23. Semua tentang Nara
"Dah, siapin mental sana, buat besok ketemu si Monyet." Ucap Aghi, ia mengantarku sampai lobby.
Aku mengangguk, meski agak gak rela Nara dikatain Monyet.
"Tapi gue masuk senin ya? Kan cutinya sampe senin."
"Iyeee! Bawel!" Aghi melambaikan tangan, lalu berbalik, menuju mobilnya yang terparkir di depan, Mas Ijul sudah menunggunya.
Menarik koper, aku langsung menuju lift, pengen cepet-cepet sampe kamar, mau rebahan, badanku pegel banget. Jalanan dari Desa tuh kacau lah, lubang di mana-mana, banyak belokan tajem. Tadi aja Aghi sempet muntah.
Biasa mabok alkohol, eh sekarang mabok darat.
Membuka pintu apartment, jantungku hampir longsor saat melihat ada seseorang di sofa, TV menyala dan ia langsung menoleh saat pintu terbuka.
Damn! Kenapa Nara bisa ada di sini?
Well, maksudnya... ya aku tahu, dia tahu password unit apartmentku, tapi... kenapa dia di sini???!!
"Thank God! Kamu pulang juga akhirnya." Ucapnya dengan nada lega, sementara aku terpatung di depan pintu.
Ini gimana? Aku harus gimana?
Ketika melihat Nara beranjak dari sofa, aku bergegas masuk, menarik koperku langsung ke kamar.
Bisa kurasakan kalau Nara membuntutiku, dan itu malah membuatku ngeri.
"Yaang? Kamu dari mana? Kok pergi gak bilang aku?" Tanyanya ketika aku membongkar koper.
"Kamu ngapain di sini?"
"Ya nunggu kamu lah, Yaang. Khawatir tau aku. HP kamu gak aktif, aku gak tau kamu di mana. Aghi cuma bilang kamu izin cuti. Pusing aku Yaang mikirin kamu. Gak bisa tidur. Makanya aku diem di sini, di tempat di mana kamu ninggalin aku. Sekalian, biar aku bisa peluk bantal kamu, jadi bisa cium aroma kamu. Aku kangen soalnya." Jelasnya panjang.
Pengen muntah aku dengernya!
Bisa ya dia sok manis kaya gitu ya ampun ihhhhh pengen nampol!
"Yaang ihh, kamu dari mana?" Nara benar-benar membuntutiku saat aku berjalan mondar-mandir memindahkan baju dari koper ke lemari.
"Dari Ibu!" Seruku, dan Nara langsung menahan tubuhku. Kedua lengannya ada di bahuku, matanya menatap tajam, terlihat khawatir.
"Ihhh?? Kamu gak kenapa-kenapa kan pulang ke sana? Kamu baik-baik aja kan? Kenapa gak aja kau?!"
"Ngapain ngajak kamu? Lagian, aku kan udah bilang aku butuh waktu buat sendiri!" Aku menepis tangan Nara kemudian lanjut memindahkan baju. Sengaja satu-satu, biar lama, soalnya aku gak mau kalau harus duduk berdua sama dia.
"Ya kan aku mau jagain kamu, terus mau kenalan sama Ibu kamu."
"Aku baik-baik aja. Gak perlu dijagain. Gausah lah kenal sama Ibu!"
"Ih kenapa? Kenapa gak perlu jagain? Terus kenapa gak usah kenal Ibu kamu?" Sumpah, pertanyaan-pertanyaan ini bikin aku tambah kesel sama dia.
"Ya dari dulu juga aku bisa sendiri. Gak ada yang jagain!"
"Ihh kok kamu gitu? Kan dulu kita belum kenal, tapi sekarang kan ada aku, siap aku jagain kamu dari apa aja, Yaang."
Ya Allah, mau usir Nara aja boleh gak sih?? Semua kepeduliannya yang palsu ini bikin luka di hatiku makin bedarah-darah.
