4. Ghosting

Siang.

🐳🐳

Hadapi perempuan ngambek itu tidak ada ilmu pasti. Kalau ada kelas tentang bagaimana cara membujuk perempuan yang lagi ngambek sudah dipastikan Gagah mau membayar berapa pun.

Seperti kali ini, bukannya jelasin, Gagah malah garuk-garuk kepala saking bingungnya lihat Gadis ada di hadapan. "Dis."

"Udah meeting-nya?"

Sumpah, Gadis sama sekali tidak terlihat menyindir. Rautnya yang sendu itu benar-benar menunjukkan kalau Gadis memang bertanya. Tapi Gagah mengartikan hal lain.

"Iya, tadi aku baru selesai meeting terus ketemu sama temen."

Gadis mengangguk saja, menunduk sebentar. Mungkin meredakan keterkejutannya tadi melihat Gagah berduaan dengan perempuan lain.

"Maaf." Apa lagi memang yang bisa Gagah ucapkan? "Ke food court sebelah dulu ya. Sambil makan siang."

Tidak ada penolakan dari Gadis, bahkan saat Gagah untuk pertama kalinya meraih tangan perempuan itu untuk diajak berjalan pun Gadis tidak berusaha menghindar.

"Mau pesan yang mana?" tanya Gagah sembari berpindah ke sebelah Gadis. Ngapain juga tadi duduknya di seberang. Kacau memang pikirannya kalau lagi dihadapkan dengan perempuan. "Tinggal tunjuk."

"Aku udah makan."

Gagah mengernyit, ragu dengan jawaban Gadis. Tetapi saat Gadis mendongak menatapnya dengan senyum tipis, ia percaya kalau tidak ada kebohongan di sana. "Ya udah, minum aja?"

Gadis menjawab dengan anggukan. Gagah memanggil seorang pelayan sebelum menyebutkan dua jenis minuman. Ia kembali menghadap ke Gadis dan menghela napas pelan. "Umur emang nggak menjamin ya."

"Apa, Kak?"

"Umurku udah segini tapi tetep aja nggak tau gimana hadapin perempuan." Gagah meringis kecil. Ia tatap kedua mata Gadis dengan serius."Aku ada urusan tadi. Nggak cuma berdua sebenernya. Bertiga."

"Sama gelas?"

Gagah mengernyit, tapi lalu tertawa. Gadis itu unik, bisa-bisanya ucapannya seolah cemburu tapi diucapkan dengan begitu lembutnya. Suaranya itu bikin hati Gagah adem. "Bertiga sama temenku satunya. Lagi di toilet tadi. Mau bukti?"

Walau Gadis tidak mengiyakan tapi Gagah tetap mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon Ilham lagi, kali ini di-loadspeaker. "Ham, udah dari toiletnya?"

"Toilet? Siapa yang dari toilet? Lo ngelindur?"

Seketika Gagah membelalak. Ilham kesurupan di toilet kali ya? Bisa-bisanya tadi bilang apa sekarang bilangnya beda lagi!

"Tadi kan lo—"

Terdengar tawa di seberang sana. "Iya, gue baru balik dari toilet. Udah lagi sama Sava. Kenapa? Udah selesai kan urusannya?"

"Udah," jawab Gagah sedikit sebal. Soalnya Gadis langsung memalingkan wajah darinya saat dengar ucapan Ilham tadi.

"Oke, have fun sama cewek lo. Tadi gue liat. Terus titip pesan buat cewek lo, sorry gue tinggal bentar tadi ke toilet jadi Gagah dikira berduaan doang. Tenang aja, jangan raguin temen gue itu, oke?"

Syukurlah Ilham memang jadi ilham untuknya. Awas saja kalau ucapannya nyeleneh lagi.

Langsung Gagah mematikan panggilan. Bisa gawat kan kalau obrolannya makin melantur? Lebih mending berduaan sama Gadis daripada mikir hal lain.

"Maaf nggak bilang ke kamu," ucap Gagah lagi. "Aku cuma bentar urusan sama mereka. Nggak ada lima menit tadi."

"Iya." Jawaban Gadis singkat seperti biasa, seolah lupa kalau hal yang dilihatnya tadi sempat membuat air matanya hampir luruh. Hal yang tidak bisa Gagah jabarkan bagaimana perasaan perempuan itu sebenarnya.

