19. Cuma Kamu yang Tau
Dasar wanita malam (update-nya)
🐳🐳
Pelukan keduanya belum terurai. Bukan hanya Sava, kini lengan Gagah juga sudah merengkuh tubuh istrinya untuk dipeluk. Ia beri usapan pelan sembari menenangkan detakan jantungnya yang masih bedetak lebih kuat.
Tidak ada kalimat apa pun sebagai balasan ucapan Sava yang minta maaf tadi. Gagah hanya memberinya kehangatan dalam rentang pelukan, berharap Sava tahu bahwa Gagah masih sanggup untuk menjadi pelindung meski hatinya sendiri harus dipertaruhkan.
"Kamu harus ngajar kan?" Gagah berbisik pelan. Ia tidak berniat melepas pelukan karena Sava terlihat membutuhkannya sekarang.
Namun tidak ada balasan dari Sava, yang ada perempuan itu justru mengeratkan pelukan.
"Sayang," panggil Gagah lagi. Kali ini ia merenggangkan peluk dan berusaha mencari tatapan Sava. Ia tersenyum dan merangkum wajah Sava. Ekspresi merasa bersalah itu ia tangkap. Akhir-akhir ini Gagah merasa baru bisa mengenali istrinya. "Katanya ada sesi."
"Kita harus ngobrol kan?" tanya Sava.
"Nanti," jawab Gagah pelan. "Abis kamu selesai. Sekarang balik ngajar dulu gih."
"Maaf," ucap Sava lagi. "Aku bikin kesalahan lagi."
"Kesalahan?" Gagah mengernyit, lalu terkekeh. "Enggak. Itu kan foto lama. Wajar kalo kamu masih lihat-lihat. Nanti lama-lama juga kamu lihatinnya cuma suami kamu ini."
Sava tidak tersenyum karena meski Gagah mengucapkannya dengan nada bercanda tapi ia tahu betul lelaki itu kecewa dan sakit.
"Aku harusnya lebih hargain kamu lagi," kata Sava menyesal. Tangannya diletakkan di dada Gagah dan menekannya pelan.
"Kasian kamu kalo harus double nanggungnya, Sav," kata Gagah. Melihat Sava seperti belum mengerti ucapannya, ia melanjutkan. "Kamu cukup fokus buat sembuhin diri kamu, buat bisa melepas dia. Biar aku yang lakuin sisanya, bikin kamu seneng, penuhin apa yang kamu butuh, jadi orang yang bisa kamu andalkan. Kamu cukup fokus ke diri kamu aja, kasian kalo harus mikirin perasaanku juga. Itu urusan belakangan."
Sava makin terkejut lagi mendengar ucapan itu. Ia lantas mendekat dan menyurukkan kepalanya di dada Gagah, merasai detakan yang kerap membuatnya nyaman akhir-akhir ini, memberinya perlindungan saat sadar maupun tidak.
"Aku nggak bisa janji apa-apa, Gah," kata Sava kembali memeluk Gagah. "Yang aku yakin setelah aku selesai, cuma kamu tujuanku."
Gagah memberi kecupan di kepala Sava. Matanya terpejam menikmati harum yang menguar di rambut sang istri. "Aku percaya. Kita bareng-bareng ya."
Sava mengangguk, lalu melepas peluk. Ia meraih album foto tadi lalu menoleh ke Gagah. "Biar aku bawa."
Gagah menyetujui. Ia tidak tahu niat Sava membawa album itu untuk apa. Mungkin untuk mengenang tanpa sepengetahuannya demi menghargai perasaan Gagah, seperti kata Sava tadi.
"Aku berharap sesi ini cepet selesai," kata Sava sambil mengembuskan napas lelah.
"Baru juga mulai." Gagah terkekeh lalu membawa Sava keluar kamar.
"Iya, dan dua sesi."
"Tiga."
"Dua," jawab Sava, mengingatkan ke Gagah kalau ia tadi sudah memberi tahu ada dua sesi.
Sampai di luar kamar, Gagah lalu menaikkan alis dan tersenyum menggoda. "Satunya sama aku."
Sava balas tersenyum. "Cuma satu?"
Astaga. Hal-hal seperti inilah yang membuat Gagah kembali sembuh meski hatinya sempat sobek tadi. Kalimat-kalimat yang membuatnya yakin bahwa ia bisa jadi satu-satunya. Setidaknya sekarang, satu-satunya yang memiliki Sava untuk seumur hidup.
