20. Kurang Apa Lagi?
Gatau mo pembukaan pake apa🤧
🐳🐳
"Kamu tau hal apa yang pertama kali bikin aku kagum sama kamu?"
Sava menoleh ke Gagah yang sedang menyetir. "Apa?"
"Kamu perempuan pertama yang juga sayang sama keluargaku. Sayang Papa, Mama, adikku."
Sava mengernyit, merasa kalimat Gagah itu aneh.
"Beneran." Gagah meyakinkan. "Nggak percaya? Paling parah dulu yang jadi korban itu adikku. Anin pasti ngomel kalo diteror katanya dia jadi pengganggu buat hubunganku sama sebelum-sebelumnya."
"Dia adik kamu, bukan pengganggu."
Gagah tersenyum karena Sava menangkap maksudnya. "Padahal wajar kalau misal Anin sakit dan aku lebih pilih antar adikku daripada nggak boleh tutup telepon waktu ditinggal boker pacar kan?" candanya.
Sava tersenyum geli mendengarnya. "Makanya waktu Anin sakit, kamu kaget aku bolehin pulang?"
Gagah mengulurkan tangan dan mengusap pipi Sava. "Pinter banget kamu. Selalu tau arah bicaraku ke mana."
"Aku percaya kamu tau prioritas."
"Itu yang bikin aku cocok sama kamu, Sav. Kamu ngerti posisiku. Kamu tau aku bisa tentuin mana yang harus diduluin."
"Sesederhana itu ya, Gah."
"Apa?"
"Kita."
Gagah tersenyum. Ia meraih tangan Sava dan mengecupnya. "Iya, kamu terima aku cuma karena aku datang minta maaf, aku ngerasa cocok sama kamu cuma karena kamu izinin aku pulang buat antar adikku waktu itu."
Sava balas tersenyum. "Dari dulu aku pengin punya adik."
"Sekarang Anin juga adik kamu."
Sava mengangguk. "Dia asyik, emang ceria terus anaknya?"
"Dari dulu. Kecil-kecil nakal dia."
"Kok nakal?"
Gagah berdecak. "Suka stop-in penjual-penjual yang lewat abis itu ngumpet. Terus waktu masih SD mainan petak umpet di kompleks. Pas dia yang jaga ngitung satu sampe sepuluh, dia tinggal balik rumah."
Sava tertawa pelan mendengarnya. "Masa kecil kalian pasti seru."
"Banget. Punya adik kayak dia kalo nggak kuat bisa kena mental."
Sava geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Waktu udah SMP udah nggak terlalu nakal. Tapi malesin, jadi cewek normal di sekolah malah banyak yang suka. Makin ekstra jagainnya."
"Kamu abang yang baik."
"Suami yang baik juga nggak?" tanya Gagah dengan senyum menggoda.
"Iya, kamu suami yang baik," jawab Sava lugas.
Gagah tertawa pelan. Jujur saja, baginya, Sava juga pasangan yang baik. Selalu menuruti apa katanya. Sava benar-benar definisi perempuan sabar yang ia kenal. Satu kali pun belum pernah ia mendapati Sava ngomel berlebihan atau marah.
"Kalo sampe malem, kita nginep nggak apa-apa, Sav?" tanya Gagah saat mobil sudah terparkir di depan sebuah rumah.
"Iya. Kadonya juga kayaknya banyak banget." Sava meringis. Ia ingat tumpukan kado yang belum sempat dibuka walau pernikahan mereka sudah berlalu seminggu lebih.
"Nggak apa-apa. Anin suka banget buka kado, pasti mau bantu."
Sava mengangguk lalu turun dari mobil. Gagah menyusul kemudian setelah mengambil tote bag di kursi belakang.
"Tolong dibawa dulu ya," pinta Gagah sambil menyerahkan tote bag ke Sava. Ia membuka pintu kemudian. Mereka berjalan ke arah ruang tengah dan membuat terkejut orang-orang yang sedang ada di sana.
