10. Sweet!
Aku mencoba menghindar dari Nara, syukurlah itu tak sulit dilakukan karena ia ada tugas di luar kota, dan Aghi juga ada tugas di kota lain yang secara gak langsung aku harus ikut. Tapi tetap saja, ia masih menghujaniku dengan permintaan maaf via chat.
"Nin, besok kita gak usah dateng ya?"
"Ihh? Kok gitu?" Tanyaku.
Aku dan Aghi sedang dalam perjalanan ke hotel, rapat hari ini sampai jam 9 malam, capek banget. Menurutku nih, rapat tuh efektif cuma sampe jam 5 sore. Karena kalau udah makan malem, orang pikirannya udah ke kasur, istirahat dan rebahan.
"Kalau gak, lo aja sendiri besok ya? Biar tetep ada laporan, besok gue mau jalan-jalan."
"Oke deh boss!" Kataku.
Kami sampai di hotel, langsung menuju kamar masing-masing.
Di kamar, aku membuka ponselku. Ada puluhan chat dari Nara. Menarik nafas panjang, aku membaca pesannya tersebut.
Love:
Maaf sayang
Aku kira kamu mau
Abis... ya kamu bales juga
Maaf
Sumpah, maaf!
Nina sayang?
Bales dong??
Kamu udah tidur Nin?
Sleeptight yaa sayang
Hallo?
Selamat pagi!
Udahan dong Nin ngambeknya
Maaf!
Mau ketemu gak?
Aku mau minta maaf langsung
Bego banget ya? Aku gak langsung bilang maaf
Nin?
Nina?
Sayang, aku udah di Kendari ya
Sayang?
Jangan capek-capek kerjanya
Kalau Aghi nyebelin, bilang yaa
Nanti dia aku marahin
Nina ih?
Kangen?!
Aku telefon Mbak Putri
Katanya Aghi rapat di Jambi
Kamu ikut?
Hati-hati ya Nin
Semangat sayaangku
Selesai aku membaca semua pesannya.
Gimana ya? Aku gak punya rencana diemin dia kaya gini sebenernya. Aku cuma syok aja, gak tau harus ngapain, makanya aku menghindar.
Sekarang, perasaanku sudah baik-baik saja, sedikit takut mungkin, tapi aku masih tetap suka padanya, mungkin sayang, bisa jadi bahkan sudah cinta.
Me:
Hallo!
Kuputuskan untuk memulai percakapan, komunikasi adalah kunci dalam berhubungan kan?
Love calling...
Sebuah panggilan masuk dari Nara. Aku mengangkatnya.
"Hay!" Sapaku.
"Hallo pacar! Makasi, udah mau angkat telefonnya."
"Iya, gak perlu makasih, biasa aja kok."
"Jangan jutek gitu dong sayang."
"Engga, ini aku udah biasa aja kok."
"Panggil sayang dong kalo gitu? Hehehe!"
"Iya, sayang udah biasa aja aku." Ucapku ikhlas. Asli sih, emang sayang sama Nara tuh.
"Makasih!"
"Sama-sama."
"Yaang, serius, aku minta maaf ya! Harusnya kamu bilang."
"Harusnya kamu paham!"
"Iya, maaf, aku salah."
"Udah ah, jangan bahas itu lagi."
"Yaang ih? Apa aja hal yang bikin kamu risih? Biar aku gak ngelakuinnya." Tanyanya.
"Jujur ya?"
"Iya sayang, jujur aja."
"Aku baru sekali pacaran, sama kamu doang ini. Jadi segala hal masih baru buatku. Jangan bikin aku takut sama kamu."
"Oke kalau gitu, sekali lagi maaf, aku janji aku bakalan hati-hati!"
"Siap! Aku mandi dulu yaa, Nara. Aku baru balik nih, lepek banget badan."
"Okee sayaang! Selamat mandi."
"Bye!"
"Bye love!" Serunya lalu aku memutus sambungan telefon.
Melepas kancing kemeja, lalu aku mengusap wajahku berkali-kali. Berusaha memahami perasaan sendiri tentang apa yang aku jalani.
