18. 20 Tahun atau Seumur Hidup
Hai.
🐳🐳
Gagah menatap cermin dan menata rambutnya dengan gel agar mudah dibentuk. Ia punya jenis rambut yang acak-acakan dan susah dibuat rapi. Di sisi lain ia tidak ingin memotong rambut dengan potongan cepak. Jadilah ia sering pakai pomade biar lebih tertata.
Bibirnya bersiul sembari menatap lehernya sendiri. Ia tertawa pelan. Sava ya benar-benar. Bisa-bisanya juga meninggalkan tanda kemerahan di leher Gagah. Dan ia suka banget rasanya meski harus berpikir keras menutupinya pakai apa.
"So baby let's just turn down the lights and close the door." Gagah terkekeh sendiri saat menyenandungkan salah satu lagu dari Bruno Mars. Ia menyetelkan itu semalam setelah ronde kedua.
Dari cermin Gagah bisa melihat Sava keluar kamar mandi dengan dress selutut. Sengaja ia keraskan lagi senandungnya. "Ooh, I love that dress but you won't need it anymore."
Sava berhenti saat membuka lemari dan menatap Gagah. Mata mereka beradu di cermin tapi Gagah hanya nyengir. Ia ambil sisir dan merapikan rambutnya lagi. "Let's just kiss 'til we're naked, baby."
"Udah ngacanya?" Suara Sava terdengar.
Gagah langsung berbalik dan tersenyum menggoda. "Udah. Gimana? Mau lagi?"
Sava mendekat. "Gantian aku."
Senyum Gagah langsung luntur. Kirain. Tapi ia lalu bergeser, memberi ruang Sava untuk becermin. Perempuan itu duduk di kursi dan memulai kegiatan make up.
"Kenapa pake bajunya harus di kamar mandi atau walk in closet, Sav? Di kamar kan bisa. Malu sama aku?"
"Nggak. Cuma sekalian aja."
Gagah menunduk di belakang Sava. Dua tangannya diletakkan di kanan kiri lengan kursi agar bisa mendekat ke istrinya. Ia perhatikan wajah Sava dari cermin lekat-lekat. Sampai detik ini ia masih heran punya jasa apa di zaman penjajahan dulu kok bisa istrinya cantik begini.
"Gah," sentak Sava saat gerakannya memoles wajah diganggu. "Bisanya ganggu."
"Ganggu apa? Cuma cium-cium dikit." Gagah makin turun dan memberi kecupan di sepanjang rahang Sava. Aroma segarnya sangat terasa. Harum membuat ia ketagihan.
Ciuman Gagah sampai di telinga dan menggigit daun telinga bawah sebelum mengulumnya beberapa saat. Ia suka bentuk perhiasan yang Sava pilih untuk ditindik di sana. Sava kelihatan makin cantik dan menyulut gairahnya hingga lebih parah.
Makin menjadi rasanya saat tangan Sava terulur ke tengkuknya, menekan seolah tidak ingin Gagah berhenti. Gagah jelas tidak menolak. Ia turunkan kecupannya ke sepanjang leher, menurutkan jejak-jejak kemerahan bekas semalam. Seolah ingin mempertegas lagi tiap detailnya walau yang semalam bahkan belum sedikit pun pudar.
Desah pelan dari mulut Sava langsung membuat Gagah menarik dagu agar menghadapnya. Ia labuhkan ciuman dalam di bibir Sava saat itu juga. Tangannya makin turun, melewati bagian depan dress lalu berhenti di dada.
"Gah, stop. Udah hampir siang."
Gagah berdecak dan memberi gelengan. Ia lanjutkan kecupannya di bahu Sava dengan tangan yang terus menerus menggapai apa pun.
"Nanti ditungguin di rumah Papa," kata Sava lagi walau napasnya sudah terengah juga.
Gagah menyingkap bagian bawah dress Sava hingga paha. Tangannya meluncur sampai sana dan berusaha mencari letak piercing. "Kamu nyuruh mentokin, Sav."
"Astaga," keluh Sava seperti habis akal.
Gagah terkekeh mendengar nada sebal itu. Jarang-jarang Sava menunjukkan sebal begitu kan?
Lalu Gagah memutar kursi Sava agar menghadapnya. "Inget nggak semalem kamu bilang apa?"
