Chapter 3

Happy reading....

• JUMAT, 17 APRIL 2020

Je, temenin ke toko buku. Tinggal beberapa lembar lagi diary gue penuh.

Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Lagi-lagi pesan Caca tak digubris oleh Jefri. Caca memandangi ponselnya dalam diam. Sudah beberapa hari ini Jefri sibuk menjaga Jessy di rumah sakit. Caca dan Jefri sudah tak lagi berangkat dan pulang sekolah bersama. Sebab sepulang sekolah, Jefri akan langsung menuju ke rumah sakit. Caca juga sudah mendengar kabar bahwa Jefri dan Jessy balikan. Seharusnya Caca merasa senang. Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda di hatinya. Sesuatu yang asing dan tiba-tiba saja terasa sesak. Caca tak mengerti.

Di sekolah, Jefri juga tak ceria seperti biasa, membuat Caca pun enggan mengganggunya. Menurut Caca, mungkin Jefri butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Hari ini pun Jefri tak masuk sekolah. Caca juga tak pernah menemani Jefri mengunjungi Jessy di rumah sakit. Dia selalu menolak ketika Jefri mengajaknya. Bukan karena tak peduli, tapi karena Caca tak ingin menganggu Jefri dan Jessy. Dia tak ingin lagi menjadi penghalang.

Kaki mungil Caca melangkah menuju beranda rumahnya. Dia menatap rumah Jefri. Tak ada motor Jefri di halaman rumah elegan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.50 WIB. Caca menghela napas pelan, lantas tersenyum meskipun dia tak ingin. “Semangat, Ca! Hari ini ke toko bukunya sendiri aja. Udah gede, jangan manja!” gumam Caca pada dirinya sendiri.

Baru saja Caca memasuki mobilnya, sebuah pesan mendarat di ponselnya.

Buset! Lo nulis apa aja sih? Haha... besok aja ya anak manja, sekarang gue gak bisa. Mama Jessy belum dateng nih.
Gak ada yang jagain Jessy sekarang. Besok aja. Okay?

“Belum tentu juga besok lo bisa!” keluh Caca. Lantas melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah dengan hati yang tak menentu.

Hari ini masih sama dengan hari kemarin, besok juga mungkin sama. Gak tahu sampai kapan kayak gini.

Kalimat awal dalam diary Caca hari itu, sudah cukup menggambarkan isi hatinya. Hidupnya benar-benar membosankan tanpa Jefri, setidaknya itulah yang dia pikirkan.

***

• SABTU, 18 APRIL 2020

Sang fajar telah kembali dari peraduan, cahayanya menyeruak masuk ke dalam kamar melalui celah ventilasi. Udara pagi terasa sejuk saat Jefri membuka jendela kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB. Jefri merenggangkan tubuhnya yang baru saja kembali dari alam mimpi. Sekolah sedang libur karena sudah menerapkan full day school. Namun, sebenarnya Sabtu ini pengurus OSIS diminta datang ke sekolah untuk mempersiapkan acara ulang tahun sekolah yang tinggal beberapa hari lagi. Meski begitu, Jefri ingin istirahat untuk sehari saja sehingga memutuskan tetap di rumah.

Ca, gak usah ke sekolah, ya.
Kita hari ini main aja. Gue kangen pengen narik-narik rambut lo.. wkwk..
Gue tunggu di rumah.

Jefri mengirim pesan itu kepada Caca. Dia juga mengajak gadis itu untuk tidak ke sekolah. Sambil menunggu balasan dari Caca, cowok blak-blakan itu duduk di meja belajarnya. Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Jefri mencoret lima hari itu di kalendernya. Ini hari kelima sejak Jefri balikan dengan Jessy. Hari kelima sejak Jefri kehilangan waktu untuk sahabatnya, Caca. Jefri yang biasanya selalu main di rumah Caca ketika pulang sekolah atau sebaliknya, kini tidak lagi. Meskipun mereka bertetangga, tatapi selama lima hari belakangan mereka nyaris tak ada waktu untuk bersama. Hanya bertemu di sekolah karena kebetulan sekelas. Maka dari itu, Jefri ingin menghabiskan waktunya bersama Caca kali ini.

