1. Murid Baru
Pagi ini, sama seperti pagi sebelumnya. Arvan berdiri di pintu gerbang, mencatat para siswa siswi yang terlambat masuk. Dan akan memberikan hukuman bagi mereka yang tak taat pada peraturan sekolah.
Wajah lelaki itu terlihat dingin, menatap setiap manusia yang masuk ke gerbang sekolah. Sesekali melirik jam di pergelangan tangannya, jam sudah menunjukan pukul 07.15 wib, sudah saatnya gerbang ditutup.
"Pak, tutup gerbangnya, ya!" Menatap
Mang Ujang, Arvan memerintahkan satpam penjaga sekolah untuk menutup pintu gerbang.
Mang Ujang menutup pintu gerbang. Selang beberapa menit suara
derum kendaraan roda dua mengganggu indra pendengaran Arvan, lelaki itu menatap ke luar pintu gerbang dan melihat lima motor vespa berjejer di luar sana. Dan kelima orang gadis berseragam sekolahan ini turun dari motor vespa itu. Meminta Mang Ujang untuk membukakan pintu gerbang.
Arvan memperhatikan kelima gadis itu, sepertinya murid baru? Pikirnya sambil mendekati pintu gerbang.
"Murid baru?" Dia tatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi, mengalihkan atensi kelima gadis dari Mang Ujang.
Mereka mengangguk. "Bukain pintunya!" kata salah
satu dari mereka.
Arvan tatap mereka sekali lagi. "Hmm!" lalu ia melenggang pergi meninggalkan mereka tanpa ada keinginan untuk membukakan pintu gerbang itu.
Kelima gadis itu menatap kepergian Arvan dengan wajah kesal. "Sialan, cuma 'Hmm', doang. Dikirain mau bantuin buka pintu gerbangnya," gerutu salah satu dari mereka yang bernama Sandra.
Mang Ujang masih berdiri di antara mereka. "Den Arvan nggak bakalan bukain pintunya, Non, dia itu ketua osis yang patuh sama peraturan. Enggak ada sejarahnya mau bantu bukain pintu gerbang. Palingan juga nanti kalian bakal dapat hukuman dari Den Arvan!" Mang Ujang yang sudah begitu mengenal Arvan memberitahu, lalu menyeret kakinya ke pos satpam, membiarkan kelima gadis itu berdiri di depan pintu gerbang yang tertutup.
"Terus kita gimana dong? Masa baru masuk udah dihukum," gadis yang sedang mengibaskan tangannya di udara, mengeluh. Tampak kepanasan karena terik matahari yang menyorot langsung di atas kepala mereka. Namanya Razel.
"Gara-gara lo, Oon, suruh siapa bangunnya telat!" Gadis yang berdiri di samping Razel menoyor kepala Razel, menyalahkan keterlambatan mereka. Namanya Arin, yang tadi pagi bertugas membangunkan Razel. Si manusia yang kalau sudah tidur susah sekali dibangunkan, hingga mereka terlambat seperti ini.
"Udahlah, nggak usah pada berantem. Mending pikirin gimana caranya supaya kita bisa masuk?" Gadis yang sejak tadi tampak tenang dan melirik ke sekitar sekolahan tampak menegur, namanya Lisa. Dia sedang kebingungan, mencari cara supaya bisa masuk.
"Mang, tolong bukain gerbangnya dong. Hari ini ajah, kita kan masih murid baru, besok-besok kita janji deh enggak bakal telat lagi!" Menampilkan puppy eyes andalannya, yang bernama Disti mencoba memohon pada Mang Ujang.
Mang Ujang kembali menyeret kakinya mendekati kelima murid baru itu. Mulai tidak tega. "Ini pertama dan terakhir kalinya non-non pada telat ya, besok-besok kalau telat lagi mamang enggak mau bukain gerbangnya, berabe kalau sampai Den Arvan tahu," katanya sambil membukakan pintu gerbang.
"Iya, Mang, kita janji!" Kelima gadis itu menuntun motor vespa mereka masuk ke dalam, langsung disambut oleh tatapan tajam sang ketua osis yang tengah melipat kedua tangannya. Mereka menundukkan kepala, takut. Tatapan lelaki itu seolah siap menerkamnya.
"Murid baru sudah melanggar peraturan!" suara tajam Arvan membuat nyali kelima gadis itu ciut. Mereka menundukan kepala, tak berani menatap pemuda itu.
"Kenapa nunduk? Mengheningkan cipta?" Cemooh Arvan, membuat kelima gadis itu mengepalkan tangan mereka. Menahan kesal pada pemuda asing itu.
