25. Nggak Mau Kalah
wkwk
🐳🐳
"Apa yang kamu lakuin, Jev?"
"Akhirnya kamu hubungi aku duluan, Sav."
"Apa yang kamu lakuin?" ulang Sava. Nada bicaranya sarat kekhawatiran.
"Aku nggak paham maksud kamu."
Sava terduduk di tepi tempat tidur, mengurut dahinya pelan saat menahan kemarahan. Tadi ekspresi Gagah berubah jadi pucat pasi, memakai baju dengan terburu-buru, dan berlalu tanpa berpamitan padanya. Sava bisa menebak saat ingat bahwa yang menelepon tadi adalah Bima.
"You okay, Sav? Apa kita perlu ketemu? Kamu keliatan nggak baik-baik aja."
"Kamu apakan suamiku?"
"Apa kamu beneran anggap dia suami?"
"Iya. Dia suamiku." Sava menegaskan kali ini.
"Kamu nggak pernah mau aku ajak nikah tapi kamu nikah sama orang lain, Sav? Are you cheating on me?"
"Aku udah bilang berkali-kali aku nggak selingkuh, Jev." Sava menahan luapan amarahnya kuat-kuat dituduh seperti itu. "Kita udah berakhir dan aku punya hak buat nikah sama laki-laki lain."
"Nggak, Sava yang aku kenal nggak kayak gitu."
"Iya, aku udah bukan Sava yang kamu kenal."
"Aku tau banget kamu cuma cinta sama aku, Sav. Dia ancam kamu sampai kamu mau? Atau dia mau bunuh kamu kalau nggak bersedia nikah? Atau dia malah kasar—"
"Gagah bukan kamu, Jev. Kamu nggak sadar yang kamu tuduhin malah diri kamu sendiri?"
Terdengar tawa di seberang sana. Sava kenal betul ini akan berakhir bagaimana. "Kamu sama gobloknya kayak Gagah. Iya, aku tuduh dia makan dana perusahaan. Kamu mau apa? Suruh aku berhenti?"
"Jev," gumam Sava tidak percaya. Ya Tuhan, detakan dadanya langsung terasa begitu kuat dan menyakitkan. "Kita udah bahas waktu kemarin ketemu. Kamu nggak akan bawa-bawa masalah pribadi kita ke perusahaan. Gagah nggak salah."
"Kamu yang pertama kali bawa dia di tengah kita, Sav."
"Aku nggak bawa dia ke masalah kita. Aku nggak pernah cerita apa-apa ke dia tentang kamu, tentang kejadian waktu itu, aku turutin semua biar kamu nggak nyakitin Gagah."
"Sebodoh itu kamu sekarang ya, Sav? Sampai belain laki-laki macam dia?"
"Jev, please. Gagah nggak salah." Sudah cukup Gagah sakit hati karena tindakannya kemarin, ia tidak mau lagi membuat Gagah kecewa.
"Kamu kenal aku dengan baik. Pasti tau kan aku nggak gampang dihasut?"
"Kalau kamu nekat, aku juga bisa bongkar semua di depan Papa, di depan orang tua kamu juga."
Bukannya takut, Jev malah tertawa lagi. "Seriously? Kamu mau menghancurkan keluargaku? Kamu mau bikin Papa sama Mamaku kecewa sama anaknya sendiri? Kamu benar-benar orang yang nggak tau balas budi ya, Sav."
Ya Tuhan. Tubuh Sava langsung terduduk lemas. Raut putus asanya terlihat jelas. "Apa yang kamu mau?"
"Kamu cuma boleh buat aku."
"Aku nggak bisa." Suara Sava mulai terdengar bergetar menahan marahnya. "Udah berapa kali aku bilang aku nggak bisa sama kamu lagi."
"Karena pernikahan? Kalau gitu kamu bisa minta cerai sama dia."
"Nggak, Jev. Aku nggak bisa sama kamu dan aku nggak mau."
