12. Apa Masih Pantas?
Haloooo🐷
🐳🐳
"Akhirnya Abang gue lamaran!" teriak Anin sambil berlari ke arah Gagah yang masih duduk di depan akuarium. "Puas-puasin lihat ikannya. Besok abis nikah pasti satu per satu ikan lo jual. Cuma tersisa beberapa aja yang diurusnya gampang."
"Nggak. Cukup gue lelang si Louhan di tokonya cowok lo."
Anin mendengus. Ia menarik lengan Gagah agar berdiri dari duduknya. "Sini mau gue benerin penampilan lo, Bang."
Meski bersungut sebal, Gagah nurut dan berdiri di depan adiknya. "Ganteng nggak gue pake ginian?"
"Jelek," ejek Anin. "Kenapa sih lo seneng banget pake kemeja terus kancingnya sampe paling atas gini? Nggak cocok."
"Ini keren, Nin."
"Lo nggak cocok, Bang. Muka udah ganteng, badannya oke, kemeja slim fit-nya juga keren banget, eh dikancing sampe atas."
"Gue lihat cowok-cowok kalo dikancing sampe paling atas gini keliatan cakep padahal."
"Iya mereka cakep. Tapi lo lebih cocok lagi kalau kancing kemejanya sampe sini aja," tunjuk Anin ke kancing kemeja Gagah di bagian dada. "Lepas cepetan, daripada Kak Sava ilfeel liat lo."
"Mana mungkin dia ilfeel. Muka datar gitu nggak mungkin ngeliatin kalo dia nggak suka."
Anin tertawa. "Iya, sih. Kak Sava tuh nggak pendiem, cuma kurang ekspresif aja, cocok lah sama lo yang punya ribuan ekspresi di muka."
"Nggak nyangka gue bisa suka sama yang minim ekspresi kayak Sava ya. Ngegemesin banget dia itu. Jarang ketawa sekalinya ketawa bikin gue jatuh hati. Ck, Sava. Nggak sabar pengin pole dance bareng."
"Bang!" sentak Anin. Ia bahkan memukul lengan Gagah dengan keras. Bisa-bisanya Gagah menghalu begitu sambil mendongak. Gila memang. "Udah paling bener nikah cepet. Nggak terselamatkan lo."
Gagah hanya nyengir menanggapinya. Ia menunduk dan mengernyit lihat Anin menyematkan dasi kupu-kupu. "Nemu di mana ini?"
"Bukannya kemarin waktu kita beli baju, lo masukin dasi ini juga?"
Gagah berpikir sebentar. "Nggak kerasa kayaknya gue."
"Gue kira beneran. Sebenernya kurang cocok sih lo pake dasi itu."
"Iya, Nin. Ganti jangan dasi kupu-kupu."
"Ganti dasi apa?"
"Dasi ikan."
"Gila lo." Mana ada dasi ikan. "Ayo, Bang. Papa sama Mama udah di depan."
Gagah mengikuti Anin keluar rumah. Ia menunggu adiknya yang mengunci pintu. "Menurut lo, gue nikahnya dicepetin apa gimana?"
Anin mendongak mendengar pertanyaan itu. "Lo ragu, Bang?"
"Bukan ragu." Gagah mengusap tengkuknya. "Gue yakin sama dia, cuma ...."
"Lo permasalahin masa lalu dia?" tebak Anin. Melihat Gagah tidak menjawab, ia melanjutkan. "Bang, laki-laki yang tulus itu nggak mempertanyakan masa lalunya perempuan. Kalo lo yakin Kak Sava yang sekarang baik dan bisa lo arahin lebih baik lagi, ya udah fokus ke depan aja."
Gagah mengerjap cepat. Ia sebenarnya bukan ragu, cuma takut Sava yang tidak yakin dengannya. "Kalo kebalikannya gimana, Nin?"
"Beda, Bang. Laki-laki nggak boleh nanyain masa lalu perempuan, tapi kalo perempuan ya boleh dong." Anin mengakhirinya dengan tawa.
"Curang emang kaum perempuan," sindir Gagah.
"Bukan curang. Perempuan kalo udah cinta, nggak peduli masa lalunya laki-laki asalkan yakin udah jadi lebih baik sekarang dan ke depannya. Kalo laki-laki kan beda, dia sekali tau masa lalunya perempuan, bisa lari ngibrit. Jarang kaum lo itu yang bisa nerima masa lalu cewek, Bang."
Gagah tidak mempermasalahkan masa lalu Sava, sama sekali. Ia sudah siap dengan kemungkinan paling buruk. Dan ia memang tidak akan menanyakan tentang itu ke Sava karena benar kata Anin, jika ia benar cinta sama Sava, maka apa pun yang Sava lakukan sebelum bertemu dengannya itu bukan urusannya. Kecuali untuk saat ini dan ke depan, baru ia bisa ikut campur.
