5. Gagap
Pagi.
🐳🐳
"Anak Papa ini lagi cidro. Kasian."
Anin yang mendengarnya segera mengernyit. "Cidro itu apa, Pa?"
Dandi mengusap-usap kepala Gagah yang sedang duduk depan akuarium lalu menjawab pertanyaan Anin. "Kakakmu ini, Nin. Patah hati kelihatannya."
"Biarin, Pa. Bang Gagah jarang-jarang patah hati kan? Seringnya banyak hati yang dia patahin."
"Nggak boleh begitu, Anin," tegur Dandi, lalu ikut duduk di sebelah Gagah yang masih lihatin ikan bolak-balik. "Mau Papa beliin ikan?"
Gagah langsung menoleh dan tersenyum lebar. "Mau dong, Pa."
"Jebakan itu, Pa, biar dibeliin. Mana ada dia patah hati. Udah lewat sebulan, pura-pura aja dia."
"Lo nggak tau rasanya, Nin." Gagah berdecak sebal. "Nanggung gitu, sakit banget juga nggak, sakit dikit juga nggak. Sialan, sekalian remuk kayaknya malah nggak apa-apa."
"Gaya-gayaan pengin remuk segala. Lihat babi mati aja nangis lo!"
"Udah udah. Jangan berantem. Malam ini ikut Papa sama Mama makan di luar ya."
"Lagi cidro kok diajak selebrasi to, Pak Dandi," gerutu Gagah lalu duduk lagi.
Dandi tertawa. "Papa mau jemput Mama dulu. Nanti pulang, kalian harus sudah siap."
"Pa, aku aja yang jemput Mama deh," tawar Anin. "Papa temenin aja Bang Gagah. Aku nggak sanggup, takut dia kesurupan."
Dandi tidak menyanggah karena Anin sudah beranjak dan keluar rumah. "Beneran masih mikirin Gadis?"
Gagah mengisi akuarium dengan seperempat bagian setelah proses penggantian air. "Nggak terlalu, Pa. Kadang kepikiran aja, khawatir, karena dia sendirian."
"Udah pernah ketemu dia lagi?"
"Belum. Nggak tega."
"Bisa jadi itu pilihan hidupnya, Gah. Dia bisa baik-baik aja dengan caranya sendiri."
Gagah juga mengakui itu. Ia tidak mau menambah masalah hidup Gadis. Selama sebulan ini Gadis tidak menghubungi meski mereka masih saling lihat-lihatan story masing-masing. Ia harap Gadis benar baik-baik saja karena pilihan itu.
"Kayaknya bener, Pa. Gadis lebih baik-baik aja sekarang. Dia masih pengin jaga adik-adiknya. Nggak mau mikirin masalah cinta."
"Iya, Gah. Hormati keputusan dia ya. Kamu yakin kalau dia perempuan hebat, perempuan baik, bisa jaga dirinya bertahun-tahun sendiri. Kasihan kalau dia harus tambah mikirin pacar-pacaran. Takutnya dia nggak kuat. Masih terlalu muda buat dia."
Gagah mengangguk. Kali ini benar yakin kalau Gadis memang baik-baik saja dengan keputusan itu. Mereka belum terlalu dalam mengenal satu sama lain. Perasaan keduanya belum sejauh itu. Makanya Gadis memilih menghentikan sekarang daripada keduanya terlanjur menaruh rasa yang lebih kan?
"Saatnya cari calon istri lain berarti, Pa." Gagah terkekeh.
"Setuju. Sekalian, Papa juga."
"Pa!" sentak Gagah kaget. Bisa-bisanya. "Inget dahi Papa yang gunawan gundul dan menawan itu. Udah nggak pantes cari bini kedua. Mama masih cantik muda gitu bisa-bisanya Papa mau cari istri lagi. Kalo beneran, aku viralin itu di media sosial. Digerebek sama tetangga."
Dandi tertawa. "Papa cuma asal bicara, kamu anggap serius. Iya, Papa nggak begitu. Papa juga tahu kamu sayang sama Mama, sayang sama adik kamu. Makanya Papa pesan, jangan sakitin perempuan ya, Nak. Kalau dia kurang baik, kasih tau pelan-pelan."
Gagah nurut. "Iya, Pa."