"Abaaaaang!" Teriakan itu sontak membuat Gagah tertawa.
"Ngapain lo lari-lari kayak bocah," ejek Gagah melihat Anin langsung memeluknya erat. Ini anak, belum juga sebulan tidak bertemu.
"Kangeeeeen," kata Anin.
Gagah membalas pelukan itu sebentar sebelum mengusap punggung Anin. "Kan gue bilang, lo bisa ke apartemen. Masih sisa beberapa hari doang nih cuti gue."
"Nggak mau main ke tempatnya pengantin baru, entar lihat yang enggak-enggak."
"Sok tau." Gagah menjawil hidung adiknya. "Lo rawat ikan-ikan dengan baik, Nin?"
"Iya, Bang. Tiap lihat ikan pasti keinget lo. Biasanya kan elo yang bilang lagi mandiin ikan, boboin mereka, terus nyanyi-nyanyiin gitu. Nggak ada lo tuh ikan-ikannya pada diem ngelamun, mogok makan."
Gagah tertawa. "Entar gue bawa ke apartemen. Kemarin-kemarin belum sempet bawa."
Anin mengangguk saja. Ia berpindah untuk menyambut Sava. "Udah selfie belum Kak hari ini?"
"Kok selfie?" Sava tersenyum bingung.
"Biasa itu, Sav." Gagah yang menimpali sambil berjalan ke sofa untuk menghampiri orang tuanya. "Katanya kamu cantik. Anin kalo jadi kamu mau selfie tiap hari katanya."
Sava tertawa pelan mendengarnya. Ia lalu menyerahkan tote bag ke Anin.
"Apa ini, Kak?" tanya Anin tapi lalu histeris saat tahu isinya. "Makasih ya, Kak Sava."
"Ide abang kamu itu, Nin."
Anin mengeryit. "Bang!" panggilnya. "Makasih ya. Tumben perhatian."
"Apaan. Itu Sava yang beliin, bukan gue. Kepedean lo."
"Tapi Abang kamu yang usulin jajanan sehat buat lembur. Katanya kamu sering ngerjain skripsi sampe tengah malam."
Anin terkekeh mendengar ucapan Sava. Mereka berjalan ke ruang tengah dan bergabung bersama tiga orang di sana.
"Bang Gagah emang gengsinya selangit," ejek Anin. "Ketauan sayang adik aja nggak ngaku. Gimana tuh, Kak? Jangan-jangan nggak pernah ungkapin perasaan."
"Tiap hari malah dia. Nggak ada jeda."
"Astaga." Anin geleng-geleng kepala. "Emang buaya."
"Kalo gue buaya nggak akan nikah, Nin," sentak Gagah tidak terima.
"Kan buaya udah ketemu pawangnya, Abang."
Sava terseyum mendengar perseteruan itu. Ia tahu memang keduanya jarang akur kalau lagi bareng-bareng. Ia akhirnya menyalami kedua mertuanya.
"Ada istri kamu kok kamu malah manja begini sama Mama," kata Sari saat Gagah malah berbaring di sofa dengan kepala di pangkuan.
"Kangen, Ma," kata Gagah, suaranya tidak terlalu jelas karena ia memeluk perut mamanya erat-erat.
Sava memaklumi saat Sari menatapnya. Ia berpindah duduk ke sebelah Dandi karena dipanggil.
"Ini, Papa kemarin edit foto. Sava lihat ya."
"Iya, Pa," jawab Sava, ikut melihat ke ponsel yang Dandi ambil.
"Jangan diracun itu istrinya Gagah, Pa." Gagah sontak berbalik, berbaring menghadap dua orang yang asyik lihat ponsel.
"Diracun apa, Gah." Dandi membela diri. "Papa edit foto waktu pernikahan kalian. Ini lihat."
Sava tersenyum melihatnya. "Iya, Pa. Bagus. Kemarin Papa Aji juga tunjukin ke Sava."
