15. Fairy Tale

Qomenz dulz bunz.

Wkwk apaan. Happy reading zeyeng.

🐳🐳

"Kenapa pilih tema fairy tale?"

Sava memandang penari di depan pelaminan yang sedang melakukan pertunjukkan diiringi musik. Pesta pernikahan yang mewah dan romantis. Ia mendambakannya dari dulu. "Suka aja," jawabnya.

"Khas Sava. Jawabannya pasti itu." Gagah meraih jemari Sava dan mengecupnya pelan. "Setau aku, perempuan yang pilih tema pernikahan fairy tale karena ingin terjemahin kisah manisnya waktu masih kecil tentang happily ever after love story impian mereka."

"Kamu tau?" Sava menatap Gagah yang duduk di sebelahnya.

"Cari tau." Gagah tersenyum. Ia merasa sangat bahagia bisa duduk berdua dengan Sava di sini. Sayangnya ia masih belum tahu apa Sava sama bahagia sepertinya. Dan ia tidak mau bertanya untuk sekarang.

"Kuenya rusak, Gah."

"Kalo nggak rusak ya nggak bisa dimakan, Sav." Gagah terkekeh. Dari tadi Sava bilang gitu. Saat acara memotong kue pernikahan yang berbentuk castle dengan pangeran dan putrinya yang ada di puncak saling bergandengan.

"Tangannya pangeran sama putrinya kepisah."

"Nanti aku pesenin lagi yang cinderella gandengan itu, nggak usah dimakan tapi ya kuenya biar gandengan terus. Jadi sarang semut, ladang pahala ngasih makan gratis semut-semut."

Sava mengeratkan genggaman dan tersenyum ke Gagah. Kadang ucapan Gagah memang membuat mood-nya jadi lebih baik.

"Cantiknya kalo senyum," puji Gagah jujur. Gemas sekali rasanya ingin berduaan dengan Sava setelah ini. Membagi banyak cerita, saling mengenali satu sama lain.

"Tamu kamu banyak, Gah," kata Sava meneliti sekitar.

"Tamuku temen-temen SMA sampai kuliah kebanyakan. Keliatan banget itu mereka yang antre spot photo booth itu temen-temenku." Gagah tertawa kecil. "Soalnya temen kerjaku bapak-bapak semua. Kebanyakan temen kamu kayaknya, Sav."

Sava menggeleng. "Temenku nggak banyak."

"Pasti ada satu atau dua yang jadi temen deket banget kan?" tebak Gagah walau ia memang tidak pernah tahu teman Sava yang dikenalkan satu pun sebelum ini.

"Nggak. Temen cukup kenal aja. Nggak buat terlalu deket juga."

"Kenapa? Biasanya cewek ada satu bestie kentel banget. Itu Anin punya temen yang sampe sekarang nggak putus-putus hubungannya dari SMP."

Sava mengangguk pelan. "Aku nggak nemuin yang begitu."

Gagah mencoba mengerti. "Tenang aja. Kamu udah punya aku yang bisa dijadiin suami, teman, sahabat, kakak, adik, orang tua, paman, bibi, ART, tetangga."

"Gah." Sava tersenyum cukup lebar sekarang. "Iya, aku udah punya kamu."

Gagah mengusap pelan punggung tangan Sava dengan ibu jarinya. Ingin rasanya ia memeluk Sava sekarang tapi tidak mungkin. Gaun putih bercorak bronze dengan mahkota di kepala bisa rusak dalam sekejap kalau Gagah nekat.

Masih memperhatikan ke arah penari yang sedang melakukan pertunjukan, salah satu dari dancer itu maju dan berlutut di depan Sava seolah mengajaknya menari. Gagah tersenyum melihat Sava hanya mengulurkan tangan dan hebatnya si penari bisa membangun sebuah pertunjukan cuma dengan modal tangannya Sava. Meliukkan tubuhnya di sana dalam balutan bak pelayan kerajaan.

Giliran Gagah yang ditawari menari. Ia gugup setengah mati. Sialan, ia dikerjain kayaknya. Perasaan ia sudah lihat rincian resepsi tidak ada acara tari menari sama mempelai. Mana ia kaku banget kalau nari.

