2. Ada yang Salah?

Hehe.

🐳🐳

Habis berbalik, Gagah mengerjap sebentar. Sepertinya ia dengar suara pintu berderit. Semoga benar pintu di belakangnya sudah tertutup. Berniat memastikan, Gagah memutar tubuh. Bukan membuatnya lega, ia malah makin terpaku.

Jelas sekali perempuan itu meraih outer dengan santai, tidak terlihat sama sekali terganggu dengan kedatangannya. Lalu langkah itu mendekat, makin membuat Gagah tidak bisa berpikir. Matanya tidak lepas dari perempuan itu yang bahkan sekarang berjalan ke arahnya dengan menempelkan ponsel di telinga.

"Di sini," ucap perempuan itu ke telepon, yang masih sanggup Gagah dengar.

Mereka berhadapan. Gagah tersadar. Dugaannya di awal tadi keliru. Ia pikir perempuan di depannya ini santai menanggapinya. Ternyata wajahnya amat datar dan tatapnya teramat dingin. Ia bahkan bisa sadar tangan perempuan itu sedikit gemetar meski rautnya sama sekali tidak berekspresi.

Lalu Gagah tersentak kaget. Ia dengar derap langkah keras dengan entakan membuatnya menoleh ke asal suara. Belum mampu berpikir apa yang terjadi, seorang pria bertubuh tinggi besar melayangkan satu pukulan tepat di wajah.

Gagah terhuyung ke arah belakang. Satu pukulan lagi hampir sampai di perut saat sebuah suara terdengar.

"Siapa suruh kamu pukul dia?"

Gerakan itu terhenti, tepat beberapa senti saja tonjokannya di depan wajah Gagah. Tersadar kemudian apa yang terjadi, ia mengerang, tiba-tiba sadar kalau hidungnya mungkin berdarah.

"Bantu dia bangun."

Gagah jelas menolak saat pria bertubuh tinggi besar berotot mengulurkan tangan, menuruti ucapan si perempuan. Enak aja. Seenak jidat pukul orang, sekarang ulurkan tangan. Ia jelas tidak mau menerima bantuan tidak berguna itu.

Susah payah Gagah bangkit. Sial, hidungnya cenat cenut tidak karuan. Bibirnya sobek juga kayaknya.

"Bisa baca ini?"

Suara itu membuat Gagah melihat pada arah yang ditunjuk si perempuan. Seketika ia melotot. Ada tulisan khusus wanita. Mana ia tahu dan lihat kalau tulisannya bahkan sama warna dengan dinding!

Itu orang niat bikin aturan nggak sih?

Kalau niat harusnya diperjelas dengan warna yang mencolok, bukan tenggelam dalam dinding kayak gitu.

Tapi Gagah tidak mampu berkata karena bibirnya nyeri banget. Ia bahkan mengernyit saat hampir berucap satu kata, saking susahnya. Baiklah, membela diri tidak ada gunanya di sini. Perempuan itu kelihatan jenis orang yang tidak mau kalah.

Bukan judes, apalagi jutek. Cuma wajah dinginnya itu bikin Gagah tidak berani membantah. Kalau dibunuh kan bahaya. Mending kalau dibunuh laki-laki, harga dirinya masih tersisa. Kalau ia mati di tangan perempuan, apa gunanya nama 'gagah' yang tersemat selama ini?

"Khusus wanita."

Gagah ikut menunduk saat sadar perempuan di depannya menelitinya dari atas sampai bawah dan berhenti di satu titik saat mengatakan kata "Wanita".

Dikiranya Gagah bukan laki tulen apa ya?

Tapi lagi-lagi Gagah tidak menjawab. Ia hampir mencegah perempuan itu berbalik tapi terlambat.

"Eh ...." Gagah akhirnya diam lagi, mengamati pintu yang tertutup.

Apa ia tidak salah lihat? Suatu hal sebelum perempuan itu berbalik tadi?

***

"Kenapa muka anak Papa?"

"Ditonjok gara-gara hamilin anak orang, Pa," jawab Anin yang sedang mengobati luka memar di wajah kakaknya.

"Apa?!" Pekik Dandi sambil melotot. Ia bahkan melempar tas kerja ke sofa dan menghadap Gagah dengan wajah serius. Diamati wajah Gagah dengan saksama sebelum tangannya terulur.

"Pa," sentak Gagah ngeri, takut papanya gencet lukanya kan tidak bisa dibayangkan.

"Lanjutkan." Dandi mengacungkan jempol, lalu duduk di seberang anak-anaknya.

Anin giliran yang melotot. "Kok lanjutkan, Pa?"

"Biarin abangmu hamilin anak orang, Nin. Daripada hamilin anak ikan."

