30. Cintanya Totalitas

Dateng lagi nih Gagah sama Sava biar debunya nggak banyak² amaddd🤧

Btw, nanti malam (3-1-2022) pukul 20:00, rencananya mau ada tebak² berhadiah edisi tahun baru yang udah lewat 2 hari (maklum baru sempat) wkwk. Di instagram @dsmumus yap. Bukan give away sih, cuma asyik²an aja.

Okelah selamat membaca teman-teman.

🐳🐳

"Badan doang gede. Beraninya lo boongin gue. Pantes panggilan lo Kamboja, kampret boja lo ya!"

Kamboja yang mendengar kalimat menggebu itu dari Gagah hanya tersenyum dan menyatukan dua telapak tangan jadi satu, tanda meminta maaf. "Maafin saya ya, Pak Gagah, Bu Sava."

"Nggak apa-apa, Ja." Sava menjawab santai.

Gagah langsung melotot mendengar jawaban Sava. "Kamu maafin Boja?"

Sava mengedikkan bahu. "Aku udah bilang nggak usah diperpanjang. Boja baik." Ia menoleh ke Kamboja lagi. "Happy wedding ya, Boja dan istri."

"Nggak nggak nggak." Gagah menggeleng. Ia beralih ke istrinya Kamboja sekarang. "Masih ada waktu buat kabur, kamu pasti dipaksa nikah sama si bunga kuburan ini kan? Kalau iya, saya sama Sava bisa selamatkan kamu sekarang juga," katanya serius.

Tanpa disangka, istrinya Kamboja tersenyum. Sava dan Kamboja terbahak mendengarnya.

"Saya nggak paksa dia, Pak Gagah," jelas Kamboja. "Atau Pak Gagah cemburu saya udah menikah? Kalau gitu—"

"Astaga, stop, gue nggak mau denger lanjutannya," elak Gagah. Bisa-bisa ia mimpi buruk lagi sama bunga kuburan.

"Iya, saya nggak dipaksa."

Tambahan dari istrinya Kamboja itu langsung membuat Gagah berdecak kesal, merasa kalah. "Suami kamu ini, terlalu mendalami peran pura-pura suka sama saya. Dia bikin saya kena mental. Nggak nafsu makan, nggak nafsu tidur, nggak nafsu liatin ikan lagi. Harusnya Kamboja kena pasal penganiayaan ikan."

"Kok ikan, Gah?" tanya Sava bingung.

"Ya karena dia, aku nggak ngasih makan ikan-ikan, Sav. Ikannya pada sakit waktu itu. Untung ikannya nggak nuntut. Coba kalo nuntut, Kamboja nggak jadi nikah tuh."

Sava tertawa mendengarnya. Ia menarik lengan Gagah dan memeluknya pelan.

"Saya seneng Bu Sava udah bahagia," kata Kamboja.

Gagah kembali fokus ke pasangan suami istri yang duduk di seberangnya. Acara menikah Kamboja dan istri memang tidak ada resepsi, hanya dekorasi sederhana untuk mengabadikan momen, namun saat ini acara sudah selesai dan ada waktu untuk berbincang.

"Makasih ya, Ja," kata Sava tulus.

"Sama-sama, Bu." Kamboja menjawab lagi.

"Sebenernya gue kesel sama lo." Gagah giliran berkata. "Tapi ya itu, lo emang udah berjasa jagain istri gue waktu dulu. Thanks, Ja."

"Sama-sama, Pak. Hadiahnya mana?"

Gagah melotot, teringat dulu Kamboja menggodanya meminta hadiah nomor biar bisa menghubunginya katanya. "Gila lo, Ja."

"Saya bercanda, Pak. Bapak Gagah emang gemesin begitu ya kalau marah. Pantesan Bu Sava cinta mati."

"Jangan sekali-kali lo bilang gue nggemesin, Ja. Geli gue dengernya!"

Malah Kamboja berkedip. "Mau saya tambah gelinya nggak, Pak?"

"Inget istri lo, Kamboja kampret!"

"Istri saya ngebolehin kalau saya punya suami kayak Pak Gagah."

"Aku juga ngebolehin, Gah, kalau kamu mau sama Boja." Sava menambahkan.

"Astaga!" seru Gagah. Suaranya lebih keras dari sebelumnya. Ia memasang wajah memelas ke Sava. "Masa kamu restuin, Sav. Suami udah setia gini malah disuruh berpaling apalagi ke laki-laki."