"Oke, tunggu pertunjukannya kalau gitu."
"Please, Jev. Selain itu, apa yang kamu mau biar Gagah baik-baik aja?"
"Suruh dia resign."
"Oke." Sava langsung menyanggupi. Ia tidak peduli dengan apa pun lagi asalkan Jev tidak mengganggu mereka setelah Gagah resign. "Kamu janji nggak akan ganggu kami lagi?"
"Suruh dia resign dulu."
Sava segera mematikan sambungan telepon. Ia tahu Jev tidak semudah itu berhenti. Tapi ia memang akan lebih tenang jika Gagah tidak lagi sekantor dengan Jev karena ia tahu betul watak Jev seperti apa.
***
"Iya. Maaf, Gah. Saya harusnya lebih bisa cari tahu akar permasalahannya dulu sebelum menuduh kamu." Bima di atas kursi roda terlihat kelelahan sekaligus lega.
"Iya, Pak." Gagah ikut lega mendengarnya setelah menjelaskan panjang lebar. Ia tidak tahu kenapa dana itu sudah masuk ke rekening pribadinya, tapi ketika itu juga ia memberi pembelaan pada Bima dengan bukti-bukti yang kuat.
"Nanti saya kasih peringatan ke bagian keuangan," kata Bima lagi. "Itu kesalahan fatal. Bukan cuma merugikan perusahaan, tapi juga merugikan orang kepercayaan saya."
Gagah mengangguk sopan. "Saran saya, pakai auditor internal karena ini perusahaan besar, Pak. Agar pengendalian laporan keuangannya lebih efisien ditinjau."
"Iya, saya setuju. Nanti segera saya usulkan. Saran kamu selalu berguna untuk perusahaan ini. Saya lega bukan karena uang perusahaan aman, tapi lebih karena tahu bahwa kamu bukan pelakunya."
Gagah tahu sebaik itu Bima sebagai atasan. Bukan takut kehilangan uang miliaran, justru khawatir jika ia adalah yang melakukan. Tidak heran sebenarnya. Karena Gagah merasa dirinya amat dipercaya oleh Bima. Pasti sekalinya melakukan kesalahan besar, bosnya akan sangat kecewa.
Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Jev berjalan mendekati Bima dan duduk di sebelahnya. "Gimana, Pa?"
Bima menghela napas pelan. "Nanti tolong cari tahu ke bagian keuangan, Jev. Papa yakin bukan Gagah orangnya."
Jev mengernyit. matanya melirik tajam ke arah Gagah sebentar sebelum kembali tersenyum pada Bima. "Papa yakin?" desisnya.
Bima seperti kaget dengan perubahan ekspresi anaknya, tapi lalu mengangguk. "Papa kenal Gagah dengan baik."
"Mungkin benar yang menyalahgunakan dana ekuitas itu bukan Gagah. Tapi apa Papa pernah berpikir kalau bisa jadi Gagah juga ikut andil dalam hal ini?"
Bima terkekeh pelan. "Kamu cek dulu di bagian keuangan, Jev. Papa percaya penuh pada Gagah."
Tidak mau mendengar lebih lanjut daripada menyulut emosi, Gagah akhirnya berpamitan. "Saya permisi dulu, Pak."
Gagah keluar dari ruangan Bima lalu masuk ke lift. Baru juga pintu akan tertutup, sebuah tangan menahan sehingga pintu kembali terbuka. Jev masuk dengan santainya lalu berdiri tepat di kiri Gagah.
"Papa saya percaya sama kamu katanya," gumam Jev disertai dengusan lirih. "Gimana perusahaan mau maju kalau Papa saya mainnya perasaan dan bukan logika?"
"Silakan cari tahu buktinya sendiri, Pak Jev." Gagah masih tidak mengalihkan pandangan dari arah depan.
"Ini belum apa-apa."
"Saya tau."