Tiba-tiba ponsel Jefri berdering. Dia tersenyum antusias, mengira Caca yang menelepon. Namun, senyumnya perlahan redup saat melihat nama si penelepon. Bukan dari Caca, tetapi dari ibu Jessy.

“Halo, Tante,” sapanya saat ponsel telah menempel di telinga kanannya. Tak ada jawaban. Hanya terdengar tangisan dari seberang sana.

Hati Jefri bergetar seketika. Raut wajahnya mendadak panik. “Ada apa, Tante?”

“Jefri ... Jessy … Jessy meninggal.”

Deg!!

Jefri terdiam. Denyut jantungnya tiba-tiba tak beraturan. Perasaan duka mulai menancap di dada. Sesak. Dia menjatuhkan ponselnya, lalu bergeming beberapa saat untuk mengatur napas. Beberapa menit Jefri tetap pada posisinya. Kesedihan kini menyerang tanpa ampun. Namun, di sisi lain ada rasa lega di hatinya. Bukan karena dia berharap Jessy pergi, tetapi karena dia sudah tak tega lagi melihat Jessy kesakitan. Dan hari ini, Jessy berpulang setelah hampir dua tahun melawan penyakitnya. Kamu perempuan yang kuat, Jessy....

Jefri segera bersiap-siap dan langsung pamit kepada orang tuanya untuk menuju rumah sakit. Dia tak mengabari Caca. Dia lupa.

***

Jefri tak dapat membendung air matanya begitu melihat tubuh Jessy terbujur kaku. Cowok penyayang itu menangis tak berdaya, menyaksikan kepergian kekasihnya. Dia memeluk tubuh Jessy yang sudah tak bernyawa.

“Jefri...,” panggil ibu Jessy dengan suara parau dan masih terisak. “Jessy nitip salam buat kamu. Katanya ... terima kasih kamu selalu ada buat dia selama setahun ini, walaupun kadang kalian berantem, malahan sempat putus, tapi dia senang kamu ada di hari-hari terakhirnya. Sekali lagi, terima kasih dari Jessy.”

Jefri melepaskan pelukannya untuk Jessy dan mengangguk menanggapi ucapan ibu Jessy. Dia mencoba mengendalikan perasaannya yang sedang tidak keruan. Sedih itu pasti. Namun, dia harus merelakan Jessy. Terima kasih, Jessy. Terima kasih sudah menyayangiku, terima kasih telah mengajarkanku arti kesabaran dan ketegaran, semoga kamu nggak merasakan sakit lagi.

***

“Jefri ke mana, sih? Kok belum datang juga? Hape gue pake acara ketinggalan lagi, huh!” Caca mengomel sendiri di dalam ruang OSIS karena kesal atas kejadian pagi tadi. Dia terlambat bangun. Alhasil, dia bersiap ke sekolah dengan terburu-buru sampai melupakan ponselnya. Padahal jabatannya sebagai bendara OSIS sangat penting dalam persiapan kegiatan sehingga mengharuskan dirinya datang tepat waktu. Dia pikir Jefri sudah berangkat duluan. Namun, nyatanya wakil sekretaris OSIS itu tak ada di sekolah.

Dasar, nggak bertanggung jawab! rutuk Caca dalam hati.

“Cacaa!” Kekesalan Caca semakin bertambah ketika mendengar suara cempreng Atika yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang OSIS dengan teriakannya.

“Kenapa? Gue dicariin Alfa? Bilangin gue mau balik dulu ambil hape, sebagian catatan keuangan ada di sana,” ujar Caca sebelum Atika bersuara lagi.

“Gue tahu kenapa Jefri nggak datang hari ini,” tutur Atika. Wajahnya terlihat serius.

