21. Kabur
Sinta:
Gimana?
Udah lo bejek-bejek tu cowok?
Pesan singkat dari Sinta masuk ketika aku sedang bersama Nara. Buru-buru kututup ponselku.
"Kamu mau belanja-belanja dulu gak?" Tanya Nara ketika kami selesai makan.
"Gak deh, aku mau balik aja."
"Aku mau ikut ke apartment kamu, boleh gak?"
"Boleh." Jawabku sambil mengangguk.
Keluar dari mall, Nara langsung mengemudikan mobilnya ke apartmentku.
Macet, kami jadi tertunda di jalan. Nara banyak bertanya tentang Sinta, bagaimana aku mengenalnya dan ia juga bertanya tentang teman-temanku yang lain.
Aku menjawab sekenanya, tidak mendetail seperti dulu, dan sekarang banyak cerita yang kukarang.
Malam sudah tinggi ketika kami sampai di apartmentku. Nara merebahkan diri di sofa seperti biasa sedangkan aku langsung ke kamar.
Di kamar mandi, aku menangis. Gak tahu harus bagaimana.
Aku tahu, yang kulakukan ini salah, tapi aku juga gak bisa gitu aja ninggalin dia. Aku sayang sama dia.
Jujur, aku gak mau terjadi keributan nantinya. Apalagi sampe orang-orang tahu dan aku dicap sebagai perebut suami orang.
Aku gak punya rencana gitu. Aku cuma pengin Nara ada buatku, sama seperti kemarin-kemarin saat aku belum mengetahui kebenarannya. Aku cuma mau dicintai sama Nara, gak mengambil Nara dari Istrinya, atau anaknya.
"Yaaang? Kamu mandi?" Terdengar ketukan di pintu.
"Engga, ini lagi cuci muka." Jawabku.
"Tumben lama banget sayang?!"
"Hehehe abis pup!" Aku menyisipkan tawa renyah yang sangat terpaksa.
"Jeeeh, yaudah."
Membasuh wajah dengan air banyak-banyak agar tak terlihat kalau aku habis menangis. Aku mengusap wajah dengan handuk kemudian keluar.
Di dalam kamar Nara ternyata sudah berganti dengan pakaian rumah, ia sedang duduk di kasur, dan begitu melihatku, ia tersenyum manis.
"Aku gak mandi ya, mau cuci muka aja." Katanya.
Aku mengangguk.
Ia bangkit dan menuju kamar mandi. Sementara ia di dalam sana, aku mengambil baju dari lemari lalu berganti baju dengan piyama tidur.
Hanya sebentar, Nara keluar dari kamar mandi kemudian bergabung denganku di kasur. Seperi biasa, ia memelukku, membiarkan lengannya menjadi alas kepalaku.
Dulu, aku suka posisi seperti ini. Bisa menghirup aroma tubuhnya sepuasanya. Sekarang? Aku sedih. Tahu kalau ada orang lain juga yang merasakan bagaimana nyamannya dipeluk Nara.
"Kamu kenapa sih? Hari ini pelit ngomong banget." Tanyanya memecah keheningan.
"Gak apa-apa."
"Serius sayang, kamu kenapa?" Nara mengubah posisinya, kini kepalaku di bantal sedangkan wajahnya tepat di depan wajahku, menatapku penuh selidik.
"Aku gak kenapa-napa." Ucapku yakin.
"Tapi kenapa kamu beda?"
Aku diam.
Wajah Nara mendekat, ia menempelkan bibirnya di bibirku, melumat bibirku dengan lembut, lalu lidahnya masuk ke dalam mulutku. Aku masih diam, tak merespon ciumannya, tapi Nara terus menciumku dengan lembut.
Memejamkan mata, ingin sekali aku membalas ciumannya, merangkulkan lenganku di lehernya seperti biasa. Tapi rasanya aku tak mampu.
Aku memang ingin, berpura-pura tidak tahu kalau ia sudah punya istri, tapi di sisi lain... hatiku tak sanggup melakukan itu. Aku ingin Nara ada di sampingku, menemaniku seperti biasa, tapi aku sadar... Nara bukan milikku.
Aku sedikit menahan nafas ketika tangan Nara menyusup ke dalam baju yang kukenakan, ia memainkan payudaraku seperti biasa, membuatku tak tahan dan mulai membalas ciumannya.
Pikiranku entah melayang ke mana, bukannya menyudahi ciuman ini, aku malah makin bernafsu mencium Nara, dan tentu saja ia membalas serupa dan tangannya pun makin liar saja memainkan kedua payudaraku bergantian.
