24. Satpam Dadakan
Subuh ini, aku memakai pakaian olahraga. Aku berencana lari dan ber-jogging di taman belakang.
Melakukan pemanasan sedikit, aku memulai lariku dari halaman apartment sampai jauh ke taman. Asli, kalau naik mobil berasa deket tapi kalau lari lumayan juga yaa.
Berlari mengelilingi taman sekian putaran, aku akhirnya duduk di bangku yang sering kududuki bersama Nara.
Membuka ponsel, aku mengecek kalori yang terbakar pagi ini. Oke lah, lumayan.
Membuka watsap, aku memandangi nama Sinta. Gak tau, belum berani aja aku buka pesan dari dia. Soalnya Sinta kalo ngomong suka seenak dia sih, gak mikirin perasaan orang.
Menutup aplikasi tersebut, aku membuka gallery, memandangi momenku bersama Nara yang terekam kamera ponsel.
Jujur, Nara tuh baik banget. Perhatian. Romantis. Lembut. Dan dia menerimaku.
Aku udah sayang banget sama dia.
Tapi ya Tuhan? Kenapa dia harus jadi suaminya orang? Takdir apa sih yang sedang berjalan di hidupku yang berantakan ini?
Bosan. Aku berlari kembali. Kali ini menuju apartment karena aku sudah haus dan begonya, tadi gak bawa minum.
Begitu masuk, aku melihat Nara tidur di sofa. Ini dia tuh gak kerja? Atau gimana sih? Pergi kek!!
Menuju dapur, aku mengambil air banyak-banyak dari dispenser lalu meminumnya. Melegakan tenggorokan.
"Kamu dari mana, Yaang?" Aku tersentak, Nara sudah berdiri di dekatku.
"Bukan urusan kamu!"
"Nin? Kenapa sih jadi jahat sama aku? Emang aku pernah jahat ya sama kamu?"
"Kamu bohong!" Seruku.
"Ya kalau aku gak bohong, kamu gak akan pernah mau deket sama aku. Kalau aku gak bohong, aku gak bakal punya kesempatan ngerasain dan ngejalain hidup yang aku pengen."
"Ngomong apa sih kamu?!"
"Kamu gak denger ceritaku emang ya?"
Aku menggeleng. Berbohong. Aku tahu ceritanya, kudengarkan dengan seksama, dan setiap detailnya aku pahami. Tapi itu tidak membenarkan apa yang ia lakukan sekarang. Bukan alasan untuk berbohong.
"Nin, mau gak? Duduk berdua. Dengerin cerita aku kaya apa. Pahami perasaan aku ke kamu segimana. Baru kamu boleh memutuskan."
Aku diam, tapi kutarik kursi terdekat lalu duduk di situ.
Nara tersenyum, ia langsung duduk di hadapanku. Dan memulai cerita dari bagian yang sudah kuketahui.
Ceritanya kudengarkan lagi, mencari celah, atau mungkin perbedaan yang bisa menjadi ciri kalau Nara berbohong.
Tapi tidak. Ceritanya konsisten.
"Jujur Nin, aku capek hidup di balik bayang-bayang keluarga Kaiswaran. Kayak... apapun yang aku lakukan, orang selalu mikir kalau itu terjadi atas kuasa Pak Sugeng. Seolah-olah aku cuma cowok gak berguna yang numpang hidup.
"Sampai aku kerja di sini pun karena aku jenuh sama Surabaya. Tya aku ajak ikut, tapi dia gak mau, jadi ya aku harus bolak-balik. Udah perjanjian kalau Minggu-Senin itu aku harus ada di Surabaya. Makanya, aku suka gak ada kabar ke kamu.
"Terus, saat aku dapet promosi dan punya jabatan di sini, Pak Sugeng malah beli sekian persen saham, dan minta dibikin pabrik di Surabaya, supaya aku bisa sering pulang.
"Gak pernah Nin, gak pernah aku bisa puas sama hasil kerjaku sekeras apapun aku nyoba, karena semua pasti akan menyangka itu bukan usaha aku. Orang-orang kantor taunya aku jadi CDO karena menantunya Pak Sugeng, padahal aku udah pegang jabatan itu bahkan sebelum pak Sugeng tahu perusahaan ini.
"Makanya, kalau sama kamu aku bisa melepas semua bayangan itu dan berdiri di spotlight aku sendiri. Aku mau, Nin."