"Gimana kuliahnya tadi? Eh, kamu ke sini sendirian?" Sepertinya Gagah baru ingat tentang alasan kenapa Gadis ada di sana.

"Sendiri, Kak." Gadis terlihat menyembunyikan tasnya membuat Gagah curiga.

"Abis beli sesuatu?"

Gadis memang jarang berbohong, jadi ia mengangguk saja tanpa berniat menjelaskan.

"Beli ikan?"

Kali ini Gadis mengernyit, lalu tersenyum. "Enggak. Beli kado buat adikku."

"Ulang tahun?"

"Iya, minggu depan."

"Aku nitip kado kalo gitu."

Gadis mendengus. "Aku harus jelasin apa kalo mereka tanya kado dari siapa?"

"Loh, kamu belum cerita ke adikmu kalo punya pacar yang penggemar ikan?"

Kali ini Gadis tertawa mendengarnya. "Adikku bukan penggemar ikan, Kak."

Gagah bersandar santai di kursi, satu tangannya terulur untuk ditempatkan di sandaran kursi yang diduduki Gadis. "Yang SMP atau SMA?"

"SMA."

"Aku tebak, seragam sekolah?"

"Bukan."

"Tas?"

"Bukan."

"Sepatu?"

"Bukan juga."

"Baju."

"Bukan."

"Bolpen? Penghapus? Pensil alis?"

"Masa pensil alis." Gadis terkekeh. "Adikku cowok semua. Kamu lupa?"

"Nggak lupa. Kamu mau pulang emangnya?"

"Enggak, Kak. Aku paketin."

Gagah mengangguk. "Pulang aja mau? Aku antar."

"Kamu kerja, aku kerja."

"Aku bisa cuti. Kamu juga kan?"

Gadis diam. Baginya, jika pulang akan menghabiskan ongkos yang terlalu besar. Tabungannya belum cukup untuk itu. Nanti ia akan pulang jika dirasa waktunya tepat.

"Atau mau ke rumahku dulu, Dis? Aku udah ceritain kamu."

"Nggak kecepetan ya?" Gadis mengernyit.

"Lebih cepat lebih baik."

Pelayan datang setelah itu, membawa dua gelas minuman yang Gagah pesan. Refleks Gadis yang menarik minuman agar lebih dekat dengan tempat duduknya membuat tas yang ada di pangkuan terjatuh ke lantai.

Gagah bertindak lebih dulu, tepat saat Gadis baru termenung menyadari bahwa Gagah meraih sebuah kertas yang mengintip dari dalam tas.

"Kamu beli hp?" Gagah menyuarakan keterkejutannya melihat sebuah nota pembelian dua buah ponsel. "Dua?"

Gadis segera menarik kertas itu dari tangan Gagah. Tidak lupa ia ambil tas di lantai dan mengeluarkan kotak yang bahkan belum ia buka sama sekali. "Aku tau hp-ku rusak, Kak. Aku emang niat ganti tapi belum sempat. Ini baru sempat beli. Jadi hp dari kamu—"

"Dis." Gagah memotong perkataan perempuan itu, sangat mengerti niat Gadis yang ingin mengembalikan ponsel pemberiannya.

"Kamu nggak bilang beliin aku ini." Gadis menatapnya serius meski begitu pendar matanya tidak menunjukkan kemarahan. "Kemarin ada yang anter ini buat aku. Bener dari kamu kan?"

Tidak hanya satu hal itu yang Gagah lakukan dalam diam sebenarnya. Ia menitipkan sedikit tambahan lewat Bagus dengan dalil bonus gaji. Tentu saja nominalnya tidak terlalu besar, tapi tidak bisa dibilang sedikit juga. Agar Gadis tidak curiga. Tapi tetap, Gagah tidak mengatakannya.

"Nggak baik kalo dibalikin," kata Gagah, mendorong lagi kotak ponsel itu ke hadapan Gadis.

"Aku udah beli sendiri."

"Tapi—"

"Iya aku tau spesifikasinya beda jauh. Tapi ini hasil kerjaku sendiri."

"Dis, aku udah bilang mau menanggung hidup kamu. Adik-adik kamu."

"Kita bukan siapa-siapa."

"Iya." Gagah tahu posisinya sekarang. "Kenapa nggak kita buat jelas aja hubungan kita? Biar nggak ada rasa nggak enakan kayak gini. Atau sekalian aja terima ajakanku buat nikah. Aku berusaha buat jadiin kamu tanggung jawabku."