Akhirnya Gagah cuma menangkupkan kedua tangan di depan dada. Untung saja penarinya pinter. Tidak terlihat habis akal dan justru turun dengan lincahnya melewati undakan menuju tempat pertunjukan.

"Akhirnya." Gagah mengelus dada dengan lega. "Aku kan nggak bisa nari. Ajarin goyang dong, Sav."

Sava sontak menoleh ke Gagah. "Kayaknya tadi bilang nari bukan goyang."

"Beda tipis. Sama-sama gerakin badan." Bukan Gagah namanya kalau kehabisan akal buat menjawab.

Lalu obrolan mereka teralih saat terdengar tepuk tangan meriah. Gagah mengalihkan pandangan ke pertunjukan di depan. Seorang lelaki dengan setelah jas formal dan necis memasuki area, bergabung bersama para tokoh yang mengekspresikan kisah dongeng terdahulu dengan gerakan luar biasa unik.

Tawa terdengar saat lelaki itu melakukan gerakan seolah pelayan istana menyusup ke dalam kastil. Gagah pernah lihat adegan yang serupa waktu dulu Anin masih suka nonton disney dan selalu menggebu-gebu memamerkan padanya.

Gagah tidak ambil pusing dan ikut menikmati pertunjukan itu, bahkan saat adegan berpantomim dan para tamu tanpa ragu tepuk tangan meriah. Gagah sama sekali tidak peduli siapa yang melakukannya.

Tapi pemikiran tentang tidak peduli itu sirna saat Gagah dengar tawa Sava. Tawa yang baru pertama ia dengar. Dengan senyum cerah seolah kebahagiaan ada di hadapannya. Hati Gagah mendadak seperti dihantam, karena memang yang sedang dihadiahi tepuk tangan meriah itu adalah mantan Sava.

Mantannya Sava yang Gagah tidak tahu, bahkan ia tidak mau tau namanya. Lelaki itu menyelesaikan pertunjukannya dan menunduk beberapa saat seolah memberi penghormatan pada pengantin.

Tapi Gagah tidak merasa demikian. Selain senyum Sava yang masih terpatri dan menatap ke satu arah di depan, ia juga baru sadar bahwa kebahagian terpancar jelas di sorotnya walau Gagah melihatinya hanya dari samping.

Tanpa sadar Gagah mengeratkan genggaman dan Sava terlihat tersentak beberapa saat. Perempuan itu menoleh ke Gagah dan tersenyum kecil. Senyum yang sama sejak pertemuan pertama dengannya. Yang Gagah yakini bahwa itu sangat berbeda dengan cara Sava mempersembahkan senyumnya ke mantannya tadi.

"Hebat dia, keren, berasa kayak Broadway," puji Gagah walau sebenarnya dadanya ingin meledak saat ini.

"Dia sering di Teater Broadway," jelas Sava pelan, seolah tidak menyadari kondisi hati Gagah sekarang. "Punya sanggar juga di New York, cukup terkenal."

Gagah mengeratkan genggaman lagi. "Pantesan." Ia terkekeh demi menutupi kekalutannya di depan Sava.

"Kamu undang dia, Gah?" tanya Sava. Kali ini mungkin baru tersadar dan tatapnya terlihat cemas.

"Aku nggak undang dia." Gagah jujur. "Aku pikir kamu yang undang dia."

Sava menggeleg kuat-kuat. "Nggak mungkin aku undang dia."

Gagah memperhatikan Sava yang menunduk, lalu ia tersentak saat Sava makin mendekatkan duduk padanya dan meraih lengan Gagah untuk direngkuh.

"Gah."

Mendengar panggilan lirih itu membuat Gagah menoleh. Ia dapati raut wajah Sava begitu sendu. "Iya?"

"Sama aku terus ya," pinta Sava lebih lirih.

Gagah tahu dan paham, mungkin susah untuk Sava menghilangkan lelaki itu dari ingatan. Tapi sekarang Sava memilihnya, memercayakan hati padanya untuk ia jaga dengan baik. Lebih baik dari cara Sava diperlakukan dulu.

"Iya," jawab Gagah lalu mengecup pelan pelipis Sava. "Emang nggak mau aku pergi?" godanya, berusaha membalikkan keadaan jadi seperti sebelum ada si laki-laki sialan yang menyita perhatian para tamu.

