15. Empat Rakaat Bersamamu (Arion-Disti)

Seperti yang sudah dijanjikan oleh keduanya, siang ini Disti yang sedang berada di mansion Arion menggelengkan kepala saat netranya menangkap tingkah aneh pemuda yang sejak tadi menjadi bahan perhatiannya. Decak kesal dan raut cemberut menjadi ekspresi yang ditunjukan oleh Disti.

"Ya Allah, Rion! Lo wudu atau mandi sih?" Disti berkacak pinggang melihat baju Arion yang hampir keseluruhannya basah semua. Pemuda itu habis wudu atau main hujan-hujanan.

Jelas bukan main hujan-hujanan karena sepengetahuan Disti di luar matahari sedang terik-teriknya. Musim hujan masih terlalu panjang untuk datang. Tetapi mengapa Arion terlihat seperti anak kecil yang baru saja terkena timpahan air hujan?

Arion menyugar rambutnya yang basah, menyikap rambutnya yang hampir menutupi dahi. "Wudu lah, lo pikir gue ngapain?" ujarnya dengan nada santai. Membuat Disti menghela napas dan kembali geleng kepala.

"Terus kenapa baju lo basah semua, Malih?" Dia pandangi Rion dari atas ke bawah. "Kayak anak kecil tahu, nggak. Wudu aja sampai basah-basahan begitu." Disti berdecak. Salahnya dia tidak memperhatikan Arion ketika mengambil wudu.

"Gue, kan, cuma ngikutin arahan yang lo kasih," ujarnya sambil memeras celananya yang basah. "Tapi, karena gue gerah, ya gue basahin aja semuanya."

Allahu Akbar. Kalau seperti ini Disti seperti mengajari anak kecil saja.

"Ulangi wudu-nya!" Perintah Disti dengan wajah garangnya menahan kesal. Seharusnya mengajari orang sebesar Arion tidak sesulit ini kan? Tapi mengapa ini jauh lebih sulit dari pada mengajari anak kecil?

Arion menggeleng, menolak. "Nggak mau!" Dia sudah basah kuyup begini Disti malah menyuruh mengulangi wudunya. Bisa semakin basah kuyup dia.

"Ulangi, nggak?" Disti menarik tangan Arion agar bangun, lalu mendorong tubuh Arion ke kamar mandi untuk mengulangi wudunya. Terpaksa Rion mengikuti keinginan Disti. Saat melihat gerakan wudu Rion tak sesuai dengan yang diajarkannya, Disti kembali dibuat kesal oleh pemuda itu.

"Rion! Lo bisa wudu nggak sih? Gue udah ajarin lo berulang kali ko masih aja salah." Lama-lama kesabaran Disti habis. Waktu salat zuhur sebentar lagi, Arion malah terlihat belum mengerti dengan yang diajarkan olehnya.

Padahal Arion beragama Islam, tetapi mengapa cara berwudu saja dia masih tidak mengerti? Apa dulu di sekolahnya saat masih SD dan SMP dia tidak diajarkan ilmu pendidikan agama. Atau sebenarnya diajarkan tetapi Rion tak mendengarkan ketika gurunya sedang mengajar. Kalau begini Disti harus ekstra sabar menghadapi Arion. "Baca ulang bukunya, gue nggak mau tahu." Disti menghentakan kakinya, meninggalkan Rion di pintu kamar mandi.

"Praktek langsung lebih gampang." Arion malah ikutan keluar kamar mandi. Dia menanti respon Disti. Disti yang tak mau memperlama proses belajar Arion dengan terpaksa kembali ke kamar mandi, dia langsung mencontohkan wudu sesuai dengan apa yang ada di buku fiqih itu. Disti berusaha semaksimal mungkin mencontohkan dengan mudah agar Arion tidak bingung saat harus mengulanginya.

"Oh gitu." Pemuda itu mengangguk, langsung paham. Belajar dari apa yang dipraktekkan lebih mudah dari pada membaca teori.

"Udah ngerti 'kan? Sekarang ulangi apa yang gue lakuin tadi, sama doa-nya juga jangan lupa!" Arion menggulung kaos panjang miliknya sampai siku, lalu berdiri di depan keran air dan mulai mempraktekkan cara berwudu yang telah dicontohkan oleh Disti.

