26. Dihujat

"Kenapa aku di-block sih Nin?" Tanya Nara.

"Ya kan aku bilang aku gak mau ada hubungan lagi."

"Kan aku bilang, tungguin Nin. Aku mau urus perceraian aku."

"Kamu serius?"

"Aku gak pernah seserius ini, Nina!"

"Aku gak ngerti. Kenapa kamu ceraiin istri kamu? Serius??!"

"Ya karena kamu."

"Dih, kok jadi aku? Aku gak minta ya kamu ceraiin dia, aku gak minta kamu milih aku. Aku malah minta putus."

"Ya kan akunya yang mau cerai, akunya yang milih kamu."

"Capek Nar ngomong sama kamu, sumpah!"

"Aku sayang Nin sama kamu, aku harus gimana biar kamu percaya?"

Aku diam. Aku gak punya jawaban.
Aku beneran udah gak mau terlibat.

Makanan pesanan Nara datang, tapi ia diam saja, tak mencicipi ataupun memakan spagetti yang terlihat enak itu.

"Nin? Please?"

"Apa lagi, Nara??" Ucapku, kesal.

"Aku gak mau putus, aku mau kamu temenin aku selama persidangan. Sampai aku bebas, single."

"Dih ogaahhh!" Seruku, refleks.

"Kamu gak sayang Nin sama aku?" Tanyanya.

Aku gak bisa jawab pertanyaan itu. Gak mau bohong. Karena aku mengerti perasaanku sendiri. Aku sayang sama Nara. Tapi sekarang aku cukup berotak untuk mikir kalau dia milik orang lain.

"Aghi cerita sama aku, katanya beberapa tahun lalu kamu pernah ada masalah kaya gini juga. Ceweknya dipecat. Gila ya Nar? Segampang itu kamu mainin idup orang." Aku tahu ini gak nyambung sama pertanyaannya, cuma mumpung inget aja aku jeblakin langsung.

"Hah? Siapa? Dipecat? Ohhhhh Widya?? Aku gak mainin dia. Boro-boro. Dia yang ganjen. Dia chat ya aku bales. Dia nanya ya aku jawab. Pas dia mulai gak jelas, ya aku cerita sama Tya, dan gak nyangka kalau Tya bakal datengin Widya."

Aku diam. Itu jujur gak sih? Aku udah gak bisa percaya lagi nih.

"Beda Nin kalau sama kamu. Aku yang deketin kamu, aku yang caper sama kamu. Karena aku emang beneran suka. Sayang Nin sama kamu."

Aku menghela nafas. Dia ngomong sayang mulu. Kata sayang yang dulu terdengar spesial sekarang jadi biasa aja di telingaku.

"Masih ada yang mau diomongin gak? Aku mau balik nih!"

"Aku masih kangen sama kamu, Nin. Udah seminggu kita gak ketemu. Seminggu ini aku pusing jawab-jawabin pertanyaan keluarga."

"Itu sih pusing kamu yang buat. Udah ya!" Aku bangkit, membawa jinjingan belanjaanku, kemudian keluar dari resto ini.

Mengeluarkan ponsel, tiba-tiba tanganku ditarik.

"Yuk aku anter pulang." Nara sudah berada di sampingku..

"Gak mau!"

"Please, yuk aku anter pulang."

"Gak mau, aku takut diculik sama kamu!"

"Come on, Nin?!"

"Gak mau ihhh!!!" Aku menarik tanganku kemudian berlari secepat yang aku bisa, ya gak cepet-cepet amat sih karena pakai heels, cuma lumayan lah buat menghindar dari Nara. Kalau nanti dia kejar, baru deh aku teriak.

Memastikan Nara tak mengejar, aku menoleh ke belakang. Nara berdiri di tempat aku meninggalkannya, mata kami bertemu dan ia tersenyum miris.

Aku menelan ludah, kemudian berbalik, melanjutkan dengan berjalan menuju pintu keluar.

Gak! Aku gak boleh tertarik lagi sama dia. Aku gak boleh biarin perasaan ini terus tumbuh! Itu gak baik. Nara gak baik!!