Sebenarnya, aku harus siap mendapat perlakuan seperti waktu itu, karena... kalau aku mengamati beberapa hubungan orang di sekitarku, sepertinya mereka sudah terbiasa dengan hal itu, bahkan mungkin lebih. Seperti Sinta atau Aghi contohnya. Aku memang terbiasa jika salah satu dari mereka membawa pasangan ke kamar, paham betul apa yang mereka lakukan sejuta kali lebih parah dari tindakan Nara. Tapi tetap, aku tidak terbiasa dengan hal itu.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk melakukan itu nanti, saat aku sudah menikah. Janji kecil yang kubuat saat melihat bagaimana orang rela menjadi apapun demi itu. Entah itu pelaku perselingkuhan, ataupun budak uang.
Bangkit, aku berjalan ke kamar mandi sambil menanggalkan bajuku. Membuka keran air hangat agar memenuhi bathup, sementara aku sendiri menyikat gigi, cuci muka dan lainnya.
Setelah air hampir penuh, aku merendam tubuhku dalam air. Membiarkan hangatnya melonggarkan otot-ototku, dan mengurai pikiran yang semraut ini.
Selesai mandi, aku melakukan panggilan ke Sinta. Aku butuh seseorang yang bisa diajak mengobrol.
Tiga kali aku menghubunginya tapi tak diangkat, sampai aku mendengar suara bel dan ketukan pintu.
Melihat dari lubang intip, ada Aghi di luar. Tangannya menggengam sebuah tas kertas.
"Bentar ya Ghi! Pake baju dulu!" Seruku, buru-buru melepas robe dan menggantinya dengan baju.
"Lama amat?" Ucap Aghi ketika aku membukakan pintu.
"Kan tadi bilang, ganti baju dulu."
"Abis mandi lo?" Ia langsung duduk di satu-satunya sofa yang ada di ruangan ini. Sofa empuk yang di depannya ada meja bundar. Aku menarik kursi kayu dari meja belajar, duduk di depannya.
"Iyaa, itu lo bawa apa?"
"Minum, mau gak lo?"
"Dapet dari mana lo?"
"Beli laah!" Aghi mengeluarkan dua botol minuman dari kantung kertas yang ia bawa. Gak ngerti aku, itu bukan bahasa Indonesia. Susah pula dibacanya.
Aghi bangkit, ia berjalan ke depan ke tempat cangkir-cangkir tersedia, kemudian menarik laci, mengeluarkan bukaan botol, dan mengambil gelas kaca, lalu kembali ke sofa.
"Mau gak lo?" Tawarnya, ia menuang minuman itu.
Gimana sih? Nawarin tapi gelasnya cuma satu. Gak niat nawarin itu sih.
Aku hanya mengamati ketika Aghi meminum cairan berwarna gelap itu. Aku meraih botol yang sudah ia buka, membacanya setengah mati. Gak paham aku anjirr!! Aku mencari kadar alkohonya, dan ketemu. 18%!!
18% tuh termasuk keras gak sih?? Gak paham nih aku.
"Dari pada penasaran, mending coba nih." Aghi mengulurkan gelas miliknya kepadaku.
Kuletakkan botol yang kupegang, lalu menerima gelas dari Aghi.
"Dikit aja, gak usah sampe seteguk." Ucapnya, aku langsung mengangguk.
Menyesap sedikit. Aku bingung sama rasanya. Gimana ya? Manis engga, pait juga engga. Aneh deeh. Kaya rasa cairan tape ketan, sumpah! Tapi ini lebih nyedek.
"Gimana?"
"Anehhh!"
"Yaudah sini balikin, gak usah diterusin, yang penting udah tau." Aghi meminta kembali gelasnya, jadi kuberikan.
Kubiarkan Aghi minum sementara aku membuka laptop, menyicil kerjaan yang harus diselesaikan.
Aku menyerah, sudah tengah malam. Setengah pekerjaan pun sudah kuselesaikan. Menoleh ke belakang, Aghi sudah menghabiskan satu botol, botol kedua sudah ia buka dan ia sendiri tampak asik dengan ponselnya yang sedari tadi mendendangkan lagu-lagu indie.
