22. Pulang
Kakiku bergetar hebat ketika aku turun dari bus, tak menyangka kalau setelah 10 tahun berlalu aku kembali juga ke tempat ini.
Pukul 3 dini haru lebih 45 menit, desa ini benar-benar hening dan gelap.
Tak ingin menarik perhatian ataupun membuat keribuatan, aku mengangkat koperku yang tidak terlalu berat, lalu berjalan menyusuri jalan desa yang aspalnya sudah berlubang di mana-mana.
Berhenti di sebuah rumah, jantungku berdetak tak karuan, aku mungkin akan dimarahi, dimaki-maki, atau apapun, tapi aku benar-benar tak punya tempat pulang selain rumah ini.
Mengitari rumah, aku mengetuk pintu belakang beberapa kali, berharap Ibu mendengar ketukan ini karena aku terlalu takut membuka suara untuk memanggilnya keluar.
"Siapa woyyy?!!" Suara yang tak ramah itu terdengar nyata, membuat dengkulku lemas karena rasa takut.
Kuketuk terus pintu kayu ini sampai akhirnya terbuka.
Ibuku, sosok yang harusnya menjadi orang terdekatku itu berdiri di balik pintu, memegang gagang sapu. Ibu tak banyak berubah, hanya sedikit kerutan di bawah matanya yang terarsir karena usia.
Tanpa berkata apa-apa, ibu menarikku masuk dengan kasar, sampai aku terjatuh bersama koperku membentur lantai dapur.
"Udah gila kamu?!" Bentak Ibu.
Aku menangis. Tapi aku lebih rela mendapat perlakuan seperti ini daripada harus berhadapan dengan rasa sakit hati.
Mencoba berdiri, aku tersenyum pada Ibu meskipun air mata terus mengalir ke pipi.
"Nina kangen sama Ibu." Kataku.
Ibu hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala lalu mengumpat tak jelas, meninggalkanku di dapur sendirian.
Meletakkan koper di lantai, aku membuntuti Ibu ke depan, Ibu duduk di kursi kayu dengan wajah murkanya.
"Ngapai Neng? Ngapain Ibu nyuruh kamu kabur, sekolah, kuliah kalau kamu ujung-ujungnya balik ke sini? Sekolah gak bikin kamu bisa mikir apa yak? Kuliah bikin kamu jadi bego emang, Neng??!" Semprot Ibu.
Aku ambruk, duduk sila di lantai dan bersandar pada dinding.
"Nina lagi ancur Bu, gak tau harus ke mana. Makanya Nina ke sini." Ucapku, kali ini aku mencoba agar air mataku tak keluar lagi.
"Kalo ada yang liat kamu, dandanan modis kaya gini, pasti dijual kamu Neng!"
"Ya Nina gak bakal keluar rumah, Bu."
"Terus gimana caranya kamu bakal keluar dari tempat ini hah?!"
"Ya kaya sekarang, keluarnya subuh-subuh, pas semuanya masih tidur."
"Ini kamu lagi beruntung aja Neng gak ada yang liat kamu. Atau mungkin ada tapi belum bilang siapa-siapa. Jangan maen-maen sama keberuntungan!"
Aku diam. Tak ingin menimpali lagi ucapan Ibu.
Aku tahu datang ke sini memang bahaya, sama saja aku berjudi dengan nasibku. Tapi bagaimana lagi? Aku benar-benar ingin meninggalkan masalahku sejenak.
"Tidur sana! Mata kamu bengkak kaya apa tau!" Titah ibu, namun aku bergeming. Aku belum punya cukup tenaga untuk berdiri.
Ibu yang mungkin kesal melihatku bengong menarikku bangun, lalu mendorongku ke kamar... kamar yang dari kecil kutempati bersama Nenek.
Melangkahkan kaki di kamar ini, semua bayangan masa kecilku memaksa keluar dari ingatan.
Mendengar jeritan Ibu kala ia mendapat suami yang suka menyiksa.
Mendengar jeritan Ibu saat melakukan hubungan badan.
Mendengar suara mengerikan dari pria yang memberikan ancaman, atau pujian, ataupun racauan tak karuan saat berhubungan.
Aku bergidik ngeri mengingat semua itu, tapi aku tetap menuju kasur dan merebahkan diri.