Lagi pun, Gagah tidak ingin terlalu memaksa. Sava perempuan dewasa yang tahu bagaimana cara menyembuhkan diri. Entah dengan orang baru atau diri sendiri. Mungkin Sava sempat gagal sembuh sendiri, jadi mencari pegangan untuk membantunya.
Dan Sava mengatakan yakin bahwa Gagah adalah satu-satunya tujuan akhir nantinya. Hal itu cukup membuat luka Gagah tertutup begitu saja.
"Aku mau makan di luar dulu ya. Nanti balik," ucap Gagah. "Mau nitip makan apa, Sav?"
Sava berpikir sebentar.
"Oke, aku tau jawaban kamu itu deretan makanan sehat lainnya, tapi minumnya kopi."
Sava mendengus geli mendengar itu. "Nanti aku hubungin kalau mau nitip."
Gagah mengangguk. Ia memeluk Sava sebentar lalu mencuri ciuman singkat di bibir. "Love you."
Sava mengangguk dan berbalik, membuka pintu ruang kelas.
Gagah mengusap wajahnya dengan kasar setelah Sava pergi. Ia menoleh ke meja dan tahu bahwa ponsel Sava di sana. Mereka memang begitu terbuka tentang ponsel satu sama lain. Gagah juga kerap melihat panggilan beruntun dari nomor tidak dikenal, masuk ke Sava. Beruntung karena Sava tidak pernah menjawab satu panggilan pun. Mungkin tahu itu dari siapa.
Sampai dekat meja, Gagah meraih ponsel Sava dan mencari sebuah kontak untuk ia hubungi. Tidak menunggu lama—bahkan kelewat cepat—suara di seberang sana terdengar.
"Iya, Bu Sava. Saya akan ke sana dengan kecepatan 200km/jam, dibantu angin dan elemen udara. Bu Sava nggak perlu khawatir, cukup hitung mundur dari lima sampai minus seribu, saya akan sampai di sana secepatnya. Iya, Bu. Saya ini titisan Minato Namikaze yang punya jutsu—"
"Lo pikir ini di Konoha?" potong Gagah langsung.
"Loh, Pak Gagah? Kok tumben telepon saya, Bapak kang—"
"Lo di mana?"
"Di Konoha."
"Gue serius, Boja."
"Iya Pak. Saya juga mau diseriusin. Tapi izin Bu Sava dulu."
Fuck. Kamboja benar-benar menguras tenaga Gagah. "Lo sibuk?"
"Selain untuk panggilan dari Bu Sava atau ajakan kencan dari Pak Gagah, saya sibuk."
Ni laki berotot benar-benar bikin Gagah hilang kesabaran. "Jawab yang bener, lo di mana?"
"Di ruang gym lantai bawah kantornya Bu Sava, Pak."
"Oke, kalo udah selesai, ke kantin atas. Gue tunggu."
"Agak lama ya, Pak. Saya harus siap-siap."
"Apa-apaan. Tadi lo bilang kalo Sava yang manggil bisa 200km/jam terus beberapa detik udah sampe. Kok sekarang bilang lama?"
"Kalau ketemu Bu Sava saya nggak perlu atur penampilan. Tapi kalau ketemu Pak Ga—"
"Oke, gue tunggu!" Daripada repot dan makin panjang Gagah mendengar celotehan Kamboja, ia pilih mengalah dan menutup panggilan.
Gagah meletakkan kembali ponsel Sava di meja sebelum keluar dari sana dan menaiki lift menuju kantin atas. Niatnya mau makan di luar tapi ternyata Kamboja ada di gedung yang sama.
Sampai di kantin, Gagah mengambil minuman. Bersoda lagi. Bodo amatlah, ia sedang butuh yang segar-segar. Ia lalu duduk di kursi paling luar, biar bisa kabur kalau diperkosa sama Kamboja.
Menunggu lumayan lama, Gagah akhirnya melihat lelaki bertubuh kekar dengan otot-ototnya yang menyembul itu duduk di hadapannya. Bau parfum langsung menyengat. Mana rambutnya licin banget dipakein pomade pula. Padahal setahu Gagah selama ini tidak pernah tuh lihat Kamboja sok keren saat lagi sama Sava.
"Parfum lo bau bunga kuburan, Boja."
"Sesuai nama saya, Pak." Kamboja tersenyum.
