13. Pindah Alam

Puanjang gaess.

🐳🐳

"Jadi itu bedanya seserahan lamaran sama seserahan nikahan." Gagah mengulurkan tangan dan membantu Sava turun dari mobil.

"Harus kita yang beli?" tanya Sava.

"Iya." Gagah mengangguk. Ia meraih tangan Sava dan menggenggamnya. "Kalo seserahan buat nikahan dari aku bebasin maunya kamu apa aja. Aku penuhin selama mampu."

Mereka berjalan memasuki mall. Gagah merangkul bahu Sava saat sedang di eskalator. "Aku punya ide," bisiknya.

Sava mendongak dan menatap Gagah. "Apa?"

Gagah tersenyum penuh makna, lalu sesampainya di lantai tujuan ia membawa Sava ke salah satu toko pakaian.

"Yang basic dulu, Sav," kata Gagah.

"Baju?"

Gagah berdecak. "Seserahan buat nikah itu, calon suami harus kasih sedetail-detailnya pakaian dari atas sampai bawah, luar sampai dalam buat calon istri."

"Emang gitu?" tanya Sava bingung. Ia malah baru tahu.

Gagah mengangguk. Ia membawa Sava ke salah satu sudut toko. "Nah ini."

"Gah." Sava protes melihat apa yang terpampang di depannya. "Aku nggak pernah pake itu."

"Besok pake kalo udah nikah sama aku." Gagah menjawab santai dan mengambil salah satu dari deretan baju haram. "Yang merah lebih menggoda, eh hitam lebih eksotis pasti kontras banget sama kulit kamu jadi keliatan makin aduhay, tapi yang putih bahannya lebih lembut. Nude juga cocok. Aku beli semua aja ya."

"Ngapain banyak-banyak?" Sava tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya kali ini. Ia melihati baju yang bahkan entah bisa disebut baju atau tidak.

"Buat ganti tiap jam dong, Sav." Gagah mengerling.

"Tiap jam?" Sava melotot. Ia mengambil beberapa baju dari tangan Gagah dan mengembalikan ke tempat semula. "Yang lain," ucapnya tegas sambil menarik tangan Gagah agar berpindah dari sana.

"Oh, kamu lebih pilih nggak pake emangnya? Aku sih oke oke aja." Gagah kembali berbisik di telinga Sava.

Sayangnya Sava tidak menanggapi. Perempuan itu berhenti di salah satu rak sepatu dengan deretan produk yang mewah di sana.

"Ya udah mulai dari sepatu dulu." Gagah maju dan ikut melihat deretan sepatu di depannya. "Kamu suka dari bawah kayaknya, Sav."

"Nggak."

Gagah tertawa mendengar nada sebal Sava. Paham juga apa yang ia bicarakan sedari tadi. Ia mengikuti langkah Sava yang makin bergeser saat memindai sepatu pilihannya. Terlalu fokus memperhatikan, Gagah kaget saat tubuhnya menabrak Sava yang diam saja tidak melanjutkan langkah.

"Gagah," panggil Sava sambil menunjuk ke arah atas.

"Aku ambilin ya. Yang mana?" Gagah mendekat dan menunjuk sepatu yang kiranya ingin Sava ambil. "Ini?" tunjuknya pada sepatu dengan heels cukup tinggi. Ia saja merinding membayangkan bagaimana kaki perempuan bisa berjalan di atas tumpuan sekecil itu.

"Iya." Sava menerimanya. "Makasih."

Gagah mengangguk. "Suka itu?"

Sava malah menggeleng.

Gagah makin bingung. Bukannya tadi Sava minta diambilkan itu kenapa sekarang malah bilang tidak suka? "Aku salah ambilnya berarti."

Sava masih diam dan memperhatikan benda di tangannya dengan lekat. Mematung beberapa saat sebelum kembali mendongak ke Gagah. "Aku nggak suka ini."