"Yaang, Ibu kamu gimana?"
"Gak usah tau lah!"
"Lha kenapa? Kok kamu jutek banget sih?!"
"Ya aku aja gak kenal kok sama keluarga kamu." Sahutku.
Baju telah tersusun rapi di lemari, kemudian aku keluar kamar sambil membawa kain berisi baju kotor, hendak mencuci.
"Ohh? Kamu bete gara-gara gak kenal keluarga aku? Ayok, aku kenalin, mau kapan kamu ke Blitar?"
"Hah? Blitar?"
"Iya, orang tua aku ada di sana. Ibu sama Bapak di Blitar. Bapak asli Blitar, Ibuku dari Bali, terus nenekku yang dari Ibu itu orang Austria."
Aku menatapnya heran. Kenapa dia semudah ini bercerita? Sedangkab berbulan-bulan lebih ia seperti menutup semuanya dariku.
Selesai memasukan baju ke mesin cuci, aku kembali ke kamar, mengambil baju rumah lalu masuk ke kamar mandi untuk berganti.
"Yaang?? Ngomong dong? Kamu maunya apa? Biar aku tahu." Terdengar suara Nara dari balik pintu.
Selesai berganti, aku keluar, Nara membuntutiku ke kamar mandi depan. Aku sedang ingin sibuk, biar gak usah meladeni Nara.
Menyikat kamar mandi depan, Nara bersandar di pintu, bisa kurasakan matanya memandangku dengan tatapan tajam, tapi sebisa mungkin aku tak memandangnya balik.
Aku takut.
Takut luluh dan tersesat lagi di sana.
Cucian sudah masuk pengering, dua kamar mandi sudah kinclong, dapur sudah rapi, aku udah gak tau lagi harus ngapain, jadi aku langsung masuk ke kamar, mau tidur aja biar gak diganggu.
Nara tetap membuntutiku, aku masih diam dan kali ini ia pun diam, tidak banyak bicara.
Kuambil ponsel yang sedari tadi di-charge, membuka chat Nara, tanpa membacanya aku menutup roomchat itu, baru mulai membalas satu per satu pesan yang masuk dari paling bawah.
Kebanyakan soal kerjaan, dan aku membalasnya sesuai dengan update yang kutahu dari Mbak Putri.
Tinggal satu chat yang belum terbuka, Sinta. Entah lah, aku seperti takut membuka pesan darinya.
"Udah Yaang sibuknya?" Tanya Nara ketika aku meletakkan kembali ponsel di atas nakas.
"Hemm!"
"Kamu kenapa Yaang? Jangan bikin aku bingung gini dong, tolong."
Aku membalik badan, berhadapan dengan Nara yang tampangnya kini kalut.
Aku gak ngerti, Nara nih gak inget istrinya apa gimana sih? Ya ampun, pengen teriak gitu depan mukanya.
"Aku kecewa Nar sama kamu." Kataku akhirnya.
"Apa? Kecewa kenapa? Aku salah apa Yaang?"
"Kamu gak jujur sama aku."
"Gak jujur soal apa, ya ampun? Kamu nih kenapa Yaang? Tiba-tiba susah dihubungin, diemin aku, ngilang, terus balik-balik kaya gini."
Aku mengusap wajahku, berusaha menahan emosi.
"Aku mau putus, Nar. Kita udahan ya! Kalo bisa gak usah ketemu lagi." Kataku dengan kesadaran tingkat tinggi. Jujur, dadaku sedikit sesak mengucapkan kalimat ini.
Gimana dong? Aku nih sayang sama dia.
"Putus? Putus gara-gara apa? Ayolaah Yaang, jangan becanda!" Nara menarik tanganku, menggengamnya kemudian berkali-kali menciumnya.
"Aku gak mau pacaran sama suami orang." Kataku tegas, lalu menarik tanganku.
Nara diam, ia terlihat mengerti dengan keadaanku sekarang.