Gagah memutuskan langsung pada intinya. "Udah lama kerja sama Sava?" tanyanya sambil lalu.
"Lumayan."
"Lumayannya berapa taun, Ja," kata Gagah kesal. Ia bahkan sampai mengetukkan botol minuman di meja agak keras.
"Jangan galak-galak. Pak Gagah tambah ganteng kelihatannya."
"Shit!" umpat Gagah. "Gue tanya beneran ini, Boja!"
"Saya juga beneran. Pertama kali lihat Pak Gagah udah kagum. Tampan, tinggi, cowok banget. Pantes Bu Sava langsung suka dan mau nikah sama Bapak."
Gagah geleng-geleng kepala mendengarnya. Ini si Kamboja sok tahu banget padahal jelas-jelas Sava mau menikah dengannya karena ia adalah pilihan papanya.
"Saya sudah sekitar 7 tahun bekerja sama Pak Aji." Akhirnya Kamboja menjelaskan. "Tapi beberapa tahun terakhir dimintain tolong buat jaga ruangan Bu Sava juga."
"Kenapa harus dijaga?"
"Pernah ada yang maksa masuk ke sana waktu Bu Sava sendirian."
Gagah menegakkan tubuh. Ia menatap Kamboja serius. "Sering?"
"Satu kali, saya yang dengar Bu Sava teriak dari dalam."
Pantas Sava mempertahankan Kamboja, bahkan tidak ragu-ragu membela bodyguard-nya itu jika Gagah kadang berceloteh sebal dengan Kamboja, ternyata lelaki itu sudah berjasa.
"Mau lanjut nggak nih, Pak? Kepo kan pasti? Saya kenal baik Bu Sava dan beliau nggak mungkin cerita ke Bapak. Pasti Bapak kepo kan?"
"Sotoy lo," kata Gagah sebal. "Gue cuma tanya lo kerja di sini udah berapa lama, lo aja yang bocorin informasi."
"Bapak nggak usah malu. Gini-gini saya pernah sekolah intel, Bapak gerak aja saya tau pengin apa."
"Pengin apa?" tantang Gagah.
"Pengin sama saya kan, Pak?"
"Gila lo, Ja," sentak Gagah tidak terima. "Kalo lo tau maksud gue ya ceritain cepet, bukan malah berhenti."
"Saya mau cerita asalkan ...." Ucapan Kamboja terjeda. "Saya dikasih nomor hp Bapak."
"Nggak!" tolak Gagah mentah-mentah. "Gue udah punya istri woy. Lo cari laki lain yang belum beristri sana."
"Kan jatah Bapak empat."
"Iya tapi jatah gue nikahin Juliet bukan Junedi!"
"Saya bisa jadi Juliet juga kok, Pak."
"Nggak. Lo mau jadi juliet atau apa pun juga nggak ngaruh. Gue udah punya satu dan nggak ada niat nambah Juliet lagi apalagi Junedi!"
Tubuh besar Kamboja terlihat meluruh dan bersandar di kursi. "Padahal saya mau bantu Bapak. Saya tahu dalam pernikahan pasti ada curiga. Saya takut Bapak dengar dari orang lain dan takutnya mereka menjelekkan Bu Sava. Saya nggak terima."
Gagah mengurut pelipisnya pelan. Ternyata menghadapi Kamboja Junedi lebih susah daripada menyembuhkan sakit hatinya tadi.
"Saya juga inget pernah ketemu Junedi di New York waktu diminta Pak Aji buat jagain Bu Sava yang—" Kamboja menutup mulutnya refleks.
Gagah langsung mengernyit. "Apa lo bilang?" tanyanya serius. "Lo ikut ke New York nemenin Sava? Waktu nemuin pacarnya?"
Kamboja melirik jam di pergelangan tangannya. "Saatnya saya jadi supir Pak Aji. Tadi Pak Aji kabarin saya katanya mau ke kantor."
"Jangan kabur lo ya." Gagah berdiri karena Kamboja ngiprit dari sana. "Boja!" teriaknya untuk terakhir.
Sial, ucapan itu bikin Gagah penasaran parah. Masa iya ia harus kasih nomor ke Kamboja biar mau cerita? Tidak, Gagah menggeleng. Lebih baik tanya ke Sava. Segera.
***
"Sava, Ya Tuhan, kamu ngapain?" tanya Gagah terkejut saat membuka pintu kamar.
"Ini." Sava menunjuk jam dinding dengan ragu.