"Egois ya ternyata kamu!" Hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Kok jadi aku?"
"Kalo emang kamu gak yakin, harusnya dari awal kamu gak usah lakuin apa pun yang gak sesuai sama hati kamu. Tapi kamu kan yang jalanin itu? Terus sekarang kamu nyalahin orang untuk bikin kamu bener?"
"Gak gitu, Yaang!"
"Iya kok! Kamu merasa perlu pembuktian, perlu seluruh dunia tahu kalau kamu bisa. Padahal gak perlu gitu, cukup orang-orang terdekat kamu yang tahu, cukup rekan-rekan kamu yang tahu kemampuan kamu. Jadi kamu gak usah cape, you dont have to prove anyting to anyone! Mereka akan nilai sendiri, Nara."
Nara diam.
"Jadi udah, kalau kamu mau cari spotlight kamu, silahkan. Tapi gak usah ajak-ajak aku. Kalau kamu mau ada cewek yang bisa kamu mainin seenaknya buat seneng-seneng, ya silahkan juga, tapi bukan aku."
"Nin?! Demi apapun, aku gak pernah ada niatan buat mainin kamu, apalagi cuma buat seneng-seneng!"
"Kamu punya istri, Nar. Buat apa cewek kalau bukan buat seneng-seneng?" Tanyaku.
"Ninaaaa." Suara Nara terdengar letih.
Aku diam, menunggu jawabannya.
"Berapa kali Nin aku harus bilang kalau aku sayang sama kamu? Kalau aku deketin cewek cuma buat seneng-seneng doang, aku gak akan deketin kamu yang menguji kesabaran aku, Nin. Aku cari cewek yang bisa aku pake kapan aja, terus pas bosen ganti yang baru.
"Tapi engga kan? Aku pilih kamu. Karena aku jujur, aku suka sama kamu, sayang sama kamu. Makanya aku gak pernah maksa kamu untuk ngelakuin itu. Makanya aku berusaha sebisa mungkin bikin kamu nyaman dan aman."
Aku diam, Nara bangkit, ia menggeser kursinya mendekat sebelum duduk kembali.
"Kamu mau nunggu kalau aku minta itu? Biarin aku urus perceraian aku?"
Aku melotot mendengar itu.
Gila? Nara mau cerai? Gara-gara aku?
Bisa dibantai aku sama keluarga istrinya.
"Nar? Istri kamu kurang apa sih?" Tanyaku.
"Dia gak ada kurang. Dia baik, dia cantik, dia pinter, dia pengertian. Dia ngasih aku anak yang baik, yang sehat, yang cerdas."
"Terus kenapa mau kamu ceraiin? Udah gila kali ya??!!"
"Masalahnya adalah, dia gak bisa bikin aku cinta sama dia. Aku gak cinta sama dia, Nin. Aku cuma sekedar sayang sama dia, dan perasaan itu pun numbuhnya lama, dan gak terlalu dalam. Aku sayang sama Tya, tapi saat aku sayang sama kamu, perasaan aku ke Tya udah bukan sesuatu yang penting lagi."
"Kamu nyakitin istri kamu, Nar. Kamu bikin kecewa anak kamu."
"Aku gak bisa bahagiain semua orang, Nin."
"Tapi kamu punya kesempatan untuk bertahan, bahagiain istri, anak dan keluarga kamu yang lainnya."
"Ngorbanin perasaan aku sendiri?"
"Itu kan pointnya jadi orang dewasa dan menjadi orangtua? Apapun dilakukan untuk orang yang disayang bisa bahagia, meskipun kitanya gak bahagia."
"Aku sayang sama kamu, gimana tuh?"
Kenapa Nara nih mangkel banget ya Tuhan??! Kesel.
"Ada yang lebih pantes dapet sayang dari kamu, Nar. Udah ya? Obrolan kita cukup sampe sini aja. Aku udah gak mau bahas apa-apa lagi. Apapun masalah kamu, itu urusan kamu. Dan aku akan ngurus masalahku sendiri. Dan maaf, aku minta kamu pulang!"
Aku melihat kesedihan yang nyata di wajah Nara. Sebenernya gak mau liat dia seperti itu, tapi ya mau gimana? Ini yang terbaik. Entah terbaik untuk siapa, karena saat ini aku pun merasa hancur.
"I'm sorry goodbye, Naranata Paramusesa!" Kataku, memberikannya senyum perpisahan lalu berbalik ke kamar, menguncinya.