"Aku nggak mungkin nikah sama orang yang cuma kasian sama aku kan?"

Astaga. Gagah mengusap wajah dengan kasar. Bisa-bisanya Gadis berpikir begitu. "Kamu nggak yakin sama aku?"

"Aku yakin kamu orang baik. Tapi kamu udah tau niatku buat ke arah sana masih jauh banget. Aku nggak mau nikah karena limpahin tanggung jawabku ke kamu. Aku bisa lakuin itu sendiri."

Gagah sepertinya sudah menyinggung Gadis. Jadi ia menghela napas dengan kasar. "Maaf. Aku nggak akan bahas itu lagi. Tapi hp itu, tolong diterima ya. Aku janji nggak beliin tiba-tiba tanpa bilang ke kamu lagi."

"Aku udah ada dua, Kak. Satu emang buat adikku. Satunya buat aku sendiri."

"Kasih ke adikmu semua yang kamu beli. Kamu bisa pake hp dari aku. Aku nggak tau mau kasih hp ini ke siapa kalo kamu nggak nerima, Dis."

Gadis menyeruput minumannya dalam diam beberapa saat. Ia lalu menoleh ke Gagah yang menunggu jawabannya. Akhirnya ia mengangguk saja.

Gagah terlihat lega lalu ikut meraih minuman di meja. "Hari ini libur kerja kan? Mau jalan-jalan? Atau mau ke rumahku lihat ikan-ikan, eh tapi kamu bosen lihat ikan ya, di tempat kerja lihat ikan, di kos lihat ikan, ke rumahku lihatnya ikan."

"Kapan-kapan aja ya. Aku mau istirahat."

Gagah mengernyit kali ini, "Kamu masih marah?"

Gadis menatapnya dengan tatap bertanya. "Marah kenapa?"

Bisa tidak ya perempuan bilang saja kalau lagi marah. Gagah jadi pusing sendiri jadinya. Bilang tidak marah tapi gesturnya menunjukkan kebalikan.

"Nggak mau ke rumahku?" tawar Gagah. Ia ingin menunjukkan ke perempuan itu kalau ia benar serius untuk ke depannya.

"Belum dulu." Gadis terlihat tergesa, lalu menghabiskan minumannya. "Aku mau pulang, Kak. Kamu juga harus balik kantor kan?"

Gagah benar-benar yakin kalau Gadis memang marah sekarang.

***

"Ikan, lo tau nggak?" Gagah menarik kursi untuk duduk di depan akuarium. Kedua tangannya diletakkan di meja untuk menyangga dagunya sendiri. "Kenapa ya Gadis udah nggak bales chat gue?"

Tepat saat itu denting jam berbunyi menunjukkan pukul 9 malam.

"Gue keliatan cowok berengsek kali ya? Padahal kan udah nggak."

Gagah mengakui masa mudanya tidak bisa dibilang laki-laki baik. Banyak pacar makin famous kalau di masa muda. Tapi kan itu jelas-jelas hanya untuk hubungan sesaat. Mereka-mereka juga tahu itu. Sekarang, saat ia niat serius malah dibilang terlalu pemilih.

"Ya gimana nggak milih nyari ibu buat ikan ya?" gumam Gagah lagi, mengetuk pelan kaca akuarium membuat ikannya kaget. Ia terkekeh pelan. "Padahal gue udah jadi bapak ikan yang baik kan? Buktinya kalian nggak pernah protes gue apa-apain juga."

Gagah garuk-garuk kepala kali ini. "Pusing amat mikir cewek ya. Masa gue di-ghosting sama Gadis?"

Menatap ke arah jam di dinding, Gagah akhirnya beranjak. Ia mengambil kunci mobil dan berhenti di depan pintu. Berbalik lagi ambil kunci motor.

"Ngapain sih lo bolak-balik, Bang?"

Gagah berdecak sebal lihat Anin sudah duduk di ruang tengah. "Benci banget gue kalo harus milih di antara dua pilihan."

"Apa? Lo dideketin dua cewek?"

"Bukan," sentak Gagah. "Daplun apa gembluk?"

"Astaga, cuma pilih kendaraan doang."

"Dua-duanya berharga."

"Dipake gantian kan bisa, Bang. Malem gini pake si motor aja. Nggak panas inih, nggak banyak debu. Lagian lo aneh-aneh, pilih kendaraan bingungnya kayak pilih calon istri."