"Nggak cocok? Aku ambilin yang lain."

"Bukan." Sava menggeleng. Ia menatap Gagah dengan ekspresi serius. "Kamu harus tau aku nggak akan suka pakai sepatu kayak gini."

Gagah mendekat dan mengusap punggung Sava dengan pelan. Ia tidak tahu kenapa Sava sebegitu tidak sukanya dengan sepatu itu. "Iya, aku akan inget kalo kamu nggak suka sepatu jenis yang kayak gitu," jawabnya menenangkan. "Lagian nakutin. Kalo keseleo bukan cuma kaki yang harus diurut, kepalanya udah pasti juga bentur lantai."

"Kamu tau?" Sava sontak terkejut,

Hal yang langsung membuat Gagah makin bingung. Tau apa? Tapi ia berusaha menerka. "Kamu pernah jatuh pakai sepatu kayak gitu terus kepalanya kebentur lantai?"

Sava berusaha meletakkan sepatu di tempat semula sebelum Gagah mengambilnya dan menempatkannya di sana.

"Dibenturin."

"Ap-apa?" Ini sungguh di luar dugaan Gagah.

Namun Sava berjalan ke samping. Ia mengambil salah satu flat shoes dan tersenyum. "Aku suka ini."

"Ambil," kata Gagah santai. Ia suka kalau lihat Sava tersenyum.

"Boleh?" tanya Sava memastikan.

"Iya, Sav. Apa yang kamu mau bilang aja." Gagah tidak pernah perhitungan ke perempuan.

"Abis beliin, kamu nggak marahin aku?"

Sekarang Gagah mengerti. Sava mungkin pernah mengalami hal buruk di hubungan sebelumnya. Ia merangkul Sava dan mengusap bahunya pelan. "Aku nggak janji bisa jadi apa yang kamu mau. Tapi yang pasti, aku berusaha banget bikin kamu bahagia terus."

Sava mengedikkan bahu. "Kamu emang baik."

"Kayaknya kamu sering banget bilang aku baik, Sav. Aku nggak sebaik itu. Lagian hal apa yang bikin kamu yakin kalo aku baik?"

"Kamu mau minta maaf."

"Sesederhana itu?"

"Iya." Sava mengangguk yakin.

Astaga, Gagah jadi berpikir separah apa jenis hubungan Sava sebelumnya. Sampai-sampai lihat lelaki mau minta maaf saja bagi Sava sudah hal yang menakjubkan.

"Kamu nggak kasar."

Gagah makin mengerti. Sava mungkin masih menyayangi mantannya, tapi harus lepas karena hubungan mereka tidak sehat.

"Ternyata masih ada laki-laki sebaik kamu." Sava tersenyum tulus.

"Jangan dipuji terus, Sav. Disimpen buat nanti abis malam pertama. Pujian kamu buat aku harus banyak banget."

Sava menatap Gagah tanpa ekspresi. "Malam pertama di mana?"

"Pake ditanya." Gagah berdecak. "Di kamar lah. Semoga keluarga kita yang semangatnya gede banget itu nggak ngalahin jumbonya punyaku. Biar nggak kalah saing."

"Jumbo?" Sava terkekeh, merasa lucu dengan sebutan itu.

"Iya. Mau lihat?"

"Nggak," tolak Sava mentah-mentah.

Gagah hanya membalas dengan kekehan. Ia kembali meraih tangan Sava dan berjalan ke sudut berisi deretan baju.

"Jadi beli yang itu, Gah?" Sava menunjuk dengan dagu ke arah awal mereka sampai tadi.

"Kamu mau pake emangnya?" Gagah ragu. Takut membuat Sava tidak nyaman.

"Mau," jawab Sava santai.

"Ya ampun. Kamu bikin aku hampir jantungan, Sav."

"Kamu nggak mau?"