Sava mendongak. "Lupa."
"Pura-pura." Gagah menjawil hidung Sava dengan gemas. "Semalem kamu masih kesakitan jadi belum aku mentokin. Terus kamu bilang, 'mentokinnya nanti kalo udah pagi'. Ini bahkan udah pagi, Sav."
"Iya," kata Sava tidak mau repot. Ia mengalungkan lengan di leher Gagah dan menariknya mendekat agar bisa berbisik tepat di depan bibir Gagah. "Mentokin."
Gagah tersenyum dan tidak mau menunda. Ia kembali menunduk dan mengecup bibir Sava. Ia selalu suka cara Sava merespons ciumannya. Membuatnya makin gila rasanya. Tangan Gagah meraih bahu Sava agar tidak lagi bersandar di kursi dan ia leluasa melepas resleting di bagian belakang.
Tangan Gagah meraih pinggang Sava dan dengan mudah menggendongnya di depan.
"Jangan di--" Ucapan Sava terhenti saat ternyata Gagah tidak melakukan apa yang ada di pikirannya.
Gagah tahu maksud Sava. Ia juga tidak separah itu mau-mau saja menundukkan Sava di meja rias dengan banyak alat make up Sava di sana. Bukannya malas menatanya kembali nanti, atau tidak mau mengganti jika beberapa produk di sana jatuh dan pecah.
Hal itu karena Gagah menghargai barang-barang yang Sava punya. Bukan masalah nominal tetapi tentang kepunyaan Sava yang harus Gagah ikut jaga. Ia masih membawa tubuh Sava di bagian depan lalu mendudukkan di meja samping tempat tidur.
"Beneran?" tanya Sava memastikan.
"Masa udah setengah telanjang nggak beneran." Gagah terkekeh. Ia mengusap punggung Sava dengan lembut tapi tatapnya tidak beralih sedetik pun dari Sava. "Aku nggak akan bisa lupain yang semalem, Sav."
"Yang apa?"
Gagah berdecak. Sava kalau diajak romantis-romantisan jawabnya pasti datar dengan ekspresi yang juga mendukung. "Yang itu, aku denger ada suara orang teriak Gah ... ah ...."
"Itu aku," kata Sava jujur walau ekspresinya tetap tidak berubah.
Gagah membelalak. Ini kalau ada alat pendeteksi ekspresi, Sava pasti dapat nilai 0 karena tidak terdeteksi ekspresi sedikit pun.
"Kamu juga, Gah."
"Apa? Teriak? Nggak ya," elak Gagah.
Sava mengedikkan bahu saja. Terserah kalau Gagah tidak mengakui juga. "Leher kamu."
Gagah mengangguk. Ia menelengkan kepala ke kanan untuk memperlihatkan bekas kemerahan ke Sava. "Keren kan?"
"Aku yang bikin?"
"Pake ditanya." Gagah gemas rasanya jadi ia tarik pinggang Sava agar makin melekat dengan tubuhnya. "Masa aku nyupang leher sendiri. Nggak bisalah."
"Maaf."
"Buat apa minta maaf. Berasa cowok banget nih kalo ada merah-merahnya." Gagah nyengir.
Sava mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengusap leher Gagah dengan pelan. "Aku nggak kerasa. Leher kamu kokoh."
"Berasa pondasi nih leher." Gagah terkekeh.
"Gah." Sava memukul pelan lengan Gagah karena ucapannya beneran tapi dianggap bercanda.
"Maaf," kata Gagah pelan, meredakan tawa.
Gagah lalu menghela napas pelan. Lembut, ia usap punggung Sava dan ia tatap kedua mata di depannya dengan hangat. Kepalanya mendekat dan memberi kecup di pipi. "Sava," gumamnya pelan, lalu menurutkan hidungnya ke kulit wajah Sava yang terasa halus. "Sayang ...."
"Iya." Sava merasakan desir menakjubkan lagi tiap Gagah memanggilnya dengan cara seperti itu. Ia menoleh untuk mencari bibir Gagah lalu menyatukan dengan bibirnya, membalas tiap sentuhan yang sudah Gagah beri, juga apa-apa yang telah sepenuh hati Gagah curahkan untuknya.