"Bagus juga kan kata Papa kamu?"
"Iya, Pa."
"Mana aku lihat!" Gagah lalu bangkit duduk dan menghampiri Dandi. Ia amati foto itu dengan kernyitan di dahi. "Ya ampun, Papa. Di pernikahan kan ada fotografer kenapa milih foto sendiri? Itu juga kenapa fotonya miring gitu?"
"Lagi zamannya foto tapi hpnya agak diserongin kan, Gah?"
"Bukan kayak gitu caranya, Pa. Itu zaman udah lewat, waktu aku masih SD tuh baru foto hpnya dimiring-miringin."
"Di Portugal baru hits sekarang."
"Terserah Papa aja." Gagah memilih mengalah. "Itu juga kenapa edit fotonya dibingkai love love? Mana tulisannya ikatan mertua, lagi. Papa kalo mau dieditin foto, sini biar aku editin."
"Kamu pernah edit foto keluarga tapi hasilnya nggak cocok sama Papa, Gah."
"Kenapa nggak cocok?"
"Nggak ada bingkai-bingkainya."
Gagah langsung terduduk di samping Sava. Ia geleng-geleng kepala.
"Ya udah sih, Bang, biarin aja." Anin tertawa. "Yang penting Papa bahagia sama circle portugal. Nggak aneh-aneh juga."
"Iya benar itu Anin." Dandi tersenyum karena ada yang membela. "Papa lagi suka edit foto terus dikasih bingkai. Kemarin ada bingkai rumput gantung sama ularnya."
"Nggak sekalian ditambahin monyet bergelantungan, Pa?" tanya Anin.
"Maunya begitu, Anin. Tapi fotonya udah penuh bingkai. Papa aja cuma keliatan muka nongol di tengah-tengah rumput gantung. Udah pas itu kayak monyet."
Tawa Anin paling keras. Gagah sebenarnya mau tertawa ngakak kayak biasanya tapi ada Sava. Dan ia lihat Sava juga tertawa pelan mendengarnya.
"Sava nggak apa-apa kan kalau punya mertua suka edit foto?" tanya Dandi segera melihat menantunya tertawa.
"Nggak apa-apa, Pa. Pantesan kemarin Papa Aji juga tanya ke Sava aplikasi edit foto yang mudah."
"Aduh," keluh Gagah, menepuk dahinya pelan.
"Kalau udah bisa edit foto, Papa juga mau belajar edit video."
"Terus video di-slow motion 10x pasti, Pa," tebak Gagah, berharap banget jawaban Papanya adalah tidak.
"Kok kamu tau, Gah?"
Gagah sudah tidak bisa berkomentar lagi. Ia menyandarkan tubuh di sofa dengan lemas. Ia mendapati Sava menoleh padanya sambil tersenyum geli. Duh, lihat Sava senyum begitu lengkap dengan usapan di lengan membuatnya langsung lupa masalah edit foto penuh bingkai itu.
"Ayo, Bang, buka kado. Udah hampir dua minggu belum dibuka," kata Anin semangat.
"Tenaganya kurang, Nin," kata Gagah lalu duduk tegak. "Panggil Bagus gih biar ke sini. Dia janji ngasih gue kado."
"Loh, bukannya dia udah ngasih tiket penginapan ya?"
"Beda lagi. Ini voucher gratis ikan 100% tanpa minimal pembelian, dan tanpa batas nominal potongan, alias gratis."
"Astaga. Keenakan di elo dong. Bisa lo ambil yang gede dan mahal."
"Nggak gede-gede. Sava sukanya ikan kecil. Cukup punya gue aja yang gede."
"Gagah!"
Gagah tergelak mendapati pelototan dari semua orang di sana.
***
Getar ponsel terdengar cukup keras dan berulang. Gagah membuka matanya dan mengernyit. Penerangan di kamarnya tidak terlalu terang dan layar ponsel yang menyala di meja segera mengambil fokusnya.
