23. Ini Obatnya
Pagiiiiii.
🐳🐳
Pelan sekali, Gagah menurunkan cekalan Sava di lengannya. Geraknya kemudian yang merangkul pinggang Sava membuat ekspresi perempuan itu mendadak dipenuhi keterkejutan.
"Atau masih mau ngobrol sama teman kamu?" Suara Gagah terdengar lebih lembut walau ekspresinya masih tidak terbaca.
Sava mendongak dengan takut. Tatap mereka bertemu beberapa saat dan mendadak ia merasa ciut. Ia tidak mengenal Gagah yang ini. "Mau pulang," bisiknya sambil menunduk.
Gagah mengangguk. Ia menarik kursi tepat di hadapan Jev. Dua sekalian karena Sava tadinya duduk di samping Jev dan kini akan Gagah buat perempuan itu tetap di sampingnya.
"Duduk dulu." Gagah menunjuk kursi di depannya.
Sava sepertinya tidak memiliki cukup keberanian untuk menolak, maka ia segera duduk. Disusul Gagah di sampingnya.
"Tadi panggil saya ke sini ya, Pak?" tanya Gagah dengan senyum yang sama meski hatinya remuk tidak karuan. Ia sedang tidak enak badan, lelah pikiran, ingin mengurangi bebannya saat melihat Sava di rumah ataupun di tempat kerja, tapi yang didapati justru kebalikannya.
"Saya juga panggil Sava ke sini." Jev menyunggingkan senyum miring. Lelaki itu bahkan bersandar santai dengan jemari yang diketukkan di atas meja. "Dan dia langsung mau."
Gagah tertawa pelan. Ia mengulurkan tangan melewati bahu Sava dan mengusapnya pelan. "Iya, istri saya tadi udah izin, makanya saya juga mau ke sini." Sengaja ia tekankan status Sava di sini.
"Oh." Jev seperti terkejut, tatap tajamnya kini terarah begitu mengintimidasi ke Sava seolah menanyakan kebenarannya. Namun Sava justru memeluk lengan Gagah makin erat.
"Maaf, Pak, sebelumnya." Gagah berujar lagi dengan sopan. "Kalau boleh, bahas tentang pertemuan di luar kota kemarin bisa kita bicarakan di kantor nanti kalau sudah jam kerja. Kayaknya saya butuh waktu buat bebersih diri dulu sampai rumah. Nggak sopan kalau penampilan saya begini di depan bos." Diakhiri dengan tawa.
"Oke." Jev tersenyum tipis dan mengangguk. Ia duduk tegak dan menautkan dua tangannya di atas meja. "Take your time. Kamu bisa pulang dulu, biar saya dan istri kamu nunggu di sini."
Seolah tidak mendengar nada ancaman itu, Gagah malah terkekeh pelan. "Pak Jev pernah telepon istri saya tengah malam dan saya bilang kalau ada hal penting bisa disampaikan lewat saya."
"Tapi urusan saya sama Sava."
"Dan Sava adalah urusan saya, Pak Jev." Gagah menekankan itu sekali lagi. Tatapnya sudah tidak terlihat santai, kini membalas dengan berani.
"Biar adil, coba tanya Sava mau ikut kamu atau stay di sini," tantang Jev.
Gagah menaikkan alis lalu tersenyum kecil mencoba melunturkan ekspresi tajamnya tadi. Ia menoleh ke Sava dan mengangkat satu tangannya untuk membelai wajah istrinya. Ia sadar ekspresi ketakutan yang Sava tunjukkan jadi ia berusaha menekan kuat-kuat amarahnya. "Mau di sini sama teman kamu atau ikut aku pulang?" tanyanya lembut.
"Ikut kamu," jawab Sava tanpa pikir panjang.
Mendengar jawaban itu membuat Gagah kembali menatap Jev dan tersenyum. "Udah seharusnya istri ikut suami bukan ikut mantan. Permisi, Pak Jev."
Gagah berdiri, mengajak Sava ikut serta.
"Kali ini kamu emang menang, tapi—"
"Saya nggak niat bersaing," sentak Gagah langsung. "Saya menikahi Sava bukan buat ajang menang dari orang lain."
Jev kini ikut berdiri. Tatapnya terarah kembali ke Sava yang mulai merapatkan tubuh ke Gagah."Kamu nggak mau nunggu di sini, dear?" desisnya.
Mengerti bahwa tubuh istrinya sedikit gemetar, Gagah akhirnya memeluk Sava. "Pulang, Sayang? Katanya kangen."