Sava tertawa. Ia memeluk lengan Gagah makin erat dan mengecup bahu lelaki itu. "Nggak, Gah. Kamu cuma boleh buat aku."

"Gitu dong, Sayang." Gagah menoleh dan mengecup puncak kepala Sava. Satu tangannya terulur dan memeluk pinggang Sava agar duduk makin dekat dengannya.

"Yah, kalau Bu Sava udah nggak merestui berarti saya mundur aja," kata Kamboja.

"Mundar mundur, siapa juga yang nyuruh lo maju," dengus Gagah.

"Udah, Gah. Kesel terus sih sama Boja." Sava terkekeh. "Nggak pernah akur."

"Kalo akur, aku bisa diserang, Sav. Laki-laki masa dirusak, dijaga dong."

"Iya iya." Sava memilih mengiyakan.

"Saya beneran bahagia lihat Bu Sava yang sekarang sejak sama Pak Gagah," kata Kamboja lagi. Kali ini ekspresinya lebih tulus.

Gagah langsung menunduk menatap Sava. Kalau Kamboja sampai sebahagia itu lihat Sava yang sekarang, artinya Sava yang dulu begitu menyedihkan ya? Gagah tidak sanggup membayangkan semenderita apa Sava dulu.

"Makasih sekali lagi, Ja. Lo udah jaga Sava." Dan kali ini, Gagah mengatakan dengan tulus juga.

"Sama-sama, Pak."

"Sebagai hukuman karena lo udah berani boongin gue." Tatap Gagah menajam. "Lo nggak bisa resign gitu aja."

"Siap, Pak. Saya juga udah mikir panjang. Saya nggak sendiri lagi, jadi saya nggak boleh main keluar masuk pekerjaan begitu aja."

"Lo nyindir gue yang resign ya?"

Kamboja terkejut. "Bukan gitu maksud saya."

Gagah mendengus sebal. "Lo udah bikin gue kesel lagi, Ja. Hukumannya, lo harus mau tinggal di apartemen gue sebelumnya yang sama Sava. Kami mau pindah minggu depan."

"Pak?" Kamboja terkejut luar biasa.

"Lo pikir gue pengangguran nggak ada duit ha?" Gagah tidak terlihat benar-benar marah, nada bicaranya juga santai dan terlihat dibuat-buat kesalnya. "Salah siapa lo rendahin gue. Tinggalin tuh kontrakan lo dan pindah ke apartemen gue. Rasain, emang enak disuruh pindah-pindah?"

"Pak, saya minta maaf." Kamboja panik sekarang, walau ia tahu Gagah tidak beneran marah. Ia hanya tidak enak hati atas tawaran apartemen itu.

"Lo tau nggak sih amplop dari gue sama Sava isinya berapa?" malah Gagah bertanya hal lain.

Kamboja tatap-tatapan dengan istrinya, lalu menggeleng bersamaan.

Gagah berdecak. "Buka dulu."

Istri Kamboja yang tadi menerima amplop dari Sava segera berjalan ke arah kamar dan keluar dari sana dengan amplop bertuliskan Gagah dan Sava.

"Boleh saya buka?"

Sava menjawab, "Iya, buka aja nggak apa-apa kok."

Gagah menunggu sepasang pengantin baru itu membuka pelan-pelan amplop pemberiannya. Saat sudah terbuka, ia dapati raut keterkejutan yang sangat.

"Itu keycard apartemen," jelas Gagah meski tahu Kamboja dan istri sudah bisa menduga. "Tolong diterima ya. Awalnya Papa yang mau kasih hadiah rumah buat lo, Ja. Tapi gue sadar bahwa gue yang lebih pantes ngasih. Soalnya lo beberapa tahun terakhir ditugasinnya jaga Sava. Dan lo berhasil."

"Tapi, Pak—"

"Karyawan Papa yang lain, yang kerjanya udah lama banget juga udah dibeliin rumah. Lo tau kan? Tapi khusus lo, ini dari gue. Bukan cuma lo udah bertahun-tahun kerja sama Papa, tapi karena jasa lo yang nggak mengkhianati kepercayaan buat jagain Sava. Nggak semua laki-laki jujur, Ja. Dan lo bela-belain ngaku diri lo nggak suka cewek biar nggak bikin Sava takut. You deserve it."

