1. Sepasang Teddy Bear
"Duit lo sisa berapa?" Tanya Sinta, teman kostku yang kamarnya persis ada di samping.
"15 rebu Sin. Duit kiriman lo kapan ditransfer?"
"Ya kaya biasa, bokap gajian tanggal 25, paling 26 dikirimnya, atau 25 sore. Lo kapan gajian?"
"Tanggal 28, masih jauh." Jawabku.
"Hemmm yaudah, gue ada duit 25, kita naik angkot sekali, kalo ada kawinan, kita berenti aja ya, gimana?"
"Mandi dulu, dandan dulu!"
"Siaap!!!" Sinta langsung bangkit, ia keluar dari kamar kostku yang hanya sepetak ini, lalu berbelok ke kamarnya.
Aku tersenyum geli, gini deh kami berdua, sama-sama hidup pas-pasan dan hanya memiliki satu sama lain untuk diandalkan.
Sinta itu mahasiswi, dia kuliah sudah semester 5, sedangkan aku adalah karyawan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang finance. Sinta 3 tahun lebih muda dariku.
*
Selesai mandi dan berdandan, aku menarik laci lemari, mengeluarkan amplop kecil yang kumiliki lalu memasukan selembar uang dua ribu rupiah ke dalamnya. Yaa, daripada numpang makan gratisan di kondangan, kan kalo gini lumayan yaa, aku ada ngasihnya.
Keluar kamar, aku mengunci pintu kost lalu mengetuk kamar Sinta.
"Wooy! Lipstik gue mencong nih jadinya!" Terdengar seruan kesal dari dalam.
"Buruan monyet!"
"Sabar doong!"
Duduk-duduk di tembok teras yang hanya sebatas paha, sekitar 5 menit Sinta keluar.
"Mantap, lo niat amat pake songket segala?!" Tanyaku, asli sih aku cuma pakai tunik khas kondangan sm celana jeans putih, dipadukan dengan heels berwarna cream senada dengan baju.
"Mendalami peran, Na!"
"Okeeh, yuk! Naek angkot arah kiri apa kanan?"
"Kanan aja, gue bayar ongkos berangkat, lo bayar ongkos balik ya?"
"Siap!"
Kami langsung berjalan ke luar gerbang kostan. Jujur, ini bukan kali pertama kami datang ke undangan yang bahkan kami gak tau siapa yang nikah.
Prinsip kami sih... makan seadanya, yang penting perut keisi, toh gak merugikan banget kan ya?? Gak yang langsung makan sepuasnya kaya orang rakus.
"Udah jam setengah 2, kesiangan kita, lu kelamaan dandan Sin!"
"Yaudah entar cari-cari di kampung aja dah yak? Kan biasanya ampe sore, bahkan malem."
"Yaudah."
Baru sesaat naik angkot, aku melihat banyak karangan bunga ucapan selamat menikah di salah satu gedung yang berjarak 50 meter dan makin mendekat. Tanpa basa-basi, aku langsung berteriak untuk menghentikan angkot ini.
"Kirrrriii!" Seruku.
Mobil angkot berhenti, aku menarik tangan Sinta untuk mengajaknya turun.
"Mata lo, cepet bener liat janur kuning." Ucapnya sambil membayar.
"Gak gitu, pele! Lo liat laah, ini bunga ucapannya aja ngejajar sepanjang jalan."
"Iya sih bener."
Kami berdua diam sesaat, menarik nafas panjang satu kali kemudian melangkah dengan percaya diri, memasuki gedung yang bisa dibilang mevvah ini.
"Ngisi buku tamu gak?"
"Iya lah, kudu profesional!" Jawabku.
Sinta yang duluan menulis, kemudian ia juga menyuruhku menulis nama. Aku tersenyum melihat nama asal yang ditulisnya, jadi aku pun melakukan hal yang sama.
Sang penerima tamu memberi kami kupon untuk penukaran souvenir, aku dan Sinta menerimanya sambil mengucap terima kasih.