"Jangan kalah sama nama. Udah bagus-bagus namanya Gagah, kelakuannya nggak gagah kan malu kamu."
Gagah tertawa. Dari dulu ia penasaran dengan ini.
"Pa, kenapa namaku Gagah?"
Dandi—papanya—segera mengernyit mendapati pertanyaan dari anak sulungnya. "Karena badan kamu gagah."
"Emang dari lahir udah kelihatan gagah? Udah tumbuh jenggot, kumis, cambang, ekor, akar menjalar, atau gimana, Pa?"
"Kalau tumbuh sisik malah aneh, Nak."
"Ngeri amat, Pa." Gagah bergidik. Ia mengelap akuarium dengan telaten. "Ayo, ikan-ikan. Saatnya bobo ya. Kasian Kakek Dandi pusing lihat kalian lari-lari mulu bolak-balik."
"Harus disusuin dulu mungkin, Gah, biar bobo." Dandi ikut mendekat dan melihati ikan peliharaan anaknya.
"Aku harus beneran cari istri secepatnya berarti dong?"
Dandi mengangguk serius. "Lebih baik begitu."
"Cariin istri, Pa."
"Kamu ini. Papa juga lagi cari istri."
"Bapak siapa ini? Nggak boleh ya Mama diduain."
Dandi tertawa. "Bercanda lagi, Gah. Udah dibilang Mama itu satu untuk selamanya, satu cinta berbagai rasa, kalau nggak Mama nggak bisa hidup Papa."
"Pa." Gagah tertawa.
Gagah hentikan aktivitas membersihkan akuarium. Ingin sekali rasanya memiliki masa-masa tumbuh bersama seperti apa yang ia lihat pada orang tuanya. Tidak ada masalah besar yang ditunjukkan di depan anak walau Gagah tahu rumah tangga orang tuanya juga jauh dari kata sempurna.
Tapi siapa yang tahu tentang itu? Papa dan mamanya amat baik menyembunyikan kekurangan masing-masing. Yang ada saling memuji satu sama lain tiada henti. Mama kerap menjadikan Papa contoh ke anak-anaknya, betapa bertanggung jawabnya pria itu untuk menjadi kepala keluarga. Dan papa juga, seringkali menjadikan Mama contoh ke anak-anaknya, betapa telatennya seorang ibu yang membesarkan serta mendidik dengan amat baik.
Gagah tahu persis tidak ada sempurna, pun juga keluarganya nanti. Tapi ia mencontoh banyak dari orang tuanya. Ia janji, tidak akan membuat anaknya tahu sebesar apa perjuangannya untuk mempertahankan sebuah hubungan nantinya.
"Papa ada kenalan yang punya anak jomlo katanya." Gagah berjalan ke wastafel dan membersihkan tangannya.
"Ada. Mau lihat di grup Portugal Papa?"
"Ada nggak yang di luar grup Portugal?"
Dandi berpikir. "Keren yang ikut grup Portugal, Gah. Perkumpulan orang tua gaul, anaknya metal-metal."
"Ya ampun, Pa!" Gagah tepuk jidat. "Ya udah mana. Kalo ada yang kayak Mama atau Anin ya."
"Ck." Dandi berdecak. "Mama kamu satu-satunya. Anin si adik kamu juga. Jangan sama-samain dengan orang lain. Nggak ada yang kayak mereka. Semua orang beda, Gah."
"Iya sih, Pa. Tapi Mama kan kalem, penurut, penyayang. Kalo Anin walaupun nyablak tapi nurutan, nggak tegaan, baiknya nggak ketulungan."
"Iya iya. Nih. Papa cari dulu." Dandi menggulir layar ponsel. "Jadi kemarin ada yang niat lamar adik kamu, akhirnya di foto Anin, Papa edit itu biar badannya kelilit police line. Baru para orang tua gaul itu tau kalo Anin udah ada yang punya."
"Bener Pa, jangan biarin Anin diambil sama orang lain kecuali Bagus. Udah mentok di situ aja biar ikan-ikanku terselamatkan."
Gagah numpang enak memang. Mentang-mentang calon iparnya itu punya budidaya ikan yang sudah sampai keluar negeri namanya.
"Jangan cakep-cakep ya, Pa, nyariinnya."
"Kenapa?"