"Jangan nervous, Bang," Anin terkikik geli.
Gagah menghela napas kasar. Ini Cuma acara lamaran antara dua keluarga, kenapa rasanya segugup ini? "Lo tau namanya Sava nggak?"
"Astaga, lo niat nikahin dia nggak sih? Nama lengkapnya aja nggak tau."
Gagah nyengir. "Gue nggak ahli nyari-nyari gituan. Kalo nanya dia langsung, entar marah. Dikira nggak usaha."
"Lo emang nggak usaha, kok, Bang."
"Cariin, Nin."
"Kok gue?" Anin sewot.
"Cewek kan pinter nyari data. Cuma modal nama depan doang udah bisa nemuin sampe nama kakek neneknya."
"Cari sendiri. Usaha dikit. Gue kalo jadi Kak Sava udah marah punya cowok nggak tau nama lengkapnya."
"Untung Sava bukan lo."
"Sebenernya tuh Kak Sava kecewa kalo lo nggak ada inisiatif buat nyari hal sepele kayak gitu."
"Sepele kenapa dipermasalahin?"
"Lupa lo ya makhluk perempuan emang sedetail itu?"
Gagah tidak menanggapi lagi. Makin pusing kalau dipikirkan terlalu jauh. Mereka sudah masuk ke mobil. "Pa, aku aja yang nyetir," tawarnya.
"Yang punya hajat harus duduk tenang di kursi belakang, Gah." Dandi menjawab santai. "Tenang, Papa nyetirnya nggak cepet-cepet. Soalnya lagi encok."
"Makin bahaya, Pa," kata Gagah langsung. "Lebih mending Anin aja yang nyetir kayaknya."
"Jangan. Papa aja." Dandi menjawab lagi sambil mulai menjalankan mobil. "Masa adik kamu disuruh nyetir."
"Ya udah aku aja makanya, Pa." Gagah tidak mau kalah.
"Bahaya. Pasti lagi tremor kan?"
"Nggak, biasa aja," tolak Gagah. Ia memang gugup tapi tidak sampai tremor juga.
"Bohong. Dulu Papa waktu lamar Mama tremor. Apalagi bolak-balik WC."
"Jorok." Anin tertawa.
"Daripada pipis di celana, Nin," bela Dandi. "Pasti nanti Gagah tremor kayak Papa, soalnya mendekati pernikahan biasanya calon istri kelihatan makin cantik."
"Bukannya kebalikannya?" tanya Gagah bingung. Biasanya orang-orang bilang mendekati pernikahan banyak rintangan dan keraguan. Mungkin termasuk menyadari bahwa banyak perempuan lebih cantik di sekitarnya kan? Walaupun Gagah tidak merasakan itu juga sih.
"Nggak," jawab Dandi. "Kalau kamu niat menikahi dia, mendekati pernikahan justru semakin yakin, bukan malah ragu."
"Iya juga," gumam Gagah. Papanya ini memang ahli percintaan kayaknya.
Gagah bersandar dengan nyaman sekaligus gugup. Ia tidak bisa lagi mengusir kegugupan dengan candaan karena memang ia memilih diam. Di depan, orang tuanya sedang ngobrol. Di sampingnya, Anin juga lagi berteleponan. Gagah menoleh ke belakang. Berbagai macam seserahan terpajang rapi dan cantik.
Keluarga keduanya memang hanya mengadakan acara lamaran sederhana. Katanya kelamaan kalau harus dua kali mengurus pesta. Lebih baik difokuskan ke pernikahan. Gagah memang ngebet nikah, tapi bukan berarti ia asal memilih calon istri.
Seperti kata Sava beberapa hari lalu, perempuan itu menerimanya karena ia cukup baik dan bertanggung jawab, juga pilihan papanya. Gagah juga menerapkan hal yang sama. Perempuan sesempurna Sava tidak mungkin menerimanya tanpa alasan yang masuk akal kan? Karena dilihat dari sisi mana pun, Sava bukan perempuan yang akan sulit mendapat jodoh dengan tangan sendiri.
Tapi Sava menerimanya.
"Udah sampai. Aman, selamat, sentosa," kata Dandi memecah keheningan di mobil.
Gagah segera turun dari mobil menyusul yang lain. Baru juga ia membuka pintu belakang untuk ambil seserahan, ada tangan besar yang sudah lebih dulu mengambilnya. Ia mendongak dan membelalak.
"Eh, Boja. Lo ngapain?"
"Saya dimintakan tolong sama Pak Aji bawa barang-barang tamu."