*****
Kembali ke kantor, agak berat sih sebenernya karena hatiku masih berdarah-darah. Tapi, life must go on, right??
"Welcome back, Nina! Gimana liburannya?" Sapa Mbak Putri ramah.
"Asik Mbak! Mbak Put kalau mau cuti juga kabar-kabarin aja, biar satu sama kita." Kataku.
"Nanti paling ya? Pas anakku liburan semester. Kalau suami pas dapet cuti juga."
"Siap Mbak! Mantap! Aku ke dalem dulu yaa!" Ucapku, lalu Mbak Putri mengangguk.
Ruangan kosong, Aghi belum datang, tadi pagi ia berangkat sendiri ke kantor karena ada rapat pimpinan, sementara Mas Ijul menjemputku sesuai jadwal.
Mengecek meja Aghi, aku merapikan dokumen-dokumen yang telah ia tanda tangan, lalu membawanya ke mejaku, menyortir dari tingkat urgensi, mana yang harus diurus lebih dulu.
Asik bekerja, aku terkejut karena pintu dibuka tiba-tiba. Khas Aghi banget, maen ngejeblakin pintu.
"Ehh elu nih ya! Pasti gara-gara lu!" Aghi menunjukku.
"Apaan?" Tanyaku.
"Itu si Nara, cuti gara-gara mau urus perceraian? Lo gak dengerin nasehat gue apa? Nasehat Ibu lo? Hah?"
"Hah?"
"Hah! Hah! Hah! Dikata lagi balap kelomang apa?! Hah?"
Jeeeh? Dia dulu yang hah-hah-hah. Aku mah refleks.
"Nara cerai?" Tanyaku.
"Iyee, itu dia pulang ke Surabaya. Barusan gue rapat sama Bapak Mertuanya, ribut urusan saham. Sakit kepala gue, asli! Ini elu pasti ya?" Aghi berjalan mondar-mandir di depan mejaku.
"Gue udah bilang putus Ghi, demi Tuhan!"
"Terus kenapa dia mau cerai?"
"Ya gak tau!"
"Bilangin sana gih ke dia! Gak usah cerai-ceraian segala, kayak artis aja!"
Aku menggaruk-garuk rambutku yang tak gatal ini. Cuma buat respon gerakan bingung aja. Gak ngerti aku tuh.
Kok ya Nara beneran mau cerai? Jadi dia tuh jujur gitu tentang semuanya? Tentang ingin mencari spotlight sendiri atau apalah itu yang dibahas kemaren? Kok jadi serius gini?
"Lo beneran putus kan?" Tanya Aghi, ia melotot sekarang kepadaku.
"Demi Allah, Ghi! Udah putus. Lost! Udah block kontaknya, hapus fotonya juga." Seruku.
Meskipun sedikit menyesal sih aku menghapus semua foto. Aku jadi gak punya kenangan kalau hubunganku dengan Aghi itu nyata.
"Emmm, gue nginep ah di apartment, awas aja kalo tiba-tiba si kodok budug itu muncul, lu yaa yang gue aduin ke Bapak Mertunya Nara."
"Lha kok jadi gue?"
"Ya masa gue? Kan gak lucu kalau gue dateng-dateng ngomong 'aku pak, yang bikin anak bapak digugat cerai!'" Seru Aghi dengan nada feminimnya.
Aku tahu dia lagi kesel, tapi mau gak mau... aku tertawa.
"Emm dasar kupret lu, boss sendiri diketawain. Awas ya lu! Gue jagain lu dua puluh lima jam biar gak godain si Kodok ngorek itu!"
"Dua puluh empat jam kali, Ghi!"
"Gue maunya jigow, apa lu?!"
"Iya bos, iya." Kataku sambil tersenyum.
Ya, senyum di luar. Tapi dalam hati aku ambyar. Gak tau ini bakalan kaya apa.
Kalau Nara gugat cerai, kemudian ia menarikku ke dalam masalah pernikahannya. Bisa selesai hidupku.
Ya ampun. Gak cukup apa ya ujian selama ini?
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a commet and vote this chapter xoxo
****
Gengs, cus yuk yang mau beli novelku boleh jalan-jalan ke google play terus search judul-judul di bawah ini
Yang di google semuanya full yak
Di wattpad gak akan pernah komplit lagi
Jadi biar gak penasaran, yokk monggo
*****
Bakalan bikin ulah apa nih si Nara?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top