Sava menggeleng menanggapinya.

Hal sesederhana itu membuat Gagah yakin bahwa tidak sulit untuknya bertahan dengan Sava, selagi perempuan itu mengizinkan Gagah membantu menyembuhkan luka-lukanya.

"Sav." Gagah menatapi keseluruhan wajah Sava. "Inget ini ya, aku juga nggak mau kamu pergi. Kalo kamu nggak bahagia sama aku, aku yang harus berusaha bikin kamu bahagia. Nggak ada tuh level tertinggi mencintai dengan cara mengikhlaskan. Nggak bisa aku ikhlasin kamu pergi ke laki-laki lain selama aku mampu bikin kamu bahagia."

Sava terkekeh mendengarnya. "Kok maksa?"

"Harus maksa," kata Gagah sambil mengusap punggung tangan Sava. Ia memperhatikan wajah Sava lekat. Tidak ada yang berubah drastis dengan penampilannya, karena bagi Gagah memang Sava sudah cantik meski tanpa make up. Tapi ia harus akui kalau hari ini Sava terlihat sangat anggun. Gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan mahkota di kepalanya, amat mirip dengan putri kerajaan di film-film dongeng. Tapi bagi Gagah ini nyata. "Kamu cantik banget."

Sava mengerjap mendengar gumaman itu. Belum juga ia menanggapi, suara MC terdengar setelahnya. Mempersilakan para tamu undangan untuk kembali naik ke atas pelaminan untuk sesi foto buat yang ingin mengabadikan momen.

Gagah berdiri dan tidak lepas menggandeng Sava.

"Temen-temen basketmania kamu itu kan, Gah?"

Gagah tertawa mendengar pertanyaan Sava. " Iya, keliatan rombongannya itu. Satunya sendiri, satunya bawa cewek, satunya lagi bawa anak bini."

"Hebat ya masih punya temen dekat."

Gagah menoleh ke Sava, mengerti perasaan istrinya. "Temenku itu juga temen kamu. Mereka temen paling baik yang aku kenal selama banyak nemuin orang-orang dari TK sampe kuliah. Mereka nggak akan keberatan temenan sama kamu juga. Bukannya kamu malah udah sering kontakan sama pacarnya Aldo dan istrinya Surya kan?"

Sava mengangguk. "Mereka ikut kelas yoga."

Gagah nyengir mendengarnya. "Hebat emang istriku."

Sava menaikkan satu alis, sedikit heran dengan cara penyebutan Gagah terhadapnya.

"Wah, jarang gue lihat anak lo," ucap Gagah saat teman-temannya sudah mendekat. "Eh, Abyan, malah lari. Sini sama Om," panggil Gagah ke anak kecil berusia sekitar dua setengah tahun.

"Anak gue takut sama lo, Gah." Surya menggendong anaknya dan mendekat ke Gagah. "Salim sama Om."

Gagah menerima uluran tangan anak lelaki itu dan menggeram gemas. "Bisa dibayangin besok kalo udah gede, berapa hati yang dia patahin karena ghosting­-annya, Sur. Masih kecil aja udah cakep banget. Bikinnya gimana biar anaknya ganteng? Dibolak-balik apa gimana? Perlu tutorial buat entar malem."

"Gah," seru Sava menyenggol lengan Gagah.

Gagah tersenyum menggoda ke Sava. "Katanya can't wait."

"Astaga," keluh Salju yang mendengarnya. "Urusan gituan diomongin di sini, Gah? Gila lo emang." Ia lalu menoleh ke Sava. "Gimana? Udah bikin Gagah nangis belum, Sav? Mending secepatnya deh. Itu si Gagah songong soalnya dari dulu nggak berubah."

"Gue berubah, Sal," bela Gagah. "Dulu cuma suka lihatin ikan. Sekarang udah cinta ikan."

Semua menyoraki ucapan Gagah yang sama sekali tidak penting.

"Gue ngado lo, Gah," bisik Surya. "Seperangkat buat malam pertama. Gue nggak balas dendam ke lo walaupun dulu waktu gue nikah sama Salju, lo kado obat nyamuk."

Gagah nyengir mendengarnya. Giliran ia berbisik ke Surya, "Kan gue bilang biar khidmat malam pertamanya tanpa gangguan nyamuk. Kado dari gue juga bermanfaat. Itu kayaknya yang bikin anak lo ganteng, karena obat nyamuk."