Gagah berdecak. Tatapnya khawatir. Bagaimana tidak, Sava menumpukkan kursi di atas meja lalu berusaha naik dan menggapai jam dinding tapi tidak sampai-sampai.
"Turun ya," kata Gagah merentangkan tangan sembari mendongak. "Sini."
Sava terlihat bimbang, menatap Gagah lalu bergantian jam dinding.
"Itu biar nanti aku yang bantu lepas. Eh, mau dilepas atau diapain?" tanya Gagah, takutnya ia salah paham. Jam dinding dengan foto latar Sava dan si Jev entah siapa itu masih terpasang rapi di sana.
"Dilepas."
Gagah tersenyum. Tangannya bergerak lagi, merentang, meminta Sava turun. Akhirnya perempuan itu nurut dan menjatuhkan dirinya di pelukan Gagah.
"Nah, pinter." Gagah terkekeh menggendong Sava di pelukannya. Ia mengecup pipi Sava satu kali sebelum menurunkannya. "Aku bantu lepas jamnya."
Gagah naik pelan-pelan ke atas meja, lalu makin naik lagi ke atas kursi. Tangannya dengan mudah menggapai jam dinding yang ternyata lumayan berat. Ia turun lagi dan berdiri di depan Sava. "Kotor." Ia meniupi debu di bagian depan jam dinding. "Mau dibersihin?"
Sava menggeleng. "Mau ... disimpen, atau dibuang nggak apa-apa."
Gagah menaikkan satu alis heran. "Dibuang?"
Sava mengangguk yakin.
"Ya udah," kata Gagah tidak ingin menanyakan lebih lanjut. Ia memperhatikan foto itu lekat. "Kamu emang cantik dari dulu ya, Sav," pujinya.
Sava cukup terkejut mendengar justru itu yang dikatakan Gagah. "Kamu nggak marah dan nggak benci lihat foto itu?"
Gagah mengedikkan bahu dan meletakkan jam di bawah tempat tidur. Ia ambil kursi dan meletakkan ke tempat semula, lalu mejanya juga ia geser. "Nggak marah lah. Itu kan masa lalu kamu. Masa iya aku harus benci sama mantan-mantan kamu," katanya diakhiri dengan tawa ringan.
"Mantanku cuma satu."
"Hebat," kata Gagah, ia menggosok-gosokkan tangannya dengan tisu basah untuk membersihkannya dari debu. "Aku makin bangga sama kamu. Kamu setia banget orangnya. Cocok dijadiin istri."
Sava berjalan pelan mendekati Gagah di depan meja. Lalu mereka berhadapan. Ia mendongak dengan tatap serius. "Kamu nggak marah?"
Gagah menghela napas pelan. Ia sedikit menunduk dan merangkum wajah Sava. "Aku nggak marah sama masa lalu kamu. Yang akan bikin aku marah, mungkin, kalau ada yang berusaha ambil istriku."
"Aku nggak mau," kata Sava cepat.
"Iya, aku juga nggak ngasih izin, sekalipun ke orang yang pernah bahagiain kamu lebih lama dari aku," bisik Gagah. "Aku juga punya masa lalu, Sav. Dalam hal percintaan kamu lebih hebat daripada aku, karena aku dulu masih gonta-ganti," kekehnya mencoba bercanda.
"Keliatan," ejek Sava.
"Keliatan dari apanya?"
"Cara kamu memperlakukan perempuan. Pasti mudah bikin cewek suka ke kamu."
"Termasuk kamu nggak?"
Sava makin mendekat dan berjinjit, berbisik di telinga Gagah. "Aku berharap banget."
Yah, itu artinya Sava belum jatuh ke pesonanya. Artinya begitu kan?
"Aku udah beliin kamu makanan," kata Gagah mengingat Sava bahkan sudah rapi kembali, pasti lapar.
"Nanti," jawab Sava menggesekkan pipinya di dada Gagah.
Diam menikmati itu beberapa saat, Gagah makin mengerti kalau Sava sering kali memeluknya begini. Menyandarkan kepala di dadanya, entah itu saat hampir tidur ataupun saat mereka berdiri seperti sekarang.
"Mau itu dulu?" tawar Gagah sembari berbisik. Ia sibakkan rambut Sava ke salah satu sisi dan mengecup telinganya.