"Mau pake lagu kayak semalem?" Gagah menyatukan kening mereka, sebenarnya berniat bercanda mengusulkan itu.
Sava menggeleng. "Suara kamu lebih bagus."
Ow, Gagah baru dipuji sama Sava satu kali rasanya mau terbang. "Girl you know you're perfect from your head down to your heels."
"Thank you."
Gagah tersenyum. Ia kembali memberi ciuman di bibir Sava dan tangannya meloloskan gaun dengan mudah. "I love you, Sava."
***
"Bulan madunya kerjaaaaa," kata Gagah panjang sembari menghentikan mobil di depan tempat kerja Sava.
"Ada jadwal."
"Ck. Aku cutinya masih sampe minggu depan, Sav. Kita juga baru nikah seminggu, kamu udah buka kelas aja."
"Bukan buka kelas. Emang jadwalku."
Gagah tidak protes lagi. Ia membuka pintu sebelum turun dari mobil. Jangan harap Sava mau diromantisin dengan cara dibukakan pintu mobil. Tidak, istrinya itu justru selalu turun duluan.
"Beneran kelas artis-artis?" tanya Gagah menyejajari langkah Sava, tidak lupa meraih tangan istrinya takut diambil yang lain. Soalnya Sava tidak mungkin menggandengnya duluan.
"Iya."
"Karyawan kamu itu, para instruktur kan udah banyak. Kamu masih kedapatan jadwal ngajar?"
"Kalau para artis biasanya minta langsung aku yang turun, Gah."
"Wow, hebat banget kamu," kata Gagah bangga. "Aku boleh lihat?"
Sava berhenti di depan lift lalu menoleh ke Gagah. "Lihat kelas artis pole dance dan yoga?"
"Astaga." Gagah tidak kepikiran sampai sana malahan. "Maksudku lihat kamu latihan. Dulu kan kalo lihat pasti waktu udah mau selesai. Aku pengin lihat dari awal sampai akhir."
"Oh."
Gagah terkekeh. "Bisa-bisanya mikir ke sana kamu, Sav. Padahal aku aja nggak kepikiran."
Mereka sudah sampai di ruangan Sava dan Gagah langsung ke bagian pantry. "Aku tungguin. Selama apa pun kamu."
Sava tersenyum. "Cuma ada dua sesi aja. Nggak lama."
"Dua sesi sama artis semua?"
Sava menggeleng. "Ada sesi prenatal."
"Sama bumil?" Gagah kaget.
"Iya, Gah."
"Ck. Bumil enaknya rebahan, malah disuruh yoga."
Sava jelas menatap Gagah protes, tapi hanya dibalas dengan cengiran yang membuatnya mengurungkan niat untuk berujar lebih lanjut. "Aku ganti baju dulu," pamitnya.
"Iya, Sav." Gagah menatap punggung Sava yang masuk ke kamar. Ia kembali menatap sekeliling. Kayaknya ia ke sana belum sering. Dulu waktu belum ada kejadian tempel bibir yang ketahuan papanya Sava, mereka mah masih aman.
Tapi sejak kejadian itu Gagah jadi takut jadinya memilih untuk tidak ke ruangan Sava saja daripada terjadi hal yang diinginkannya, terutama olehnya.
Gagah tersenyum dengan pemikirannya. Ia kembali meneliti sekitar. Ruangan lebar itu tanpa sekat. Ada pantry dapur sederhana, sofa bed di tengah, lalu peralaan olahraga punya Sava di sudut. Ada juga kamar Sava yang ia pernah masuk sebentar doang. Lalu di sebelahnya ada pintu yang menghubungkan untuk kelas-kelas.
Ngomong-ngomong, jalan masuk ke ruang kelas memang ada dua. Satunya dari ruangan Sava, satu dari arah luar. Gagah dulu salah masuk ke sini malahan, yang hanya ditujukan untuk pemiliknya saja ternyata.
Gagah berbalik dan berjalan ke kulkas. Ia raih minuman bersoda dan mengecek tanggal kadaluarsa. Siapa tahu kan, soalnya Sava kan sejak beberapa bulan lalu juga jarang di sana, lebih sering urus pernikahan jadi di rumah.