Gagah sontak menarik tangan Sava untuk mendekat ke deretan baju haram. Matanya mengerling ke arah Sava. Parah memang otaknya sudah membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana bisa ia hanya melihat baju yang entah bisa disebut baju itu atau tidak, dengan membayangkan kalau Sava yang memakainya. Soalnya body Sava kan lekukannya tepat dan indah, rasa-rasanya Gagah ingin lihat sekarang juga.

"Yang mana, Gah?"

Gagah tersadar dan berdehem sebentar. Ia memilih beberapa. "Ini cocok semua di kamu. Beli 3 ya. Kan rangkaian resepsi selesai jam 8 malam. Nanti kita mulai dari jam 9. Kan butuh 3 tuh buat ganti-ganti sampe tengah malem."

"Nggak sempat ganti."

Parah. Gagah heran bisa-bisanya Sava mengucapkannya tanpa ekspresi padahal jelas-jelas sedang menggodanya.

"Atau mau lepas pasang?" tanya Sava lagi.

Gagah membelalak. Percakapan kalau menjelang nikah apa memang begini ya? Tapi kenapa muka Sava datar banget begitu. Tidak asyik kan kalau ia menanggapi tapi Sava justru cuma menatapnya dalam diam.

"Aku ngikut kamu sih, Sav. Tapi tenang aja aku jago lepas pasang."

"Sering ya?"

"Enggak lah. Maunya sama kamu doang. Udah. Nggak ada yang lain."

Sava tersenyum mendengarnya. Ia meraih tangan Gagah dengan satu tangan, lalu tangan lainnya menunjukkan baju ke Gagah. "Ini cocok nggak?"

"Cocok. Banget. Dicoba dulu gih di fitting room. Entar tunjukin ke aku ya."

"Mana bisa," gerutu Sava. "Aku ambil ini juga, boleh?"

Gagah akan menuruti apa yang Sava mau jika cara bicara serta tatap Sava seperti sekarang ini. "Iya. Apa pun buat kamu," bisiknya dengan suara lirih.

"Makasih ya. Kamu baik."

"Kamu kayak nggak pernah dimanjain sama pacar aja, Sav, pake puji-puji aku terus."

"Emang nggak."

"Serius?" Gagah menarik kedua bahu Sava agar menghadapnya. Ia telusuri kedua mata Sava. Walau tetap datar seperti sebelumnya tapi ia yakin tidak ada kebohongan di sana. "Bener, Sav?"

"Iya." Sava berpikir sebentar. "Pernah satu kali. Beliin sepatu itu."

Gagah mengerti. "Abis itu dia pukul kamu pake sepatu yang dia beliin?"

Sava mengangguk seolah tanpa beban. "Udah lama. Nggak usah dibahas."

Gagah kembali menuruti saat Sava berjalan ke pakaian lain yang ingin dibeli. Ia mengekori di belakang Sava karena perempuan itu terlihat sibuk memilih sendiri tanpa bertanya padanya. "Sering dikasarin?"

"Nggak kok."

"Lebih dari sekali?"

Sava mengangguk satu kali.

"Astaga. Banci banget orang kayak gitu."

"Nggak apa-apa. Mungkin kalo dia nggak kasar, aku nggak akan sama kamu kan?"

"Terlalu berpikir positif nggak baik tapi ucapan kamu bener juga. Tapi tetep aja aku nggak boleh ngerasa bersyukur karena alasan itu, Sav." Gagah geleng-geleng kepala. "Abis itu kamu nggak takut jalin hubungan kan?"

"Enggak." Sava masih sibuk meneliti pakaian.

"Alasan kamu nerima aku secepat itu kenapa?"

"Kamu mau minta maaf."

Sekarang Gagah bisa menyambungkan korelasinya. "Dia juga lelaki dengan ego tinggi yang nggak mau minta maaf sama sekali?" tebak Gagah.

Sava mengedikkan bahu sebagai jawaban. "Dan kamu nggak kasar."

"Tau dari mana?"