"Kalau gue lagi ngomong liat muka gue!" Masih tak mendapatkan respon dari kelima anak baru itu, Arvan masih mempertahankan nada bicaranya yang sarkas.
"Maaf kami telat, silahkan hukum kami," Sandra Adiraja Genzi, perempuan berambut hitam dengan bola mata hazelnya yang indah mewakili, menjawab dengan lantang.
"Bagus, kalian menyadari kesalahan kalian. Silahkan berdiri di depan tiang bendera sampai jam istirahat pertama!" Arvan langsung memberikan. Mau laki-laki ataupun perempuan tetap mendapatkan hukuman yang sama.
Tak punya pilihan lain selain mengangguk, kelima gadis itu tampak pasrah menerima hukuman dari pemuda menyebalkan itu. Hari pertama sekolah, tidak mungkin mereka menunjukan sifat asli mereka.
Tepukan di bahu, menyadarkan Arvan yang masih melihat kelima gadis yang tengah berjalan menuju lapangan.
"Lo nggak kasian sama mereka?" Ardan, si ketua MPK menegur.
"Itu udah jadi resiko mereka, salah siapa terlambat?!" sarkas Arvan, tampak tidak peduli.
Ardan menggeleng. "Terserah deh, hari ini kita jamkos. Apa lo sekalian mau pantau mereka?" Ardan menawarkan. Dari pada suntuk di dalam kelas dan tidak melakukan apapun.
Arvan menatap ke arah lapang. "Boleh!"
Kedua lelaki itu duduk di kursi dekat lapangan, memantau kelima gadis yang sedang hormat pada tiang bendera.
***
Sial adalah kata yang pas untuk menggambarkan situasi mereka saat ini. Baru pertama masuk sekolah sudah mendapatkan hadiah berupa hukuman.
"Astaga, panas banget, anjir!" Disti mengusap keringat yang membanjiri pelipisnya.
"Udah gitu haus banget lagi," tenggorokan Razel rasanya kering. Dia butuh minum. Disaat seperti ini air dingin terasa nikmat.
"Emang ya itu ketua OSIS nyebelin, mana tampangnya judes, lihat ajah gue bakalan balas dendam,"
Sandra menghentak-hentakan kakinya sambil menyumpah serapah lelaki yang menghukumnya.
"Awas, nanti jatuh cinta, berabe lo!" Cetus Arin, menggoda Sandra.
"Cinta kepada dirimuuu.." Disti menyambung, malah menyanyikan sebuah lagu yang sedang viral di aplikasi tiktok. Seperti tidak terpengaruh oleh humuman itu, dia tampak santai-santai saja.
"Gue bukan nyanyi, bego." Arin memutar kedua bola matanya.
"Masih pagi, Rin, tuh mulut pedesnya udah melebihi cabe aja." Lisa menegur dengan cengiran khasnya.
Arin kembali memutar bola matanya, menanggapi Disti dan Razel hanya akan membuat moodnya semakin buruk. Mereka masih setia berdiri di lapangan, menunggu hukuman berakhir rasanya lama sekali.
Rasa panas dan haus sudah menjalar di tubuh mereka, membuat satu satu dari mereka sudah tampak pucat.
"Ya ampun, kapan si berakhirnya!" gumam Sandra, tak kuasa lagi menahan tubuhnya untuk berdiri dan pandangan gadis itu mulai berkunang-kunang.
"SANDRA!"
Hanya teriakan ke empat temannya yang terakhir kali Sandra dengar, sebelum gadis itu jatuh tak sadarkan diri.
"San, bangun dong, ya Allah pake pingsan segala lagi!" Mereka mencoba membangunkan Sandra. Namun gadis itu masih tak sadarkan diri.
"Kayaknya kita bawa ke UKS aja deh!"
Saat mereka akan menggotong Sandra, lelaki yang menjadi penyebab Sandra pingsan datang.
"Biar gue yang gendong dia!"
Keempat gadis itu menyingkir, membiarkan Arvan mengambil alih
menggedong Sandra, membawanya ke UKS, bersama Ardan dan keempat gadis itu mengikuti di belakang Arvan.
Arvan membaringkan Sandra di ranjang UKS. Wajah pucat yang berpeluh keringat menghiasi wajah cantik Sandra, Arvan bisa melihat wajah itu dari dekat. Dan tak sadar ketika memperhatikan Sandra begitu lama. Ada yang aneh, wajah pucat itu membuat Arvan beku sesaat. Ada
Desiran aneh yang menjalar di hati kecilnya, menyusup ke dalam rongga dadanya. Oh, Tuhan. Dia kenapa? Apa dia merasa bersalah karena sudah menghukum mereka, hingga membuat gadis ini pingsan?