Sava mengangguk kuat. Ia sedikit mendongak dan tersenyum tipis. "Iya. Kangen."
Gagah mengecup pelan kepala Sava dan tersenyum. Lengkungan bibirnya tidak berkurang meski ia sudah menatap Jev sekarang. "Saya pamit dulu, Pak Jev. Nanti saya ke kantor. Permisi."
Jev mengangguk kali ini. "Oh ya, kapan-kapan Sava mau saya ajak makan bareng lagi."
"Pak Jev bisa ajak selama Sava mau," jawab Gagah kalem.
"Saya yakin dia nggak pernah nolak saya. Cuma karena takut ke kamu dan merasa tertekan, dia jadi nggak pernah mengiyakan. Suami yang baik itu nggak bikin istrinya tertekan, apalagi membatasi gerak dan kemauan Sava."
Gagah tertawa pelan. "Kalau dia tertekan, sudah dari malam pertama harusnya dia kabur dari saya, Pak."
Ekspresi Jev berubah total, bahkan rahangnya mengetat dengan kedua tangan yang mengepal di samping kanan kiri badan. "Kamu goblok masalah cinta ya, Bapak Gagah," sindirnya.
"Gagah." Giliran Sava yang menginterupsi. Ia menyentuh rahang Gagah dan menolehkan ke arahnya. "Ayo, pulang."
"Iya." Gagah mendorong dua kursi di depannya, lalu menundukkan kepala sedikit. "Untuk ketiga kalinya, permisi Pak Jev."
Sampai di pintu, Gagah meraih koper dengan tangannya yang bebas. Mereka sudah sampai di parkiran dan ia segera melepas genggamannya di tangan Sava, digantikan dengan sebuah telapak tangan yang terulur. "Kunci mobil."
Beberapa detik lamanya tidak ada jawaban. Gagah yang memang sejak pertama kakinya keluar dari restoran itu tidak menatap Sava sedikit pun, pada akhirnya menoleh. "Nggak bawa mobil?" tanyanya.
Sava menggeleng.
"Berangkat sama Jev?"
Tidak ada jawaban lagi, namun Gagah cukup mengenal Sava dengan baik. Hal yang membuat Gagah sedikit menyesal terlalu mengenali istrinya sendiri. Karena di saat seperti ini ia merasa bisa mengetahui semua hanya lewat gerak-gerik.
"Telepon Boja. Kamu pulang sama dia." Gagah kembali mengalihkan pandangan ke arah depan.
"Tapi, kamu—"
Kalimat itu tidak selesai karena Gagah memutar tubuh menghadap Sava dan menatapnya intens. Tatapan yang langsung membuat Sava bungkam.
***
Sudah berlama-lama Gagah bertahan di depan wastafel. Ia telah selesai bebersih diri, bahkan jika dibilang berlebihan, ia menghabiskan sangat banyak air saat mandi tadi. Juga entah berapa banyak ia membasuh wajah untuk meredam amarahnya sendiri.
Namun sebanyak apa pun usaha, hatinya masih teramat sakit. Dadanya bergejolak hebat seolah memaksanya untuk melampiaskan. Belum lagi denyutan di kepala yang makin membuat amarahnya sudah sampai di puncaknya.
Menghela napas beberapa kali, Gagah lalu berbalik dan berjalan ke arah kamar. Ia bersyukur karena Sava tidak ada di sana. Segera saja ia ganti pakaian, lengkap dengan setelan jas serapi mungkin meski jam kantor masih cukup lama.
Ini bahkan masih pukul 7 pagi. Dan itu membuat kepala Gagah makin mendidih. Iya, sepagi itu tadi Sava berduaan dengan lelaki lain, di saat ia mengusahakan pulang dini hari di tengah perjalanan hanya untuk mendapati pulang dan istrinya malah mengiyakan ajakan lelaki lain.
Gagah mengepalkan tangan kanannya. Tidak puas hanya dengan itu, ia pukulkan pada telapak tangan kirinya. Hingga ia rasakan tangan kirinya terasa kaku dan memerah namun ia tidak peduli. Ada yang lebih sakit dari itu.
Setelah yakin berhasil menenangkan diri, Gagah melangkah keluar. Ia lihat Sava membelakanginya, berdiri menghadap meja makan. Ia berusaha mendekat, dari situ ia mengamati. Sava sedang mengaduk kopi dengan gerakan yang berantakan. Ia sadar tangan Sava gemetaran.