"Pembawaan kamu."

"Dari awal kayaknya kamu nilai mantan kamu baik juga kan? Siapa tau aslinya aku nggak baik juga."

"Dia udah kasar di awal. Aku yang salah."

"Padahal nggak ada satu kesalahan pun dari perempuan yang pantes dibalas pukulan. Aku emang belum tentu lebih baik dari dia. Tapi aku berusaha bikin kamu lebih nyaman daripada sama masa lalu kamu."

"Aku nggak pernah bandingin, Gah." Sava menghadap Gagah kali ini. "Kamu yang aku pilih karena aku yakin. Nggak perlu nunjukin apa pun, aku percaya sama kamu."

"Dibilang terlalu percaya itu nggak baik." Gagah merangkul bahu Sava lagi, sedikit bercanda saat mengatakannya walau ia akui selalu suka saat Sava memujinya. "Ayo, lanjut pilih bra."

"Gah!" sentak Sava sebal. Pembicaraan serius begitu kenapa tiba-tiba sampai bra?

"Bener kan?"

"Aku beli kalo sendirian aja."

"Bareng calon suami dong." Gagah terkekeh. "Nggak usah malu. Besok juga bisa langsung lihat sumber penghidupannya kok."

"Apa sih, Gah." Sava menarik tangan Gagah menuju kasir. "Udah ini aja."

"Iya iya." Gagah mengalah. "Abis ini makan ya?"

Sava mengangguk saja. Ia memilih keluar lebih dulu karena malu di kasir berdua dengan transaksi baju-baju haram. Lebih baik Gagah sendirian.

Tidak perlu menunggu lama karena dalam beberapa menit Gagah sudah menyusul Sava yang sedang duduk di bangku panjang.

"Lusa jadwalnya fiksasi dekorasi ya?" tanya Gagah setelah meraih tangan Sava dan mereka berjalan ke lantai atas.

"Iya kata Papa."

"Enaknya nikah sama anak semata wayang gini ya. Dibantu banget sama orang tua kamu." Gagah tersenyum. "Pasti Papa Mama kamu pengin yang terbaik buat kamu. Semoga aku juga nggak bikin mereka kecewa ya," doanya.

Sava mendongak dan melihati wajah Gagah dari samping. Lelaki itu selalu terlihat menyenangkan di matanya. Membuat lawan bicaranya merasa nyaman karena pembawaannya yang luwes. Biasanya Sava tidak terlalu cocok dengan lelaki yang pintar membangun percakapan lebih dulu, tapi entah kenapa Gagah memang berbeda.

Gagah itu lelaki yang sederhana. Tidak menunjukkan dirinya punya apa. Sava kagum pada bagaimana cara Gagah membangun kenyamanan lawan bicaranya hanya dengan gestur yang tidak berlebihan.

"Lihatin aku entar jatuh cinta kan bahaya, Sav."

"Kok bahaya?" tanya Sava tanpa menyanggah walau ia kepergok memperhatikan Gagah.

"Susah buat lupa. Hati-hati ya."

Sava mengeratkan genggaman tangannya pada Gagah tanpa merespons ucapan Gagah.

"Bulan depan lama banget," gumam Gagah saat memasuki food court.

"Nggak lama kok."

Gagah mendudukkan diri di kursi. Satu tangannya diletakkan di sandaran kursi Sava dan ia menoleh ke samping. "Papa Mama kamu aja bilang nggak sabar. Kamu bener-bener definisi anak kesayangan sampe orang tuamu berperan banyak buat persiapan pernikahan kita."

"Papa sama Mama begitu dari dulu."

"Termasuk datengin Boja buat jagain kamu?"

Sava tersenyum. Ia menerima uluran tangan Gagah agar saling bertaut di atas atas pangkuan lelaki itu. Ia rasakan Gagah memutar-mutar cincin di jari. Sava sering mendapati itu. Entah lelaki itu sadar atau tidak, tapi ia nyaman diperlakukan begitu.