"Waktu saya dengar Bu Sava teriak itu, saya sebenarnya tahu kalau Bu Sava sedang dipukuli oleh Jev. Tapi saya pura-pura nggak tau karena Bu Sava bilang jangan kasih tau siapa-siapa demi Bu Sava sendiri, Pak. Saya pun nggak berani bilang ke Pak Aji. Padahal waktu itu saya lihat jelas lehernya lebam. Bagian betis juga. Mungkin di banyak tempat. Tapi Bu Sava pintar menyembunyikan dari Pak Aji. Saya baru berani bilang sekarang ke Pak Gagah. Maafin saya, Pak."

Kalimat itu Gagah dengar kemarin, itu pun lewat pesan suara yang Kamboja kirimkan karena katanya merasa bersalah dulu sempat keceplosan bilang ke Gagah perihal jeritan Sava, namun malah tidak menceritakannya lebih lanjut.

Tidak ada suara apa pun setelah itu. Kamboja terlihat menimbang-nimbang keputusan dengan cara bertatapan dengan istrinya. Tapi kemudian, dengan senyum dan kalimat tulus, Kamboja berkata, "Iya, Pak Gagah. Makasih banyak pemberiannya."

"Jangan berhenti jadi orang baik ya, Ja," kata Gagah. "Istri lo pasti bangga."

Kamboja tersenyum mendengarnya.

"Tapi aku punya hadiah satu lagi," kata Sava menggebu, bahkan sampai melepas pelukan Gagah.

"Apa, Bu?" tanya Kamboja penasaran.

"Masih ada di mobil."

"Kamu bawa apa, Sav?" tanya Gagah bingung. "Perasaan tadi nggak bawa kado lain."

"Aku taruh di bagasi, Gah."

"Apa?"

"Ikan. Pokoknya Boja harus punya ikan juga."

"Ya ampun, Sav." Gagah menepuk dahinya sendiri pelan.

Kamboja tertawa. "Memang begitu, Pak. Kalau Bu Sava cinta. Sampai kesukaannya Pak Gagah aja ikut Bu Sava cintai."

Iya, Gagah baru sadar kalau cintanya Sava itu totalitas banget.

***

"Gah ...." Sava memanggil di tengah tidurnya yang terbangun karena merasakan gerakan Gagah di sebelahnya.

"Hm?"

"Kamu kenapa?" Sava bergeser mendekat ke Gagah. Sedari tadi bahkan suaminya seperti tidak nyenyak tidur. "Susah tidur ya?"

Gagah bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Tatapnya menoleh ke kanan kiri. Ia sedang ada di rumah kakeknya. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat. Umur pernikahan mereka menginjak dua tahun. Dan selama itu juga, ia sudah tidak lagi serumah dengan keluarga. Yang berarti juga, ia melewatkan beberapa momen kebersamaan dengan adiknya.

"Anin mau nikah," gumam Gagah dengan suara berat.

Sava mengerti kegundahan itu. Ia ikut bangkit dan duduk di samping Gagah.

"Mungkin aku belum jadi abang yang baik buat dia. Sering bikin dia kesel. Gagal lindungin dia dari cowok yang nyakitin dia waktu dulu."

Baru pertama Sava melihat Gagah seemosional ini. Ia mengerti sebesar apa rasa sayang Gagah ke adiknya. "Kamu abang yang baik banget."

"Oh ya?" Gagah menoleh dan meragukannya. Seolah ingin memastikan ucapan Sava benar atau tidak.

"Iya. Kalo aku lagi sama Anin, dia sering cerita tentang kamu kok. Sesayang itu dia sama kamu, pasti karena kamu abang yang hebat bagi dia."

Gagah menghela napas pelan. "Semoga dia nggak pernah nyesel ya punya abang kayak aku."

"Nggak akan nyesel, aku yakin." Sava mendekat dan memeluk Gagah, mencoba menenangkan. "Mau aku temenin ketemu Anin?"

"Masih tengah malem."

"Kayak nggak tau aja, cewek kalo rias itu dari jam segini, Gah. Dulu aku juga. Kamu enak, pagi baru dirias."

Gagah duduk tegak sekarang. "Beneran dia udah bangun ya?" gumamnya.

"Iya. Ayo, aku temenin samperin."

Gagah setuju. Mereka turun dari tempat tidur. Kamar yang mereka tempati memang yang ada di paling belakang. sedangkan kamar rias yang digunakan ada di depan ruang tamu.