Mengambil guling, aku memeluknya dan mencium aroma kayu lembab yang sudah kulupa tapi tetap terasa familiar. Yak, apapun yang ada di rumah ini, pasti baunya kaya kayu tua yang lembab.
Mataku yang lelah tiba-tiba terpejam, menghirup udara banyak-banyak, aku pun langsung terlelap.
*****
"Makan di kamar aja kamu, gak usah keluar kamar." Ucap Ibu, memberiku sepiring pecel sayur plus bakwan udang untuk makan.
"Iya, Bu."
Ibu duduk di ujung kasur yang kutempati, menatapku tajam dari atas sampai bawah, sepertinya tak ada satu sentipun yang terlewat oleh matanya.
"Kerja apa kamu? Jujur!"
"Jadi asisten Bu, sekretaris gitu. Bantuin boss ngatur jadwal, nemenin dia rapat, bikin laporan rapat, jawab-jawabin surat, bikin surat keluar untuk ajuan-ajuan, gitu-gitu lah."
"Terus kamu bilang ancur, itu kenapa?"
Aku diam.
"Jangan macem-macem kamu, Neng!"
"Nina gak macem-macem, Bu. Gak pernah! Sejak hidup sendiri, gak pernah Nina mikir yang aneh-aneh, karena Nina tahu, Nina bukan siapa-siapa."
"Terus kamu kenapa?"
"Nina jatuh cinta, Bu." Kataku.
Kini giliran Ibu yang diam, menatapku prihatin.
"Cowoknya gak suka sama kamu?"
"Bukan gitu Bu, ternyata cowok itu udah punya istri."
Ibu langsung melotot, aku tahu, Ibu pasti ingin marah-marah, memakiku sepuasnya, tapi berusaha ia tahan karena tak ingin terdengar siapapun.
"Jangan jadi cewek sinting kamu Neng! Kamu maen sama gila suami orang? Ngapain aja kamu heh?!" Ibu mendekat, memukul lengan atasku.
"Demi Allah bu, gak ngapa-ngapain!" Aku bersumpah atas nama tuhan yang Ibu imani.
"Masa iya? Pria beristri macarin cewek cuma buat pacar-pacaran biasa doang. Gak masuk akal, Neng! Mending kamu jujur sama Ibu!"
"Udah jujur itu, Bu. Gak percaya amat!"
"Neng, dengerin ya! Kalau aslinya kamu pas keluar dari sini tuh gak sekolah, gak kuliah, terus sekarang kerjaan kamu gak bener, Ibu gak apa-apa, sumpah! Ibu juga gak bisa maksa keadaan, da Ibu ge begini, kamu tau sendiri. Tapi satu minta Ibu, kamu gak usah ke sini. Jangan bikin Ibu sakit hati dengan ngeliat anak Ibu ancur di depan mata Ibu sendiri. Kamu mending yang jauh aja perginya, biar Ibu di sini bayangin kamu sukses, kamu bahagia, kamu gak kaya Ibu." Entah kemana suara ketus Ibu hilang, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendengar suara tulus yang penuh kasih dari Ibu.
Menunda makanku, aku menatap Ibu, menggenggam tangannya lembut.
"Demi Allah Bu, uang yang Ibu kasih Nina pake sekolah. Nina juga kuliah. Emang, uang dari Ibu kurang Bu, kurang banget buat bayar kuliah. Tapi Nina kerja Bu, Nina pernah jadi ART di rumah orang, rela dibayar pake makan dan tempat tinggal, terus sisanya Nina ngajar les buat tambah-tambah bayar kuliah. Kadang, si Bude yang punya rumah ngasih uang buat Nina ongkos sama jajan."
Mata Ibu berkaca-kaca. Aku mendekat, memeluk wanita yang sudah melahirkanku ini dengan erat.
"Bu, pergi yuk dari sini? Sekarang Nina udah punya kerjaan yang lebih baik, Nina juga punya uang yang cukup. Nina mau tinggal sama Ibu."
Ibu melepas pelukanku, kemudian menggeleng.
"Kenapa Bu? Kenapa susah banget Ibu tinggalin tempat ini?"
