19. Ternyata
"Asli!!!!!! Cakep banget itu cowok Nin! Gila, gantengan liat langsung daripada foto."
"Gak usah mupeng sama cowok gue lo!"
"Gue mah hanya mengagumi ketampanan cowok yang mempresentasikan 10% kegantengan Nabi Yusuf!"
"Waktu itu katanya lima?"
"Hehehehe, pas liat ternyata waw abis, naek Nin, jadi 10%"
"Tadi Nara bikin pai, mau nyoba gak lo?"
"Bisa masak dia? Naek 1% daah!"
"Gak tau, ini baru mau nyoba."
"Cusss!"
Aku dan Sinta beranjak dari sofa, pindah ke dapur. Kupotong pai buatan Nara ini, lalu membaginya untukku dan Sinta.
Begitu memakannya, weeew! Enak amat! Apelnya tuh... ya allah, susah aku jelasinnya.
"Mantap!!!! Gila Nin! Kawinin, Nin, kawinin! Ehhh apa udah? Hahahaha!"
"Ihhh, gue sama Nara belum sampe sana tau." Kataku.
"Demi apa?? Terus kalian dua-duaan di kamar ngapain?"
"Duhh hehehehe gimana ya?"
"Jelasin anjirrr!!" Paksa Sinta, ia sudah menghabiskan setengah pai apel ini sendirian.
Eh buset!
"Gitu lah?!"
"Gitu gimana ihhh?? Lo kira gue dukun bisa tau? Ayok ahhhh!"
Kami pindah ke ruang tengah agar lebih santai. Sinta langsung menodong pertanyaan, jadi aku tak sempat mengalihkan perhatiannya.
"Gitu aja, ciuman, cuddle, petting."
"Pake baju?"
"Lepas sih."
"Anjirrr nanggung amat! Si Nara gak sakit kepala apa?"
"Yah kannn--"
"Yah kan apa?"
Aku menjelaskan aktivitas kami yang lain, Sinta tersenyum, sambil sesekali menggeleng-geleng kepalanya, tapi kebanyakan dia ngakak sih.
"Keren juga si Nara, bisa kuat nahan. Lagian Nin? Lo gak kebelet apa? Pengen dieue??"
"Pengen mah pengen Sin, cuma gimana ya? Ada bagian dari diri gue yang belum mau. Kan gue gak bisa lakuin itu kalau belum 100%"
"Iya sih lo bener!"
Aku mengangguk.
"Romantis gak dia?" Tanya Sinta.
Aku mengangguk. Lalu menjelaskan segala sikap manis Nara dan menceritakan betapa Nara itu sangat mengerti keadaanku.
"Lo cerita ke dia tentang masa lalu lo, Nin?"
"Iya, dan dia gak berubah. Dia gak jijik karena gue lahir dari rahim seorang yang bisa dibilang pelacur. Dia malah support gue."
"Anjay! Kerennn! Keren! Masih ada yak laki modelan gitu jaman sekarang."
"Makanya, gue beruntung banget. Gue juga gak masalah dia tahu cerita gue."
"Jadi cuma gue sama dia nih yang tau cerita lo? Atau lo cerita ke Aghi juga?"
"Gak, Aghi gak gue kasih tau. Sama dia mah kan urusan kerjaan, bukan urusan pribadi." Kataku.
"Bener sih!" Sinta mangut-mangut.
"Terus-terus, apa lagi?"
"Apaan ya? Udah Sin segitu doang, gue pacaran samaa Nara ya gitu-gitu aja. Sebenernya kita tuh jarang tau ada momen berdua, dia sering ke luar kota, gue nemenin Aghi kemana-mana. Makanya kalo ada momen berdua tuh jadi tiba-tiba romantis." Jelasku.
"Terus, Nara udah ada yang menjurus serius gitu belom? Apa dia tipe cowok yang fokus kerja, nikah nanti aja umur 40an?"
"Dia ngajak gue tinggal bareng sebenernya, cuma gue masih takut. Jadi ya gitu, kadang dia nginep sini, kadang gue di sana. Itu udah itungan serius belom?"