Gagah menunjuk Anin. "Awas kalo si daplun kecewa karena saran lo ya."

"Aneh lo, Bang. Mau jemput pacar kan lo? Cepet sana, ntar ngambek kalo telat."

"Dia bukan lo."

"Enak aja gue mana ngambekan kayak mantan-mantan lo."

Diingatkan sama mantan memang menyebalkan. Gagah pernah punya mantan yang cemburuannya akut banget. Masa antar adik sendiri aja dimarahinnya tujuh hari tujuh malam. Langsung saja Gagah putusin. Tidak sayang keluarganya sama saja tidak bisa menghargai Gagah sebagai laki-laki.

Dan sampai sekarang memang Gagah belum menemukan perempuan yang cocok, tepat, tidak merasa cemburu meski terkadang Gagah butuh waktu sendiri bersama keluarga. Belum ada. Ia berharap banyak pada Gadis, tapi perempuan itu sekarang malah tidak ada kabar.

Gagah berpamitan sebelum menaiki motornya. Tidak seperti biasanya, kali ini Gagah mengendarai motor lumayan cepat. Ia masih mengiyakan waktu minggu lalu Gadis bilang jangan setiap hari menjemput. Tapi kok malah bablas sampai seminggu begini ia dilarang berkunjung.

Apa Gagah sudah melakukan kesalahan? Apa Gadis tidak cukup memercayainya?

Tentu saja sampai di depan toko ikan punya Bagus tidak langsung menemukan sosok Gadis. Hanya tinggal menunggu beberapa menit sampai ia lihat Gadis berjalan keluar, menutup pintu. Perempuan itu sempat membeku di tempatnya.

"Jangan bilang udah pesen ojol." Suara Gagah terdengar serius.

Gadis langsung menggeleng. "Belum."

"Naik kalo gitu." Gagah menoleh ke belakang, mempersilakan Gadis memboncengnya.

Di perjalanan juga tidak ada yang bersuara padahal sebelum ini pasti ada percakapan meski singkat dan tidak jelas. Gagah menghentikan motor di depan gerbang kos Gadis.

"Masih mau menghindar?" tanya Gagah setelah ikut turun dari motor.

"Aku udah bilang di chat kan waktu itu." Gadis menunduk.

"Nggak, aku nggak baca. Kalau ada apa-apa omonginnya langsung bukan lewat chat."

Melihat Gadis menunduk dengan kedua tangan yang ditautkan membuat Gagah mendekat dan menumpukan telapak tangannya di puncak kepala perempuan itu. "Kenapa bilang nggak usah sering jemput, nggak usah sering chat? Aku ada salah?"

Gadis menggeleng. "Bukan kamu yang salah. Aku sendiri."

"Kamu salah apa, Dis? Matiin ikan apa gimana? Takut bikin aku marah?"

"Kak." Gadis mendongak, melihat wajah Gagah di remang malam itu. "Kenapa nggak bilang kalo bosku itu calon adik ipar kamu?"

Gagah mengernyit. "Kenapa harus bilang?"

"Gaji terakhirku ... kamu yang nambahin?"

Astaga, jadi itu?

"Aku nggak biasa bergantung sama orang lain," kata Gadis pelan.

"Maaf, aku salah. Aku udah janji nggak akan ngelakuin hal tanpa bilang ke kamu kan?"

"Iya." Gadis menunduk sebentar lalu membiarkan saat tangannya digenggam. "Aku pernah ngerasa bergantung ke orang dan waktu orang itu pergi, aku jadi nggak bisa apa-apa."

"Aku nggak akan kayak orang itu."

"Aku percaya." Gadis memang percaya Gagah serius dengan ucapannya. "Aku yang nggak bisa. Nggak siap."

"Nggak siap?"

"Kamu tahu keadaanku. Aku nggak siap buat mikirin hal selain adikku dan hidupku sendiri."

"Kamu anggap hubungan kita beban buat kamu ya?"

Gadis tidak mengiyakan, tidak juga membantah. "Ekspektasiku ke kamu yang bikin aku terbebani, bukan salah kamu, Kak. Sebaik apa pun kamu pasti ada saatnya aku ngerasa kecewa, kemarin aja lihat kamu sama perempuan lain walaupun aku udah tau kenyataannya, rasanya udah sakit. Apalagi hal lain. Aku nggak yakin buat sekarang."