Gagah menunduk sebentar dan sadar lengan kirinya masih jadi bantalan kepala Sava. Jadi ia berusaha mengulurkan tangannya yang bebas untuk meraih ponsel di meja. Dari nomor tidak dikenal lagi. Sudah beberapa kali.
Di tengah malam begitu, ke ponsel Sava pula, mau apa?
Gagah akhirnya menjawab panggilan dan diam sebentar. Menunggu dari seberang sana mengeluarkan suara lebih dulu.
"Sava ...."
Gagah mengenal suara itu, jadi ia jawab. "Gue suaminya."
"Oh, oke. Sava ada?"
"Tengah malam gini bukan waktu yang sopan buat menghubungi istri orang."
"Istri orang yang hatinya masih di gue?"
Tanpa sadar Gagah mengeratkan ponsel. Ia tahu orang di sana hanya mencoba memancing emosinya. Tapi Gagah tidak tersulut. Ia tetap mengucapkan dengan lirih karena takut Sava terbangun.
"Kalau ada urusan sama Sava, bisa lewat gue, dan bukan tengah malam begini."
"Lo yakin mau gue titip pesan buat dia lewat lo?"
"Kalo penting, lo bisa hubungi lagi nanti." Karena Gagah yakin Sava tidak pernah menanggapi panggilan beruntun itu.
"Dia nggak pernah jawab telepon gue karena ada lo."
Gagah tersenyum kecil. Benar kan?
"Jadi gue nitip pesan aja lewat lo. Bilang ke dia, kalo dia menyesal udah nikah sama orang lain, dia bisa balik ke gue kapan aja."
Gagah membeku sebentar. Kepalanya mendadak terasa panas. Ini sama saja ia direndahkan.
"Sorry, bro. Gue nggak coba hancurin rumah tangga kalian kok. Karena gue yakin banget hati Sava masih di gue jadi gue nggak perlu usaha banyak, tinggal nunggu waktu. Silakan lo aja yang harus ekstra usaha pertahanin dia. Lo bakal tau sesusah apa Sava didapetin. Good luck."
Telepon sudah terputus tapi Gagah belum menurunkan ponsel dari telinga. Ia mencengkeram ponsel dengan kuat seolah ingin menghancurkannya. Lambat sekali napasnya ia atur agar emosinya tidak makin menjadi.
Lalu Gagah menunduk, kembali menatapi wajah lelap istrinya. Ia memejamkan mata sebentar berusaha meyakinkan diri kalau memang Sava ada di pelukannya sekarang. Sava memilihnya dan ia tidak boleh menyiakan kesempatan itu.
Mendadak tenggorokan Gagah terasa kering. Bukan hanya itu, ia juga butuh udara segar selain di kamar. Jadi perlahan ia turun dari tempat tidur dan keluar kamar yang langsung berbatasan dengan ruang tengah.
Saat mau ke dapur, Gagah lihat adiknya di sofa ruang tengah sedang menghadap laptop dan ponsel bersamaan. "Ngapain lo ngerjain skripsi di sini?"
"Bosen di kamar." Anin menjawab, tapi lalu fokus ke ponsel lagi. "Iya itu ada Bang Gagah."
Gagah mendengus sebal. "Bucin lo, tengah malem aja masih teleponan, skripsi ditemenin."
Anin hanya menjawab dengan delikan saja.
Gagah berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Ada air putih untungnya. Ia butuh yang dingin-dingin jadi ia ambil satu botol dan duduk di sofa sambil ikut menonton televisi.
"Gue kira lo udah nggak galau bangun tengah malem abis nikah. Ternyata sama aja, Bang."
Gagah meneguk air mineral sampai berkurang setengahnya. "Alasan cewek mau balikan sama mantan itu apa, Nin?"
Anin sontak menoleh, kaget dengan pertanyaan itu. "Ngelindur lo?"