"Aku tunggu di sini," kata Sava menunjuk sofa. Meski ada beberapa orang yang sudah ada di belakang menyiapkan makanan tadi, tapi di bagian depan memang masih sangat sepi.

Gagah mengangguk menyetujui. Ia mengetuk pintu dua kali. Tanpa pikir panjang langsung masuk karena sedari awal memang pintu tidak sepenuhnya tertutup.

"Eh, Abang," sambut Anin melihat kedatangan Gagah. "Gue udah rapi mau siap-siap malah lo masih pake piyama, lagi."

Gagah tidak menjawab dan duduk di samping Anin yang menatap cermin.

"Gue deg-degan nih, Bang. Mau jadi istri orang."

Mendengar itu makin membuat perasaan Gagah campur aduk. Ia mendekat dan pelan-pelan memeluk adiknya. "Iya, lo mau jadi istrinya Bagus."

"Seneng nggak, Bang?"

"Kalo lo seneng, gue ikut seneng."

"Tumben jawabnya waras," kekeh Anin, meski begitu tidak berniat melepas pelukan kakaknya.

"Maafin gue ya, Nin, kalo gue belum jadi abang yang baik."

"Kita udah kayak gini juga waktu lo mau nikah sama Kak Sava loh, Bang."

"Ngerasa kurang aja," jawab Gagah. "Ternyata gini rasanya ya liat adek gue nikah."

"Lo susah tidur pasti ya?"

"Iya."

"Rasain, dulu lo nikah juga gue susah tidur. Gantian lah. Enak aja gue doang."

Gagah terkekeh mendengarnya. "Lo nangis juga nggak, Nin?"

Anin sontak melepas pelukan dan menatap Gagah yang sudah nangis. "Astaga, iya dulu gue nangis. Tapi kan gue cewek, Bang. Masa iya lo juga nangis gini sih. Malu sama Kak Sava lah entar."

Gagah malah sesenggukan. "Kalo lo nikah, berarti nggak ada alasan Bagus ngasih gue ikan gratis dong."

"Kok gitu?"

"Dulu kan dia ngasih karena ambil hati gue biar direstuin sama lo. Kalo udah nikah, nggak bakal dia mau ngasih-ngasih."

"Ya udah ntar gue yang ngasih deh. Gue bujuk dia biar ngasih ke lo tiap bulan. Gimana?"

Gagah terkekeh pelan. Ia mengusap wajahnya pelan lalu mengecupi kepala Anin dengan sayang. "Lo harus janji, lo akan bahagia sama Bagus."

"Janji, Bang. Dia pilihan gue."

"Lo juga harus nurut sama dia. Jangan membantah selama yang dia bilang itu hal baik."

Anin mengangguk. "Gue pasti inget kata-kata lo, Bang. Gue juga berharap lo bahagia terus sama Kak Sava. Seneng banget waktu tau ternyata Kak Sava bucin banget sama Abang gue. Ih, bisa gitu ya. Lo yang kayak gini kok dibucinin sama bidadari. Nggak cocok."

"Kurang ajar."

Anin tertawa. "Gue akan baik-baik aja, Bang. Jangan khawatir ya."

Gagah mengangguk. "Cuma keinget aja. Dulu lo ke mana-mana gue awasin. Hampir aja lo ikut ketangkep waktu boncengan sama mantan lo yang maling sandal. Abis itu gue nggak percaya sama pilihan lo."

"Giliran lo yang kurang ajar ya, Bang," dengus Anin sebal. "Waktu itu khilaf aja pilihnya. Abis itu kan gue nggak macam-macam."

"Di antara banyaknya cowok yang pacaran sama lo, gue cuma percaya sama Bagus."

"Oh ya?"

"Iya, soalnya rawat ikan aja dia bisa sampe gede-gede, apalagi jagain adek gue. Pasti telaten."

"Ikan lagi." Anin memutar bola matanya sebal.

"Sekarang Sava yang kecintaan banget sama ikan."

"Tapi nggak separah lo, Bang, yang nggak mau makan lauk ikan."

"Dia juga nggak pernah makan ikan sekarang, Nin."

"Hah?" Anin terkejut. "Itu mah bukan kecintaan sama ikan. Emang Kak Sava udah kecintaan sama lo banget."

Gagah tertawa. "Emang."

