17. Serumah

Sejak kejadian di Bali, aku jadi susah fokus.
Pertama, aku selalu kepikiran Ibu.
Kedua, Nara selalu menanyakan keadaanku.

Padahal, aku ingin biasa saja.

Karena nyatanya, aku memang biasa saja. Aku yakin pikiran tentang Ibu pasti akan memudar dalam waktu tiga hari ke depan, karena biasanya pun seperti itu. Tapi gara-gara Nara, aku malah jadi kepikiran terus.

"Nin, ini salah, coba lo cek lagi ya, tolong." Ucap Aghi. Aku tersadar dari lamunanku kemudian segera menghampirinya.

Melihat laporanku, melihat ada banyak coretan dari Aghi, aku merasa malu. Gara-gara kurang fokus, gini nih jadinya.

"Sorry Ghi, ini gue cek lagi semua."

"Sekalian cek redaksi sama formatnya ya Nin, tadi gue masih nemuin beberapa typo dan harusnya pake spasi eh malah gak pake."

"Siaap!" Ucapku. Dalam hal laporan, Aghi memang selalu mau yang sempurna, karena itu adalah bentuk pertanggungjawaban untuk pekerjaannya.

Kembali ke meja, aku membuka komputerku, pertama membetulkan bagian-bagian yang sudah ditandai salah oleh Aghi, dan setelah itu selesai, aku membaca kembali dari awal, menyisirnya satu-satu untuk mengecek ketepatan kata, spasi dan hal lain sesuai instruksi Aghi.

"Nin?" Panggil Aghi.

Aku mendongkak, melirik padanya.

"Iya Ghi?"

"Lo baik-baik aja kan?"

"Baik, kenapa emang?"

"Gak apa, lo kaya lagi banyak pikiran aja, hehehehe. Kalo ada masalah cerita aja kali, jangan dipendem sendiri."

"Gak kenapa-kenapa kok Ghi, lagian masa gue ada masalah cerita ke elo, gak enak lahh, lo kan boss gue."

Aghi terlihat tersenyum renyah.

"Ya sebelom jadi boss lo, kan gue udah duluan jadi temen lo kali!"

"Iya sih bener, hehehehe! Tapi sekarang belom ada yang mau gue ceritain kok." Ucapku yakin.

"Yaudah kalo gitu, tolong yaa itu laporan diselesaiin. Besok mau gue bawa ke Rapim soalnya."

"Siap boss!"

"Gue ke luar dulu, mau cari makan. Mau titip?"

"Apa aja deh, jangan makanan berat."

"Siaap!" Aghi berdiri, berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan.

Sepeninggal Aghi aku mencoba profesional. Meninggalkan sejenak masalah pribadi, dan memfokuskan diri untuk pekerjaan. Gila aja kan kalau aku gak fokus, nanti kinerjaku menurun, aku dipecat lagi. Duhhh!

Selesai mengedit, aku bahkan menambah sedikit laporan, karena sebelumnya pas aku baca ulang kok ya kaya janggal gitu, jadi ya mending disempurnain kalimat dan laporannya.

Kukirim softfile tersebut ke Aghi, agar ia mengecek terlebih dahulu sebelum kucetak dan dijilid rapi.

Aghi P:
Udah gue percaya
Jadiin aja
Makasi yaa

Me:
Thanks Ghi
Maaf akhir-akhir ini mengecewakan

Aghi P:
Santai
Lo kan manusia
Ehh iya mau roti apa donat?

Me:
Yang asin-asin

Aghi P:
Yaaahhh
Upil gue belom panen

Me:
😖😖😖

Aghi tidak membalas pesanku, jadi aku langsung menutup laporan, membawa flashdrive-ku ke ruang cetak dan jilid.

Di ruangan Aghi memang ada printer sendiri, tapi gak asik kalau dibuat ngeprint lebih dari 30 lembar, suka mogok gitu deh. Kan kalau di ruang cetak tuh cepet, kualitas gambar warnanya baguss gitu, alus. Terus bisa langsung jilid karena disediakan alatnya.