"Neng, seburuk-buruknya tempat ini. Waktu Ibu hamil kamu, orang-orang sini yang bantuin Ibu, pas Ibu lahirin kamu, mereka yang rame-rame jemput Bidan ke sini. Ibu hutang budi Neng sama mereka."
Aku diam.
Harus kuakui, ditempat seperti ini, tingkat kepedulian pada tetangga itu sangat tinggi, beda sama orang komplek, apalagi people apartment kaya aku. Sebelah yang tinggal siapa aja gak tau.
"Jadi Ibu gak mau ikut Nina?"
Ibu menggeleng, mantap.
"Kamu mau keluar dari sini gimana Neng?" Tanya Ibu.
"Belum tau, Bu. Lagian, Nina cuti seminggu."
"Kamu mau seminggu di sini? Nu gelo emang kamu teh!" Suara Ibu sudah kembali seperti semula.
"Bu, kapan-kapan Ibu atuh yang main ke Jakarta, tengokin Nina. Biar Ibu tau, Nina tuh kerjanya beneran."
Ibu mengangguk, tapi wajahnya terlihat tidak yakin.
"Lanjutin makannya, Ibu mau balik ke salon. Pintu Ibu kunci, kamu jangan keluar, biar ada yang teriak kebakaran apa ge pokoknya jangan keluar ya?! Nurut!"
"Siap Bu!"
*****
Sudah tiga hari aku di sini, dan aku belum bosan meskipun hidup terkurung di dalam rumah.
Ya, karena tiap pagi, siang dan malam, aku selalu bertukar cerita dengan ibu. Melaporkan kejadian apa saja yang terlewat selama sepuluh tahun ini.
Dan tahu apa?
Aku bisa berpikir jernih sekarang.
Aku bisa menggunakan otakku untuk sadar kalau Nara bukan milikku dan tidak akan pernah menjadi milikku. Aku harus mengakhiri hubungan ini, sebelum semua jadi terlalu jauh.
Ibu juga terus menasehatiku untuk tidak terlibat dalam sesuatu yang salah. Apalagi saat kujelaskan kalau Istrinya Nara itu anak orang paling kaya di Jawa Timur. Meskipun omongan Ibu bikin sakit, tapi aku tahu Ibu benar: Gak usah liat wujudnya ge Ibu udah bisa ngira. Kebanting kamu pasti Neng. Udah jangan macem-macem, ngeri kalau mereka bayar orang buat ngapa-ngapain kamu. Kita mah gak akan bisa bales.
Aku mengangguk setuju saat Ibu bilang begitu. Meskipun sakit, tapi aku harus rela kalau cinta pertamaku tak seindah apa yang kuharapkan.
Lagian, naif sekali aku kalau mengira cinta pertamaku akan menjadi cinta terindah, langgeng, menjadi cinta terakhir kemudian Abadi di kehidupan lain.
Tai kucing!
Aku kan bukan princess-princess yang hidupnya enak.
*****
"Share lokasi, banyak cincong lo, udah gue jemput!" Seru Aghi lalu menutup panggilannya.
Aku baru menyalakan ponselku 4 hari setelah menghilang, tahu apa? Ribuan chat menyerbu watsapku. Serius, ribuan. Entah itu kerjaan, group, ataupun orang yang mencariku: Nara.
Kukirimkan lokasi tempatku berada pada Aghi, lalu ia pun mengirim balasan.
Aghian P:
Otw sekarang
2 mobil
Yang atu bodyguard
Biar keren 😎
Me:
Makasi banget ya
Udah mau jemput gue
Terharu 😭😭
Aghian P:
Kalo bukan temen dan asisten mah ogah
Kudu bayar!
Me:
Bayar berapa?
Aghian P:
Gak bakal mampu lu
Me:
Tau deuh
Horangkayah!!
Aghian P:
Kalo di sana gue nemu cewek cakep
Boleh dikontrak gak?
Me:
Gausa macem-macem lo!
Aghian P:
Dua minggu aja 😍
Me:
Aturan di sini minimal 3 bulan
Aghian P:
Edan 🤦♂️
Aku tak membalas chat Aghi tersebut. Aku tahu ia becanda.
Dan... Aghi sudah tahu semua ceritaku. Bukan aku yang cerita, tapi si kampret Sinta yang membocorkannya saat diintrogasi oleh Aghi soal keberadaanku.