"Nggak. Ini dari gue buat calon istri gue. Biar gue bawa sendiri. Sana lo."
Ngeri amat. Sebenarnya apa fungisnya si Kamboja ini di rumah Sava?
"Saya takut dipecat."
Bisikan itu membuat Gagah bergidik ngeri. Bisa-bisanya ada suara lirih di telinganya tadi. Dengan badan sebesar Kamboja tapi berbisik dengan setengah mendesah itu membuatnya merinding.
"Ya udah. Gue duluan. Makasih." Gagah cepat berjalan, daripada digrepe-grepe si Kamboja nanti. Kasihan Sava aja belum grepe-grepe punya Gagah masa sudah diduluin bodyguard-nya.
Namun sampai pintu yang bahkan sudah terbuka itu, Gagah terhenti.
"Gimana, Bang? Nggak lupa caranya napas kan?" Suara Anin terdengar sedikit berbisik.
Gagah menelan ludahnya susah payah. Ia masih belum terbiasa rasanya melihat penampilan Sava yang terus menerus membuatnya kagum. Ia bahkan sudah ribuan kali mendapati perempuan cantik, tapi hanya Sava yang bikin ia tiba-tiba mematung begini.
"Gue kalo jadi Kak Sava udah selfie tiap hari kayaknya." Anin terkikik.
"Kalo gue pingsan gimana, Nin?" tanya Gagah berlebihan.
"Ngaco, Bang. Baru juga lamaran. Belum malam pertama. Cowok kalo nervous malam pertama kan aneh banget, Bang."
"Apaan lo, Nin, jadi ke malam pertama?" selidik Gagah. "Lo udah DP sama si Bagus padahal kalian baru tunangan? Iya?"
"Enak aja."
Gagah malah ditinggal sendiri di depan pintu. Keluarganya sudah disambut dengan baik. Ia akhirnya melangkahkan kaki masuk, menyusul untuk menyalami si empunya rumah dan dipersilakan duduk.
Tatapan Gagah terarah ke Sava yang tepat di hadapannya, hanya dibatasi meja panjang yang berisi seserahan lamaran berupa banyak makanan dan buah-buahan.
"Iya, dulu saya waktu lamar mamanya Sava juga nggak bisa tidur sebulan. Sekalinya acara selesai, tidurnya nggak bangun seminggu."
"Waduh, Pak Aji. Itu tidur atau latihan pingsan?"
Kedua orang tua itu tertawa, yang lainnya hanya tersenyum saja.
"Tapi benar itu, Pak Aji. Waktu mamanya anak-anak ini lahiran juga saya begitu. Susah tidur, sekalinya tidur nggak bisa dibangunin. Ini si Gagah, waktu tahu adiknya mau lahir, dia yang repot sendiri. Ikut-ikutan tukang bangunan di rumah bikin kamar baru. Ikut gergaji, nge-bor, mindahin tv, kulkas, lemari, motor, mobil, sepeda, bus, truk, semuanya biar buat adiknya katanya."
Gagah mengernyit mendengar itu. Kayaknya ini fitnah. Ia bisa menyangka adiknya langsung menatapnya seolah ia ketahuan melakukan hal kriminal.
"Memang kakak yang perhatian si Gagah ini," puji Aji. "Dulu waktu umur Sava baru beberapa bulan juga hampir punya adik, tapi takdir belum izinkan dia lahir. Padahal saya udah siapkan nama bagus banget, Pak."
"Oh ya?" tanya Dandi.
"Iya. Tubayn talet."
Semua berpandangan. Itu kayaknya nama yang aneh.
"Dibalik," bisik Aji sambil nyengir.
Masih saling berpandangan, Dandi tertawa. "Owalah, anak kebobolan, Pak Aji?"
Astaga, bisa-bisanya ngobrolin hal begituan!
"Pa," ucap Gagah pelan tapi semua segera tahu artinya.
Suasana di sana jadi berubah serius. Sedikit.
"Saya dan keluarga ke sini, mau berniat baik. Anak saya-Gagah-ingin melamar putri Pak Aji yang bernama Sava."
"Iya, Pak Dandi. Kami sebagai orang tuanya Sava menerima niat baik Gagah sekeluarga. Tapi keputusannya tetap ada di tangan Sava ya karena bagaimana juga anak-anak kita yang akan menjalani nanti." Aji menoleh ke Sava yang masih diam di sofa paling ujung. "Gimana, Nak? Mau menerima niat baiknya Gagah?"
Gagah memang sedari tadi tidak mengalihkan pandangan dari Sava. Ia tahu betul tidak ada rasa antusias di wajah Sava, sedikit membuat hatinya tercubit. Namun anggukan yang diberikan kemudian membuatnya cukup lega.