Ketika sampai ruang jilid, 2 komputer ditempeli kertas 'VIRUS! JANGAN DIPAKAI' sedangkan satu komputer yang tersisa dipakai oleh... Nara dan Mbak Ona.

Mereka berdua terlihat fokus, tidak menyadari keberadaanku.

Mbak Ona mengambil posisi di depan keyboard sementara Nara, ia terlihat seperti sedang memberikan arahan dan lain sebagainya.

Karena harus mengantri, aku memilih duduk di kursi yang nganggur sambil memandangi Nara yang terlihat keren saat bekerja.

Ketika mendengar bunyi mesin print bergerak, aku tahu kalau mereka sudah selesai. Nara, ia langsung menyambut kertas yang keluar dari mesin, mengecek ulang.

"Okee nih Mbak! Makasih yaa!" Ucap Nara.

"Iya Pak!"

Mereka berdua beranjak dari posisi masing-masing, ketika berbalik, Nara terkejut melihatku sementara Mbak Ona tersenyum sopan.

"Ditinggal aja Mbak, saya yang nunggu sekalian jilid." Ucap Nara pada Mbak Ona.

"Gak apa-apa, Pak?"

"Iya, gak apa-apa, balik ruangan aja."

Mbak Ona mengangguk, ia tersenyum sekilas padaku sebelum akhirnya meninggalkan tempat ini.

"Dari kapan kamu duduk di situ?" Nara menghadap kepadaku, bersandar pada tembok.

"Dari tadi."

"Kok aku gak tau?"

"Kamunya fokus."

"Hehehehe, mau ngapain Yaang?"

"Mau berenang."

"Malem ini?"

"Aku becanda! Kamu nanya ngapain, ya ngeprint lah, masa aku ke sini buat bikin kopi?"

"Jeeeh ngambek, PMS Non??"

"Heheheh!"

"Seriusan? Aku nebak asal loh."

"Kayanya sih emang, udah mau tanggalannya kok." Jawabku.

"Ohh, banyak-banyak makan coklat gih, biar moodnya bagus terus Yaang."

"Siap!"

"Kamu sibuk pulang kerja nanti?" Tanyanya.

"Emmm, kayanya engga. Kenapa?"

"Ada yang mau aku obrolin sama kamu, serius."

"Apaan?"

"Ya tunggu nanti lah." Nada suara jahil keluar, aku malah jadi penasaran.

"Apaan ihh?"

"Printku selesai, nih kalau mau pake komputernya. Aku mau jilid."

"Aku nanya gak dijawab?!"

"Silahkan Mbak Nina!" Ucapnya sopan sekali lalu beralih ke counter jilid.

Aku melirik sebal, kemudian pindah ke depan komputer, langsung mencetak laporan Aghi.

Menoleh ke belakang kulihat Nara sedang menjilid laporannya. Asli, dia nih kerja rapi banget ya? Tangannya tuh kaya yang telaten gitu. Apa sih namanya? Telaten? Bener gak sih? Ah itu lah pokoknya.

Kembali pada laporanku, aku mengecek kertas yang sudah keluar dari printer, dan merapikannya.

Selesai, aku berbalik dan masih ada Nara berdiri, kali ini ia memandangiku.

"Sini!" Ia mengulurkan tangannya.

"Apaan?" Tanyaku.

"Aku yang jilid, sini!"

Kuberikan tumpukan kertas berisi laporan itu padanya, lalu berdiri di sampingnya, melihat Nara bekerja dalam jarak dekat.

"Kamu mau ngomong apa sih?" Pancingku.

"Sesuatu yang penting untuk hubungan kita."

"Apa?"

"Tunggu aja."

"Janjian di mana?"

"Kita makan di luar aja kali ya? Bareng ke sananya, aku hari ini parkir di P4."

"Oke, ketemu di P4 yaa, Sayang." Kataku.

Nara mengangguk sambil tersenyum.