"Kalo kita udah nikah, Boja tetep jadi bodyguard kamu?" tanya Gagah lagi.

"Dia kerja sama Papa," jawab Sava.

Gagah mengangguk-angguk. "Alasan kamu nangis waktu lihat aku nggak sengaja sampe ruangan kamu, karena pernah ada yang lakuin itu?"

Sava termenung beberapa saat. Ia pikir akan susah dan butuh banyak cerita untuk membuat Gagah mengerti. Ternyata lelaki itu memang pintar membaca keadaan. "Iya.". Tersadar, ia berdiri. "Aku pesan makan dulu."

Gagah hanya diam menatapi Sava yang melenggang ke memesan makanan. Walau masih terlihat cuek padanya, tapi Sava sudah mulai terbuka. Gagah tidak memaksa Sava bercerita karena memang benar masa lalu Sava bukan jadi urusannya. Ia bertanya hanya untuk antisipasi ke depannya.

"Ada yang liatin kamu, Gah." Suara Sava terdengar saat sudah kembali. "Mantan?"

Gagah sontak melihat ke arah yang dimaksud Sava.

"Samperin dulu," kata Sava sambil kembali duduk.

"Udah selesai, Sav. Ngapain harus disamperin."

Sava mengerti gerak-gerik Gagah yang lebih kaku dari sebelumnya. "Kamu nyuruh aku samperin mantanku walaupun kami udah selesai."

Gagah mengernyit mendengar itu. "Sav, itu kan karena mantan kamu masih ngejar-ngejar. Kamu perlu tegasin ke dia kalau hampir nikah sama aku. Gitu niatnya."

"Kalian juga perlu itu."

Gagah mendekat ke Sava dan menyejajarkan wajah mereka. Ia berbisik pelan. "Kamu lihat, aku udah sama kamu. Dia juga udah sama laki-laki lain. Udah clear, nggak ada yang harus diomongin."

"Dia yang waktu itu sama kamu di food court ini juga." Sava malah berkata hal lain.

"Kamu inget," gumam Gagah. Itu memang Gadis, sama pacar baru mungkin. Di tempat yang sama saat dulu Gagah minta maaf pertama kali ke Sava dan setelah itu Gadis ternyata ada di sana. "Aneh banget kalo nyamperin, Sav."

"Aku nggak apa-apa, kalo itu yang kamu pikirin," kata Sava.

"Ya jelas kamu nggak apa-apa." Orang nggak ada rasa mana bisa cemburu, lanjut Gagah dalam hati.

"Mungkin ada yang mau kamu omongin, atau dia, kelihatannya gitu," ucap Sava lagi. "Dia lagi sendirian sekarang."

"Ya ampun, Sav. Nggak nyangka kamu nyuruh aku lakuin ini." Tapi akhirnya Gagah berdiri. "Buat terakhir ya. Abis kita nikah, nggak ada itu nyuruh-nyuruh samperin mantan buat ngobrol apalah itu. Ini buat bikin kamu yakin aja kalo aku emang udah selesai sama dia."

Sava mengangguk. Ia menyandarkan tubuh di kursi saat melihat Gagah menghampiri seorang perempuan. Keduanya duduk berhadapan dan terlihat serius. Sava hampir tidak pernah melihat wajah Gagah seserius itu. Atau memang hanya saat bersamanya Gagah terlihat santai?

Perhatian Sava teralih saat seseorang mengantarkan minum dan makanan. Ia berterima kasih sebelum kembali memfokuskan pandangan ke Gagah dan perempuan itu. Tidak ada rasa cemburu berlebihan. Ia justru heran bagaimana mungkin hubungan keduanya berakhir. Pembawaan perempuan itu terlihat manis dan kalem. Orang seperti Gagah butuh sosok yang seperti itu kan?

