Chapter 4 (END)

Happy reading....
.
.
.
.
.
.

Jika digambarkan dengan benda atau hal lain, mungkin Jeje adalah air. Manusia gak bisa hidup tanpa air. Jeje seperti air di hidupku. Aku gak bisa membayangkan hidupku tanpanya. Sama seperti aku gak bisa membayangkan hidupku tanpa kedua orang tuaku.

Hm, mungkin seperti itu?
Sebenarnya aku juga bingung bagaimana harus menggambarkan Jeje dalam kehidupanku. Satu hal yang pasti; dia sangat berarti. Dia bukan cuma sahabat. Dia teman, kakak, ayah, dia bisa menjadi apa pun. Pokoknya aku sayang sama Jeje, itu aja.

Oh ya, hari aku senang banget. Jeje beliin aku boneka beruang besar. Padahal aku gak ulang tahun. Katanya, dia lagi nemenin mamanya ke mal, terus ingat aku pas lihat boneka beruang. Haha, ada-ada aja dia. Jeje memang yang terbaik. Meskipun dia udah punya pacar, dia gak pernah melupakan sahabatnya. Keren deh. Tapi aku gak mau muji-muji gini di depan dia, nanti dia kegeeran. Males.

Oh ya, bonekanya lucu banget, gemas. Sekarang jadi teman tidurku. Enak buat dipeluk. Hehe.

Makasih Jeje, apa pun yang kamu kasih, itu akan menjadi barang kesayanganku.

- Diary Caca, 30 Maret 2020

***

“Hah? Caca? Caca kenapa, Bi?” Jefri mendadak panik.

“Non Caca, Den. Non Caca kecelakaan. Sekarang lagi koma di rumah sakit,” jawab Bi Ani dengan raut wajah khawatir.

“Koma?” Jefri terperanjat. Caca? Astaga, gue lupa Caca dari tadi!

“Iya, Den. Tadi pagi Non Caca ke rumah sakit sendirian naik mobilnya, kayaknya dia buru-buru waktu tahu Non Jessy meninggal,” jelas Bi Ani.

Tanpa menambah pertanyaan lagi, Jefri langsung bersiap menuju rumah sakit. Namun, baru sampai di halaman rumahnya, langkahnya terhenti. Dia melihat mobil ayahnya, mobil ayah Caca, dan mobil ambulans tiba dan berhenti tepat di depan rumah Caca. Ada apa?

Jefri menghampiri ayahnya, “Ayah, gimana keadaan Caca?”

Ayahnya tak menjawab, hanya melirik ke arah ambulans dengan mata sayu. Degup jantung Jefri semakin tidak keruan begitu melihat jenazah dikeluarkan dari dalam mobil itu. Dan itu adalah ... Caca.

Dada Jefri sesak seketika. Rasanya seperti ada benda besar yang menghantam keras dadanya. Napasnya menjadi tak beraturan. Keringat bercucuran. Sakit. Dan ini jauh lebih sakit daripada mendengar Jessy meninggal. Ini lebih sakit berkali-kali lipat.

Kaki Jefri gemetar kala ikut masuk ke dalam rumah Caca. Dia mencoba untuk bertahan, tapi kedua tungkainya tak mampu menahan beban tubuhnya yang sudah telanjur merapuh. Kemudian semuanya gelap. Dia tersungkur tak sadarkan diri.

***

• SABTU, 25 APRIL 2020

Jefri duduk di balkon kamarnya. Menatap langit yang cerah ceria. Berbeda sekali dengan suasana hatinya. Satu minggu sudah Caca meninggalkannya, meninggalkan dunia dan segala isinya. Tentunya duka itu belum berakhir. Entah kapan akan berakhir. Atau mungkin tidak akan berakhir?

Pada akhirnya, Jefri tahu bahwa hari itu Caca kecelakaan karena terburu-buru menuju rumah sakit. Gadis itu tak fokus menyetir. Pikirannya sedang kalut. Kecelakaan pun tak dapat dihindari. Fakta ini benar-benar membuat Jefri merasa bersalah setengah mati. Dia terus saja menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Dia berpikir, andai saja hari itu dia mengabari Caca, mereka pasti bisa pergi bersama ke rumah sakit. Setidaknya dia bisa mencegah hal mengerikan itu terjadi. Berkali-kali juga orang di sekitarnya mengatakan bahwa semuanya sudah takdir Tuhan, bukan salah Jefri. Namun, Jefri tetap tak bisa berhenti menyalahkan dirinya yang sudah gagal menjaga salah satu orang yang paling berarti dalam hidupnya.

