Yang bisa menyayanginya tulus, mencintainya sepenuh hati. Bukan seperti apa yang Nara lakukan selama ini.
"Aku capek Ya ada di bayangan keluarga kamu." Ucap Nara.
"Kenapa kamu selalu bilang 'keluarga kamu' padahal dari dulu Bapak udah anggep kamu anaknya, bahkan sebelum kita nikah. Bapak sayang sama kamu, tapi kamu selalu nganggep kamu orang luar, bukan bagian dari kami."
"Mbak Tya?" Panggilku. Mbak Tya langsung menoleh.
"Mbak, aku pernah nonton film sama temenku, Crazy Rich Asian, dan aku ngefans banget sama Mbak Astrid. Mbak nonton gak? Kalau engga, ya aku kasih tau aja. Posisi Mbak Tya ini percis banget kaya Mbak Astrid.
"Please Mbak, jangan jadi pengemis cinta ke orang yang bahkan gak punya cinta, jangankan punya cinta, Nara kayaknya gak paham cinta itu apa. Mbak Tya pantes dapet yang lebih dari Nara. Dia beneran cuma cowok yang gak tau bersyukur, Mbak!" Kataku,
Aku melirik Nara yang menatapku dengan tatapan kecewa. Lalu berganti melirik Mbak Tya, mencoba tersenyum padanya.
"Saya permisi, Mbak. Ini udah bukan masalah saya lagi, maaf!"
Kutinggalkan ruang rapat ini. Entah kenapa aku merasa lega. Aku sudah tahu bagaimana Nara sebenarnya dan... aku sangat tidak menyesal kehilangan orang seperti dia.
Gosh!
Thank God!
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
****
Cheerss Nin!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top