Duduk di kasur, Nara menarik tanganku, mengajakku duduk juga.
"Maaf." Katanya, terdengar tulus.
Aku diam, berusaha menatap kemana pun agar tidak menatap matanya.
"Tapi aku gak mau putus sama kamu, Nina. Aku sayang sama kamu."
Aku menunduk, memandang kuku-kuku jari tanganku yang berwarna merah tua ini, gara-gara nyikat kamar mandi tadi jadi ada yang bocel-bocel.
"Nin, please, liat aku." Nara memegang daguku, mengarahkanku untuk menatap matanya.
"Apa?!" Seruku.
"Aku sayang Nin, sama kamu. Beneran!"
"Kamu punya istri, Nara! Kamu juga punya anak! Mikir!"
"Aku rela ninggalin mereka buat kamu, Nin. Serius!"
"Aku udah gak mau sama kamu!" Bohong, aku tahu itu bohong, tapi untuk kali ini, kubiarkan logikaku menang melawan hati yang sedang berantakan ini.
"Aku sayang Nin sama istriku, sama anakku juga... sayang banget. Tapi itu berubah pas aku liat kamu. Aku mau ninggalin mereka buat kamu, sumpah!"
"Gak usah gila kamu! Udah lah, kamu balik sana ke keluarga kamu, sebelum semuanya terlalu jauh. Tobat Nar, tobat! Jangan ganjen-ganjen mainin cewek!"
"Mainin? Astaga! Kapan aku mainin cewek?" Tanyanya kaget.
"Dih gak mikir!"
"Aku mainin kamu? Aku tanya sekarang, kapan kamu merasa aku mainin, Yaang?"
"Ya kamu bohong, punya istri tapi ngajak orang pacaran."
"Yaudah iya, aku tahu, kalau soal bohong aku mengakui aku bohong. Soalnya kalau aku jujur ke kamu aku punya istri, kamu mana mau aku deketin sedangkan aku udah suka banget sama kamu?!"
"Harusnya ditahan dong! Kan udah punya istri masih aja nekat deketin orang!"
"Ya gimana? Sejak liat kamu aku gak peduli punya istri, tujuan aku ya cuma biar bisa sama kamu, udah itu aja."
"Kamu jago ya debat omongan orang. Capek aku!"
Beranjak dari kasur, aku keluar dari kamar. Padahal aslinya badanku lemes banget loh ini.
Nara mengikutiku lagi, ia duduk di sampingku.
"Maaf aku bohong, sekarang apa yang mau kamu tahu dan aku akan cerita jujur sejujur jujurnya sama kamu."
"Aku udah gak mau tau tentang kamu lagi, aku maunya kita putus, selesai, udahan."
"Aku gak mau, Nina!" Nara tiba-tiba memelukku, mendekapku di dadanya, aku langsung mendorongnya menjauh lalu bergeser duduk di ujung sofa.
Meraih remote, aku menyalakan TV agar bisa memandang hal lain selain wajah Nara.
"Nin? Dengerin ya please, aku bakal cerita semua tentang aku. Ya?"
Aku diam, tak merespon apapun.
"Aku asli Blitar, Bapakku itu petambak ikan, kalau Ibu suka bikin kerajinan tangan, ukir-ukiran gitu. Dari kecil hidupku biasa aja Nin. Oh iya, aku punya adik 2, mereka masih kuliah sekarang, yang satu di Surabaya, yang satu di Bandung. Dua-duanya cewek.
"Pas lulus SMA, bapak tuh maunya aku kuliah ambil perikanan, atau pertanian, pokoknya yang ada hubungannya sama usaha Bapak. Tapi aku gak mau, pas tembus di UI, tadinya sempet gak jadi berangkat karena kurang uang, di situ aku gak mau nyerah, aku cari-cari beasiswa untuk bayarin kuliahku di UI karena itu adalah jurusan yang aku mau.