"Hadeeh itu mah belom apa-apa!" Seru Sinta.
Aku mengangguk.
"Nara asli orang mana sih?"
Aku diam.
Sumpah, aku gak tau. Gak pernah kayanya kami bahas soal pribadinya Nara. Dia lahir di mana, orang tuanya namanya siapa, apa dia punya kakak atau adik.
Gosh!
"Kenapa lo?" Tanya Sinta.
"Entar, gue lagi inget-inget!"
Aku menggali ke dalam ingatanku, mencari satu obrolan tentang Nara. Tapi rasanya, momen itu tak pernah ada.
Aku gak tahu apa-apa soal pacarku sendiri.
Aku pernah ingin menghampiri Mbak Ona untuk bertanya tentang Nara, tapi niat itu kuurungkan karena aku berfikir ada baiknya bertanya langsung.
Tapi begoknya, aku gak pernah nanya.
"Nin?"
"Parah, gue parah, Sin!"
"Apa maksud lo?"
"Gue gak tau apa-apa tentang Nara."
"Ah masa? Setaun lo pacaran masa gak tau apa-apa?"
"Coba deh, lo tanya gue tentang Nara, nanti gue jawab."
"Nama, umur, pekerjaan."
"Naranata Paramusesa, umur jalan 34, dia CDO di kantor gue."
"Nomor sepatu, makanan favorit, hobby."
"44, kue sus, gak tau... dia kaya gak punya hobby, kerja terus, sibuk, mungkin hobbynya kerja."
"Dia masih perjaka gak? Hehehe!"
"Udah engga."
"Lo nerima cowok lo udah gak perjaka?" Tanya Sinta. Aku mengangguk mantap.
"Pertanyaan lain, Sin!" Seruku.
"Dia anak ke berapa sari berapa bersaudara?"
Aku menggeleng, aku gak tau jawabannya.
"Wah parah lu!"
Aku diam.
"Terus lu kalo sama dia bahas apa? Utang negara?"
"Selalu dia yang nanya."
"Nama IG-nya apa?"
"Gak tau, kan lo tau gue gak maen gituan, mana mikirin dia punya instagram atau apa."
"Heuh! Coba gue cari!"
Sinta mengeluarkan ponselnya, aku sedikit menyerong agar bisa melihat layar HP-nya itu.
"Wah gila, ni cowok sama kaya lu apa yak? Gak punya sosmed! Cuma punya watsap doang."
"Coba dituker namanya, paramusesa doang gitu." Usulku.
"Gue udah nyoba semua anjir, kaga ada yang mukanya doi!"
"Heu, yaudah lah. Emang kenapa sih kalo gak punya instagram? Gue juga kan gak punya." Kataku.
"Tenang, kita pindah ke twitter. Enak nyari di twitter mah, ada orang mention nama dia juga bakalan muncul!" Ucap Sinta.
Aku kembali menjulurkan leherku, saat Sinta mengetik namanya dan muncul beberapa tweet, jantungku mendadak berdetak hebat.
"Ah apaan, ini mah dia ngisi acara ILOC* 2019! Kaga ada nge-tag akunnya. Ini cowok orang apa bukan sih?!" Suara Sinta terdengar kesal. *Indonesia Locadata Conference
"Yaudah sih, emang gak ada aja berarti. Anaknya fokus kerja, gak sempet maen gituan."
"Google! Harapan terakhir gue google!" Seru Sinta. Ia menutup aplikasi twitter, lalu membuka laman pencarian nomor satu di dunia itu, kemudian mengetikan nama lengkap Nara.
Aku sudah gak kepo lagi, karena... yaudah lah emang kenapa kalau orang gak maen sosmed? Aku juga males maen sosmed, kalo gabut mending tidur, atau baca buku, atau nonton film.
Sosmed yang kupunya hanya watsap, slack, dan telegram. Biar gampang kalau kerja. Kalau pengen update ini itu, ya share aja di wa story. Kalau punya foto bagus, ya tinggal ganti profile picture. Gampang kan?
"Anjirrr Ninaaaaaa!!!" Jeritan Sinta mengagetkanku.