Eh, Nara baik deng.

Aduh, ini gimana sihh woy??!

******

Aghi minta laporan, bukan laporan kerjaan, tapi laporan aku ngobrolin apa aja sama Nara semalem.

"Lo gak sedang menyusun rencana untuk menghancurkan pernikahan orang kan, Nin?"

"Ya Allah, Ghi. Lo mah curigaan mulu ke gue."

"Gue percaya sih Nin sama lo. Cuma ya gimana? Posisi lo tuh dipihak yang gak baik."

"Gue sebagai selingkuhan?" Tanyaku.

"Iye."

"Kan gue gak tahu, Ghi. Mana pernah gue bayaingin pertama kali pacaran langsung jadi selingkuhan?"

"Eh serius lo baru sekali pacaran?" Fokus Aghi teralih.

"Iyaaa, eh yuk! Ke ruang rapat sekarang, 15 menit lagi mulai!" Aku mengingatkannya.

"Bawain bahan gue yak!" Aghi langsung keluar ruangan.

Aku beralih dari mejaku ke meja Aghi, merapikan barang-barang miliknya, termasuk ponsel yang tergeletak di meja.

"Mbak Put, yok!" Ajakku saat keluar ruangan.

"Iya, yuk!"

Kami berdua berjalan bersebelahan, rapat kali ini mengurus produk baru yang akan launching. Rapatnya di ruang utama, satu lantai dengan ruangan Pak Dewa.

"Sleeping mask yang kamu saranin kemarin Nin, bagus banget! Aku bangun-bangun muka aluuss banget." Kata Mbak Putri tiba-tiba.

"Ihh emang, bagus itu mbak buat kulit kering."

"Iya, jadi agak lembab juga. Makasi ya Nin."

"Ke Aghi laah, kan si Boss yang beliin."

"Ya kan kamu yang rekomendasi."

Aku nyengir. Kami menghentikan obrolan saat masuk ruang rapat. Sudah ada beberapa orang yang hadir, dan syukurlah aku tak melihat Nara.

Aghi duduk di depan, aku dan Mbak Nina langsung mengambil posisi di dekatnya. Biar gampang.

"Nin lo mau bikinin gue kopi?!"

"Siap Mas Aghi, kaya biasa ya?" Ucapku formal.

"Yes please, thank you!"

Menuju meja tempat coffee break disediakan. Aku langsung meracik kopi untuk Aghi. Dua sachet creamer, satu bungkus gula buat orang diabetes, tuang kopi setengah, aduk, kasih creamer lagi dua, baru gelasnya di full.

Ribet ya? Aku pernah langsung masukin 4 creamer dan Aghi bete. Katanya rasanya beda.

Bingung ya, beda di mana?

Pak Dewa masuk ke ruang rapat, mendadak kami semua hening, dan saat tim dari advertising bergabung, ruangan pun diminta diredupkan.

Setelah melihat tayangan iklan 3 kali berturut-turut, ruangan pun dinyalakan kembali. Sesi tukar pendapat berlangsung ramai. Ada yang menambahkan ide ataupun mengomentari bagian iklan yang tidak perlu.

Aku fokus mendengarkan tim kreatif menjelaskan konsep iklan ini, lalu tiba-tiba aku hampir jatuh karena seseorang menarik tanganku.

Aku menoleh, dan jantungku langsung berdetak 50 kali lebih cepat dari biasanya.

Oh God! Please dont! Doaku dalam hati.

"Nina kan, kamu Nina?!" Seru perempuan ini lantang, membuat siapapun yang sedang berbicara di depan berhenti seketika.

"Mbak jangan di sini, lagi ada rapat." Kataku pelan.

"Kenapa? Biar sekalian orang-orang tahu gimana busuknya kamu!"

Aku menelan ludah.

"Gak punya hati ya kamu? Deketin suami orang!" Bentaknya sambil melemparkan sesuatu padaku.

Aku menunduk untuk melihat apa itu, yang ternyata adalah beberapa lembar foto. Aku dan Nara, di resto, semalam.