"Skip. Gebetannya pasti banyak kalo cantik. Nggak mesti juga mau sama aku."
"Cantik semua ini soalnya. Anak Papa juga ganteng pol gini kok. Nah, nah, ini nih."
Gagah terlihat antusias. Ia mendekat ke papanya dan ikut melihati foto itu.
Satu detik, dua detik, tiga detik.
Gagah seolah menahan napas melihatnya. Perlahan ia mendekat ke akuarium. Jantungnya bertalu kuat. Sampai ia bahkan yakin hampir sesak napas.
Ikan-ikan, tolong kasih insang buatan. Majikan lo sesak napas!
"Cantik kan, Gah?"
Pertanyaan itu membuat Gagah terdiam. Tiba-tiba badannya merinding. Astaga, ia sudah tidak diingatkan lewat mimpi-mimpi, kenapa sekarang harus dihadapkan pada hal itu lagi?
"Tapi ingat, jangan melangkah kalau belum lupa sama kisah kamu sebelumnya."
Aduh, papanya tidak mengerti kenapa Gagah diam begitu. Permasalahan Gadis, ia sudah ikhlas, karena perempuan itu yang menginginkan perpisahan.
Tapi yang kini mendadak membuat tenggorokannya terasa kering adalah foto yang masih terpampang di ponsel Dandi, sama sekali tidak berniat menarik kembali kayaknya atau sekadar menutup ponsel. Papanya malah terus memperlihatkan itu di depan matanya.
"Iya, Pa. Cantik," jawabnya lirih, demi agar papanya menurunkan ponsel.
Untung saja suara pintu terdengar. Anin dan Mama-nya baru sampai.
"Siap-siap dulu, Gah. Kita makan malam di luar."
***
"Kok reservasinya luas amat, Pa?" tanya Gagah saat duduk di salah satu kursi sebuah rumah makan.
Keadaannya tidak terlalu ramai tetapi setiap meja jelas terisi. Setahu Gagah restoran itu memang kerap menerima reservasi saja. Kalau datang tanpa memesan tempat bisa-bisa tidak kebagian karena ia pernah mengalaminya dulu.
"Sama teman kerja Papa."
"Pasti pembicaraannya kerjaan ya, Pa?" Gagah menampilkan raut malas.
"Nggak, Gah. Papa sama teman Papa itu udah lama nggak ketemu. Tiga tahun lalu temen Papa resign lalu buka usaha sendiri."
"Ya udah sih, Bang. Diem aja kalo males dengerin. Kayak baru sekali ini aja makan sama temennya Papa. Kan udah sering juga."
Iya juga sih. Gagah cuma butuh istirahat rasanya dari keterkejutan tadi. Gimana mungkin mukanya Sava yang nongol di ponsel Dandi? Ia akan menolak di detik pertama.
Nanti lah, Gagah akan minta rekomendasi anaknya teman Dandi yang lain. Soalnya Sava bikin merinding. Bayangkan, pria tinggi besar yang waktu itu pukul Gagah aja nurut sama Sava. Sudah bisa ditebak bagaimana aura menakutkannya kan?
Jangan-jangan itu suaminya? Suami takut istri kayaknya. Bisa jadi. Laki mana yang bersedia sesabar itu menghadapi raut dingin perempuan kayak Sava coba?
Kalau Gagah pasti tidak bisa. Sudah dibilang ia lagi cari istri yang lemah lembut dan penurut. Murah senyum. Suka ikan. Adem pasti hidupnya kan?
"Lo ati-ati, Nin. Entar anaknya temen Papa naksir jadi gawat. Nggak mau ya gue punya ipar selain Bagus."
Anin mengernyit, lalu tertawa. "Apaan kok jadi ke arah sana? Perasaan gue diem aja masih disalahin."
"Mana ada begitu, Gah." Sari—mamanya—menimpali. "Temannya Papa itu cuma punya anak satu, tunggal, perempuan. Adik kamu aman kalau kamu khawatir tentang itu."
Gagah mengelus dada. "Syukurlah. Nggak perlu susah-susah menghalau buaya."
"Coba nggak ada lo, Bang. Gue udah jadi anak tunggal."
"Durhaka sama abang lo ya, Nin. Harusnya gue yang bilang gitu. Kan gue anak pertamanya."