"Gue cuma tanya." Ia berdiri dan menghampiri akuarium. Sudah lama ia tidak melihat ikan-ikannya kalau bangun tengah malam. Biasanya ia menghabiskan waktu untuk melihati wajah tenang Sava kalau terjaga. Itu lebih membahagiakan soalnya, ikan jadi nomor dua.
"Alasannya banyak sih."
"Lo aja deh, kenapa mau balikan sama Bagus?"
Anin berdecak. "Karena masih sayang. Lagian alasan putusnya masih bisa ditoleransi, Bang. Jadi balikan buat memperbaiki."
"Kalo kesalahannya nggak bisa ditoleransi, lo gimana?"
"Kalo gue tetep nggak. Misal alasannya dia kasar atau main belakang sama yang lain, gue nggak bisa."
Gagah menekan telunjuknya di kaca akuarium, membuat ikan yang ada di sana langsung berbalik arah.
"Bang, gue tau antara lo sama Kak Sava nikah karena suatu hal. Gue nggak mau tau detailnya, tapi gue bisa nebak pertanyaan lo tertuju buat Kak Sava kan?"
Gagah tidak menjawab.
"Soalnya nggak mungkin banget lo yang bermasalah sama mantan. Orang lo udah lama nggak pacaran kok. Lagian gue juga agak kaget kalian nikah cepet banget. Iya emang lo ngebet, tapi Kak Sava kayaknya bukan tipe perempuan yang mudah nerima lo gitu aja."
Analisis cewek emang kadang detail banget. Gagah sampai tidak bisa menyanggah.
"Padahal gue lihatnya Kak Sava sayang sama lo."
Gagah meringis kecil.
"Tapi kalau dia mau diajak nikah artinya dia percaya sama lo, Bang."
Itu sudah Gagah tanamkan kuat-kuat di pikirannya.
"Saran gue, jangan tanya-tanya tentang masa lalunya kalo emang itu nggak ada hubungannya sama rumah tangga kalian. Lo nggak tau sebesar apa Kak Sava buat bangkit atau lupa kan? Siapa tau prosesnya lama dan sakit banget. Jangan ditambahin pake pertanyaan ke arah sana. Lebih baik lo bantu dia bahagia aja. Cewek bakal mudah luluh kok kalau diperlakuin baik. Apalagi kalian udah nikah, intimacy-nya pasti lebih lagi kan?"
"Iya, Nin," keluh Gagah sembari bersandar di kursi.
"Menurut gue nih ya, nggak tau cewek di luar sana. Tapi kami nggak akan bisa bayangin pelukan atau bahkan ngelakuin hal lebih lagi sama stranger. Kalo cewek itu mau, ya udah artinya nyaman dan punya rasa sama lo."
"Tapi yang pada Open BO itu?"
Anin melotot. "Itu mah tuntutan pekerjaan dan hidup, Bang, aslinya mereka juga ogah disentuh kalo nggak dibayar!"
Gagah terkekeh. Ia sudah merasa lebih baik sekarang.
"Bang."
"Apa?" Gagah berjalan kembali ke sofa dan menghabiskan air sisa tadi.
"Gue tau lo baik kok. Gue juga tau lo nggak gegabah waktu mutusin buat nikah. Artinya lo udah terima semuanya. Yang ikhlas nemenin Kak Sava, ya, Bang. Gue yakin pilihan lo udah yang terbaik."
Mendadak Gagah membeku. Ikhlas.
Ya Tuhan, Gagah bahkan sangat ingat bahwa ia pernah menanyakan tentang sejauh apa Sava sudah disentuh, padahal jelas-jelas dari awal ia yang bilang akan menerima apa adanya.
Gagah memang tidak berekspektasi terlalu tinggi. Namun merasakan sendiri bagaimana selaput dara milik Sava pertama kali saat itu membuatnya malah menerka-nerka sejauh apa hubungan sebelumnya. Belum lagi Gagah bahkan tanya siapa saja yang pernah melihat piercing tersembunyi punya Sava.