Sinta menjerit seperti orang yang melihat hantu.
"Apa sih lo? Ngangetin aja!" Seruku menepuk lengannya.
Dan, aku lebih kaget lagi saat melihat Sinta yang memandangku dengan tatapan horor.
"Apa? Kenapa?" Aku berusaha merebut ponselnya tapi Sinta menjauhkannya.
"Sin???!!!" Seruku.
"Gue gak tau lo bakal siap apa engga!" Serunya menakut-nakutiku.
Kesal, aku meraih ponselku yang tergeletak di meja, namun Sinta merebutnya.
"Sin, lo apaan sih??" Seruku kesal.
"Ini parah Nin, sumpah parah banget!"
"Apa??"
"Di kamar yuk?" Ajaknya.
"Sinta, lo gak usah sok misterius anjing!" Makiku.
"Gapapa lo anjing-anjingin gue aja."
"Yaudah, ayok ke kamar!"
Aku berjalan duluan, masuk ke kamarku kemudian duduk di kasur. Sinta menyusul, lengannya membawa sebotol minuman. Aku tahu minuman apa itu, punya Aghi yang tak sempat ia habiskan jadi terbiarkan begitu saja di kulkas.
"Cepet cerita!"
"Bentar napa!"
Aku menunggu dengan tak sabar, memandangi Sinta yant dengan pelan meletakkan botol minuman dan gelas di meja riasku, sementara ia sendiri duduk di kursi, menghadapku.
"Apaan Sinta?"
"Naranata Paramusesa itu udah nikah Nin, sama Acitya Kadhini, anak pengusaha paling tajir di Surabaya."
"Gak mungkin!!" Seruku, jantungku berdetak makin gak karuan. Aku sendiri menolak menerima info yang disebutkan Sinta.
"Mereka udah nikah 8 tahun, pernikahannya diliput media setempat. Makanya ada beritanya."
Aku diam, gak percaya, sumpah aku gak percaya.
"Lo mau liat fotonya?" Tanya Sinta.
Aku mengangguk.
"Tapi tenang ya, please, gue gak mau lo jadi orang bego yang melakukan hal bego juga."
"Udah sini mana?!"
Sinta mendekat, ia mengulurkan ponselnya padaku dan memperlihatkan sebuah judul berita yang membuatku diam.
"Acitya Kadhini, putri semata wayang Sugeng Kaiswaran dipinang oleh putra daerah!"
Judul tersebut dilengkapi foto Nara bersama seorang wanita yang pernah kulihat.
Ya, ini wanita yang menjadi wallpaper laptop milik Nara, yang sedang memangku anak kecil dan tersenyum ke kamera.
What??? Jadi itu istrinya? Dan... jangan-jangan anak yang dipangku oleh wanita itu adalah anaknya? Anak yang wajahnya sangat mirip dengan Nara.
Gosh!!
Menahan nafas. Aku mencoba menguatkan diri untuk membaca isi berita tersebut. Di berita ini dijelaskan siapa itu Acitya Kadhini, orang tuanya yang merupakan pengusaha paling kaya di Surabaya. Pemilik berhektar-hektar lahan sawit di Kalimanta . Pemilik lahan tembakau, penambang intan, dan lain sebagainya yang tak kuat jika kusebutkan.
Lalu ada profil mengenai Nara. Seorang biasa yang dinilai memiliki semangat bekerja oleh Sugeng Kaiswaran. Pria rendah hati yang mampu meluluhkan hatinya untuk merelakan putri tunggalnya menjadi milik orang lain.
Berita berakhir dengan foto keluarga yang berbahagia. Di sini aku bisa melihat Nara, istrinya, keluarganya dan keluarga istrinya. Orang-orang yang wajahnya asing di mataku.
Di bagian bawah berita, ada artikel yang terkait dengan artikel yang kubaca. Langsung saja kubuka dan muncul sederet judul.
Perkembangan pesat bisnis keluarga Kaiswaran di tangan Naranata.
Kelahiran cucu pertama dari Sugeng Kaiswaran.
Mengembangkan bisnis, Naranata terbang ke Norwegia.