"Apa kamu berniat berhenti?"
"Nggak."
"Kuat juga ya mental kamu." Jev tertawa. "Saya juga suka orang yang punya keberanian macam kamu. Kamu benar nggak berniat pegang perusahaan ini?"
"Pak Jev lebih pantas."
"Iya, tapi saya nggak suka manajemennya. Bobrok. Apalagi Papa yang mudah percaya sama orang. Kebaikan Papa saya bisa jadi boomerang nanti."
"Pak Bima nggak begitu ke semua orang setau saya. Dan beliau nggak mudah percaya." Suara Gagah masih terdengar tenang.
"Saya beneran suka mental kamu. Gimana kalau saya kasih tawaran?"
Kali ini Gagah menoleh dan tersenyum tipis. "Mau menurunkan jabatan saya, Pak? Nggak apa-apa. Kebetulan juga saya waktu itu masih new hire dan sudah diminta sampai ke posisi ini. Agak kaget sebenarnya, tapi karena Pak Bima percaya, saya lakuin. Sekarang kalau Pak Jev mau menurunkan jabatan saya, saya juga terima."
Jev bertepuk tangan sendiri, kagum dengan ketenangan Gagah menghadapinya. Biasanya orang akan gila jabatan. Jika diturunkan maka memilih resign, tapi Gagah tidak. "Kamu kenal Citra, adik saya?"
"Iya, Pak." Gagah kembali menghadap depan. pintu lift sudah terbuka dan ia segera keluar. Sayangnya Jev tetap menyejajari.
"Cantik kan?"
Gagah tidak menjawab.
"Dia penurut, kalem, nggak banyak tingkah. Cocok sama kepribadian kamu yang tenang begini. Istri kamu sekarang ... ya, kamu tahu gimana dia kan? Sedikit ... susah diatur."
"Istri saya tetap paling baik dari semua perempuan lain, Pak." Gagah menyelipkan seulas senyum.
"Ck, saya nggak bohong. Adik saya juga keliatan suka sama kamu. Dia pernah cerita ke saya waktu itu suka sama karyawan Papa dan itu kamu. Sama dia, kamu pasti lebih dihargai, Pak Gagah. Bonusnya lagi, kamu dapat semua perusahaan ini. Jujur, saya lebih suka usaha saya di New York. Kalau kamu mau menikahi adik saya, silakan kamu ambil perusahaan ini dan saya akan kembali ke New York."
"Saya sudah menikah dan nggak berniat menikahi perempuan lain lagi."
"Kamu bisa ceraikan istri kamu sekarang. Saya akan bawa Sava ke New York. Dan kamu cukup urus perusahaan ini dengan adik saya. Saya janji akan lepas tangan setelah itu. Mudah, kan?"
Gagah berhenti tepat saat tadi Jev mengatakan kata cerai. Mendengarnya saja membuat hatinya sakit. Tidak pernah ia bayangkan berpisah dengan Sava dengan cara seperti itu.
"Maaf, saya nggak berminat." Gagah kembali melangkah, kali ini lebih cepat.
Terdengar tawa di belakangnya. "Silakan lari yang jauh, Gah. Selama sama Sava, hidup kamu nggak akan tenang. Ini baru permulaan. Kalau nggak kuat, kamu bisa ajukan resign."
***
Emosi Gagah masih meluap-luap. Ia memukul setir mobil dengan tangan yang mengepal kuat. Ia sudah sampai di basement apartemen dan berusaha meredakan emosinya sebelum naik ke apartemennya.
Sava sudah di sana jadi Gagah tidak mau kemarahannya terbawa. Nanti Sava bisa takut. Lagi pula ia tidak akan termakan omongan Jev. Sekeras apa pun usaha lelaki itu menghancurkan, ia akan berusaha mengeratkan lagi genggamannya pada Sava dan tidak membiarkan Sava diambil lekaki lain.