Menghela napas lega, akhirnya Disti bisa tenang saat gerakan yang dipraktekkan oleh Arion sudah lebih baik dari sebelumnya. "Nah! Ini baru bener. Tingkatkan, jangan salah lagi," kata Disti bangga, saat melihat gerakan wudu Arion sudah lebih baik dari sebelumnya.

Tak lama usai Disti berkata, suara azan zuhur mulai berkumandang.

"Kebetulan udah azan, yuk salat berjamaah! Lo imamin gue ya?" Disti ingin menguji kefasihan salat Arion, maka dia meminta Arion menjadi imam salatnya.

Kedua mata Arion melotot mendengar perkataan Disti. Sebelum menggeleng tegas. "Nggak! Gue nggak mau." Dia saja baru belajar wudu, Disti malah seenaknya langsung menyuruhnya menjadi imam, bacaan salatnya saja belum fasih.

"Lo tahu 'kan? Salat berjamaah itu lebih baik dari pada salat sendirian." Disti menerangkan. Hal yang memang sudah dipahami oleh Arion.

"Dan lo juga tahu kalau gue belum sefasih itu buat jadi imam salat, Zafira?" Terang Arion, membalikan kata-kata Disti. Arion memanggil Disti dengan nama depannya.

"Kalau enggak dicoba kapan lo mau bisanya?" ujar Disti dengan wajah memohon penuh antusias berharap Arion menuruti permintaannya.

Arion termenung, melihat Disti yang sangat excited untuk menjadikan dirinya imam. Ada perasaan hangat yang mengaliru jantungnya. Membuat jantungnya memompa darah lebih cepat. Dia akan menjadi imam salat Adisti, mengapa di dalam lubuk hatinya hal itu terdengar menyenangkan?

Perlahan Arion mulai mengangguk. "Oke, gue coba." Meski tak yakin, tetapi Arion akan mencobanya.

Hal itu langsung mencipat senyum di bibir Disti. "Gue wudhu dulu." Disti melangkah ke kamar mandi untuk mengambil wudu, tiga menit gadis itu sudah kembali dan langsung menyiapkan mukena yang selalu dibawa-bawanya di dalam tas. Wajah Disti yang ceria membuat Arion yang sejak tadi tengah menunggu Disti memakai mukena dan menggelar sajadah di belakangnya diam-diam tersenyum.

Arion sudah dengan setelan koko dan pecinya dan pemuda itu tengah memandangi Disti yang memakai mukena, tiba-tiba saja dia jadi membayangkan kalau suatu saat nanti dia memiliki kehidupan rumah tangga seperti ini. Menjadi imam untuk istrinya. Dan dalam bayangannya ada Disti yang mengisi pikirannya. Rion langsung menggeleng saat pikiran itu mampir di kepalanya. Apakah pantas dia memikirkan hal itu? Salat saja dia masih harus belajar banyak dari Adisti.

"Udah."

Kening Arion mengerut, dia masih melamun dan tidak memperhatikan Disti yang sudah memberinya peringatan untuk memulai.

"Rion!" Disti melambaikan tangan di depan wajah Arion, menyadarkan Rion.

"Eh, I .. iya." Pemuda itu gelagapan, langsung menatap Disti. "Kenapa?"

"Udah." Disti mengulangi. Rion tampak kebingungan karena sejak tadi melamun sehingga dia tidak paham dengan maksud Disti.

"Gue udah pakai mukena gue, lo malah ngelamun. Mikirin apaan coba?" decak Disti. Membuat wajah Arion memerah karena Disti menanyakan alasannya melamun. Rion bungkam, tak mungkin menjawab. Dia merasa malu kalau Disti tahu dia baru saja melamunkan tentang rencana masa depan bersama gadis itu.

"Bisa kita mulai salatnya?" Disti tak ingin memperpanjang. Kalau dia memikirkan apa yang Arion lamunkan yang ada mereka tidak salat-salat.

"Tentu."

Empat rakaat dengan surah pendek yang dipilihnya sebagai bacaan dalam salat dilakukan Arion. Dia mencoba menjadi imam salat sesuai kemauan Disti. Meski lidahnya agak kaku karena sudah lama tidak beribadah, Arion akhirnya mampu menjalani empat rakaat itu dengan penuh kekhusyuan. Usai mengerjakan empat rakaat, mereka tidak langsung melipat sajadah, memilih diam sejenak untuk melanjutkan zikir setelahnya.