Naranata membangun pabrik di Surabaya.
Aku tidak kuat lagi membaca judul selanjutnya. Dalam hati, agak sedikit menyesal karena tidak menemukan judul yang kuinginkan: perpisahan misalnya.
Kukembalikan ponsel Sinta, lalu berjalan ke arah meja rias.
Menuangkan minuman, aku langsung menenggaknya banyak-banyak. Aku tahu rasanya. Aku gak suka. Tapi entah kenapa, minuman ini tetap kuhabiskan.
"Gue harus apa Sin?" Tanyaku, duduk di kursi rias.
"Tinggalin Nin, dia punya keluarga."
"Dia yang deketin gue, dia yang nembak gue, dia yang baikin gue."
"Ya lo harus jadi orang yang jauhin dia, musuhin dia, jahatin dia!"
"Gue sayang Sin sama dia. Sayang banget!"
"Lo gak ngerti sayang Nin, lo baru sekali pacaran!"
"Tapi gue tau perasaan gue, Sinta! Gue cinta sama Nara!" Aku menenggak kembali minuman ini, menuangkan yang baru ke dalam gelas.
"Dia punya orang Nin, jangan diganggu."
"Gue? Ngeganggu? Ganggu apa? Gue gak tau dia punya keluarga! Gue gak tau dia udah nikah!!" Bentakku pada Sinta.
"Ya sekarang kan lo tau, lo harus mikir realistis."
"Nara sayang sama gue! Itu yang gue tau."
"Dia juga pasti sayang Nin sama istrinya."
"Masa? Buktinya dia selingkuh kan? Dia sama gue tiap hari!"
Sinta diam.
Aku juga diam. Aku bohong soal Nara bersama denganku tiap hari. Dan sekarang, saat aku tahu, mungkinkah setiap Nara pulang ke Surabaya, itu artinya dia bertemu istri dan anaknya?
Gak! Gak mungkin! Nara pasti kerja!
Aku gak bisa membayangkan Nara seranjang bersama wanita lain, kemudian melakukan...
"Gak!!" Jeritku kencang sekali hingga tenggorokanku sakit.
Sinta berdiri, ia menghampiriku kemudian memelukku.
"Nara pacar gue, Sin!" Seruku, entah kenapa hatiku sakit mengucap kalimat tersebut. Tahu kalau Nara memang benar pacarku, tapi tahu juga kalau ia adalah suami wanita lain yang amat sangat berhak menyebutnya sebagai lelakinya.
"Iya tau, tapi dia suami orang Nin. Jangan diterusin ya?" Ucap Sinta lembut.
"Kalo gue suruh Nara milih gimana? Gue atau istrinya, gitu aja kali ya?"
"Jangan, lo akan jadi cewek perebut suami orang kalau Nara nanti pilih lo. Dan kalau Nara pilih istrinya, itu bakal bikin lo tambah sakit."
"Terus gue harus apa??? Anjing!!!"
"Minum aja dulu yang banyak!"
Tanpa disuruh pun aku sudah meminum banyak cairan ini.
Di kepalaku, muncul banyak rencana. Semua rencana mempunyai satu tujuan:
Naranata Paramusesa, harus jadi punyaku! Dia memang punyaku. Jadi selamanya harus begitu!
******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Ps: ngetik ini sambil ngantuk-ngantuk elaah, semoga gak banyak typo yaak
Pss: siapa yang sudah menduga kalau perselingkuhan ini Nina lah yang jd selingkuhannya?
Psss: cerita ini, gue buat dari cerita salah satu pembaca gue, yang curhat di DM kalau dia punya pacar, dan dia gak tau kalau pacarnya itu udah punya istri. Dan... dia minta gue bikin cerita tentang perselingkuhan, tp dari sudut pandang si selingkuhannya. Karena kebanyakan cerita, adanya di sudut pandang si orang yang diselingkuhi.
Padahal... korban mah bisa siapa aja yaaa
Enjoy 😘😘
******
Yang kesel sama Nara, silahkan gebugin abangnya rame-rame. Tapi ngantri yak
****
Kasian Nina 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top