Gagah tidak menginterupsi. Ia berniat langsung menuju pintu tapi dentingan sendok menabrak cangkir terdengar membuatnya menoleh. Ternyata Sava menyadari kehadirannya.
"Kopinya," kata Sava pelan.
Gagah menatap Sava beberapa detik, lalu beralih ke secangkir kopi di meja. Ia lantas mendekat dan duduk. Mereka memang terbiasa menikmati kopi tiap pagi. Hanya secangkir. Karena sebenarnya Gagah tidak terlalu suka kopi apalagi di pagi hari. Ia lebih memilih air putih di detik pertama bangun tidur.
Tapi Sava sangat suka kopi dan berniat menguranginya sekarang. Jadi mereka selalu punya waktu untuk menyesap kopi di cangkir yang sama tiap pagi. Sengaja Gagah yang lebih dulu karena kata Sava, biar ia dapat sisa. Karena Sava yang berniat mengurangi, bukan Gagah.
"Aku ... ambil makan dulu." Suara Sava terdengar tidak biasa. Perempuan itu bahkan menyembunyikan tangannya ke belakang tubuh saat sadar Gagah meliriknya di sana. Karena ia sedang gemetar luar biasa. Tangannya tidak bisa bohong tentang itu.
Gagah tidak menjawab. Ia menatapi secangkir kopi yang masih mengepul. Tidak terlalu panas tapi tidak dingin juga. Ia memejamkan mata beberapa saat, helaan napasnya hanya terdengar oleh dirinya sendiri meski pagi itu teramat sepi.
"Tadi sengaja ketemu atau kebetulan?" tanya Gagah di tengah hening, sembari merangkumkan dua telapak tangan di sekitar cangkir, berharap bisa meredakan detakan kuat di dadanya. "Suamimu tanya, Sav!" Meski tidak terlalu tinggi, nada bicaranya sedikit lebih keras dari sebelumnya.
"Bukan kebetulan."
Rangkuman tangan Gagah di cangkir makin mengerat kali ini. "Bicarain apa?"
Terdengar langkah kaki mendekat. Sava membawa sepotong sandwich di piring dan mendekat ragu-ragu. Pada akhirnya berhasil sampai di samping Gagah dan meletakkan piring dengan suara yang terdengar seperti bantingan. Tentu saja Sava tidak sengaja. Lagi-lagi karena ulah tangannya yang gemetar dan langsung kembali ia sembunyikan di belakang tubuh.
"Bicarain apa?" ulang Gagah, tatapnya masih ke arah kopi walau fokusnya tidak di sana.
"Nggak ... bicarain apa-apa."
Gagah mengangguk kaku. "Nggak ada yang penting tapi sengaja ketemu?"
"Bukan." Sava menggeleng kuat, tapi lalu diam cukup lama.
"Apa?!" Lagi-lagi suara Gagah lebih keras. Ia bahkan segera bangkit berdiri dan bergeser untuk sampai di depan Sava. Ia mendekat dan makin membuat Sava terintimidasi.
"I-iya." Sava memejamkan mata beberapa saat, menolak menatap Gagah dalam amarah sebesar itu.
"Iya apa, Sava?!" Lagi, satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya.
"Tolong jangan kayak gini." Sava menggeleng kuat, masih memejamkan mata.
"Kayak gini gimana?" desis Gagah, tubuhnya makin mendekat hingga kini wajah mereka teramat dekat. Tangannya ia letakkan di meja tepat belakang Sava hingga mengurung tubuh gemetar perempuan itu. "Aku nggak boleh marah? Kamu takut aku marah?"
Sava memberanikan membuka mata lalu makin memundurkan kepala saat sadar amarah Gagah begitu dekat di depannya. "Iya."
Satu kata yang segera melecutkan amarah Gagah sampai di batasnya. Membentuknya menjadi lelaki menakutkan yang asing dan tidak dikenali siapa pun. Ia berteriak keras, seolah tidak peduli meski Sava sudah begitu rapuh dan ketakutan di hadapannya. "KAMU PERGI SAMA LELAKI LAIN SAAT SUAMI KAMU NGGAK ADA. KAMU KETAWA BARENG MANTAN KAMU ITU. SAMA AJA KAMU RENDAHIN SUAMI KAMU SENDIRI, SAVA. DAN AKU NGGAK BOLEH MARAH KARENA ITU, HAH?! JAWAB?!!"