Tapi Sava tidak melanjutkan pengamatannya karena Gagah sudah berjalan menghampirinya kembali. "Kok cepet?"

Gagah duduk dan menyeruput minuman. "Kamu pikir aku harus seharian sama dia? Ngajak jalan? Gitu mau kamu?"

"Silakan aja."

"Astaga. Nggak akan kayak gitu, Sav." Gagah langsung meraih makanan miliknya dan melahap.

Sedangkan Sava hanya memperhatikan itu dalam diam. Ia bisa merasa kalau Gagah sedikit berbeda. Lelaki itu lebih pendiam dan tidak banyak tingkah. Bahkan sampai mereka selesai makan dan keluar mall pun yang Gagah ucapkan hanya sepatah dua patah kata. Sava tidak tahu kenapa Gagah jadi begini.

"Ke rumahku," kata Sava saat sampai di mobil.

"Iya." Dan sekarang giliran Gagah yang menjawab singkat.

"Obrolan sama mantan menguras emosi banget?" tanya Sava.

Gagah mengernyit, menoleh sebentar ke Sava sebelum kembali menyetir dan fokus ke arah depan. "Menguras emosi apa? Orang aku lagi mikirin nikahan kita bulan depan."

"Aku ngasih kamu kesempatan kalo mau batalin ini."

Gagah terkekeh mendengarnya. "Nggak lah, Sav. Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu tapi aku nggak mungkin ngasih kesempatan kamu buat pergi. Dapetin kamu aja udah bersyukur banget masa mau dilepas."

"Dia keliatan baik, Gah." Sava melihat perbandingan dirinya dan mantan Gagah tadi sangat bertolak belakang. Ia tidak cukup baik, tapi mantannya Gagah terlihat sangat baik dan tidak neko-neko. Pembawaannya menenangkan sedangkan Sava yakin dirinya sama sekali tidak asyik untuk diajak ngobrol.

"Kamu juga baik, Sava." Gagah meraih tangan Sava dan mengecupnya pelan. "Dan kamu siap nikah sama aku."

"Dia nggak siap?"

"Belum. Awalnya aku pikir aku siap nunggu, tapi aku bersyukur karena dia pilih mengakhiri hubungan kami. Karena nyatanya emang aku nggak akan siap nunggu."

Sava melepas genggaman Gagah dan lelaki itu tidak menolak, kembali menyetir dengan dua tangan. Mereka melanjutkan perjalanan dalam hening. Sampai akhirnya tiba di pelataran rumah orang tua Sava, Gagah kembali menoleh ke Sava.

"Serius kamu mau tau apa yang aku omongin tadi, Sav?"

Sava tidak menjawab hanya membalas tatapan Gagah.

Hal itu Gagah artikan dengan jawaban 'iya'. Maka ia memutar tubuh dan menghadap Sava. "Kami nggak ngobrolin balikan atau apa pun itu yang sekarang mungkin ada di pikiran kamu. Dia bilang ngerasa bersalah karena bikin seolah aku yang salah waktu dia minta pisah dulu. Aku paham yang deketin dia nggak cuma aku, dia nolak karena nggak yakin aku bisa nunggu."

"Tadi pacarnya?"

Gagah mengangguk. "Aku ngerti alasannya minta pisah juga karena ada lelaki lain yang deketin dia dan ngerasa lebih cocok buat tumbuh bareng-bareng karena umur mereka mungkin nggak beda jauh. Dia nggak bilang gitu tapi aku paham." Ia menjeda ucapannya. "Udah? Ada lagi?"

Sava mendengus sebal. Kenapa jadi ia yang seolah bertanya padahal kan Gagah yang bercerita sendiri.

Gagah melepas sabuk pengaman agar bisa mendekat ke Sava dan memeluknya. "Nggak apa-apa kalo mau tau. Berawal dari kepo kan lama-lama cemburu. Cemburu itu tanda kalo kamu sayang sama aku," kekehnya.