Tiba-tiba, pikiranku sampai di satu titik.
Beginikah Nara memperlakukan istrinya juga? Atau lebih spesial? Apakah Nara juga sering membisikan I Love You pada istrinya disela-sela ciuman? Atau apa?
Aku mendorong Nara menjauh. Matanya sudah terlihat gelap. Biasanya kalau sudah begini, aku akan memainkan miliknya. Tapi kali ini, aku sungkan melakukan itu.
"Kamu kenapa sih?" Tanyanya, persis di telinga, membuatku sedikit bergidig.
"Gak apa-apa, Nar. Lagi gak mood aja." Kataku, kemudian melepaskan diri dari kurungan tangannya, tidur membelakanginya.
"Yaang?" Terdengar ia memanggil, tapi aku tak menggubrisnya.
Lalu, ia tiba-tiba memelukku dari belakang, terasa juga kecupan lembut di rambutku beberapa kali sebelum ia mencium tengkukku.
"Yaang, kamu marah?" Bisiknya.
Aku tak menjawab. Kupejamkan saja mataku, aku ingin terlelap dan melupakan masalah ini barang sejenak.
"Kalau kamu marah, coba dong kasih tau aku marah gara-gara apa Yaang? Kalo gini kan aku bingung."
Shit! Kenapa dia harus baik gini sih? Kenapa seolah-olah dia tuh kaya peduli dan sayang sama aku kalau nyatanya dia tuh udah punya orang lain??
Air mataku menetes, entah ini tangisan yang ke berapa kali. Sumpah, sakit banget, dan ini jenis sakit yang baru kurasakan, jadi aku gak tau harus bagaimana.
"Yaang? Yaang ihh? Kamu nangis?" Nara memutar tubuhku, lalu ia memelukku erat.
Aku menangis dalam pelukannya, bingung sama perasaan sendiri.
"Yang, kamu kenapa? Cerita coba, please, jangan bikin aku gak tau apa-apa gini dong!" Ucapnya dengan nada sedih.
Nara bisa yah kaya gitu, padahal selama ini akupun gak tau apa-apa soal dia.
"Yaang? Kenapa?" Nara melepas pelukannya, kini kami berhadapan.
Aku melihat wajahnya, mencari kedamaian di matanya agar tangisan ini terhenti. Tapi yang terjadi tangisanku malah semakin kencang.
Nara kembali memelukku.
"Kamu kenapa Yaang?"
"A-aku sayang Nar sa-sama kamu." Kataku terbata-bata.
"Terus kenapa nangis? Aku juga sayang sama kamu, Nina."
Aku mendorong Nara menjauh, kemudian menatapnya, berusaha tersenyum semanis mungkin meskipun aku tahu tampangku pasti berantakan.
"Aku mau sendiri dulu ya, maaf." Kataku akhirnya, kemudian aku bangkit lalu keluar kamar, pindah ke kamar sebelah.
Di kamar sebelah, aku tidak tidur ataupun menangis. Aku menyalakan komuter yang pernah dibeli Aghi untuk main The Sims di kamar, yang kupindahkan ke sini saat kamar utama sudah kurebut kembali.
Bukan, aku gak main The Sims, tapi membuka email untuk melanjutkan laporanku yang belum selesai.
Mengalihkan pikiran dari Nara ke pekerjaan lumayan efektif untukku. Semua fokusku tercurahkan dengan baik.
Tak hanya laporan, aku juga menyelesaikan kerjaan Aghi untuk besok dan minggu depan, semuanya langsung kukirim begitu selesai.
Terakhir, aku mengabari Aghi, Mas Ijul dan Mbak Putri kalau besok aku tidak bisa hadir di kantor. Khusus untuk Mbak Putri, aku meminta bantuannya untuk mengurus surat permohonan cutiku selama 6 hari kerja.
Semoga saja diizinkan.
Selesai, aku membuka lemari di kamar ini. Masih ada beberapa baju yang tertinggal di sini, langsung saja aku masukkan ke koper yang kuambil dari bawah kasur.
Setelah itu, aku membuka kunci kamar pelan-pelan. Syok bukan main saat melihat Nara tertidur sambil duduk bersandar di lemari hias, persis di depan pintu.
Apa-apaan dia?
Aku menyambar tas kerjaku dari sofa, kemudian membuka pintu apartment dan keluar.
Aku ingin menghilang sejenak.
*****
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Ps: dikit ya? Maap, aku lagi pusing terjemahin MoU 🤦🏻♀️
***
Iklan yhaaa
Yuk yg mau baca lengkap novel-novel di bawah ini, sila meluncur ke google play 😘
**
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top