"Balik ke kamar sana gih, gue mau tidur tau."
"Punya hak apa lu ngusir-ngusir gue?"
"Ya kan ini kamar gue, Ghi. Kamar lo di sebelah."
"Bete gue sendiri."
"Terus? Dari tadi juga lo gue diemin kok."
"Lo cerita dong, cerita apa aja."
Kenapa banyak banget ya orang yang menuntutku untuk bercerita?
"Lo aja gih, cerita, lo masih galau ya?"
"Gue sama Jasmine nih udah pacaran 4 tahun, gue kenal dia ditahun terakhir gue kuliah, kita 3 tahun LDR, susah banget loh ngeyakinin dia dengan pemikiran dia yang maju banget itu untuk bertahan selama 3 tahun padahal kita misah, beda negara, beda benua, beda zona waktu. Sampe akhirnya gue bilang kalau di keluarga gue itu umur 30 harus udah nikah, dia siap mundur karena menurutnya itu kecepetan. Ya gue yakinin dia, pas dia udah mau, eh keluarga gue brengsek. Kebayang gak sih lo?"
Aku menggeleng.
"Lo sayang sama dia?"
"Jasmine udah punya pacar baru sekarang."
"Serius?" Tanyaku kaget.
"Kebayang gak lo sakit hatinya gue kaya apa?"
"Keluarga lo ada omongan gak? Kemarin lo ketemu Pak Dewa kan?" Aku menyebut nama Papinya Aghi.
"Gak bahas itu, gue bahas kerjaan."
"Terus Mami lo gimana?"
"Mami gue keras Nin, kalo bilang engga, yaudah, mau kiamat besok juga gak bakal berubah."
Aku mengangguk.
"Gantian dong lo yang cerita."
"Kalo gue nanya-nanya aja boleh gak?" Kataku.
"Boleh, tapi lo minum juga yak?"
"Dikit yak? Gue gak suka rasanya."
"Okee, mau tanya apa?" Aghi menuangkan minumannya sampai gelas penuh, lalu mengulurkan padaku. Aku memgambil lalu menyesapnya sedikit.
"Kalo pacaran versi lo tuh gimana?" Tanyaku, Aghi mengambil gelas di meja lalu meminum sampai sisa setengah.
"Gimana yak? Dulu sih pacaran buat seneng-seneng aja Nin, ada orang yang diajak ke sana-sini, nemenin itu-ini."
"Kan itu mah temen juga bisa."
"Tapi kan temen gak nemenin lo sampe kasur Nin, sedangkan kalo pacar kan seenggaknya ada orang yang lo peluk saat tidur."
"Pacaran anak sekarang emang udah otomatis gitu ya Ghi? Sampe kasur."
"Gimana orangnya sih, tapi ya iya, sekarang kebanyakan begitu. Tapi yang masih pacaran batas wajar juga kayanya banyak. Cuma yaa... yang pacaran baik-baik gak ada di lingkungan gue. Semuanya sama aja."
Aku mengangguk.
"Misal, lo pacaran sama cewek yang gak mau ngapa-ngapain, bakal gimana tuh?"
"Putus lah, udah beda visi itu mah. Cewek itu harus dapet cowok baik yang gak mau ngapa-ngapain juga, biar satu frekuensi." Jawab Aghi simpel.
Aku mengangguk.
"Pacar lo ngajak ngeue?" Tanya Aghi tanpa basa-basi.
"Enggak."
"Lo ngajak ngeue, cowok lo gak mau?"
"Gak juga! Sotoy lo!"
"Yaudah mau tanya apa lagi?? Lo ada cola gak? Abis nih minuman gue!"
"Lo masih sober? Udah dua botol lo abisin Aghian!"
"Minum ginian mah gak bikin gue mabok! Di atas 40% baru gue bisa mabuk!"
"Ohhh!"
"Gak kerasa kali ini mah!"
"Ohhh!"
"Punya cola gak?"
"Punyanya teh hijau."
"Lo kira gue Ratu Inggris dikasih teh? Sekalian aja lo seduhin gue earl grey!"
"Udah sana balik ke kamar gih lo!"