Belum cukup bentakan itu, satu tangan Gagah meraih cangkir kopi dan membantingnya ke lantai, menimbulkan suara amat keras karena pecahannya tersebar ke mana-mana. Sebagiannya hancur dan jadi serpihan, sebagian lagi masih utuh dan membentuk setengah lingkaran. Suaranya masih terdengar saat benda kaca itu meluncur di lantai sebelum berhenti tepat di genangan kopi.
Setelah itu kembali hening, kali ini helaan napas Gagah terdengar bersahutan dengan isakan Sava yang kentara ditahan sekuat tenaga. Gagah sudah menyingkir dari Sava dan menapakkan dua tangannya di atas meja, menunduk dalam-dalam di sana.
Ada rasa lega karena amarahnya yang sudah ditahan sedari tadi terlampiaskan, tapi sesak di dadanya justru bertambah melihat bagaimana usaha Sava menahan tangis. Wajah perempuan itu sampai merah padam dengan tangan yang membekap mulutnya sendiri.
Ya Tuhan. Gagah segera mendekat lagi, kali ini menarik tangan Sava agar tidak lagi menutup mulutnya. Saat itu juga tangisan Sava meluncur tanpa bisa ditahan. Gagah tidak berniat memeluk. Ia hanya berdiri di depan Sava, melihati istrinya sampai puas menangis. Ia juga menggenggam Sava dan mengusap pelan punggung tangannya.
Gagah sadar salah. Ia mau meminta maaf, tapi nanti. Nanti setelah Sava bisa meresapi kesalahannya sendiri.
"Ma-maaf." Suara Sava tersendat.
Gagah hanya mengangguk. Ia mengusap kepala Sava beberapa kali sebelum berbalik. "Aku ke kantor dulu." Lalu ia berjalan ke arah pintu. Baru juga beberapa langkah, ia membalikkan tubuh. "Jangan kamu bersihin."
Sava yang sudah berjongkok di depan pecahan cangkir tidak menurutinya.
"Aku bilang jangan kamu bersihin, Sava!!!"
Sontak Sava berjingkat. Ia segera berdiri dan mundur beberapa langkah dengan gerakan terburu-buru, lalu mengangguk kaku tanpa menjawab.
Dan pintu tertutup.
Gagah melangkah keluar dan turun ke basement. Ia sampai di mobil dan mengendarainya pelan-pelan. Ada yang masih mengganjal di hatinya, alasan kenapa Sava mau diajak bertemu oleh Jev. Kalimat Sava tadi yang bilang tidak membicarakan apa-apa, ditangkap maksud oleh Gagah adalah perempuan itu dengan sukarela menemui mantannya, benar kata Jev. Sava tidak akan menolak.
Astaga, kalimat itu sangat menohok. Sampai detik ini bahkan Gagah masih merasakan atmosfer emosinya mengingat cara Jev merendahkannya tadi.
Emosinya masih meluap saat sampai kantor meski ia tahan sekuat tenaga. Ia langsung dipersilakan masuk ke ruangan bosnya. Terlihat dua orang ada di sana, Bima dan Jev.
"Gah, duduk sini dulu," kata Bima sambil tersenyum.
"Iya, Pak."
"Saya dengar kabar kurang baik kemarin."
Gagah tahu arah pembicaraannya ke mana, bahkan ia sudah siap jika terkena surat peringatan. "Maaf, saya teledor waktu itu, Pak."
"Saya kaget waktu dengar kabar itu. Apalagi yang laporkan ke saya itu salah satu orang di perusahaan mereka, Gah."
"Iya, Pak Bima. Sekali lagi saya minta maaf karena mengecewakan Bapak. Saya salah, saya minta maaf."
Helaan napas Bima terdengar cukup keras dan lelah. Kerutan di dahinya makin terlihat saat berujar serius. "Kamu tau dampaknya buat kerja sama perusahaan kita?"
Gagah mengernyit. Seingatnya kemarin di jamuan terakhir, yang tanpa Jev, perusahaan sana tidak ada pembicaraan tentang kerugian dan sebagainya, bahkan mereka bercakap banyak sekali lebih daripada di jamuan pertama. "Apa ada pembatalan kontrak, Pak?"
Bima menggeleng. "Bukan. Awalnya hampir seperti itu tapi anak saya berhasil bernegosiasi." Senyumnya mengembang seolah bangga dengan Jev. "Dan sebagai permintaan maaf karena ketidaknyamanan, perusahaan ini akan ganti rugi ke mereka."