Gagah mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lantas pamit untuk masuk kembali ke kamar. Dilihatnya Sava masih tertidur pulas dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. Ia naik pelan-pelan dan mengecupi wajah Sava perlahan.
Dalam hati ia bertanya, apa Sava terbebani dengan pertanyaannya selama ini? Bahkan bisa saja Sava kemarin berbohong saat menjawab hanya dirinya yang melihat piercing itu, karena bisa jadi merasa takut ia marah atau tersinggung.
Gagah mengembuskan napas pelan. Ia tidak peduli jika pun kemarin Sava berbohong. Karena sebenarnya Sava tidak ada kewajiban menjelaskan apa pun tentang masa lalu padanya. Egonya kemarin memang sedikit tersentil setelah menemukan foto kebersamaan Sava di masa lalu jadi ia ingin merasa lebih.
Tapi Gagah sadar itu salah. Apalagi saat ia menanyakannya ke Kamboja, untuk apa? Rumah tangga mereka baik-baik saja sekarang.
"Gagah ...."
Sontak Gagah menunduk. Ia amati kedua mata Sava yang perlahan membuka sebelum tatap mereka bertemu.
"Kacau, Sav," gumam Gagah.
"Hm?"
Gagah tertawa pelan merasakan Sava menyurukkan kepala di dadanya. Sering kali Sava melakukan itu tapi ia tidak pernah protes.
"Lihat kamu bangun tidur aja punyaku ikut bangun."
Kepala Sava mendongak, dan menaikkan alis heran mendengar ucapan itu. Lalu Sava sedikit mengangkat kepalanya dan mengecup dagu Gagah. "Mau aku lemesin?"
"Astaga." Tawa Gagah makin berderai. Sebenarnya apa yang ia ragukan? Sava ada di sini, selalu di sampingnya, menjadi istri yang baik dengan tidak pernah membantah inginnya, apalagi panggilan-panggilan dari lelaki lain pun Sava selalu mengabaikan. Sava tidak menyembunyikan status pernikahan karena beberapa kali juga mengunggah kebersamaan mereka.
Kurang apa lagi? Ego Gagah yang terlalu tinggi karena ingin Sava juga membalas perasaannya. Padahal ia harusnya cukup melihat kenyataan saat ini. Sava memilihnya.
"Mau nggak?" Sava melepas kancing piyama Gagah di bagian dada dan menyentuhkan bibirnya di sana.
"Kasian kamu capek," jawab Gagah walau di sana makin nyeri karena kecupan Sava di dadanya. "Tadi pagi sampe siang kan ada kelas, sorenya ke sini buka kado sampe malem. Pasti capek. Istirahat aja ya?"
"Gitu?" Sava mendongak.
"Gitu apa? Beneran istirahat aja," jelas Gagah pelan.
"Yang bawah bilangnya beda," bisik Sava.
Gagah sontak membelalak merasakan tangan Sava sudah sampai di mana. Ia mengerang frustrasi saat itu juga. "Nanti cepet punya anak dong kita, Sav."
"Nggak apa-apa."
Gagah menepikan helai rambut Sava. "Nggak mau nunda dulu? Udah siap?"
Sava mengangguk yakin. "Mau punya baby dari kamu."
Gagah tersenyum, lalu dibalas senyum Sava juga. Ia terpaku beberapa saat karena senyum Sava berbeda. Ia tidak tahu apakah hanya efek penerangan yang seadanya atau memang Sava memberinya senyum seindah itu.
Lengkungan di bibir lalu sorot mata yang meneduh membuat Gagah segera mendekatkan bibir untuk mengecup kening Sava dengan lembut. Sava ada di sini, berusaha menyempurnakan diri untuknya, dan Gagah tidak boleh banyak menuntut. Begini saja cukup.
Memangnya apa yang kurang? Tidak ada kan?
🐳🐳
Bantu Gagah jawab dong. Kurang apa😶
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top