"Sava ...," panggil Gagah setelah sampai di ruang tengah. Ia lihat Sava duduk di pantry dan ia segera menyusul ke sana.
"Baik-baik aja, Gah?"
Gagah tersenyum. Saat sudah sampai di samping istrinya, ia memutar kursi yang diduduki Sava hingga menghadap padanya. Tangannya segera merengkuh tubuh Sava dalam pelukan. "Iya, baik-baik aja."
Sava membalas pelukan Gagah. Ia tahu Gagah tidak baik-baik saja jadi ia berusaha memberi ketenangan.
"Kamu bahagia sama aku nggak, Sav?"
Mendengar itu membuat Sava melepas pelukan. Tangannya merangkum wajah Gagah yang sorotnya terlihat sayu. Ia memberi kecupan di kening suaminya, lalu kedua mata, dan semakin turun sampai bibir. Tangannya merangkul leher Gagah dan menekannya semakin mendekat.
"Aku nggak pernah sebahagia ini sebelumnya kecuali sama kamu," bisik Sava selepas ciumannya berakhir.
Terlihat sekali raut kelegaan di wajah Gagah. Binar cerianya sudah kembali seperti sebelumnya. "Kamu inget prinsipku kan?"
Sava mengangguk dan tersenyum. "Nggak ada yang namanya level tertinggi mencintai itu melepaskan pasangannya bahagia."
Gagah tertawa pelan. "Selama nggak ada yang ngerasa terpaksa di antara kita, aku nggak akan lepasin kamu. Kalo kamu belum bahagia sama aku, aku yang harus bikin kamu bahagia. Bukan malah melepas buat orang lain."
"Iya." Sava menjawab pelan. "Aku beruntung banget dapatin kamu."
"Aku juga." Gagah menciumi wajah Sava dengan gemas. Tangannya sudah masuk menelusup ke dalam baju yang dipakai Sava, sekejap ia berhenti. "Baru sadar pake daster. Yang kado dari siapa ya ini? Bahannya bagus banget. Besok kalo kondangan mau ngamplop yang gede. Soalnya ini daster pertama yang dipake istriku."
Sava tertawa mendengarnya. "Padahal aku asal ambil aja tadi, Gah. Tapi emang bahannya enak banget."
"Iya, enak banget tinggal angkat."
"Apa?" Sava mengernyit. Saat sadar maksud Gagah dan melihat suaminya menyingkap bajunya sampai sebatas paha, ia membelalak. "Gah. Horny-an banget!"
Gagah mengangkat pandangan dan tersenyum menggoda. "Kamu yang bikin aku pengin terus." Ia mendekat hingga bisa mengecupi leher Sava. "Nggak pernah dari belakang."
"Kita coba kalo gitu."
Gagah tertawa kali ini. Celetukan Sava memang tidak pernah membuatnya kecewa. "Setuju. Walaupun aku nggak mau melewatkan lihat wajah kamu kalo kita lagi kayak gini, tapi emang tetep harus coba yang baru."
Sava mengangguk dan tidak protes. Ia nurut saat Gagah menurunkannya dari kursi dengan Gagah di belakangnya. Ia mengerang pelan saat tangan Gagah mengusap sepanjang pahanya dan makin ke atas. Ia memejamkan mata saat ciuman Gagah makin naik dari bahu sampai sepanjang lehernya dan berakhir di telinga dengan sebuah bisikan lirih, "Aku masukin ya."
***
"Udah ganteng."
Gagah tersenyum menatap Sava di depannya. "Dua bulan kita nikah dan setengah tahun lebih kita kenal, baru kali ini kamu bilang ganteng."
"Emang ganteng." Sava meraih tas di meja. "Mau dinner di mana, Gah?"
"Nanti juga tau, Sayang." Gagah meraih tangan Sava dan menggenggamnya erat. Tidak melepas sampai mereka masuk mobil. "Aku rencanain beli rumah. Kita cari bareng-bareng ya?"