"Saya siap dikasih peringatan yang setimpal karena kesalahan saya, Pak."
"Setuju." Suara itu terdengar. Orang yang sedari tadi diam di samping Bima kini menyahuti. "Harus dikasih pelajaran dan hukuman, Pa. Setiap karyawan yang merugikan perusahaan harus digitukan."
Bima tersenyum dan menepuk pundak anaknya dengan pelan, sebelum tatapnya terarah ke Gagah. "Saya kenal kamu sudah lama. Bertahun-tahun, Gah. Dan setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Dulu waktu saya masih muda dan jadi karyawan kecil juga malah lebih sering salahnya daripada kamu. Tapi bos saya baik, justru kebaikan itu yang membentuk efek jera ke diri saya. Kamu hampir tidak pernah melakukan kesalahan besar selama 5 tahun di perusahaan ini, Gah. Jadi saya cuma memberi pesan ke kamu, untuk ke depannya lebih hati-hati dan fokus ya. Belajar dari kesalahan yang kemarin."
Gagah sangat terkejut dengan respons itu. Ia memang tahu dari mana Bima berasal dulu dan cerita beratnya tentang memulai usaha dari bawah. Hal itu mungkin yang membuatnya lebih menghargai sebuah pengalaman.
"Nggak bisa begitu, Pa," protes Jev. "Jelas-jelas dia salah. Kalau semua karyawan diperlakukan begitu, perusahaan Papa mau jadi apa?"
"Perusahaan Papa masih bisa dipertahankan kalau semua hal dipikir dengan kepala dingin, Jev," jelas Bima pelan-pelan.
Jev mendengus, sebal. Bahkan satu sudut bibirnya terangkat seolah menertawakan ucapan papanya sendiri. "Nggak masuk akal. Perusahaan bobrok!"
"Jev!"
Gagah jadi tidak enak hati di sana. Jev pergi dan Bima seperti berusaha sabar.
"Maaf, anak saya masih suka begitu kadang-kadang. Saya lepas di luar negeri bertahun-tahun, mungkin dia lebih butuh kasih sayang saya lagi."
Gagah makin tidak habis pikir. Sebaik itu keluarga Bima, kenapa ada satu jenis manusia di dalamnya yang membuat hampir semua orang emosi menghadapinya.
***
Membuka pintu apartemen, Gagah diperlihatkan dengan pemandangan yang masih sama seperti pagi tadi. Ia segera melepas jas dan meletakkan di sofa. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil kantong plastik lalu memungut beberapa pecahan kaca dan mengamankannya.
Tahap terakhir, Gagah mengepel lantai dan membiarkannya sampai kering. Ia berjalan ke wastafel untuk mencuci tangannya sebelum menatapi sekitar. Suasana masih sama seperti pagi tadi. Sandwich yang ada di meja, dan semua yang masih tetap di tempatnya.
Kecuali Sava. Gagah meneguk air mineral terlebih dulu untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. Mungkin keduanya akan terlibat pembicaraan yang sama-sama menyakiti hati. Tapi Gagah berusaha untuk tidak lepas kendali seperti pagi tadi.
Membuka pintu kamar, Gagah melihat Sava berbaring di tempat tidur menghadapnya. Ia melangkah pelan untuk mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapnya terarah ke papan di sudut kamar. Sava terbiasa memasang jadwal sesi kelas selama sebulan di sana. Dan hari ini, sebentar lagi ada jadwalnya, tapi Sava masih lelap tertidur.
"Sava," bisik Gagah pelan.
Masih diam, tubuh Gagah makin merendah dan ia berbisik di telinga Sava. "Ada kelas kan? Bangun, Sav."
Sepertinya berhasil karena kedua mata Sava terbuka pelan-pelan. Hal yang membuat hati Gagah nyeri adalah gerak refleks Sava yang segera bangkit dan mundur hingga kepala ranjang. Apa sebegitu takut Sava padanya?
"Gah." Mungkin tersadar, tatap Sava jadi sayu. Selimutnya dinaikkan sampai leher demi menutupi tangannya yang lagi-lagi tidak bisa diajak untuk diam saja.
"Iya?" jawab Gagah lebih lembut. Amarahnya memang masih ada, tapi untuk apa dilampiaskan lagi? Hanya merugikan rumah tangga mereka.
"Aku minta maaf," kata Sava. Suaranya melemah dan wajahnya kembali memerah dengan selaput bening di kedua matanya.