Maafin gue, Ca....

Jefri menghapus air matanya yang menetes, lantas menatap benda di kedua tangannya. Sudah seminggu ini Jefri membaca buku harian Caca. Dia baru saja selesai membaca tulisan Caca tanggal 30 Maret. Jefri tersenyum mengingat perihal boneka beruang itu. Waktu itu Caca mengatakan bahwa bonekanya biasa saja, tak terlalu lucu dan imut. Dasar Caca! Jika Jefri tahu lebih awal bahwa Caca sangat menyukai hadiah pemberiannya, mungkin dia akan menjitak kepala gadis itu saking gemasnya.

"Dasar!" gumam Jefri diikuti senyuman. Entah senyum apa yang dia pancarkan dari bibir pucatnya itu. Matanya begitu sayu, sedikit bengkak. Segala yang ada pada dirinya benar-benar berantakan.

Semuanya hancur.

Jefri terus melanjutkan bacaannya hingga akhirnya ia memasuki halaman terakhir dari buku harian Caca. Sepanjang membaca buku itu, Jefri tak bisa mengendalikan perasaannya. Dia benar-benar ingin Caca kembali, meskipun dia tahu bahwa hal itu sangat tidak mungkin.

Halo, Sabtu!!!

Hari ini bakalan sibuk nih mengurus acara sekolah. Oh ya, hari ini juga adalah hari kelima aku tanpa Jeje. Hm... sebenarnya dia ada sih, tapi sekarang kondisinya beda. Kita udah jarang main bareng. Aku harap ini cuma sementara.

Aku tau, suatu hari nanti, ketika kita semakin dewasa, Jeje akan menikah, dan aku gak bisa terus-terusan nempel sama dia. Tapi ya gimana, sekarang rasanya aneh banget. Padahal baru beberapa hari. Aku juga tiba-tiba merasa cemburu si Jeje bareng Jessy mulu. Haha aku gak tau aku ini sebenarnya kenapa. Aneh, ya?

Aku akan selalu berdoa, semoga Jessy cepat sembuh biar Jeje bahagia. Aku bahagia kalau Jeje bahagia. Dia sahabatku. Dan aku sayang banget sama dia.

Je... aku rindu main bareng.
Aku sayang banget sama Jeje...

- Diary Caca, 18 April 2020

Lembar terakhir dari buku harian Caca berhasil membuat Jefri menangis lagi. Tulisan itu adalah tulisan terakhir Caca tepat di hari kematiannya. Jefri tak bisa membendung air matanya. Entah sejak kapan dia jadi cowok cengeng seperti ini.

Jefri belum bisa berhenti berduka. Dia bisa move on untuk Jessy. Namun, tidak untuk Caca. Dia masih belum bisa menerima kepergian Caca yang mendadak itu. Terlebih lagi, Caca pergi di hari yang sama dengan Jessy. Ini seperti mimpi buruk. Meskipun dia tahu bahwa ini kenyataan, bukan mimpi. Jefri benar-benar kalut. Hatinya sakit. Sampai detik ini masih sakit. Dan entah kapan sakitnya akan berakhir.

Jessy, gadis yang dikenalnya selama setahun, menderita kanker otak dan harus dirawat di rumah sakit. Jefri menghabiskan lima hari yang paling dia sesali itu bersama Jessy, dan mengabaikan Caca. Sementara Caca adalah sahabat yang selama sepuluh tahun sudah menemani hidupnya, selalu ada untuknya, selalu membuatnya bahagia. Namun, di hari-hari terakhir gadis itu, Jefri tak ada di sampingnya.

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Namun, bukankah tak ada yang tahu kapan waktu seseorang akan berakhir?

Sekarang Jefri sadar akan perasaannya sendiri. Dia tak pernah mencintai Jessy. Dia hanya peduli pada gadis itu, dan dia hanya menyayanginya sebagai teman. Hati yang sesungguhnya adalah untuk Caca. Dia sungguh menyayangi Caca melebihi dirinya sendiri. Namun, terlambat menyadari semuanya.

Jefri tak pernah menyangka sedikit pun, bahwa lima hari ketika dia menjauh dari Caca, akan menjadi lima hari terakhir gadis mungil itu.

Kini, dia telah kehilangan. Dan kini, dia harus siap. Siap menjalani hari-hari suram tanpa senyum dan tawa dari Caca.

Selamanya.

💔 END 💔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top