"Ya nggak gitu dong, Papa." Anin sebal, tapi malah dilampiaskan ke Gagah jadinya ia tekan saja luka di sudut bibir kakaknya membuat teriakan seketika terdengar.

"Iya, tugasnya laki-laki kan hamilin." Dandi nyengir. "Hamilin istri, Gah. Awas kalo berani macam-macam."

Anin tertawa kali ini. "Kalo macem-macem mau diapain, Pa? Digantung?"

Dandi menggeleng. "Nggak Papa gantung, biar dia gantung sendiri."

"Sadis." Anin menoleh ke Gagah. "Kapok lo."

"Mana mau operasi ikan lagi." Gagah berdecak. "Bagus lama amat datengnya, Nin."

"Lagi di jalan, Bang. Sabar. Lo ngotot amat mau ketemu."

"Gue mau pedekate sama karyawannya."

"Karena ngerasa cocok sama-sama suka ikan?"

"Pasti. Kalo ada yang suka ikan juga, kenapa harus ngejar yang lain?"

"Berarti lo masih nomor satuin ikan, Bang. Ubah coba itu tujuan lo. Cari yang bener-bener lo sayang, lo butuhin, kalo dia suka ikan juga artinya bonus."

Gagah terdiam mendengarnya.

"Kalo lo deketin orang yang juga suka ikan, apa lo yakin hati lo bisa ada di sana?"

Gagah lagi-lagi terdiam. Ia mengernyit sebentar saat pengobatan terakhir di wajahnya sudah selesai. "Pusing gue, Nin."

Terdengar bel berbunyi yang membuat Gagah langsung yakin kalau itu Bagus. Ia menunggu saja biar Anin yang bukakan pintu. Ia siapkan alat-alat yang dibutuhkan dan membawanya ke belakang rumah, tapi sialnya pikirannya malah tidak fokus. Gara-gara ucapan Anin tadi.

"Udah disiapin, Bang?"

Pertanyaan itu membuat Gagah menoleh. "Udah, Gus. Es batunya ini buat apaan?"

Bagus duduk di samping Gagah. "Buat bikin ikannya pingsan bentar."

"Eh iya, nggak sadarkan diri dia." Gagah kagum, baru kali ini lihat ikan bisa pingsan begitu. Apalagi waktu kutilnya diiris pelan-pelan sampai akar-akarnya. "Emang nggak perih abis dicoel lukanya, langsung masuk air?"

Bagus tertawa. "Ikan emang hidupnya di air, Bang. Mau gimana lagi."

Gagah mengangguk-angguk saja. "Gus, gue mau nanya."

"Iya, Bang?" Bagus menoleh sebentar setelah memasukkan ikan ke air yang sudah diberi obat.

"Gadis beneran masih kuliah?"

Bagus mengangguk. "Umurnya sekitar 20 tahun kayaknya. Dua tahun lalu dia daftar kerja di toko saya umurnya masih 18."

"Setahun di bawah Anin berarti." Gagah garuk-garuk kepala. "Tapi cakep banget sih. Kalem juga keliatannya."

Bagus lagi-lagi tersenyum saja.

"Menurut lo, gue cocok nggak sama dia? Okelah, umur gue emang 27, keliatan kayak pedofil? Nggak kan?"

"Bang." Bagus tidak tahan akhirnya tertawa. "Yang bisa nilai cocok atau nggak itu dari Bang Gagah sendiri."

"Iya juga. Tapi dari yang lo lihat aja, Gadis kan cantik, cocok nggak sama gue? Atau gue terlalu buluk buat dia?"

"Bang Gagah itu tampan, kok. Keren." Bagus mengacungkan jempol.

Gagah mendengus. "Disuruh muji cewek nggak mau, malah muji gue. Jangan-jangan lo suka gue, Gus?"

"Ada-ada aja." Bagus geleng-geleng kepala, seolah sudah biasa dengar ucapan nyeleneh dari Gagah.

"Udah punya pacar belum dia kira-kira?" Gagah bergumam.

"Saya nggak tau. Tapi biasanya kalau pulang kerja naik ojol. Kalau lihat dia jalan kaki, biasanya saya mintain tolong karyawan yang di mess antar dia."

"Mulai besok gue yang jemput dia bisa kali ya."

Bagus terkekeh. "Iya, sebahagia Bang Gagah aja."

***

Sudah pukul 10 malam.

Kata Bagus sih Gadis masuk shift siang. Mungkin Gagah bisa dibilang nekat. Tapi apa daya kalau ia sudah tertarik pada paras Gadis di awal ketemu dulu? Tidak bisa disanggah lagi.

Makanya sekarang Gagah ada di pelataran toko ikan. Cuma memastikan, apa Gadis adalah perempuan yang bisa ia kejar atau tidak. Kalau sudah punya pasangan ya silakan, kalau belum ia akan coba pedekate.