"Iya," kata Gagah lagi. Ia menaikkan kedua kaki ke atas ranjang dan gerak refleks yang Sava tunjukkan lagi dengan cara bergeser menjauh membuatnya terpaksa diam di tempat. "Aku juga minta maaf. Aku harusnya bisa tahan emosi. Papa kamu pasti marah banget kalo tau kamu diperlakukan kayak tadi. Aku minta maaf ya."
Sava mengerjap dan satu air matanya berhasil tumpah lagi.
"Jangan takut sama aku. Sini." Gagah tersenyum dan merentangkan tangannya.
Masih juga Sava belum bergerak.
"Ya udah, aku yang naik," kata Gagah dengan kekehan. Ia mendekat pelan-pelan dan Sava tidak menghindar kali ini. Ia sudah sampai di depan Sava dan mengusap kedua mata istrinya yang bengkak. Sebanyak apa air mata yang tumpah akibat bentakannya tadi?
Ya Tuhan, Gagah benar-benar merasa bersalah sekarang. Ia teringat ucapan papanya.
Papa pesan, jangan sakiti perempuan ya, Nak. Kalau mereka ada salah dan kurang baik perilakunya, kasih tau pelan-pelan.
Tangan Gagah masih bergerak di sekitar wajah Sava yang kini pucat pasi. Harusnya detik pertama tadi ia memberitahu Sava dengan cara sehalus mungkin, bukan malah membentak sampai ketakutan begini.
Kalau sudah dengan cara baik masih belum bisa, tegaskan lagi. Tegas nggak sama seperti membentak ya. Ingat itu.
Gagah bahkan malah langsung membentak tadi.
Semarah-marahnya kamu, harus tahan emosi. Nama sudah gagah kalau gampang marah kan malu sama nama. Nggak gagah dong jadinya kalau suka marah-marah.
"Aku minta maaf," kata Gagah lagi.
Sava kali ini menggeleng. Ia menghentikan gerakan tangan Gagah dan menggenggamnya. Tangan Gagah terasa hangat, atau memang tangannya yang dari tadi tidak berhenti gemetar itu memang terlampau dingin?
"Aku salah. Aku nggak izin kamu ketemu laki-laki lain. Harusnya aku jaga perasaan kamu."
Gagah mengangguk, menyiratkan ia menerima maaf Sava. "Tadi bicara apa sama Jev? Aku boleh tau?"
Sava menegang beberapa saat. Tatapnya berpaling ke arah lain, bukan ke Gagah lagi. "Nggak ada yang penting. Emang aku yang salah karena iyain tanpa pikir panjang."
"Kamu kangen sama dia?"
Sava sontak menoleh ke Gagah, terlihat sekali ekspresi penolakannya dengan ucapan itu, tapi hanya bertahan sedetik karena justru yang keluar dari bibirnya adalah, "Iya. Maaf, aku salah."
Gagah masih merasakan dalam dirinya rasa marah, sakit, cemburu yang sangat. Tapi ia berusaha mengerti sekali lagi. "Bukan cuma Jev, kalo kamu mau ketemu siapa pun dan pergi dari suami kamu ini, kamu harus izin. Kalau ada hal penting atau sekadar kamu pengin nongkrong sama teman kamu, nanti harus nunggu aku bilang boleh enggaknya. Aku juga sama, kalo aku mau pergi, aku harus bilang ke kamu."
"Iya." Sava mengangguk patuh.
Hening beberapa saat.
"Mau siap-siap ke kantor? Aku anter."
"Nanti ditungguin di sana sampe aku pulang ya," pinta Sava dengan suara sedikit merajuk.
Gagah tersenyum. Ia membawa Sava dalam pelukannya dan mengecup kepalanya beberapa kali. "Iya, Sayang."
Namun tetap saja hati Gagah merasa janggal. Apa Sava benar tersiksa hidup dengannya? Apa Sava tertekan dan teralu memaksakan diri? Apa semua hal yang Gagah pikir demi kebaikan mereka justru mengekang gerak Sava jadi tidak bisa bebas?
Ya Tuhan, Gagah merasa jadi suami yang gagal karena istrinya bahkan lebih memilih menemui mantan.
Gagah mau mencoba memaafkan, mengikhlaskan kesalahan, karena sedari dulu ia tidak pernah punya obat untuk menyembuhkan kecewanya sendiri.
Tapi semoga, Sava bisa. Gagah sepenuhnya percaya.
🐳🐳
Maapin Gagah deh🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top