"Iya." Sava memakai sabuk pengaman dan meraih tangan kiri Gagah. "Bahaya nggak kalo nyetir satu tangan?"
"Nggak. Tenang aja." Gagah tahu akhir-akhir ini Sava justru yang tidak mau lepas menggenggamnya, sekalipun di mobil seperti ini.
Mobil sudah mulai berjalan dengan kecepatan sedang. Gagah memang tidak pernah menyetir dengan ugal-ugalan sekalipun dalam keadaan genting. Ia masih sadar bahaya.
"Ada perumahan lumayan deket sama rumah Papa Aji. Mau lihat dulu di sana besok ya?"
"Aku juga lihat kemarin ada yang deket sama rumah Papa Dandi, Gah."
Gagah tertawa. Sava ini, selalu merasa sungkan padanya. "Kita cari yang di tengah-tengah kalau gitu."
Sava setuju. Ia tidak keberatan mau di mana pun selama ada Gagah, karena lelaki itu sudah lebih dari cukup memberinya kenyamanan.
"Gagah ...."
"Iya?"
Sava mengeratkan genggamannya. Ia menoleh. "Waktu kamu pergi kemarin, ada masalah di perusahaan ya?"
"Iya, masalah kecil."
Sava mengangguk. "Berbahaya buat kamu ... nggak?" tanyanya hati-hati.
Gagah mengernyit mendengar itu. "Awalnya iya, tapi akhirnya nggak. Biasa, ada kesalahpahaman kecil."
"Kalo berbahaya buat kamu, apa nggak sebaiknya kamu cari kerja di tempat lain?"
"Apa?" Gagah terlihat tidak suka. Ia menepikan mobil sebentar sebelum memfokuskan pandangannya ke Sava. "Kamu minta aku resign?"
"Kamu pasti dijebak Jev kan?" tanya Sava lebih hati-hati lagi.
Gagah menghela napas pelan. "Kamu tau?"
"Aku kenal dia. Aku salah karena masalah kami jadi bawa-bawa kamu kayak gini."
Gagah menggeleng. "Masalah kamu sama aja masalahku, Sav. Kamu udah jadi urusanku sekarang. Dan kalau kamu minta aku berhenti dari perusahaan itu, aku nggak bisa."
"Gah." Sava seperti hampir menangis. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Jev bisa lakuin apa aja yang bisa bahayain kamu."
"Itu artinya kamu nggak percaya sama aku?" suara Gagah terdengar lebih dingin.
"Bukan nggak percaya, tapi ...." Sava memejam sebentar. Apa Gagah tidak tahu Jev berbahaya?
"Kalau kamu suruh aku berhenti, artinya kamu anggap dia lebih hebat daripada aku."
Sava habis akal untuk menjelaskan lagi. Ia sudah mengatakan secara gamblang bahwa Jev berbahaya, tapi Gagah tidak mau mendengarnya.
"Sav," suara Gagah lebih pelan sekarang. "Kalo kamu kenal dia, harusnya kamu tau dia nggak akan berhenti walaupun aku udah resign. Dia tetap punya cara buat pisahin kita."
"Tapi lebih aman kalau kamu nggak satu tempat kerja sama dia, Gah."
"Lebih aman gimana?
Sava tidak bisa menjawab.
"Lebih aman karena dia nggak akan tiap hari ceritain masa lalu kalian yang bakal bikin aku cemburu?" tebak Gagah.
"Nggak, bukan."
"Kamu cukup percaya sama aku."
"Aku percaya sama kamu, tapi aku khawatir." Sava sudah merengek seperti anak kecil yang pintanya harus dituruti. "Aku khawatir banget. Setiap hari kalo kamu berangkat kerja, aku nggak akan bisa tenang. Kamu ngerti kan?"