Tapi syukurlah, Aghi bukan tipe orang yang kepo cuma pengin tahu untuk bahan ghibah. Dia mau tau karena dia peduli.
***
Pintu rumah diketuk keras oleh seseorang, Ibu menyuruhku diam dan segera membukakan pintu sebelum suara itu tambah ribut.
"Siapa? Ada perlu apa?" Suara Ibu yang galak terdengar sampai kamar.
"Permisi, Ibu. Saya Aghian, temennya Nina." Ucap suara yang kukenal.
"Gak percaya! Apa passwordnya?"
Password? Sejak kapan jadi temenku ada passwordnya? Ibu kok berasa orang ngangkat telefon buat menangin kuis sih?
"Curut black coffee, nyaman di ginjal!"
Aku langsung tertawa mendengar itu, tidak lagi sembunyi-sembunyi.
"Bener berarti, soalnya kata si Neng, temennya emang rada sableng."
"Emmm, keterlaluan tuh si Neng bilang begitu!!" Sahut Aghi dengan nada melambainya.
Aku keluar kamar, dan benar saja aku melihat Aghi, tampangnya keren banget. Pake celana jeans hitam, kaus hitam yang dilapis coat panjang berwarna abu, kemudian ditambah kaca mata hitam. Di belakangnya, ada 4 bodyguard yang berjaga.
"Ninaaa!" Seru Aghi, rempong.
Aku mendekat, tersenyum kepadanya.
"Cuss yuk!" Ajaknya.
"Bu? Gak apa-apa Nina tinggal?" Tanyaku pada Ibu. Sedih sih, aku merasa bahagia bisa menghabiskan waktu dengan Ibu.
Aku melihat sisi lain Ibuku sekarang ini, bukan hanya perempuan bayaran yang kutahu saat kecil.
"Gak apa-apa, Neng. Hidup yang baik ya kamu!"
"Pasti baik lah Bu! Dia ditangan Aghian Prawiradilaga! Cuco laah!"
Ibu tersenyum pada Aghi, sudah lama sekali aku tak melihat Ibu senyum. Jadi langsung saja aku memeluknya.
"Nina sayang sama Ibu. Banget! Kalau Nina gak boleh ke sini, Ibu yaa yang samperin Nina. Nina mohon Bu!" Bisikku pelan di telinganya.
"Iya!" Ucap ibu singkat lalu terasa elusan di punggungku sebelum Ibu mengurai pelukan ini.
"Inget! Selesaiin ya Neng?" Pesan Ibu sebelum aku pergi.
"Siap Bu!"
Aghi menggandeng tanganku, lalu kami berjalan menyusuri jalan desa yang berlubang ini. Beberapa rumah, pintunya terbuka, menatapku dari atas sampai bawah. Ada beberapa yang kuingat, sisanya tidak kukenal sama sekali.
Berjalan pasti ke ujung tempat mobil menunggu.
Aku sedikit menoleh ke belakang, melihat rumahku. Ada Ibu di depannya, tersenyum tulus padaku.
Sip! Sesuai nasihat Ibu, aku kan mengakhiri semuanya!!
******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Ps: sumpah tadinya mau ksh visual Aghi dandanan kece. Ampe mentok stalk IG-nya eh anjirrr 85% shirtless semua, sisanya dia tampang bengong doang. Kzl 🤦🏻♀️
Pss: double kesel gara2 ada yg dm, katanya gue drama bilang cerita ini diangkat dr real story, udah mah lg banyak kerjaan, lg mood nulis cerita ehh ada aja yg bilang w drama. Ya bagus atuh, dramanya dibikin cerita, bukan dikehidupan nyata!!
Nih dah lo kalo pd gak percaya, gue ksh liat yg curhatnya (chat-nya maksudnya) abisnya di dm gak bisa ngirim ss
Ybs curhat dr bulan agustus, tp ya baru sempet bikin ceritanya sekarang
Psss: yang td dm ngatain drama, bsk pagi lu gue mute ya, kzl!
Pssss: gue blm izin lagi ke yg curhat kalo chatnya gue ss (yaudalah ya) 🤦🏻♀️
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top