Sejak nikah juga Sava tidak pernah tidur di ruang kerja, tapi di pelukannya setiap malam selama seminggu ini.
Setelah memastikan minuman itu layak dikonsumsi, Gagah berjalan ke arah lemari yang ditutup tirai. Ia membuka perlahan dan tersenyum. Sava serius dengan ucapannya. Benar-benar berhenti mengonsumsi minum-minuman itu.
Gagah duduk di kursi dan meneguk minuman. Baru sebentar karena ia lihat Sava sudah keluar dari kamar. Ia jelas langsung mendekat di depan Sava. "Minum?" tawarnya.
Sava menjawab dengan gelengan. Baru ia akan membuka pintu di sebelah untuk menuju ruang kelas saat Gagah menghadangnya. "Apa, Gah?"
Gagah menyandarkan tubuh di pintu dan menenggak minumannya lagi. Tatapnya terarah ke Sava dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Satu tangannya yang bebas menarik pinggang Sava agar mendekat padanya. "Mau satu ronde dulu nggak?" bisiknya.
"Nggak."
Gagah tertawa. Ia mengusapkan tangannya ke perut Sava yang hanya dilapisi tank top. "Kenapa?"
"Nanti lemes."
"Bukannya tambah semangat?"
"Nanti aja abis sesi."
"Oke." Gagah tidak menolak. "Sini dulu."
Sava nurut dan mendekat ke Gagah. Tangannya mengusap lengan Gagah pelan. "Ada apa?"
Gagah menunduk dan berbisik di depan bibir Sava. "Seksi banget kamu, Sav."
Sava mendesahkan napasnya dengan jengah, seolah tahu ke mana pikiran Gagah tertuju.
"Tau aja kamu." Gagah menggigit hidung Sava dengan gemas. "Semangat kerjanya, Sayang. Suamimu mau rebahan dulu."
Sava mendengus mendengar itu.
"Kalo aku ngantuk boleh tidur di kamar kamu?"
Sava membuka pintu di sebelah kamar dan menjawab Gagah sambil lalu "Boleh, Gah."
Gagah tersenyum ke arah pintu yang baru tertutup. Ia menandaskan minuman sebelum membuangnya di tempat sampah. Tanpa pikir panjang ia segera membuka pintu kamar Sava dan melihat tempat tidur yang begitu nyaman.
Belum-belum, Gagah sudah kangen sama Sava. Dan masuk kamar itu membuatnya bisa menghirup lekat aroma istrinya. Sampai di samping tempat tidur, ia langsung merebahkan diri. Ia sedang menata bantal saat tatapnya terarah ke depan.
Jam dinding. Baiklah, ini masih pukul 9 pagi, masih terlalu dini untuk berpikir hal yang tidak penting. Tapi, bagaimana ia bisa diam kalau gambar di jam itu adalah hal yang membuatnya justru tidak bisa untuk baik-baik saja.
Mungkin Sava lupa, atau memang sengaja tidak diganti. Jam dinding dari ukiran kayu, dengan foto di tengahnya adalah Sava dan mantannya.
Gagah memejamkan mata sebentar. Sava pasti lupa. Lagian Sava bilang akhir-akhir ini jarang ke tempat kerja. Atau Sava memang belum sempat memindahkan. Iya, pasti begitu. Gagah tidak boleh terbawa pikirannya yang tidak jelas itu.
Berusaha menghindari jam dinding, ia akhirnya berbaring menghadap kanan. Ada meja rias di sana, namun peralatannya sangat minim karena mungkin hampir semuanya dipindah ke apartemen. Mata Gagah terarah ke sebuah laci yang sedikit terbuka, dan memperlihatkan sebuah benda yang tidak masuk seluruhnya ke laci sehingga tidak tertutup rapat.
Ragu, Gagah beranjak. Tangannya ditempatkan di laci, ingin membukanya. Ia geleng-geleng kepala sebentar. Tapi itu jelas kalah dengan perasaannya yang tidak baik sekarang.
Pada akhirnya Gagah membuka laci dan menemukan sebuah album foto. Ia mengambilnya perlahan dan meletakkan di meja. Halaman pertama, ia lihat sebuah foto perempuan dalam balutan putih abu-abu. Itu pasti Sava. Senyumnya cerah. Kedua matanya mengantarkan kebahagiaan.