Dalam hati, tak hentinya Arion berzikir, memohon ampun pada Sang Maha Pencipta atas segala dosa dan kesalahannya selama ini. Sebagai hamba-Nya Arion gagal menjadi seorang yang taat. Dia sudah terlampau jauh meninggalkan ibadahnya sebagai umat yang beragama. Dalam sujud terakhir, tubuh Arion bergetar, menumpahkan segala keluh kesah yang dirasakannya pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selesai salat, Arion menengadahkan tangan di depan dada, matanya terpejam, dan pemuda itu memanjatkan banyak doa, salah satunya doa untuk kesembuhan papanya. Arion berharap kali ini Tuhan mau mendengar doanya. Doa yang tak pernah terucap dari lisannya dan hanya sampai di dalam hatinya dia untaikan dengan khidmat. Doa di mana dia selalu berharap papa-nya segera bangun dari tidur panjangnya. Agar dia dan papa bisa kembali berkumpul bersama. Tanpa sadar, air mata Arion menetes. Ya Tuhan, dia benar-benar merindukan papanya.

Disti yang telah selesai berdoa memperhatikan Arion dalam diam. Dia tahu kalau Arion tengah berada dalam masa terpuruknya. Rion telah begitu lama menyimpan keluh kesah yang selama ini tidak diketahui orang-orang di sekitarnya. Pemuda itu menyimpan segala keluh kesahnya seorang sendiri, dan saat Arion memilih terbuka padanya, Disti mulai memahami satu hal, bahwa Arion tidak sekuat yang terlihat selama ini. Arion pandai menyimpan rasa sakitnya seorang diri. Dan itu karena dia begitu merindukan sosok papanya.

Disti tahu rasanya kehilangan orang tua. Dia tahu rasanya seperti apa? Dan itu sungguh menyakitkan. Arion masih memiliki harapan untuk berkumpul kembali dengan papanya, Disti harap Tuhan mau memberi kesempatan pada pemuda itu. Sedang dia, kesempatan sekecil apapun tidak ada. Dalam doanya tadi, Disti sempat memunajatkan sebaris doa untuk kesembuhan papa Arion. Dia mungkin belum mengenal papa Arion, tetapi doa tulus yang diberikannya, dia lakukan untuk seorang anak yang tengah merindukan papanya, Arion.

"Apapun yang menjadi doa lo, gue yakin Tuhan akan segera mengabulkan doa lo!" kata Disti saat melihat Arion mengakhiri doanya.

Arion menghapus air matanya langsung menoleh pada Disti. Tanpa menjawab, dia menatap wajah Disti dalam diam. Ada banyak hal yang ingin dia sampaikan pada Disti, salah satunya rasa terima kasihnya karena Disti telah membuat dia kembali pada Tuhan-nya. Membuat Arion yang setelah sekian lama tidak bersimpuh, kembali menjadi hamba yang mengingat Tuhannya. Dia ingin mengatakan sepatah dua kata. Tetapi pemuda itu memilih bungkam.

"Sudah lebih baik?" Disti mengajukan pertanyaan. Tidak perlu banyak kata untuk menenangkan Arion, ada saatnya manusia hanya perlu ditanya 'apa dia baik-baik saja?' supaya mereka tahu, bahwa mereka tak sendiri dan masih ada seorang yang peduli padanya. Meski hanya sebuah pertanyaan yang tidak memiliki arti apapun, setidaknya itu jauh lebih baik dari sekedar menjadi manusia yang tak peduli pada masalah yang tengah di hadapi orang lain.

Arion mengangguk. "Makasih."
Dia menatap Disti. Pancaran matanya menyiratkan banyak hal. "Makasih buat segalanya, Disti. Makasih karena disaat gue merasa sendiri, lo datang dan menawarkan kehidupan yang lebih baik pada gue."

Distri tersenyum. Senyum yang membuat hati Arion tenang saat menatapnya. "Gue cuma ngelakuin apa yang sudah seharusnya seorang teman lakukan terhadap temannya."

Teman? Ah, mengapa mendengar kata teman yang keluar dari mulut Disti, telinga Arion rasanya panas. Ada perasaan tidak puas dengan kalimat 'teman' itu. Dia tidak mengerti kenapa? Bukankah tidak ada yang salah dari kalimat Disti. Mereka kan memang teman.

#######

Sabtu, 04 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top