"Udah dibilang sama Papa, Bang. Kalo lo nggak mau punya adik sono masuk perut Mama lagi, tapi nanti konsekuensinya orang tua lo ganti."
"Nggak mau gue. Pengin jadi anaknya Pak Dandi sama Mama Sari aja. Lo sono yang masuk perut Mama lagi."
"Ogah. Gue kan nggak pernah bilang nyesel punya abang kayak lo. Walaupun kadang nyebelin tapi seringnya nyebelin banget."
"Nggak tau, Nin. Nge-lag gue."
Anin mendekat ke Gagah dan berbisik. "Bang, gue sempet lihat anaknya temen Papa yang mau makan sama kita. Cakep banget. Beneran, nggak boong gue."
"Oh ya?" Mata Gagah berbinar. "Cantik kalem atau cantik genit menggigit?"
Anin menahan tawa. "Bukan cantik kalem sih. Nggak keliatan genit juga. Kayak ... cantik keren gitu."
"Mana ada cantik keren, Nin."
"Ada, Bang. Entar ya lo lihat sendiri deh."
"Semoga jodoh gue ya."
"Nggak mau dia sama lo, Bang. Buaya. Udah bener itu yang kemarin milih mundur. Kasian kalo beneran sama lo. Makan ati kalo lo nggak berubah."
"Berubah yang gimana sih, Nin." Gagah heran. "Gue udah nggak mainin cewek lagi. Terakhir kali pacaran juga waktu kuliah. Udah lima tahun itu, Nin."
"Lo dulu sering PHP-in cewek, Bang. Sampe cewek-cewek yang masih berharap ke lo ngejar-ngejar, bahkan hubungi gue. Lo inget repotnya gue dulu ngurusin para korban lo itu? Dari SMP sampe gue SMA masih aja ada korban lo yang chat gue, nyariin keberadaan lo di mana. Sok cakep lo, Bang, sampe nyakitin mereka?"
"Nin." Gagah menepuk pelan bahu Anin. Adiknya itu kayak kesurupan malahan. Nyerocos tampa berhenti.
"Gue berdoa banget semoga Gadis bahagia terus dapet cowok yang baiknya kebangetan. Dan lo semoga naksir cewek yang susah lo taklukin hatinya biar jungkir balik lo hadapin dia. Amin." Anin mengusapkan kedua telapak tangan ke
Yah, pantas saja Gadis memilih mundur. Anin yang adiknya saja tidak percaya kalau Gagah beneran berubah. Apa mukanya muka playboy ya?
"Iya iya, gue salah." Gagah memilih mengalah. Memang perempuan banyak benarnya kan?
"Gue tau lo ganteng, Bang. Cakep, tinggi, gagah, cowok banget. Tapi nggak usah sok cakep, gantengnya ilang."
"Iya, Anin," jawab Gagah gemas. Ia sampai menepuk pelan dahi Anin dengan jari telunjuknya. "Gue nggak kecakepan, gue nggak ngerasa cakep. Oke?"
"Iya emang lo jelek. Siapa yang bilang lo cakep?"
Astaga. Gagah geleng-geleng kepala mendengarnya. Pikirannya tertuju ke masa-masa di mana ego masih di atas segalanya. Masa SMA yang terparah. Tidak hanya satu, dua, banyak perempuan yang ada di dekatnya.
Gagah tidak memungkirinya karena ia dan beberapa temannya memang anggota klub basket inti yang dibanggakan sekolah. Tidak hanya dirinya, teman-teman satu tim pun—ibaratnya—tinggal memilih di antara banyak perempuan yang mendekat.
Tidak ada keseriusan saat itu karena masa SMA baginya bukan untuk berpacaran. Tapi untuk menikmati bagaimana rasanya suka dan disukai oleh perempuan.
Masa kuliah lebih sedikit seseorang yang ada di dekatnya meski hubungannya dan perempuan jadi lebih intens. Jauhnya tempat kuliah dengan keberadaan keluarga membuatnya lebih bebas bergerak. Tapi ia masih bersyukur karena tahu batas wajar. Atau lebih tepatnya ia bersyukur karena satu kos dengan temannya—Surya namanya—yang sudah taubat lebih dulu dari dunia per-ghosting-an dan bisa menceramahinya panjang lebar kalau ia mau aneh-aneh.