Aku ternganga dengan tampilan mewah dekorasi pernikahan ini, dari tempat masuk sampai dalan gedung benar-benar semerbak wangi bunga, gila banget dah, bunga asli, bukan bunga plastik.
Acara pernikahan mewah ini masih terbilang ramai, aku gak tau sampe jam berapa, karena kaya yang aku bilang tadi, di gedung kan biasanya cuma sampe jam 2.
"Salaman sama penganten gak?" Tanya Sinta. Aku langsung melihat arah pelaminan, antrian salaman tidak terlalu banyak.
"Yukk, seenggaknya sebelom makan ngasih selamat dulu, doain biar langgeng."
"Heu, padahal gue udah laper!"
Aku hanya menggeleng tak jelas ke anak satu ini, lalu masuk ke antrian salaman.
Dari yang kulihat, sepertinya ini memang kondangan orang kaya, wah banget deeh, band pengisinya aja nyanyi lagu bahasa inggris, bukan dangdutan. Mantap lah.
Begitu tiba giliran kami sampai ke pelaminan, aku langsung menyalami orang tua dan para mempelai. Mereka menebar senyum, padahal kami gak saling kenal, gak diundang juga. Mungkin... saking banyaknya tamu undangan, jadi udah pada gak tau kali yaa ini undangannya siapa hahaha.
Selesai salaman, aku dan Sinta langsung menghampiri bilik-bilik makanan, nyobain yang kecil-kecil buat ganjel perut.
"Mau yang buffet gak lo?" Tanya Sinta. Entah ia muncul dari mana karena tadi kami berbeda haluan.
"Gak ah Sin, gue kenyang."
"Makanannya masih banyak tau, terus kata MC juga itu yang salaman tamu terakhir. Tega lo biarin makanan ini jadi mubazir?"
"Emmm, gak tega sih, cuma gue kenyang banget makan daging yang tadi." Kataku.
"Hah? Daging? Daging apa?" Tanyanya, kami emang mencar sih tadi, nyari makanan yang sesuai selera, bukannya main asal ambil padahal gak suka-suka banget terus nanti nyisa.
"Itu yang dibakar diujung."
"Lo gak baca nama makanan di gubugannya Na?" Tanya Sinta.
Aku menggeleng.
"Babi panggang, Ninaaaa!!!" Seru Sinta histeris.
"Astagfirullah, pantesan enak banget!"
Sinta langsung menoyor kepalaku.
"Yaudah lah, udah kepalang."
"Gebleg emang lu!"
"Sana lu kalo mau makan nasi, gue mau ambil eskrim buat netralisir, gue tunggu lo di meja tadi." Kataku.
"Oke Na!"
Nah, gedung pernikahan ini tuh gede banget. Kaya yang aku bilang tadi: mevvah. Jadi makannya juga teratur pake meja bulet-bulet gitu yang tersebar di dalam gedung ini, tapi gak bikin jadi sesek atau gak leluasa gerak.
Duduk di kursi yang mejanya kosong, aku mulai memakan eskrimku, sesekali mengedarkan pandangan. Rata-rata tamu undangannya pada bergerombol gitu, lha aku? Sendirian. Bukan tamu undangan pula, kacau lah.
"Lo kudu liat menunya, gilaaa, mantapp ini mah gue perbaikan gizi!" Ucap Sinta saat ia datang menghampiri dengan sepiring makanan yang rame banget.
"Kayanya enak."
"Endolita, Na. Sono lo! Antriannya dikit."
"Gak ah, kenyang gue, makan daging babi." Kataku sambil cengar-cengir.
"Abis ini langsung balik ya, Na? Gak enak siah, kaya berasa diperhatiin sama orang-orang."
Aku mengangguk. Aku pun merasa demikian. Banyak yang ngeliatin. Tapi aku mikir kalau itu karena bajuku dan baju Sinta gak semewah orang lain yang datang dengan gaun-gaun gemerlap, jas dan dasi kupu-kupu.