"Nih!" Nara mengulurkan laporanku yang sudah rapi.

"Terima kasih."

"Sama-sama, sampai ketemu nanti sore! Bye!" Nara menyambar laporannya dari meja, lalu berbalik meninggalkanku.

Gosh! Dia mau bilang apa sih nanti? Bikin aku penasaran aja ge.

*******

Kami sudah selesai memesan. Aku diam, menunggu Nara berbicara.

"Kamu gimana kerjaan?" Tanyanya.

"Lancaar, laporan buat besok rapim udah selesai. Kamu?"

"Aku juga lancar, semua beres."

"Good!" Sahutku

"Yaaang?"

"Yak?"

"Aku kepikiran kamu." Ucapnya dengan nada khawatir.

"Kenapa?"

"Ya gimana ya? Sejak kita balik dari Bali, seminggu ini aku kaya gak tenang gitu."

Aku tahu, seminggu ini Nara selalu menerorku dengan pertanyaan 'kamu gapapa? Kamu baik-baik aja?' Malah bikin aku kepikiran banyak hal.

"Aku sadar, aku gak bisa terus-terusan di samping kamu, ngabarin kamu, kamu juga ngerti kan? Kita sama-sama sibuk. Tapi seminggu ini juga aku mikir, kalau mau, aku bisa ada untuk kamu, denger cerita kamu, dan lain sebagainya."

"Yaang, udah... masalalu aku gak usah dibesar-besarkan, kaya yang kamu bilang, semua itu yang menuntun aku ke tempat di mana aku berdiri sekarang. Aku bersyukur sama apa yang aku miliki saat ini, jadi aku gak mau tenggelam di masa lalu." Kataku sok tegar.

"Tapi aku pengin ada terus buat kamu, Sayaang!" Ucapnya tulus.

"Gimana?"

Nara meletakkan sebuah amplop kecil di meja, lalu ia mendorongnya ke arahku.

"Buka." Titahnya.

Kuambil amplop tersebut, lalu membukanya. Ada sebuah kartu di sana.

Apa maksudnya ini?

"Apaan nih?" Tanyaku.

"Keycard apartmentku, Yaang. Aku mau kamu juga pegang. Gak gitu sih, sebenernya, aku mau kamu pindah, tinggal sama aku, biar aku bisa selalu ada buat kamu."

Aku diam, memandang kunci ini.

Gimana ya?

Sebenernya sih aku mau, toh selama ini juga aku tinggal sendiri karena Aghi sudah permanen pulang ke rumah orang tuanya, dan ia sudah bisa bangun pagi.

Tapi.
Kalau kami ada di satu atap, apalagi satu kamar kaya di apartment Nara. Aku seperti belum siap. Aku takut kami akan melakukan hal yang macam-macam.

Sebenernya sih aku mau, aku sudah tidak terlalu memegang janji kecilku itu. Hanya saja, kalau kami satu atap, aku takut kami melakukannya karena tidak kuat menahan, bukan karena memang 'ingin'.

"Yaaang?!" Nara seperti menunggu jawabanku sementara pikiranku masih kemana-mana.

Dua orang pelayan mengantarkan pesanan kami, aku diam saja ketika makanan itu dihidangian di meja.

"Yaang, ayok dimakan."

Lama sekali aku diam sebelum akhirnya aku mengambil sendok dan garpu untuk mulai mengisi perutku yang sudah kosong ini.

Selesai makan, aku masih diam. Nara yang mungkin bosan dengan sikapku ini langsung mengajakku pulang.

Bukannya sampai lobby, mobil Nara ternyata berhenti di taman.

"Yaang? Ngomong dong? Kalau misal kamu gak mau pun gak apa-apa." Ucap Nara.

Aku melirik ke arahnya. Bingung harus bicara apa. Jadi aku hanya tersenyum padanya.

"It's okay, Nin." Ucap Nara lagi.