"Kantin di mana yah, gue mau beli minum?" Suara Lisa yang memecah keheningan, menyadarkan Arvan, membuat lelaki itu mencoba menetralkan raut wajahnya.
"Biar gue aja yang beli!" Ardan menawarkan diri.
"Gak apa-apa gue ajah, lo tinggal tunjukin di mana kantinnya." Lisa menolak secara halus. Masih murid baru masa sudah main perintah.
"Kalau gitu gue anterin !" Ardan meminta Lisa untuk ikut bersamanya.
Sandra belum sadarkan diri. Disti, Arin dan Razel bingung harus melakukan apa? Menyadari masih ada lelaki bernama Arvan di ruangan ini, rasanya canggung sekali.
"Sorry, lo Arvan, kan? Gue titip Sandra sebentar ya, gue sama temen gue mau ke toilet dulu." Arin beranjak dengan menarik kedua temannya.
"Hmm!" Hanya deheman singkat yang pria itu berikan sebagai jawaban.
"Gue ke toilet dulu, makasih."
Tanpa menunggu jawaban Arvan, ketiganya keluar ruangan. Menyisahkan Arvan yang masih
menemani Sandra.
Pemuda itu memberikan pijatan halus pada kedua pelipis Sandra dengan minyak angin, dan mengoleskan sedikit minyak angin pada hidung Sandra sambil sesekali mengamati wajah Sandra. Gadis ini cantik, Arvan akui itu. Tanpa sadar lengkungan manis terukir di bibir Arvan. Menyambut suara lenguhan Sandra yang tengah membuka mata.
"Loh, ko lo di sini? Temen-temen gue mana?" Sandra menatap ke seluruh ruang UKS dan tidak menemukan keberadaan teman-temannya.
"Maaf," dia tatap Sandra yang sedang mengerutkan keningnya.
"Maaf? Maaf buat apa?" Sandra tampak bingung.
"Gue udah hukum lo!" katanya, sambil masih menatap Sandra.
Sandra terkekeh. Kenapa lelaki ini minta maaf? Dan terlihat menyesal gitu? Tadi saat pertemuan pertama mereka, Arvan terlihat menyebalkan. Tampangnya yang kaku bikin Sandra pengen nampol. Sekarang kenapa lebih terlihat ramah dan hangat.
"Itu emang salah gue sama temen temen gue, lo nggak perlu minta maaf!"
"Oia, kita belum kenalan, kan? Gue Sandra, Sandra Adiraja Genzi." Sandra mengulurkan tangannya.
"Arvan, Arvan Malik Rahardian." Arvan kembali memasang wajah kakunya. Mencoba tidak menunjukan rasa tertariknya pada perkenalan mereka.
Sandra tersenyum. "Malah balik lagi jadi es batu, tapi nggak apa-apa sih. Lo manis juga kalau kayak gitu!"
Blush..
Wajah Arvan memanas, lelaki itu mengalihkan pandangan. Mencoba terlihat santai. Sial, kenapa wajahnya terbakar hanya karena dibilang manis? Dan degup jantungnya terasa cepat.
***
Razel dan Arin masih menunggu Disti di toilet sekolah, entah apa yang dilakukan teman mereka hingga memakan waktu lebih lama berada di dalam toilet, untung saja toilet sekolah baru terlihat bersih, tidak seperti toilet sekolah lainnya yang kotor dan bau. Sehingga Arin dan Razel bisa menunggu dengan tenang.
"Dis, lo semedi ya di dalem? Lama banget anjir." Razel menggerutu. Sudah gerah menunggu temannya yang tak kunjung keluar. Sudah tahu perempuan makluk yang paling tidak bisa kalau dibuat menunggu.
Arin sedang mengunyah permen karet, gadis itu sudah menghabiskan satu bungkus permen karet. Tapi pintu kamar mandi belum juga terbuka. Hobby aneh Arin yang suka mengunyah permen karet. Katanya permen karet itu penghilang bad mood. Jadi meski menunggu Disti lama, Arin si masih tampak santai, tidak seperti Sandra yang sudah tidak sabaran.
"Gue tuh lagi dandan, masa iya murid baru muka buluk banget!" Teriak Disti dari dalam.