Kami terlihat gembel.
**
Saat akan keluar, ternyata kami ditahan oleh petugas WO, udah pucet aku, takut ketauan tamu undangan bodong.
"Mempelai sebentar lagi akan melempar bucket, ikutan ya Mbak, biar meriah, soalnya udah banyak tamu yang pulang. Saya kasian sama pengantinnya." Ucap si Mbak yang menahan kami ini.
"Ohhh gitu, yaudah oke mbak!" Jawabku, yaa gak ada salah kan ngeramein? Toh aku udah makan enak dan kenyang di sini. Gratis lagi.
Eh gak gratis deh, aku bayar dua ribu kan di amplop yang tadi aku masukin ke kotak.
Aku, Sinta dan segelintir tamu udangan yang masih tersisa berdiri di depan panggung pelaminan, menunggu pelemparan bucket bunga.
Lalu sang MC memberi aba-aba, dan pada hitungan ketiga, dua buah benda putih melayang dari atas pelaminan.
Eh apaan tuh? Katanya bunga??
Sebuah benda putih itu menabrak hidungku, refleks aku menangkapnya sebelum jatuh mencium lantai.
Mendadak aku merasa bahagia melihat boneka teddy bear putih memakai tuxedo ini.
"Yeaay! Coba sini yang dapet naik ke atas panggung." Titah sang MC.
"Mampus lu!" Ucap Sinta pelan.
Mau gak mau, aku berjalan pelan, dan ternyata aku tak sendiri, ada seseorang lagi yang memegang benda sama sepertiku, hanya saja ia memegang boneka beruang yang mengenakan gown.
"Siapa mbak namanya?" Tanya MC.
"Nina." Jawabku.
"Kalo mas ganteng namanya siapa?" Ia bertanya kepada si pemengang boneka lain.
"Nara."
"Ihhh, cocok yaaa sama sepasaang suami istri kita yang baru ini, Mbak Niken dan Mas Nugraha."
Aku hanya mampu tersenyum.
"Mbaknya single?"
Aku mengangguk.
"Masnya single juga gak?" Tanya MC dan si Nara ini hanya tertawa.
"Yaudah, sesuai dengan perjanjian, yang bisa nangkep boneka itu dapat hadiah dari mempelai kita yang berbahagia ini yaaa!"
Aku melongo, si mas-mas MC berjalan ke belakang dan tak lama kembali dengan dua bungkus iPhone terbaru.
Anyingg!!
"Saya minta mempelai pria, Mas Nugraha untuk memberikan hadiah kepada mbak Nina, dan Mbak Niken memberikan hadiahnya ke Mas Nara, setelah itu kita foto bersama."
Aku menelan ludah. Menerima hadiah ini lalu mengucapkan selamat sekali lagi.
Setelah itu, MC menutup acara dengan mengucapkan selamat kepada mempelai dan terima kasih pada tamu undangan.
Tanpa basa-basi, aku langsung menarik Sinta keluar.
"Anjing, lo tau gak sih? Gue udah kebelet ngompol, takut mempelainya nyadar kalau dia gak kenal sama gue." Kataku.
"Jangan buru-buru!" Seru Sinta.
"Apa sih??"
"Souvenir nyet, gak mau rugi gue!"
"Rugi apaan? Lo kan gak ngapa-ngapain?"
"Gue ngasih doa paling tulus yaa!"
"Yaudah sekalian sama yang gue!" Aku memberikan voucherku pada Sinta.
"Deuh sia!!"
********
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
****
Gak apa kan aku bikin cerita baru padahal si Putra belom kelar? Hahahah!
Ini new universe yaak.
Gak tau kenapa pengin bikin cerita baru aja hehehehe.
Semoga ada yang berkenan baca ya.
****
Nina
***
Sinta
Ps: nama panjang mereka nanti yaa. Gue kangen merangkai2 nama yg lucu nan unik hahaha, sementara nama panggilannya itu aja dah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top