"Dia udah cinta kayak gitu jangan lo sakitin ya, Bang. Kalo ada apa-apa, gue nggak ada di pihak lo, tapi di pihak Kak Sava pokoknya."

Gagah mengernyit. "Parah, abang sendiri nggak dibela."

"Males bela lo. Gue ngerti kalo cewek udah sayang banget kayak Kak Sava itu nol banget kemungkinan bakal aneh-aneh. Kalo ada apa-apa berarti salahnya di lo. Titik."

"Iya iya. Gue nggak akan sakitin kakak tercinta lo itu."

"Ya udah sana, Bang. Gue mau mulai rias, itu tuh mbaknya udah dateng."

Gagah menoleh ke belakang dan memang benar ada dua orang perempuan memasuki kamar. Akhirnya ia berdiri. Sebelum benar pergi, ia berbisik di telinga adiknya. "Gue sayang lo, Nin. Jangan sampe gue liat lo sakit hati ya. Gue matiin si Bagus kalo berani nyakitin adek gue."

"Ya ampun. Iya, Bang. Dasar posesif."

***

"Ke mana, Gah?"

"Rahasia." Gagah mengedip sambil mengeluarkan motor dari garasi rumah kakeknya.

"Masih rame loh di rumah kakek kamu, masa kita pergi?"

"Udah selesai acara nikahannya, Sav. Pengantinnya juga udah bulan madu dan ke hotel tadi."

"Terus kita ke mana?"

"Jalan-jalan aja, Sayang. Sini naik."

Sava nurut dan akhirnya naik ke boncengan motor. "Motornya harus gede gini?"

"Adanya ini. Punya Mbah udah mati pajak. Itu yang kepala motornya geter kalo digas bentar aja."

Sava tertawa mendengar itu. "Ya udah, ini aja."

Meski boncengannya tinggi dan itu artinya Sava harus menjatuhkan tubunya ke arah depan. Kalau tidak, bisa pegal-pegal nanti punggungnya.

"Loh, kok ke hotel?" tanya Sava saat motor memasuki area parkir di sebuah hotel megah.

"Ikutan Anin sama Bagus malam pertama. Emang mereka doang yang bisa. Kita juga pengantin baru kok."

"Pengantin baru apanya." Sava memukul lengan Gagah sebal.

"Tadi diajak ke tempat budidaya ikan nggak mau."

"Kalo ke tempatnya langsung takut, Gah. Kalo ada ikan yang besar-besar gimana?"

"Oh, itu alasannya tadi sebel waktu aku bilang mau ke tempat budidaya ikan?"

Sava turun dari motor dan tidak menjawab pertanyaan itu.

"Aku udah booking, tinggal check in aja," kata Gagah saat mereka sampai di lobby.

Sava mengikuti langkah Gagah saat mereka sudah berjalan melewati lorong. Pintu sebuah kamar sudah Gagah buka dan Sava tersenyum melihat seisi kamar.

"Kamu udah pernah ngasih kayak gini waktu kita honey moon di Maldives, Gah."

"Kita ini juga honey moon lagi, Sayang." Gagah memeluk Sava dari belakang dan memperhatikan hiasan yang ada di kamar, belum lagi tempat tidur yang dihias sedemikian rupa.

"Dasar nggak mau kalah sama adiknya," cibir Sava.

"Iya dong." Gagah langsung memutar tubuh Sava agar menghadapnya. Ia amati wajah Sava dengan lekat hingga senyumnya meluruh, kini berganti dengan keseriusan. Ia tidak bohong kalau bilang Sava makin hari makin cantik.

"Apa kamu pernah bosan sama aku, Gah?" bisik Sava pelan. Tangannya kini meraba kemeja Gagah di bagian dada dan mulai melepasi kancingnya satu per satu.

"Nggak akan bosan."

"Aku takut kamu bosan."

Gagah tahu kekhawatiran itu. Perlahan ia mengangkat tubuh Sava dalam gendongan sebelum membaringkannya di tempat tidur. Bibirnya turun untuk mengecupi dahi Sava, lalu sampai di pipi. "Nggak boleh banyak berpikir kayak gitu. Nggak baik."

Sava menelan ludahnya susah payah, lalu mengangguk. Tangannya terulur ke belakang leher Gagah dan menariknya mendekat agar bibir mereka bertemu. Tidak hanya itu, ia bahkan membiarkan lidah mereka bertaut hingga mengantarkan dekapan yang semakin erat seiring kecupan yang terus menerus.