“Masa? Kenapa coba?” tanya Caca dengan sedikit tawa karena menyaksikan wajah serius Atika yang justru terlihat lucu. Awalnya dia mengira bahwa Atika hanya bercanda saja, tetapi ekspresi gadis itu tak berubah, membuat Caca menjadi penasaran.

“Kenapa, Tik?” ulang Caca, kali ini lebih serius.

“Kata anak MIA 1, Jessy meninggal, pasti Jefri ada di sana,” jelas Atika tanpa basa-basi.

Deg!!

Ucapan Atika membuat Caca terperanjat. Mulutnya sampai menganga lebar saking kagetnya. “Serius lo, Tik?” Caca mencoba memastikan.

“Ca, lo pikir nyawa orang itu bahan candaan?” Atika bertanya balik. Pertanyaan telak yang tak memerlukan jawaban. Caca telah yakin bahwa Atika serius dengan ucapannya.

Innalillahi wainna ilahi rojiun,” ucap Caca pelan.

Jessy meninggal? Itu artinya ... Jefri ... dia pasti terpukul banget sekarang, batin Caca.

“Gue harus pergi!” Caca mengambil tasnya dan melangkah meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa sampai bertabrakan dengan Alfa—ketua OSIS—tepat di depan pintu.

“Maaf, Al.” Hanya mengucap maaf, Caca kembali melangkah pergi, tetapi Alfa dengan cepat menahan lengannya.

“Kenapa lo? Panik banget,” tanya Alfa.

“Jessy meninggal, gue harus ke rumah sakit sekarang!”

Innalillahi ... Jessy anak MIA 1 itu? Pacarnya Jefri?” tanya Alfa. Caca mengangguk. "Gue kira anak-anak cuma nyebar Hoax."

Caca seperti tak mendengar apa yang Alfa katakan. Dia juga tak peduli. Dia hanya ingin pergi sekarang juga. Gadis itu segera berlari meninggalkan Alfa. Namun, Alfa kembali menghentikannya. “Lo khawatir sama Jessy atau sama Jefri?”

Caca menatap Alfa dengan tatapan tak percaya. Pertanyaan yang sama sekali dia anggap tak penting itu benar-benar membuat Caca kesal. “Al, gue nggak ada waktu jawab pertanyaan lo yang nggak jelas itu. Mendingan sekarang lo lepasin tangan gue. Gue harus ketemu Jefri sekarang. Gue harus ketemu dia!” Untuk pertama kalinya Caca bicara sepanjang itu pada Alfa. Caca pun mencoba melepaskan genggaman tangan Alfa di lengan kanannya.

Alih-alih melepaskan genggamannya, Alfa justru menatap Caca lekat-lekat. “Gue anterin, ya,” pinta Alfa.

“Iya, Ca. Alfa anterin aja. Gue tahu lo kalau panik nyetirnya nggak fokus,” sambung Atika yang juga terlihat khawatir.

“Nggak usah. Gue bisa sendiri!” Caca mulai terlihat marah dan dengan paksa melepaskan genggaman cowok yang sudah diketahui menyukainya sejak kelas sepuluh itu.

***

Pemakaman Jessy akhirnya dilaksanakan sore hari. Tetap berjalan lancar meskipun sedikit gerimis. Sepertinya langit mengerti akan kondisi hati Jefri yang sedang berduka. Bahkan alam pun ikut menangis bersamanya.

Pukul delapan malam, Jefri baru kembali dari rumah Jessy. Dia mendapati rumahnya sangat sepi. Ke mana semua orang? batinnya.

“Bi, mama papa di mana?” tanya Jefri kepada Bi Ani yang sedang duduk di depan televisi. Wanita itu terlihat gelisah.

“Ibu dan Bapak lagi di rumah sakit, Den,” jawab Bi Ani.

“Rumah sakit? Siapa yang sakit?” tanya Jefri heran.

Bi Ani diam. Mata wanita itu berkaca-kaca. Lalu menjawab, "Non Caca, Den."

❣❣❣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top