Aku tak berani mengadah, tahu kalau aku juga ada di posisi salah.

"Gak punya hati tau gak! Deket-deketin suami orang!" Serunya lagi dan kali ini aku meringis, ia menjambak rambutku.

"Mbak, udah mbak!" Terdengar suara Aghi.

"Dieeem! Stop!! Jangan ada yang ikut campur kalau kalian mau selamat!" Ancam Mbak Tya, istrinya Nara.

Aku tetap menunduk, malu.

Kemudian, terasa lagi jambakan di rambutku tapi kali ini lebih sakit karena ternyata Mbak Tya menarikku... ke depan.

"Pak Dewa! Liat nih karyawannya! Masa kantor ini bisa kebobolan sih? Rekrut cewek gak punya moral kaya dia!" Pipiku di tampar, keras sekali.

Dan, aku juga merasa ada beberapa cahaya kilatan yang terarah kepadaku.

"Udah ya, Mbak! Stop! Kalau mbak juga punya hati, harusnya gak kaya gini perlakuinnya!" Itu suara Mbak Putri, kemudian aku ditarik kembali, kali ini ke luar.

Aku diam. Menahan tangisan dan amarahku.

"Nin? Nina! Sabar yaa!" Mbak Putri membantuku duduk di sofa. Kami sudah berada di ruangan Aghi sekarang.

Aku tetap diam, menarik nafas dalam-dalam agar emosiku tetap terkontrol.

"Nin? Jangan diem aja. Kalau mau nangis, nangis aja!" Mbak Putri memelukku, dan tiba-tiba saja, air mataku tumpah.

Sakit rasanya, sudah melakukan hal yang benar tapi tetap dianggap salah.

"Nin?? Lo gak apa-apa?" Terdengar suara Aghi.

"Sableng emang tu cewek, mentang-mentang bapaknya punya kuasa, jadi seenaknya." Umpat Aghi.

"Udah Nin, jangan nangis!!"

"Gak apa-apa Mas Aghi, biarin mbak Nina nangis, biar lega."

Kemudian terdengar pintu yang dibanting terbuka. Aku mengadah dan kali ini kulihat kemarahan di mata Mbak Tya, ia seperti siap membunuhku.

"Kamu apain suami saya, hah?!" Ia mendorongku, lalu terasa cubitan kencang di tangan dan perutku.

"Mbak, udah!" Seru Mbak Putri.

"Bisa-bisanya dia gugat cerai saya tanpa masalah."

"Awww!!" Mbak Putri terdengar meringis.

"Mbak Putri udah, jangan bantuin aku, mbak." Kataku saat melihat Mbak Putri terkena cakaran dari Mbak Tya.

"Nah iya, sasaran saya kan kamu, cewek gak tau diri!" Lagi-lagi, rambutku dijambak. Kali ini seribu kali lebih sakit, Mbak Tya seperti ingin melepas rambut dari kepalaku.

"Ngincer apa kamu? Harta?! Bilang kamu mau berapa?!"

"Mbak, udah Mbak!" Seru Aghi, tegas lalu ia menarikku dari cengkraman Mbak Tya, dan bisa kulihat Mbak Tya masih berusaha menyerangku, tapi malah Aghi yang kena.

"Tarik dia Pak!" Seru Aghi, mbak Putri ternyata memanggil security.

"Dasar maling! Maling suami orang!" Aku masih sempat mendengar teriakan itu sebelum Pak Mulya membawa Mbak Tya keluar.

"Nin, rambut lo rontok parah ini!" Aghi melepaskan dekapannya, di bajunya menempel puluhan helai rambutku yang terlepas.

"Mbak Nina minum ayok!" Mbak Putri mengulurkan botol minumku lalu mengajakku duduk.

"Kesel gue, Nin. Kenapa lo gak lawan sih? Gak lo bilang kalau suaminya yang ganjen?" Seru Aghi.

Aku hanya menggeleng.

"Lu diem aja, kesel gue!"

"Mas Aghi diem dulu, Mbak Nina masih syok." Ucap Mbak Putri.