"Kamu sayang dia?"

Malah jadi pertanyaan begitu! "Lebih sayang dan cinta banget ke istriku nanti."

"Masa?"

"Iya. Kan udah kewajiban dan keharusan cinta sama istri."

"Istri kamu nanti siapa?"

"Perlu ditanya lagi?" Gagah berdecak. Ia menjauhkan pelukan tanpa melepas. "Kita udah siapin pernikahan sedetail ini, tinggal tunggu beberapa minggu aja, dan kamu masih tanya istriku nanti siapa? Emang perempuan sejati kamu ini."

Sava tersenyum mendengarnya. Kali ini ia memeluk Gagah lebih dulu. "Aku nggak mau lepasin kamu."

Gagah tertegun sebentar, lalu pelukannya makin erat. Merasakan bagaimana cara Sava menyamankan diri di dadanya membuat perasaan Gagah membuncah tidak karuan. Ia mengeceup kepala Sava beberapa kali, sebelum kecupannya berpindah ke arah pelipis. Tangannya menyingkap rambut Sava ke satu sisi dan ia lihat lagi tiga piercings yang membentuk segitiga. Ia beri kecupan lembut di sana.

"Gah," gumam Sava merasakan hangat napas Gagah membelai telinganya.

"Sava," geram Gagah merasakan gerakan Sava di pelukannya justru membuatnya makin tidak karuan. "Jangan gerak dulu, oke?"

Sava memutuskan menjauhkan tubuh. Ia mengatur napas dengan pelan. Suara Gagah yang berbeda tadi di telinganya terus terngiang. Ia menggeleng pelan. "Kan kamu yang deket-deket dulu."

Gagah terkekeh melihat wajah Sava. Baru tahu kalau si muka tanpa ekspresi itu terlihat lucu saat sedang begini. "Mulutnya pinter banget ngomong. Jadi pengin cium."

"Boleh?" tanya Sava menantang.

"Kalo menurut aku sih boleh." Gagah kembali melarikan tangannya untuk meraih pinggang Sava dan menariknya mendekat. Ia kembali berbisik di telinga Sava. "Cium aja bukan ciuman."

"Aku penasaran cium dan ciuman versi kamu gimana bedanya."

Gagah menyurukkan bibirnya dan memberi gigitan kecil di telinga Sava. "Beneran mau?"

Sava tidak menjawab karena tangannya sudah balas memeluk Gagah.

"Tapi kayaknya nggak cukup cuma cium." Gagah menatapi wajah Sava dengan intens. Punya jasa apa ia di masa lalu sampai bisa memilik calon istri secakep itu. Ia tidak pernah membayangkan yang menemani seumur hidupnya adalah perempuan macam Sava yang dilihatnya tidak akan pernah merasa bosan. "Harus ciuman kalo sama kamu," bisiknya.

Sava membalas tatap Gagah dengan senyum kecil. Tidak mengiyakan, tapi juga tidak melepas pelukan.

Gagah sebenarnya tidak mau sekarang. Tapi demi apa pun keintiman mereka hari ini terasa sangat nyata. Gagah tidak bisa lagi menahan. Satu tangannya menekan punggung Sava agar tetap melekat, satu tangannya lagi meraih tengkuk perempuan di pelukannya hingga kini bibir mereka sudah menyatu.

Baru juga sedetik bibir mereka saling menempel, ketukan di pintu mobil membuat keduanya tersentak kaget. Gagah bahkan sampai kembali duduk tegak dan refleks memegang setir. Kedua tangannya gemetar tidak karuan.

Lalu menoleh ke samping, jantung Gagah hampir copot rasanya. Kepergok sama teman saja rasanya memalukan, ini malah ia lihat papanya Sava nyengir tanpa dosa walau di balik kaca.

Malunya bikin Gagah ingin pindah alam rasanya.

🐳🐳

Gagah🐷 gabisa dipercaya omongannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top