Merasakan Sava mengangguk, Gagah tersenyum. Tapi ia teringat sesuatu. Saat matanya menangkap tiga keindahan di telinga Sava membuat pikirannya tertuju ke saat-saat yang sudah lalu.
Dia bekas gue.
Gagah memejamkan mata erat, mengingat bahwa Sava mungkin bisa sangat sakit hati karena mantan yang sangat dicintai itu menjelekkan namanya.
Kalo lo cowok baik-baik, lo nggak mungkin mau sama dia.
Ya Tuhan, hati Gagah perih rasanya. Ia bahkan teringat kalimat-kalimat dari mantan Sava tempo lalu. Padahal Sava perempuan baik-baik. Hanya mungkin sempat sedikit salah arah namun ia percaya Sava sudah di tahap yang lebih baik.
Berapa banyak piercings yang Sava punya? Gue tau semuanya.
Gagah makin mengeratkan pelukan, memberi ciuman ke arah leher Sava demi mengabaikan ingatan-ingatan itu. Ia sesap satu kali dan bahkan tidak peduli sekalipun meninggalkan jejak. Tangannya makin erat menelusuri kulit Sava dari dalam kaus. Ia usap perlahan di punggung sebelum memutar dan sampai di depan.
"Gah," pekik Sava pelan, lalu diakhiri napas tertahan yang didesahkan.
Gagah segera membawa tubuh Sava ke tempat tidur dan membaringkannya. Ia menaungi tubuh Sava dan memberi senyum dengan sorot hangat.
Hanya beberapa saat mereka bertatapan, bibir keduanya sudah bertaut dan saling mengecup. Menciptakan decap yang terdengar di kamar yang tidak terlalu luas. Makin menuntut rasanya saat kaus keduanya sudah sama terlepas.
Tangan Gagah terulur ke bawah, melepas kancing celana jeans Sava dan makin masuk. "Sav," gumamnya dengan suara serak. Hasratnya sudah meledak-ledak rasanya.
Sava tidak menjawab dengan kata-kata, namun sorot mata meminta itu membuat Gagah mengerti.
Tatap Gagah tidak lepas sedetik pun dari Sava. Sudah dibilang ia tidak mau melewatkan pemandangan indah tiap kali Sava sedang begitu intim dengannya seperti sekarang. Istrinya itu terlihat lebih hidup dan menakjubkan.
Gagah menuruni kecupannya ke arah dada, makin turun lalu sampai perut, tangannya menggapai lebih dulu ke arah piercing itu ada, seolah menjadi jalan untuk bibirnya hinggap di sana.
Kecupannya sampai di perut, lalu garis tipis yang lurus ke bawah. Dan berhentilah bibir Gagah di sana. Kulit putih disertai satu tindik yang bentuknya serupa dengan tiga lainnya di telinga membuat Gagah terfokus.
Bibirnya turun untuk memberi kecupan di pubis, tepat di mana satu lagi piercing Sava yang tidak diketahui oleh orang lain. Ia lalu mendongak, melihat Sava menatapnya begitu sayu. "Kenapa nggak di sana?" bisiknya lirih, meski tahu hanya ada mereka berdua.
Sava menggeleng lemah. Terlihat kepalanya mendongak saat Gagah kembali memberi ciuman. "Tingkat bahayanya ... lebih tinggi."
Gagah tersenyum. Bibirnya kembali mengecup makin naik melewati perut, dada, dan kembali ke wajah Sava. "Jadi ... bahaya?"
"Bisa jadi bahaya," jawab Sava pelan.
"Kenapa pilih di pubis?" Gagah berbisik lagi, menikmati Sava yang berkali-kali melenguh seolah menyerah dengan gerakan tangannya di bawah.
"Biar nggak ada yang tau."
"Nggak ada yang tau? Yang nindik?"
Sava memejam. "Kecuali yang nindik ... dan kamu."
"Cuma aku laki-laki yang lihat itu?"
"Iya, Gah," Sava sudah tidak bisa lagi merespons dengan baik.
"Yang nindik?"
Sava mengerang mendapati pertanyaan terus menerus. "Perempuan."
Senyum Gagah makin lebar. Ia yakin Sava jujur, walau terdengar mustahil tidak ada yang melihat sebelum ini. Tapi ia memang percaya Sava selalu penuh kejutan.
"Janji, cuma aku yang tau," bisik Gagah di depan bibir Sava.
"Iya. Cuma kamu yang tau."
🐳🐳
Pendinginan dulu bentar. Huft. Siap² ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top