Sangat berbeda dengan Sava yang ia kenal sekarang.
Gagah membuka halaman selanjutnya. Itu bukan album foto biasa, sepertinya buatan tangan sendiri dengan warna-warni kertas sebagai hiasan. Juga tulisan tangan yang sangat rapi digoreskan di sana.
Lalu ada foto Sava dan remaja laki-laki. Kentara sekali seragam Sava begitu rapi, dengan laki-laki di sebelahnya berseragam putih abu-abu yang dikeluarkan dari celana. Ada rokok di tangan kirinya, lalu tangan kanannya menggandeng Sava erat.
Sebelahnya lagi keduanya sedang berboncengan di motor dan Sava memeluk pinggang si laki-laki erat. Senyum itu ...
Lagi-lagi bukan senyum yang pernah Gagah lihat untuk Sava tunjukkan padanya.
Gagah ingin berhenti. Pikirannya membela kalau itu masa lalu Sava dan mantannya. Gagah juga punya mantan di umur segitu. Juga pernah membonceng cewek dengan cara seperti itu. Masa SMA-nya juga bukan jadi siswa yang selalu taat aturan. Ia kadang bolos, lalu memakai seragam asal-asalan.
Iya, Sava hanya sedang bersama masa remajanya. Tidak masalah. Gagah juga punya kenangan itu walau ia sudah lupa detailnya.
Tapi perasaan Gagah menuntunnya agar terus membuka halaman demi halaman. Tepat pada foto ulang tahun Sava ke-17. Ulang tahun pertama dengan orang spesial, katanya di tulisan itu.
Lalu foto berikutnya adalah ulang tahun lagi. Begitu seterusnya sampai Gagah menghitung dalam hati. Hingga foto kesekian yang ia amati, semua terlihat sudah berbeda. Sava terlihat lebih dewasa dan lelaki itu juga. Mereka merayakan ulang tahun Sava di New York.
Hati Gagah sedikit tercubit. Mengingat bagaimana cara Sava membanggakan mantannya saat di hari pernikahan. Lalu ia buka lagi. Ulang tahun selanjutnya juga. di New York, tulisnya, namun tempat yang berbeda.
Gagah berhenti setelah membuka halaman setelahnya. Dadanya seperti dihantam kuat-kuat. Tahun ke-8 sama kamu, kata tulisan Sava di sana. Dengan foto Sava dan seorang lelaki berhadapan, wajah keduanya amat dekat dan saling melempar senyum.
Tatap Gagah terarah ke lengan Sava yang mengalung di leher lelaki itu, lalu dibalas dengan pelukan di pinggangnya. Belum lagi ....
Ya Tuhan.
Keduanya seolah menunjukkan pada dunia bahwa mereka adalah pasangan, dengan piercings yang juga sama kembar di telinga.
Gagah susah menelan ludahnya sekarang. Ada nyeri yang kerap ia rasa akhir-akhir ini. Ia cukup hafal rasanya tapi tidak kunjung terbiasa, padahal ia sendiri yang bilang kalau Sava boleh mencoba lupa dengan berbagai cara, sekalipun harus menyakiti hati Gagah juga.
"Sava," gumam Gagah lirih. Kedua tangannya sudah menyangga di meja. Ia bahkan sangat suka dan memuji tiga titik indah yang Sava sematkan di telinga. Ia memuji Sava setiap hari, mengatakan bahwa ia menyukainya, apa pun yang ada di diri Sava, ia sangat suka.
Matanya kembali tertuju ke foto itu. Gagah tahu kenapa keduanya foto berhadapan. Untuk menunjukkan kesamaan mereka. Sava dengan menyematkan perhiasan yang cukup berkilau di sana, lalu si lelaki dengan bentuk perhiasan yang sama namun warnanya hitam pekat.
Gagah makin pening rasanya. Ia mau berhenti tapi bukankah lebih baik dituntaskan apa yang sudah dilihatnya? Agar ia tidak menerka-nerka lagi. Karena Sava pasti tidak akan menceritakannya sampai sedetail itu.