"Kalau dasarnya udah cantik, nggak perlulah pake dandan segala." Arin menimpali masih sambil mengunyah permen karetnya dan bersandar pada dinding kamar mandi.
"Yaudah deh, kalian duluan aja. Gue kebelet pup nih." Disti kembali berteriak.
"ASTAGA DISTI, KENAPA GAK NGOMONG DARI TADI SIH. KITA UDAH NUNGGUIN LO LAMA BANGET!" Razel memukul pintu toilet, sangking kesalnya, ia juga menendang tong sampah yang berada di dekatnya.
Arin menggeleng, moodnya sedang bagus hari ini, jadi ia tidak ingin marah-marah. "Udahlah kita balik aja ke UKS!" Dia tarik lengan Razel dan membawanya keluar, kembali ke UKS dan melihat Sandra lebih berfaedah dari pada menunggui Disti pup, pikir Arin.
Lime menit kemudian Disti sudah selesai dengan ritualnya, keluar kamar mandi, dia menyeret kaki jenjangnya untuk kembali ke UKS.
Melangkah sambil merapihkan seragam dan tatanan rambut, Disti tak memperhatikan jalan, tak melihat saat seorang laki-laki berjalan di depannya dan menabrak laki-laki berseragam putih abu dengan penampilan sedikit berantakan. Baju yang dikeluarkan dengan 2 kancing teratas terbuka, rambut yang terlihat acak-acakan namun tak melunturkan pesonanya.
"Kalau jalan tuh pake mata!" Tampak marah lelaki itu menatap tajam Disti. "Buta ya lo!" Sarkas lelaki itu, menatap tajam Disti.
"M...maaf, g...gue enggak sengaja!" Disti menundukan kepala, pria di depannya terlihat menyeramkan.
Pemuda itu menatap Disti, memicingkan alis. Merasa asing dengan wajah gadis di depannya. "Lo murid baru di sini?" Mendorong Disti, lelaki itu memojokannya ke dinding.
Distu mengangguk. Kepalanya masih menunduk. Rasa takut dan cemas menyerbunya, merasakan kedekatan mereka. Lelaki yang tengah memojokannya dan mengunci pergerakannya tampak menyentuh dagu Disti. "Muka gue di atas bukan di bawah, liat gue!" Dia mengangkat dagu Disti, membuat Disti dapat melihat senyum miring lelaki di depannya.
"M-maaf!" Disti merasa gugup. "Bisa lepasin g-gue!" Pintanya, berharap lelaki itu mau menjauhkan diri darinya. Pasalnya kedekatan mereka membuat Disti tidak nyaman.
"Kalau gue enggak mau?!" Tantang pemuda itu dengan nada jemawa.
Disti menarik napas dan membuangnya, berusaha meredam emosinya yang mendadak naik karena lelaki di depannya. "G-gue harus balik ke UKS buat liat teman gue! Jadi lepasin gue!" Masih sama gugupnya, Disti mencoba menahan diri untuk tidak menendang pria ini agar menjauh darinya. Menurutnya lelaki ini sangat tidak sopan. Baru kenal sudah memojokannya seperti ini. Bagaimana jika ada orang yang melihat? Mereka pasti disangka ngapa-ngapain.
"Lo pikir gue peduli sama temen lo!" Lelaki itu bicara di depan wajahnya. Disti dapat merasakan aroma mint dari tubuh pemuda itu.
"S-sory, tapi enggak enak kalau dilihat orang, bisa lo menjauh!" Mencoba sabar menanggapi lelaki kurang ajar ini.
"Gue enggak suka diperintah!" kata pemuda itu dengan nada tajam.
"Maaf!" Disti terpaksa meminta maaf karena tidak ingin membuat masalah dengan pemuda asing itu.
"Nama Lo?" Melepaskan Disti, pemuda itu tampak mundur satu langkah.
"Eh..." gelagapan, Disti belum sepenuhnya sadar pada pertanyaan pemuda itu.
"Gue tanya nama lo?" Melipat kedua tangannya, dia tatap Disti dengan intens.
"Hmm, g.. gue Disti, Zafira Adisti Fransisca." Terpaksa menyebut namanya karena melihat tatapan tak sabar pemuda di depannya.
"Gue Arion Melviano Berlzi, panggil gue Rion."
HA? Dia, kan, tidak bertanya nama pemuda itu. Ingin sekali Disti berteriak 'Enggak nanya tuh' tapi karena tak berani ia hanya mengangguk.
#####
-To Be Continued-
Sabtu, 20 Febuari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top