"Kalo gitu aku berusaha benerin sikapku. Kamu mau kita lebih jarang komunikasi, aku turutin. Asalkan nggak kayak gini. Kalo kamu sendirian, siapa yang tahu kalo kamu sakit? Siapa yang bisa peluk kamu waktu kamu pengin ada temen? Siapa yang jadi tempat kamu cerita kalo kamu lagi seneng atau sedih?"

"Aku biasa sendiri."

"Sekarang jangan ngerasa sendiri."

"Aku nggak siap buat itu, Kak. Mikirin aku sama adik-adikku udah cukup banget, aku belum siap buat mikir hal lain termasuk hubungan sama laki-laki. Kamu ngerti kan?"

Gagah menatap keseriusan dalam tiap raut wajah Gadis. Ya Tuhan, perempuan itu memang serius. Dan ia tidak bisa memaksa. Gadis mungkin tidak sanggup menanggung perasaan lain karena hidupnya memang sudah sangat berat. Perempuan itu memilih berdiri sendiri untuk saat ini daripada membagi luka itu padanya.

"Kalau nanti kamu udah siap." Gagah memberi senyum kecil. "Kamu bisa bilang ke aku. Kamu cukup minta aku buat nunggu kamu, aku pasti lakuin itu."

Gadis menggeleng. "Aku nggak tau. Kamu nggak perlu nunggu. Buat sekarang aku mau fokus ke keluargaku aja. Makasih banget kamu udah banyak luangin waktu buat aku. Kamu laki-laki baik. Pasti ada perempuan yang udah siap buat kamu."

Gagah tidak menjawab kali ini. Kecewa? Pasti. Ia sudah menawarkan sandaran untuk Gadis tetapi perempuan itu menolaknya. Ia sudah berpikir banyak tentang masa depan mereka. Ia suka kepribadian Gadis yang lugu dan apa adanya. Mandiri dan tidak suka bergantung pada orang lain.

"Buat semua yang kamu kasih ke aku—"

"Jangan." Gagah menghentikan gerakan Gadis yang seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Aku ikhlas ngasih itu buat kamu. Jangan dibalikin ya."

"Tapi—"

"Kamu jangan anggap aku kayak laki-laki perhitungan yang abis putus malah minta dibalikin barang-barangnya." Gagah terkekeh.

"Kamu nggak perhitungan," sentak Gadis. Ia tidak bermaksud begitu.

"Kalo gitu jangan dibalikin."

Gadis menatapnya sendu. "Makasih banyak."

Gagah mengingat-ingat wajah di hadapannya. Gadis itu cantik, kelihatan kalem dan anggun. Kalau hidup sama perempuan itu pasti Gagah tidak ada bosannya sama sekali. Ia suka lihat Gadis tersenyum. Terlihat rapuh padahal hatinya sekuat itu.

"Aku berharap banget kamu berubah pikiran," bisik Gagah. Ia tidak pernah memperjuangkan perempuan sampai meminta agar ia diberi kesempatan seperti ini. Tapi memang Gagah khawatir, sangat, kalau-kalau Gadis berjuang sendirian dengan hidupnya.

"Nggak, Kak. Nggak tau sampai kapan aku bisa siap buat berhubungan sama laki-laki."

Gagah mengembuskan napas pelan. Ya sudah kalau begitu. "Hati-hati, jaga pola makan sama tidur. Jangan sampai sakit lebih parah dari kemarin."

Gadis mengangguk walau terlihat sekali kedua matanya berkaca. "Iya. Kamu juga."

"Kamu yakin, Dis? Bilang kalo belum yakin, aku pasti nunggu."

"Yakin, Kak. Kamu nggak perlu nunggu aku."

Gagah bukan tipe lelaki yang bisa berbalik ke belakang. Makanya ia ingin memastikan. Karena jika Gadis sudah yakin, ia akan berjalan sendiri mulai sekarang.

"Aku ... masuk dulu," pamit Gadis, segera berbalik.

Gagah duduk di jok motor, memandangi punggung Gadis yang menjauh. Sial, kenapa kisah cintanya selalu kandas di tengah jalan begini? Ia mengeluarkan ponsel dan mengusap sebuah foto di sana.

Apa gara-gara ia tidak memperlakukan ikan-ikannya dengan baik?

🐳🐳

Gara-gara nyisikin babi, Gah. Lu tau gakse?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top