Gagah menangkap kejujuran itu. Sava murni khawatir padanya, bukan karena alasan menganggap mantannya lebih hebat daripada Gagah sekarang.
"Gah, tolong, jangan celakain diri kamu sendiri. Aku udah janji nggak nemuin dia dan bikin hubungan kita jadi sulit lagi. Sekarang, tolong menghindar dari dia juga."
Gagah menatap Sava lekat-lekat. Ia lalu meraih Sava dalam pelukan dan mengecup kepalanya pelan. "Aku tau kamu khawatir, Sav. Tapi aku nggak bisa kalah dari dia."
🐳🐳
DISIMAK BAGI YANG MAU, BIAR NGGAK SIA² NIH AN PANJANG MWEHEHE.
SABAR YA, GANTISTATUS EMANG ORANGNYA RANDOM DAN ANEH
✅✅✅✅✅✅✅✅✅
BUAT GAGAH
Kangen babi gak bang?🐖
"Kangen, tapi biarin, udah tenang di dalem perut kocheng."
Buat bang gagah semoga tetap gagah menghadapi semua masalah yaa bang, kak sava aslinya baik kok kaya aku, kalo butuh istri kedua dm aja bang
"Masalah apaan? Sava emang baik makanya gue nggak mau nyari istri kedua. Temen gue ada tuh, Boja, sana dm."
Pengen punya bini 2 gak bang? Nanya doang elah🤭
"NGGAK!"
Ada niatan pindah kerja ga gah?? Saya yg gedeg tiap kamu harus sering ketemu sama si jep hhh
"Maaf, nggak."
Hai bang...Nggak mau nanya,cuma mau Manggil aja
"APA?"
sekali kali gah adegan ehem2 lu di pampangin di wp kan gw kepo
"Author-nya AMATIR dan cupu nggak bisa bikin adegan enak-enak, padahal mah aslinya gue enak banget. Nggak usah kepo ya rasanya. Semoga si author berbaik hati nyeritain detailnya, gue mah pasrah aja selagi dijodohinnya sama Sava."
Gah, jangan lupain si louhan yaa 🥲
"Nggak akan, soalnya hasil lelang dia udah gue beliin apartemen."
Cuma pen tau bang, ati lu terbuat dari apaan sih? Kuat bener. Kalau boleh spill dong beli dimana
"Made in India. Apa pun masalahnya, gue tetep joget aja."
dear bang gagah.aku pengennya kamu pindah tempat kerja bang.udah cukup hatimu dikuat"in.apalagi si boss kayak psikopat gitu.bang gagah mending menghindar ya bang.
"Gue belum mau pindah."
Bang pilih anin atau kak sava, harus milih!
"Pilih babi."
Bang kalo misal banyak hal ganjal yang ngerugiin bang gagah, bang gagah pilih tetep dikantor atau resign?
"Stay."
ada temen cwo yang ganteng ga? asal jgn bunga kuburan
"Selain bunga kuburan? Ada kamboja namanya."
Kapan punyaa baby?
"Baru punya babi."
Gila yaaa, bakal cobaan apa lagi yg datang padamu bangggg....
"Cobaan apa?"
tabahkan sigagah aja
"Selama sama Sava, gue ok."
Ujian Gagah baru mulai...
"Pada ngomongin ujian dan masalah apa ya? Gue nggak paham. Jangan2 author-nya mau nyiksa gue?"
Yang kuat ya bang
"Ok."
Pindah tempat kerja aja yok bang
"Maaf, belum."
✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅
SAVA
Abangnya gue pinjem boleh kagak?
"Aku nggak punya abang."
Buat kak sava, semoga cepet diberi momongan yaa kaa, kalo bisa cowo deh, jodohin aja sama aku tar kalo udah gede yaa hwheh
"Cara biar anaknya cowok gimana ya?"
Kalo gagah minta 5 anak sanggup gak sav?
"Kalo Gagah yang mau, aku mau."