Jadilah Gagah bisa menahan keinginannya untuk berbuat liar selayaknya teman-teman seumuran. Ia bukan lelaki nakal, tapi tidak sesuci itu juga. Tetapi sejak lulus kuliah ia sadar total bahwa kelakuannya dulu tidak bisa dibenarkan.
Ia punya adik perempuan dan tidak akan terima kalau hanya jadi bahan mainan. Kesadaran itu ia bawa sampai sekarang. Sudah lebih dari 5 tahun ia meninggalkan masa-masa itu. Pernah mencoba menjalin hubungan lebih serius tetapi tidak pernah sampai berhasil.
Gagah tidak menyalahkan para perempuan yang jadi mantannya meski ia diselingkuhi sekalipun. Ia pikir itu adalah bentuk pendewasaan dirinya terhadap hidup.
Lalu ia berhenti mencari yang tidak pasti. Sudah empat tahun lebih lamanya ia tidak menyanding perempuan di sisinya. Ia belum berniat memang, karena sadar umur adiknya sudah mulai dewasa dan ia punya peran lebih di sana.
Baru setelah memastikan Anin berakhir dengan orang yang tepat, Gagah mencoba lagi keberuntungannya. Bertemu Gadis adalah hal yang ia syukuri. Ia bahkan lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Namun rasa nyaman yang Gadis beri padanya sudah membuatnya ingin mengerahkan tanggung jawab.
Tapi akhirnya malah begini.
"Maaf, Dan. Agak terlambat ini."
Suara itu membuat Gagah tersadar dari pemikirannya. Ia ikut berdiri saat melihat keluarganya menyalimi pria yang baru saja menyapa.
"Belum terlalu terlambat juga. Ini juga baru sampai tadi." Dandi menjawab. "Ini Om Aji, Gah."
"Saya Gagah, Om." Gagah memperkenalkan diri.
Aji tertawa dan menepuk bahu Gagah. "Iya, sesuai sama namanya. Gagah dan tampan perkasa. Papa kamu pasti peramal ya?"
Gagah mengernyit mendengar itu. Apa hubungannya?
Dandi menyenggol lengan Gagah dan berbisik. "Dijawab, 'kok tau, Om?' Gitu."
"Kok tau, Om?" Gagah membeo.
"Iya, soalnya—" ucapan Aji terhenti dan menatap ke belakang. "Kapan-kapan aja dilanjutin, Gah. Ada istri Om," bisiknya.
Astaga, jadi begini anggota grup portugal-nya Dandi? Adminnya siapa coba, mau Gagah bubarin!
"Ini anak Om."
Gagah mengangkat pandangan. Ia mengerjap singkat. Ia tidak salah lihat?
Seorang perempuan dengan dress selutut berwarna peach. Rambut sebahunya digerai dengan aksen bergelombang yang membuat Gagah langsung membelalak.
"Kenalan dulu, Nak." Suara Aji terdengar.
Seolah baru sadar, Gagah menatapi tangan di depannya yang terulur. Ia menerimanya dan membalas jabatan.
"Sava," ucap perempuan itu dengan senyum.
Damn. Gagah bahkan baru pertama lihat senyum itu dan bukannya merinding seperti beberapa pertemuan mereka sebelumnya, ia justru merasakan dadanya seperti berdesir. Tuhan, perasaan macam apa ini?
"Gag ...." Sialan, suara Gagah malah tersangkut di tenggorokan.
"Gag gag apaan? Gagap?" Anin yang berbisik dengan menahan tawa. Ia menyikut lengan Gagah. "Nama lo, Bang. Malu-maluin!"
Gagah menggeleng pelan sebelum menetralkan tenggorokannya. "Gagah," ucapnya cepat lalu melepas jabat tangan mereka.
Gagah duduk, dan sepanjang malam di restoran itu ia hanya bisa menahan napasnya berkali-kali, mengatur detak jantungnya yang tidak bisa santai. Mengingat mimpi-mimpi sebelumnya yang menampakkan air mata Sava.
Terlebih Gagah seolah susah napas tiap kali mengangkat pandangan. Karena Sava, duduk tepat di hadapannya.
🐳🐳
😴
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top