Gagah berpindah ke bagian telinga. Sava serius saat mengatakan melepas dua piercing-nya di sana. Memang benar, sekarang tersisa satu. Tentu saja bagian favoritnya ada di bawah. Tangannya menuruni perut Sava, menyingkap celana itu lalu menemukannya.

Gagah tersenyum menatap ekspresi Sava yang mulai sayu. Napas keduanya mulai menderu. "Aku suka banget yang di sini."

Sava mengerang dan menarik kembali tengkuk Gagah agar bisa ia raup bibir itu dengan ciumannya. "Gah." Suaranya bercampur dengan hasratnya yang menggebu liar. Gagah selalu sanggup membuatnya merasa diinginkan dan tentu saja ia juga menginginkan.

Namun sesaat kemudian, Sava teringat sesuatu. Ia berhenti dan menekan pelan dada Gagah yang sudah telanjang.

"Kenapa, Sav?" tanya Gagah bingung. Tatapnya sudah tidak fokus dan suaranya terdengar berat.

"Emangnya nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa gimana?" tanya Gagah bingung.

Sava menggigit bibir bawahnya pelan, terlihat ragu.

"Kenapa, Sayang?" tanya Gagah lalu bergeser ke samping, tidak lagi di atas Sava.

"Kemarin aku ke dokter."

"Kamu sakit lagi?" Gagah mulai khawatir.

Sava menggeleng. Ia menatap Gagah serius. "Gah, aku hamil lagi."

Awalnya Gagah diam, termenung. Namun saat tahu arti dari kalimat yang Sava ucapkan, senyumnya seketika terbit.

"Jadi aku tanya, apa nggak apa-apa, Gah? Aku takut."

"Nggak apa-apa kamu hamil lagi." Gagah menenangkan. "Tapi untuk berhubungan, kalau masih ragu dan belum tanya ke dokter, mending ditunda dulu. Aku nggak apa-apa kok."

"Maaf belum sempat bilang, kemarin aku panggil dokter ke kantorku sebelum kita ke sini."

"Iya." Gagah memeluk Sava erat. Tidak perlu dibesarkan masalah seperti itu. Dua tahun menikah dan Sava hamil lagi adalah suatu kebahagiaan.

"Apa anak kita kali ini baik-baik aja, Gah?"

"Pasti. Pasti baik-baik aja." Gagah mengusap pelan perut Sava. "Aku akan jaga kamu lebih baik dari sebelumnya. Kamu dan anak kita pasti baik-baik aja."

Sava mengakui ia tidak trauma dengan sebuah kehamilan. Ia percaya Gagah akan menjaganya. "Kalo ngidamnya aneh-aneh gimana, Gah?"

Gagah mengernyit, lalu terkekeh. "Demi anak dan istri, kalau ngidamnya minta aku panjat pinang sendirian juga aku lakuin."

Sava mendengus.

"Nggak sabar nunggu istriku ngidam."

"Aku takut kemauanku nanti memberati kamu."

"Nggak akan." Gagah berusaha menenangkan. Ia tahu Sava hanya mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Apa pun yang Sava minta, seaneh apa pun, tidak akan membuatnya marah. "Aku berusaha nurutin apa aja yang kamu mau."

Seperti biasa, bersama Gagah begini memang kerap membuat Sava terharu. Satu tangannya turun ke perut dan menumpukkan dengan tangan Gagah di sana. "Semoga anak kita mirip kamu aja, Gah. Biar baik, sabar, lucu."

"Astaga." Gagah tertawa mendengar itu. "Mirip kamu juga nggak apa-apa. Biar cantik, pinter, mandiri, tulus, nurut, nggak aneh-aneh anaknya."

Sava memeluk Gagah. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja mulai sekarang. Apa pun itu asalkan bersama Gagah, ia akan menjadi perempuan paling beruntung karena selalu dikuatkan.

"I love you, Gah. Kamu nggak akan bosen denger aku bilang ini kan?"

Karena Sava tidak akan bosan mengucapkannya untuk menebus kesalahan di awal pernikahan. Ia tidak mau merasa menyesal karena terlambat.

Tidak akan bosan, sampai maut yang membuat bibirnya berhenti mengutarakan.

🐳🐳

Sedih saat ... lagi cinta²nya nulis cerita ini tapi udah harus berakhir🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top