"Gila emang lo, Gah. Malam pertama di hotel mana ada nyamuk. Kalo dipake kado dari lo itu malah bisa bikin gue sama Salju sesak napas waktu lagi hohohihe. Sialan."

Gagah tidak bisa menahan tawa. "Jadi ... lo ngado gue apa, Sur?"

"Alat tempur."

"Rudal buatan?"

Surya tertawa. "Wah, lo belum pernah pake rudal lo ya? Tenang aja, peluru kendali itu punya sistem pengendali otomatis yang bisa menyesuaikan target. Pasti tepat sasaran. Nggak perlu rudal tambahan, Gah."

"Bener, Sur?" tanya Gagah dengan mata berbinar.

Surya menepuk bahu Gagah, lalu suaranya tidak lagi dipelankan. "Bener, percaya sama gue. Udah pengalaman sampe jadi buntut satu gini. Sukses buat ke depannya ya. Tobat, Gah."

"Gue mah udah tobat lama, Sur," bela Gagah.

Gagah menoleh ke Sava yang masih ngobrol sama Salju dan pacarnya Aldo. Kasihan banget si Edwin, udah paling belakang, sendirian pula. LDR katanya.

"Bangga gue punya temen kayak lo, Gah," kata Aldo sambil menepuk bahu Gagah. "Akhirnya ya. Soalnya dulu kan lo sama Surya itu 11 12, gue kira lo nggak akan mau nikah."

"Enak aja." Gagah tidak terima. Masa SMA-nya memang buruk tapi ia masih waras.

"Semoga langgeng, punya anak banyak dari satu istri aja, sampe kakek nenek."

Gagah tersenyum dan mengamini doa baik dari teman-temannya. Mereka melanjutkan dengan sesi berfoto.

"Temen-temen kamu baik," puji Sava saat mereka gantian menyalami tamu lain.

"Iya. Asyik kan?"

Sava mengangguk sembari tersenyum. Gagah tidak heran. Sava memang kerap tersenyum. Hanya saja memang sekadar itu. Tidak ada yang berlebihan. Juga senyum yang berbeda dengan apa yang sempat ia lihat tadi.

Mendadak Gagah teringat dan itu membuatnya harus menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan demi menahan nyeri yang makin menjalar.

Seolah belum cukup sampai sana, Gagah mendapati orang itu naik pelaminan dan berjalan dengan senyum miring. Ia rasakan Sava meraih lengannya lagi. Gagah segera mengulurkan tangan untuk merengkuh pinggang Sava.

"Congrats." Lelaki itu mengulurkan tangan ke depan Sava.

Gagah hanya mengangguk saat Sava menatap ke arahnya seolah bertanya. Akhirnya Sava menerima jabat tangan itu. Hanya sekilas karena Sava melepasnya. Lalu Gagah berhadapan dengan pria itu. Tidak ada kata apa pun karena mereka hanya bertatapan. Gagah yang memberi senyum kecil, sedangkan lelaki di depannya tetap saja menatapnya merendahkan.

Lalu sudah. Gagah bisa bersyukur karena tidak ada keributan di sana. Ia yakin menghadapi masa lalu Sava tidak mudah, namun selama Sava menginzinkannya untuk andil dalam permasalahan apa pun, maka akan ia taruhkan hidupnya untuk Sava.

***

Gagah baru selesai sesi curhat bersama para bapak-bapak di ballroom hotel. Ia membuka pintu kamar hotel dan geleng-geleng kepala melihat Sava sudah memejamkan mata dengan posisi meringkuk.

"Katanya can't wait." Gagah terkekeh sendiri. Ia masuk ke kamar mandi dulu untuk melakukan ritual sebelum tidur. Ia lepas jam tangan dan bergumam pelan, "Pantes Sava tidur. Udah jam 11."

Gagah keluar dari kamar mandi setelah mengganti dengan piyama. Ia tersenyum melihat Sava juga memakai piyama yang sama.

"Bang, ini kado dari gue. Pokoknya harus dipake barengan sama Kak Sava di malam pertama lo nikah. Titik. Nggak papa sejam dua jam aja, abis itu mau ganti sama lingerie, jubah, atau karung sekalian nggak apa-apa. Yang penting gue ngasih ini buat lo. Couple. Lucu kan, Bang?"