Mencoba menguatkan perasaannya kali ini, Gagah kembali membuka lembar yang hampir habis. Foto ulang tahun, kebersamaan mereka tahun ke-9 katanya. Yes, I do, tulisnya di bawah foto dua jemari yang tersemat cincin. Kabulin pernikahan bertema fairy tale tahun depan sama aku ya. Lanjut tulisan itu yang makin membuat Gagah terpukul mundur.
Gagah tidak bisa lagi menahan nyeri. Terlalu sakit sampai ia bahkan merasakan tangannya yang menyangga di meja hampir kehilangan tenaga. Jadi, Sava punya wedding dream fairy tale dengan lelaki lain? Itu alasan tema pernikahan mereka tempo lalu?
Tangan Gagah sedikit gemetar saat ingin memasukkan kembali album itu ke laci, namun urung saat justru halaman terakhir terbuka. Tidak ada foto berdua lagi. Hanya foto Sava sendiri di depan lilin. Ada tanggal tersemat di sana, tepatnya beberapa bulan lalu. Namun tulisan di bawahnya membuat hatinya lebih remuk lagi.
My 25th birthday. I can't stop being grateful.
But, Jev, I don't know what to do now that we're apart. Gimana aku bisa hidup, Jev?
Gagah memejamkan mata erat-erat. Ia bisa merasakan kesakitan Sava, kehilangan orang berharga yang membersamainya selama itu. Tapi di sisi lain, hatinya juga sakit. Sangat. Mengingat bahwa Sava memang mencintai dengan cara paling tulus dan kehilangan menjadi cara untuk membuatnya hancur pelan-pelan.
Beberapa detik meresapi sakitnya sendiri, Gagah lalu menoleh ke pintu yang terbuka. Sava tersenyum padanya sekilas sebelum menuju belakang pintu untuk mengambil sesuatu di sana.
"Ada yang ketinggal," kata Sava masih membelakangi Gagah.
Lalu saat perempuan itu kembali menoleh ke Gagah, tatap mereka bertemu. Mungkin tersadar kemudian, ekspresi Sava berubah. Tubuhnya diam di sana menatapi Gagah yang juga masih diam dengan senyum kecil yang jelas tidak bisa menutupi apa yang ia rasakan.
"Gah," bisik Sava, pelan-pelan mendekati Gagah.
Masih diam saja, Gagah membiarkan Sava tahu bahwa ia sudah tau Sava bukan tidak sengaja atau belum sempat membuang kenangan seperti jam dinding itu, tapi karena Sava memang belum mau dan belum mampu.
Sava belum rela kenangannya dibuang secara paksa, begitu kan?
"Gagah," gumam Sava lagi lebih mendekat. Tangannya menutup album foto meski tahu Gagah sudah sampai di halaman terakhir.
"Iya, Sav." Gagah terkekeh pelan, berusaha menyembunyikan. Album itu bukan tanpa sengaja ia temukan, tapi memang baru saja Sava lihat-lihat tadi sebelum ada sesi kelas kan?
Gagah membiarkan saat kedua lengan Sava melingkari tubuhnya, memberinya pelukan begitu erat dan hangat. Ia berharap Sava memberinya cukup ketenangan. Tapi justru ia mendengar Sava berucap lirih.
"Maaf. Maafin aku. Aku belum bisa lupa."
Gagah masih mematung. Baginya, ini tidak salah. Sava tidak salah karena ia yang meminta Sava selalu jujur. Harapan Gagah saja yang terlalu tinggi.
Malam-malam panas yang mereka lalui, kehangatan yang Sava beri setiap hari, juga apa saja yang telah Gagah penuhi sebagai seorang suami, tetap saja akan kalah.
Umur pernikahan mereka bahkan baru satu minggu. Gagah yang terlalu berpikir jauh bahwa apa yang ia beri bisa membuat Sava jadi lebih bahagia. Nyatanya tidak. Itu tidak bisa mengalahkan kebersamaan selama sepuluh tahun yang sudah dilalui Sava sebelumnya.
Entah berapa lama lagi Gagah bisa menggantikan posisi itu, membuat hati Sava terisi sepenuh-penuhnya oleh dirinya. Mungkin kurun waktu 10 tahun juga, atau bisa 20 tahun, dan bahkan seumur hidup Gagah tidak akan bisa.
🐳🐳
Auto hujat?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top