"Lo belom pernah tidur sama cowok ya Nin?? Selain sama gue yang waktu itu terpaksa karena ada Sinta??"
"Apa sih lo nanya-nanya gitu!!"
"Keliatan tau, dari lo yang risih kalau ada di kamar gini sama gue. Waktu awal-awal tinggal bareng aja lo kaya gak nyaman. Gue jail waktu itu pegang betis lo aja eh lo jerit."
"Tau ah!"
"Gue tidur sini ah!!! Biar lo terbiasa sama cowok Na, gak kaku gitu. Santai aja!"
"Keluar lu!!!" Usirku.
"Gak, gue mau tidur!" Aghi bangkit dari sofa, langsung pindah ke kasur dan tidur di sisi kiri. Sisi tempat biasa aku tidur.
"Aghian Prawiradilaga!!! Keluar gak lo sekarang!!"
"Gak mau, yheee!!" Serunya dengan nada meledek, mengambil bantal satu untuk menutup mukanya, dan dengan tangan lain, ia menarik selimut.
Astaga. Dosa apa sih aku punya bos kaya begini??
********
Badanku pagi ini sangat pegal. Ya, tidur di sofa dengan posisi gak nyaman, gimana gak pegal?
Aku mandi, langsung berganti dan kutinggalkan saja Aghi di kamar. Sebagai pembalasan ia sudah mengganguku, aku mencabut kartu dari slot, membiarkan Aghi dengan keadaan kamar mati segala-galanya.
Rapat belum dimulai ketika aku sampai di venue, jadi aku menyeduh teh untuk menemaniku memulai pagi dengan hal-hal baik.
"Hay cantik!" Hampir saja tehku tumpah. Ada Nara di sampingku.
"Kamu kok ada di sini?"
"Nyusul pacar!" Katanya, ia mengambil cangkir lalu membuat kopi dengan banyak cream.
"Aku rapat nih, kamu ngapain, seriusan?"
"Ya aku ikut gabung aja, si Aghi mana?"
"Gak mau dateng dia hari ini."
"Kamu sendiri?"
"Iya,"
"Nah kan, untung aku dateng, jadi kamu ada temennya." Nara berjalan di sampingku saat aku berbalik menuju meja.
Aku hanya tersenyum. Dalam hati, aku senang bertemu dengan dia hari ini. Terakhir kami bertemu tuh jumat malam, sekarang sudah rabu, jujur, kangen aku sama dia.
"Mata kamu item gitu? Begadang Nin?"
"Iyaa, begadang dengerin Aghi curhat, terus tidur di sofa gara-gara Aghi gak mau balik ke kamarnya."
"Dia di kamar kamu??!!!" Suara Nara agak meninggi, membuat beberapa rekan yang ada di dekat kami menoleh.
"Yeah, tapi gak ngapa-ngapain kok, dia emang annoying banget kan."
"Yaudah, beres rapat kamu ke hotel aku aja, tidur. Gak mau aku, pacar aku matanya sebelas dua belas sama Panda."
"Yailah, lebay banget."
"Masa perhatian dibilang lebay?"
Aku hanya tersenyum.
Master of Ceremony membuka acara hari ini. Membacakan agenda dan pengisi materi. Ia bahkan menyebutkan nama Naranata Paramusesa sebagai pengisi materi.
Aku langsung menoleh, di sampingku Nara tersenyum.
Rapat hari ini, karena hari terakhir hanya berlangsung setengah hari.
"Nara!" Panggilku, ia menoleh tersenyum.
"Aku nanti mau minta presentasi kamu tadi ya, boleh?"
"Iyaa boleh, biar enak kamu gak ribet nyusun laporan."
"Cakep banget sih!"
"Emang!"
"Dihhh!" Aku meninju bahunya pelan, ia tersenyum manis padaku.
"Ikut yuk? Keliatan banget kamu capek, sayaang. Istirahat di tempatku aja, ya?" Ajaknya dengan nada persuasif.
Aku tersenyum, dan entah untuk alasan apa, aku mengangguk setuju.
******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
*****
Gemessh yaak 😍
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top