"Aku gak tau Yaang, aku pengin sama kamu, tapi aku juga belum siap. Di satu sisi, aku mau nyoba sama kamu, tapi gak ngerti kenapa hati kecil aku selalu takut untuk mencoba hal baru. Aku gak tau." Jelasku pada Nara.

"Yaudah kalau kamu belum siap, gak apa-apa. Kita emang baru satu tahun, mungkin itu terlalu cepat untuk ngajak kamu tinggal bareng."

Aku diam.

"Mau pulang?" Tawarnya.

Aku mengangguk.

Nara melajukan mobilnya, ia berhenti di lobby apartmentku.

"Kamu mau mampir?" Tanyaku, asal ceplos, aku tidak berpikir sebelumnya.

"Boleh!" Sahutnya.

Nara meneruskan mobilnya, berbelok ke pintu masuk parkiran.

Sampai di unitku, Nara langsung menyandarkan diri di sofa sementara aku langsung masuk kamar utama.

Di kamar, aku mengusap wajah, bingung dengan situasi seperti ini.

Ke kamar mandi, aku membasuh mukaku, menyikat gigi dan melakukan ritual malam. Setelah selesai dan aku sudah mengenakan piyama, barulah aku keluar kamar.

Nara terlihat terpejam, ia seperti sangat lelah. Aku mendekatinya, kuusap wajahnya dengan tisu pembersih milikku, menghilangkan debu yang menempel di wajah tampannya.

Matanya terbuka, ia tersenyum.

"Makasih!" Ucapnya saat aku selesai. Aki mengangguk.

"Nar?" Panggilku.

"Ya?"

"Mau gak, ajarin aku lebih dari apa yang biasa kita lakuin, tapi jangan dulu sampai tahap yang sana?"

"Hah? Gimana?"

Aku diam, aku juga gak ngerti sama ucapanku barusan.

"Gak tau, aku ngomong apa sih??" Ucapku pada diri sendiri.

"Ohh aku ngerti hehehe! Aku tahu harus apa." Ucap Nara tiba-tiba terdengar jahil.

"Apa?"

"Ke kamar yuk!"

"Ngapain?"

"Tidur, aku capek, mau nginep sini aja."

"Yuk! Ganti baju." Kataku.

Syukurlah aku sekarang punya stok baju cowok untuk Nara.

Setelah Nara berganti, ia menyusulku naik ke kasur, merebahkan diri di sampingku.

"Yaang?" Panggilnya.

"Apa?"

"Aku mau ajarin kamu sesuatu."

"Apa?"

"Tapi kamu jangan takut, jangan nolak juga ya? Hehehe!"

"Apa?" Tanyaku untuk ketigakalinya.

"Pinjem tangannya."

Aku mengulurkan tangan kananku, Nara menerimanya dan ia memasukkan tanganku ke dalam selimut.

Nara menggengam tanganku, erat dan hangat. Sampai akhirnya, ia melepas, memegang pergelangan tanganku lalu membawanya ke....

Aku terkejut saat menyentuh miliknya itu. Belum terlalu tegang tapi tidak lembek juga.

"Mau gak? Aku jadi gak harus selfservice, tapi bisa keluar, dan kamu ada diprosesnya."

Aku diam, tak menjawab, tapi tidak menarim tanganku juga.

Aku mencoba menenangkan diriku dengan cara biasa; menarik nafas panjang.

Meyakinkan diri sendiri, aku meremas milik Nara lembut, dan kemudian mendengarnya mendesah pelan.

Aku melirik ke arahnya, dan ia tersenyum.

Benda di tanganku itu perlahan kurasakan mulai mengeras. Penasaran, aku menyusupkan tanganku ke dalam celana pendek yang dikenakan Nara.

Menggengam langsung benda itu, entah kenapa membuat adrenalinku naik.

Mengikuti insting, kugerakan lenganku, dan Nara pun mulai mendesah pelan. Suaranya terdengar nyaman di telingaku, sehingga membuatku makin semangat menggerakan tangan.

Oke, pelajaran baru dimulai!

Belajar yang pinter ya Nin!!

******

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

*****

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top