"Sampai akhirnya ada yang dateng, bilang kalau ia ingin menjadi donatur, Pak Sugeng Kaiswaran. Beliau bersedia bayarin uang kuliahku. Bahkan saat di Australia pun, beliau yang penuhin semua kebutuhanku.
"Pas lulus, aku ditarik untuk kerja di salah satu perusahaannya. Pengin rasanya nolak karena aku maunya kerja di tempat baru, nyari peluang sendiri, bukan memanfaatkan yang sudah ada. Tapi karena ngerasa punya hutang budi, jadi aku terima.
"Pak Sugeng baik, baik banget. Beliau banyak ngajarin aku ini-itu, dan aku pun belajar banyak darinya, gak cuma ilmu soal bisnis dan usaha, tapi juga soal hidup.
"Pernah Pak Sugeng bilang, pengin punya anak cowok, dan kalau punya anak cowok, maunya kaya aku."
Nara berhenti sebentar, aku menahan diri untuk tidak menoleh ke arahnya. Sebenarnya aku ingin melihatnya, menatap matanya, mencari kejujuran. Tapi aku gengsi.
"Yang gak pernah aku tahu adalah Pak Sugeng pengin aku nikah sama anaknya, sementara aku sendiri masih mau kerja, mau sibukin diri, cari uang yang banyak untuk meningkatkan usaha Bapak, biar bisa bikin toko kelontong buat Ibu. Mau liat adik-adikku yang masih kecil-kecil itu besar dulu.
"Aku masih mencari banyak hal, makanya nikah belum ada dipikiran aku. Sampai akhirnya Tya pulang dari sekolahnya di Belanda. Pak Sugeng kenalin kami, dan secara gak langsung menjodohkan."
Aku terhanyut pada cerita Nara, tapi masih enggan meresponnya. Aku gak mau terlibat di pernikahannya.
Pikiran untuk memilikinya sudah kubuang jauh. Dan aku juga harus mengingat pesan Ibuku yang tak ingin aku meneruskan hubungan ini.
"Nin, please, liat aku!" Ucap Nara memohon.
Aku menoleh, dan ia pun tersenyum tipis.
"Aku sayang sama kamu. Beneran!"
Kulaihkan lagi pandangan ke televisi, berusaha menahan diri untuk tidak membalas ucapannya tersebut.
Damn! Kenapa aku doyan banget bohongin perasaanku sendiri ya?
Aku suka sama Nara, bahkan sayang sama dia. Tapi kenapa aku seperti ini? Benar kah tindakanku saat ini? Atau hanya menyakiti kami berdua?
Tapi... ah aku harus dengerin Ibu.
"Pak Sugeng pengin aku yang pegang usahanya, karena beliau percaya sama aku, percaya sama kemampuan aku. Ya aku mau-mau aja, tapi ternyata syaratnya harus menikah sama Tya.
"Hati aku gak sreg, aku sampe berkali-kali nanya ke Ibu soal pernikahan ini, dan Ibu cuma bilang... kalau aku mau, Ibu akan mendoakan semuanya lancar. Jadi, ya aku sanggupi persyaratan Pak Sugeng."
"Nar, aku mau tidur. Kamu lanjutin aja ngomong sendirinya." Kumatikan televisi, kemudian berjalan masuk ke kamar.
Kumatikan lampu kamar hingga yang tersisa hanyalah cahaya dari celah kamar mandi.
"Yaang?!" Nara ternyata ikut bersamaku. Terasa ia tidur di belakangku.
"Aku mau tidur!!"
"Yaudah iya, selamat tidur, Nina. Aku sayang banget sama kamu!" Ucapnya pelan.
Kutarik nafas panjang, mencoba tenang, berfikir yang baik dan mengendalikan situasi.
Kenapa mau putus aja susah gini sih?? Apa emang gak dibolehin putus??
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter
Ps: dibikin putus jangan nih??? Hahahaha
****
***
Suami orang bentukannya gini banget dah 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top