Gagah tidak pernah muluk-muluk dalam sebuah hubungan. Memang tidak banyak yang membuatnya merasa cocok meski tidak sedikit juga yang coba ia sebar jaring di mana-mana. Hasilnya nihil. Orang-orang bilang ia tukang ghosting, padahal kan cewek yang mau ia ajak serius menolak untuk ke arah sana. Terus saat ia tinggalin, dibilang playboy.

Gagah jadi tidak tahu sebenarnya maunya perempuan itu apa. Mungkin juga sebelum ini ia terlalu terburu-buru. Sekarang santai sajalah. Kalau Gadis belum siap ke arah sana ya ia tunggu saja. Ia mau santai cari calon istri yang cocok.

"Gadis," panggilnya melihat seseorang baru keluar melewati pintu.

Terlihat sekali Gadis terpaku di sana. Gagah langsung mendekat.

"Pulang sendirian?" Gagah bertanya sambil melirik ponsel perempuan itu yang sedang menunjukkan aplikasi ojek online. "Oh, udah pesen ojol."

"Iya." Gadis mengangguk kaku.

"Oke." Gagah mengangguk-angguk. "Aku temenin nunggu di sini."

Gagah lebih dulu duduk di bangku depan toko. Melihat Gadis masih berdiri di sana, ia menepuk tempat di sebelahnya. "Sini duduk."

Tersadar, Gadis mengangguk. Ia duduk di sebelah Gagah, masih tidak tahu kenapa lelaki itu tiba-tiba di sini.

"Jadi kemarin ikanku baru dioperasi." Gagah memulai. Bagaimana lagi, Gadis akan lari ketakutan kalau ia terabas tanpa pikir panjang. Dikira om-om cabul, lagi!

"Nggak mati kan ikannya?" Gadis menoleh dengan antusias.

"Nggak." Gagah tertawa. "Soalnya dioperasi sama ahlinya. Aku cuma lihat aja. Kamu punya ikan hias juga?"

Gadis mengangguk. "Ada dua. Satu hadiah dari bos waktu menang lomba tujuh belasan."

Gagah mengernyit. "Ada lomba tujuh belasan di sini?"

"Iya. Sesama karyawan aja, Kak. Terus karena aku dapatnya cupang aduan, aku beli satu lagi."

"Wah." Gagah terkejut. Gila, ia saja beli ikan cupang hias karena suka warna sirip dan ekornya yang indah banget. Seorang Gadis malah punya ikan cupang buat diadu? "Nggak takut liatnya? Kayaknya ikan cupang aduan giginya runcing kan? Mulutnya juga nakutin. Kamu pernah lombain adu cupang?"

Gadis tersenyum. Yang sukses membuat Gagah tidak bisa berpaling dari lengkungan bibir itu.

"Nggak dilombain, Kak. Kan ilegal. Cuma aku tambah satu biar ada temennya. Tapi mereka juga sering banget berantem. Memang kerjaannya kayak gitu."

Syukurlah. Gagah lega dengarnya. "Aku kira kamu ikut lomba aduannya."

"Mereka juga punya hak buat hidup."

Iya, Gagah setuju. Hewan beradu memang sudah jadi biasa, tapi kalau sengaja diadu untuk kepentingan pribadi jelas melanggar hak hidup mereka.

"Kamu punya ikan banyak?" Giliran Gadis yang bertanya.

"Nggak terlalu. Kadang sempat bersihin, kadang nggak. Jadi punya dikit aja biar rawatnya maksimal."

"Aku juga dulu pernah operasi ikan, Kak. Coba-coba, malah mati."

Gagah tersenyum geli. Ternyata Gadis itu menyenangkan juga. Bicara apa adanya. "Makanya kemarin aku nggak berani."

"Iya, aku juga nggak mau lagi coba-coba."

"Kalo serius mau?" tanya Gagah tiba-tiba, malah melenceng jauh dari pembicraan mereka.

Tidak sempat menjawab, obrolan terhenti saat sebuah motor memasuki pelataran toko. Gadis hampir berdiri tapi ragu. Ia menatap Gagah seolah ingin bicara sesuatu.

"Mau lanjut ngobrolnya?" Gagah bukan terlalu percaya diri. Hanya saja ia hafal kalau perempuan hobi berbicara tentang hal yang disenangi dan Gadis terlihat belum selesai.

Kedua tangan Gadis mencengkeram tali tas selempangnya dengan bimbang.

Gagah ambil langkah. "Kamu tunggu sini dulu."

Gadis diam saja. Jujur saja, ia jarang merasa nyaman berbicara dengan laki-laki. Tapi pembawaan Gagah sangat santai. Lelaki itu juga tidak memaksanya ikut walau tahu niat Gagah di sana untuk apa.