"Oh iya-iya-iya, maaf." Ucap Aghi, lalu ia duduk di sebelahku.

Air mataku mengalir begitu saja, Mbak Putri mengusapnya dengan tisu.

"Aku tau kok, Mbak Nina gak salah. Bener kata Mas Aghi, harusnya mbak Nina speak up, bilang kalau yang ganjen itu suaminya. Bilang kalau mbak Nina gak ganggu suaminya, apalagi mau rebut."

"Mbak, di mata orang-orang, aku udah jelek. Aku orang ketiga di hubungan mereka. Kalau aku bikin pembelaan, apalagi sampai lawan Mbak Tya, orang di luar sana bakal nge-cap aku pelakor gak tau diri. Nanti muncul headline 'galakan pelakor daripada istri sah' gak mau aku Mbak. Lagian Mbak Tya marah, emosi, yaudah biarin aja biar lega, kalau dilawan makin meluap nantinya." Jelasku.

"Tapi mbak... ya ampun, itu kulit dahi mbak Nina sampe merah-merah loh. Sakit banget ya pasti kepalanya?"

Aku mengangguk. Kepalaku sekarang sangat nyeri, rambutku seakan masih menjerit ditarik seperti tadi.

"Balik aja yuk Nin!" Ajak Aghi.

"Malu keluarnya, Ghi. Orang-orang rame banget di luar."

"Gue plototin dah yang liatin lo!"

"Terus rapatnya gimana?" Tanyaku.

"Mas Aghi sama Mbak Nina pulang aja, biar saya yang balik ke atas."

"Mbak, makasi banget ya!" Ucapku tulus pada Mbak Putri.

"Santai aja! Ayok! Bareng keluarnya."

"Tuh, Nin. Ayok!"

Aku mengangguk, kemudian merapikan rambutku yang kusut. Saat menyisirnya menggunakan jari, ternyata banyak sekali rambutku yang berguguran.

"Udah, rapihinnya si mobil aja." Ucap Aghi kemudian ia menarikku berdiri, merangkulku. Lalu berjalan mantap ke luar.

Ya tuhan, terima kasih. Aku masih dikelilingi oleh orang yang benar-benar tulus peduli kepadaku. Terima kasih!

***

Aghi memintaku diam, sementara ia menyisir rambutku. Meluruskan semua helai yang kusut, merapikan yang berantakan. Katanya biar dia gak emosi, nyisirin rambut orang bisa bikin dia tenang.

"Gila ya, ngeri juga cewek kalo ribut. Gue biasanya liat cuma di akun gosip stagram loh."

"Gue gak kaget kalau kejadian tadi masuk stagram juga, soalnya cewek di belakang Mbak Tya tadi pegang HP terus, nyorotin ke gue."

"Duhh, sabar ya Nin."

"Gak apa-apa, gue gak punya stagram kok. Tapi gue kepikiran elu, Ghi."

"Kok gue?"

"Gara-gara gue pasti citra lo jadi jelek. Kayanya lo harus cari sekretaris baru deh."

"Ih kok lo ngomong git----" ucapan Aghi terpotong karena bel yang berbunyi nyaring, terus menerus membuat berisik.

Berdiri, aku berjalan ke dekat pintu dan membukanya.

"Gosh! Nin? Kamu gak apa? Kamu diapain sama Tya??!" Nara tiba-tiba memegang bahuku, ia telihat panik.

"Naah, gini kek! Yang dateng cowok, biar gue bisa bales!" Di belakang sana, terdengar suara Aghi yang bersemangat.

Oh gosh!
Aku gak mau mereka ribut.

Please, jangan sampe!

********

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

*****
Paporit kalian nih

***

**

****

Triple update. Gimana? Seneng??

But! Aku midseason dulu yaa.

Gak lama kok, 3 harian aja.

Draf cerita ini udah kelar sebenernya. Tinggal update aja emang. Cuma ya krn mood suka berubah ya jd pengen midseason dulu

***

Paling lama 3 hari
Tapi ya biasanya aku pergi gak lama2 bgt
Heheheheh!

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top