Itu memang dari Anin. Parah itu anak. Ngomong di depan Sava ya jelas Sava langsung mengiyakan. Tidak banyak protes.

"Terus yang warna merah kapan dong, Sav?"

"Nanti bisa ganti, Gah. Kamu kan ada ngobrol dulu sama Papa, aku nunggunya harus langsung pake yang merah? Nggak kan?"

Nyatanya malah sekarang Sava ketiduran. Dasar memang perempuan itu. Gagah mendekati ranjang dan naik pelan-pelan, tidak ingin mengganggu tidur Sava. Hasratnya nomor sekian. Ia tidak tega membangunkan Sava yang terlihat nyenyak tidurnya.

Membuka selimut, senyum Gagah makin lebar. Kenapa piyama couple begini saja membuatnya gemas. Apalagi Sava meringkuk lucu. Ekspresinya tenang dan damai.

Gagah baru akan bergabung ke dalam selimut saat melihat ponsel Sava. Ia berniat memindahkannya saat tanpa sengaja layar itu menyala. Ada notifikasi masuk di instagram. Satu nama yang membuatnya heran karena pesannya terdapat emot love di sana.

Gagah berharap ponsel Sava terkunci biar ia tidak penasaran. Sayangnya justru saat ia menggulir, ponsel itu segera terbuka. Mungkin Sava tidak menutup instagram tadi sebelum tidur, atau memang ketiduran makanya saat ponsel terbuka, akun instagram-lah yang terpampang pertama kali.

Hal yang membuat bibirnya tergigit saat itu juga bukan karena pesan yang tadi sempat muncul di notifikasi. Tapi justru sebuah postingan yang Sava arsipkan.

Memang sudah beberapa kali Gagah stalking instagram Sava dan tidak ia temui foto bersama laki-laki kecuali sang Papa. Dan ia baru tahu bahwa sangat banyak foto Sava dengan mantannya di arsip.

Sepasang kekasih dengan background di Broadway. Kostum lelaki itu bahkan seperti pertunjukan. Ia ingat Sava bahkan tadi tanpa sadar membanggakan mantannya. Walau setelah itu langsung tersadar dan seolah ingat kenyataan bahwa mantannya adalah seseorang yang harus dilupakan.

Sama aku terus ya.

Itu artinya Sava ingin dibantu sembuh kan?

Iya, Gagah yakin itu. Cukup dengan Sava mau bersamanya saja baginya lebih dari membahagiakan. Ia harusnya tahu konsekuensi dari awal jika mendampingi perempuan yang belum selesai dengan masa lalunya. Dan Gagah mau membersamai Sava, sakit bersama-sama, menuju bahagia juga sama-sama.

Menelan ludahnya susah payah, Gagah lalu berbaring. Ia menarik selimut sampai batas bahu. Gerakan Sava yang segera menyamankan diri di pelukannya membuat Gagah berpikir keras. Siapa yang Sava pikirkan saat ini jika sebelum tidur saja istrinya itu melihat kenangan di masa lalu?

Apa saat tangan Sava memeluknya seperti sekarang, dengan kepala yang berlindung di dadanya, perempuan itu benar-benar menganggap bahwa ini adalah Gagah, dan bukan orang lain?

Gagah membenamkan bibirnya di helai rambut Sava, mengecupnya lembut dan beberapa kali. Perempuan cantik yang kini dipeluk dan memeluknya ini sudah jadi miliknya. Dari kepala bahkan sampai kaki, semua bisa Gagah miliki. Tapi dari kata semua itu masih saja terasa kurang. Karena Gagah belum memiliki hati Sava.

Gagah tahu ini konsekuensi yang ia tanggung. Sava pernah jujur padanya bahwa perempuan itu sedang lari dan ingin Gagah selamatkan. Tapi kenapa itu saja tidak terasa cukup bagi Gagah?

Ya Tuhan. Demi apa pun Gagah rela menyerahkan segalanya untuk Sava sedari awal janjinya terucap. Tapi ia tetap lelaki yang punya hati. Dan sekarang dadanya terasa sangat nyeri.

🐳🐳

Malam pertamanya asyik ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top