Dan sekarang ia lihat Gagah berbicara sebentar dengan bapak ojol sebelum orang itu pergi dari sana dan Gagah kembali menghampirinya.

"Kalo mau lanjut ngobrol, aku temenin. Jangan di sini, udah sepi banget." Gagah sudah meraih jaketnya dan menyerahkan ke Gadis. "Di tempat makan aja ya."

Gadis masih diam, meragu.

"Kamu boleh bawa motorku sampai angkringan depan itu kalau takut aku bawa kamu ke mana-mana. Nanti biar aku jalan aja."

"Oh, nggak." Gadis menggeleng. Kenapa malah jadi Gagah yang menanggung susah? "A-aku ... ikut jalan aja."

Gagah tersenyum. Ia mengangguk. Memang lebih aman kalau jalan. Naik motor dikira mau nyulik nanti. Lagian tempat makan memang hanya di seberang. Nanti gampang ia pesankan Gadis ojek online lagi untuk sampai di rumah.

"Rumah kamu jauh dari sini?" tanya Gagah saat mereka sudah berjalan.

"Aku di kos."

"Oh, ngekos udah lama?"

Gadis mengangguk. "Sejak pindah ke sini buat kuliah."

"Kuliah di mana?" Mendengar Gadis menyebutkan salah satu nama kampus, Gagah mengangguk. "Sekampus sama adikku ternyata. Beda fakultas. Pantesan, kalo aku jemput adikku nggak pernah lihat kamu."

Gadis terkekeh. "Kampus kan luas, Kak."

"Iya juga." Gagah mengiyakan. "Nggak capek kuliah sambil kerja?"

Gadis menunduk saja, tidak menjawab.

Gagah salut. Ia memang sering mendapati dulu temannya kuliah sambil kerja. Tetapi jika itu terjadi pada Gadis, perempuan yang terlihat pendiam ini, rasa-rasanya lebih membuatnya kagum

"Kamu ada keturunan negara lain?"

Gadis mendongak dan mengangguk singkat. "Dari Nenek."

"Wajah kamu oriental. Cantik."

Lagi-lagi Gadis menunduk. Dalam gelap itu ia berharap lelaki di sebelahnya ini tidak menyadari semburat merah di pipinya. "Pasti gebetan kamu banyak," gumamnya.

"Astaga, difitnah." Gagah menggeleng dramatis. "Emang keliatan buaya ya?"

Gadis meringis. "Keliatannya."

"Mau bukti?" Gagah menunduk karena tinggi Gadis sebatas dadanya. "Kalo kamu mau aku jadiin satu-satunya, aku turutin."

"Nggak percaya." Gadis menaikkan alis.

"Liat aja." Gagah kembali berdiri tegak dan melangkah. "Oh ya, emang aku udah kenalin diri belum ya? Lupa."

Gadis terdiam. "Iya, belum."

Gagah tertawa. Bisa-bisanya sudah bicara panjang lebar tapi lupa menyebutkan nama. Ia lalu mengulurkan tangan. "Gagah."

Gadis membalas uluran tangan itu sambil tersenyum. "Gadis."

"Kok bisa sampai lupa padahal udah cerita banyak." Gagah berdecak heran dengan dirinya sendiri.

"Terlalu nyaman."

Dan Gadis keceplosan.

***

Gagah mendadak terbangun. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, mengacak rambutnya dengan frustrasi. Ia melirik jam di dinding. Pukul 3 pagi. Sudah berlalu berjam-jam sejak ia dan Gadis makan bersama tadi. Hal yang sudah sangat lama Gagah lakukan terakhir kali dengan perempuan.

Tapi ... astaga.

Gagah meraup wajahnya dengan kasar. Suasana lampu temaram membuat napasnya sedikit menderu. Ia raih air mineral di meja dan meneguknya sampai tandas. Dadanya masih berdebar, otaknya berpikir keras, terlebih perasaannya mendadak tidak karuan.

Ia baru saja bermimpi. Tepatnya mungkin bukan mimpi, tapi kenyataan beberapa hari lalu. Saat wajahnya babak belur. Saat ia melihat perempuan itu. Tidak, bukan gerakan perempuan yang sedang pole dance itu terngiang. Sama sekali bukan.

Tapi setitik air mata yang sempat ia lihat sebelum perempuan itu berbalik dan menutup pintu. Waktu itu Gagah merasa salah lihat dan memilih tidak memikirkan lebih lanjut. Kenapa sekarang di tidurnya ia diingatkan lagi? Apa ini tanda kalau ia sudah melakukan kesalahan ke perempuan itu?

Demi apa, ia bahkan baru kencan dengan Gadis, kenapa dalam mimpinya malah diingatkan perempuan lain?

Ada yang salah dengan dirinya. Pasti.

🐳🐳

GAGAH kang ghosting.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top