Pengennya si jep dikasi azab apa sav?? 😈😈
"Pengennya dia sadar aja kalo aku udah bukan punya dia."
Sav,udah mulai cinta belum Ama gagah
"Aku udah bales waktu di kamar mandi itu kan?"
Gagah buat aku aja boleh ga? Kamu cari yg lain
"Maaf, aku nggak mau cari yang lain."
Mau nanya aja Sav, sekarang gimana Sav udag ada rasa belum sama bang Gagah?
"Udah jawab di kamar mandi kemarin."
dear sava.bantuin bang gagah ya sav, banyak masalah datang keknya nih.
"Gara-gara aku."
Kapan move on?
"Udah dijawab ya."
jangan sia siain gagah ya, sian ntar kalo ditinggalin nama doang gagah idupnya lemes
"Gagah nggak lemes, dia perkasa."
Gimana perasaanmu kalau gagah sama orang lain sav?
"Aku pernah bilang nggak mau lepas dia buat orang lain. Iya, aku egois."
Support terus bang Gagah ya,cukup percaya saja
"Aku percaya sama dia, dia yang kayaknya nggak percaya sama aku."
Yuk bisa yuk mupon
"Iya."
Bisa yok bisa
"Iya."
✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅✅
LAIN-LAINNNNN
Jadii jarak pernikahannya gagah-sava dan anin-bagus itu berapa lama ya kak??
Jadi kan Gagah Sava nikah waktu Anin mulai skripsi. Nah, 6 bulan kemudian Anin lulus. 6 bulannya lagi dia baru nikah sama Bagus. Pasti udah tau kan kalo mereka nikah pas Bagus belum lulus? Wkwk, iya, mahasiswa beprestasi kek dia mau santai dulu katanya. Lengkapnya bisa baca di Extra Part-nya yaa hehe
Jev sodaraan dajjal ya?Pantes mirip
"APA LO BILANG?"
Kapan update lagi Thor🤪
Ini udaaaah.
buat bapak jev, mati aje lo beban
"HAHAHAHAHA."
Jev, lu psikopat apa yakkk.
"HAHAHAHAHA."
Jev, kamu gagal move on ya. Gangguin hubungan Sava dan Gagah mulu
"Harus direbut."
Aniiiiinnn apakabarrr
"Halooo, aku baik nih sama Mas Bagus."
Bapak dandi yang terhormat dan Ibu Sari yang paling sabar mau tanya dong gimana caranya ngedidik anak supaya bisa sekeren bang gagah dan anin
Pak Dandi: Pertama-tama, cara buatnya harus ikhlas dan sama-sama enak. Dua, jangan dimanja, jangan juga sering dimarahin. Tiga, bapaknya harus gunawan alias gundul dan menawan kayak saya. Keempat, bapaknya harus ikut grup Portugal. Mau join?"
Jev kenapa sih mau jadi pebinor gakeren banget kerjaan lo
"HAHAHAHA, Gagah yang ambil Sava dari gue."
Author yang keren umur anda berapaaa
Umurku 24 tahun beebbb.
Om kamboja kamu beneran suka bang gagah?
"Ada Bu Sava, jawabnya nanti ya."
Author udah nikah beloomm?
Otw nih, doain yaa.
AUTHORNYA MASI SEKUL ATO KULIAH?
Udah lulus kuliah dari 2019 niiih, ada yang seangkatan? Wkwk
Jev....Psikopat lu yeee ...
"HAHAHAH tau lu?"
Pengen tau cerita nikah anin ma bagus
Ada di Extra Part di Karyakarsa yuk. Sekalian cerita pertemuan juki juga wkwkwk
pengen jev dapet karma
"HAHAHAHA, nggak akan."
Jep anj***
"APA LO NGATAIN GUE?!!!"
Note: QnA akan diedit lagi kalo ada yang tanya lagi
AKHIRNYA PANJAAAAANG MWEHEHEHE.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top