Semoga Sava tidak mengubah keputusannya sampai akhir. Gagah sudah banyak menerima penerimaan atas niat baiknya ke perempuan, tentu saja dengan mudah meski pada akhirnya para mantannya itu bilang belum siap untuk semakin maju.
Dan sekarang, Sava siap untuk maju namun hanya ada penerimaan karena keadaan. Sava menerimanya bukan karena Sava menaruh hati. Tapi Gagah tidak apa-apa, ia mengenal Sava dan yakin perempuan itu mau hidup bersamanya.
"Kebanyakan cewek pilih hidup sama pasangan yang sayang banget sama dia, Bang. Jadi menurut gue, lo nggak perlu khawatir. Selama dia mau sama lo dan nggak ada masa lalu dia yang nyangkut sih aman aja."
"Untuk tanggal pernikahannya dipercepat saja ya," usul Aji. "Buat calon pengantinnya nggak perlu terlalu repot, cukup siapkan dekorasi pelaminannya sama baju pengantin. Sisanya, gedung, katering, dan lainnya biar kami yang urus."
Gagah mengangguk dan tersenyum. Nurut saja sama orang tua Sava. Dari awal, orang tua Sava yang antusias menyiapkan pernikahan cukup mewah. Tidak heran, karena Sava memang anak tunggal, perempuan pula.
Memang tidak ada agenda selain dua keluarga yang membahas siapa saja tamu yang mau diundang, atau di gedung mana anak mereka akan dinikahkan. Gagah dan Sava justru diberi ruang sendiri untuk menentukan perihal resepsi.
Hal itu Gagah gunakan untuk minta izin mengajak Sava ngobrol di tempat yang berbeda. Sava menganggukinya dan membawa Gagah ke bagian belakang rumah. Ada taman yang bunga-bunganya tersusun rapi. Ia yakin itu milik mamanya Sava karena perempuan di sampingnya ini tidak terlihat gemar merawat bunga.
"Orang tua kita antusias banget," kata Gagah sambil menyamankan diri di bangku panjang.
"Iya."
"Kita nggak mungkin ngecewain mereka kan?"
"Maksud kamu?" tanya Sava sambil menoleh ke Gagah. Tatapnya menyelidik.
"Maksudku, aku nggak mungkin patahin harapan mereka yang pengin kita nikah."
"Dan kamu pikir aku yang bakal ngerusak rencana mereka?"
Gagah tidak menyangka Sava menjawab dengan seemosional ini. "Aku cuma khawatir kamu berubah pikiran. Kamu nggak keliatan seneng aku lamar kamu."
Sava diam beberapa saat, sebelum melemparkan pandangan ke arah depan. "Aku bilang terima kamu."
"Iya, Sav."
"Artinya aku mau nikah sama kamu, Gah."
Gagah masih diam. Hatinya sedikit kalut. Sebelum ini ia merasa amat bahagia karena Sava mau ia ajak menikah. Ia tidak berharap Sava tersenyum saking bahagianya ia lamar, hanya saja ekspektasinya memang terlalu tinggi. Sava hanya menerimanya karena mau dan ingin. Mungkin sedikit butuh juga.
"Aku tau aku bukan perempuan baik-baik. Tapi aku paham tentang pernikahan. Dan aku pilih kamu."
"Iya," jawab Gagah lagi, kali ini lebih pelan. Tangannya terulur untuk meraih jemari Sava. Mungkin perempuan itu tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang, tapi tidak apa. Selama Sava mau dan ada niat untuk bersamanya, akan ia perlakukan dengan baik. "Aku percaya."
Sava sudah dewasa dan cukup tahu arti dari pernikahan serta bagaimana aturan di dalamnya. Gagah yakin itu.
Ponsel yang bergetar di samping kanan Sava membuat fokus mereka teralih. Sava meraihnya dan menatap layar dengan datar.
"Gah." Sava menoleh ke Gagah seolah bertanya.
Melihatnya membuat Gagah mengerti. "Dia masih ganggu kamu?"
Sava terlihat seperti bimbang. "Kami udah nggak ada apa-apa."
"Iya." Gagah juga percaya.
"Dia udah di ...." Ucapan Sava terhenti saat tatapnya terarah ke depan.
Gagah amat mengerti artinya apa. Di ujung taman belakang ada gang sempit. Dan seseorang terlihat di sana. Orang yang tidak asing bagi Gagah. "Dia minta bicara sama kamu."
"Tapi-"
"Bicarakan sama dia," ucap Gagah. "Kalau kalian udah selesai, jelaskan lagi ke dia. Mungkin dia merasa kalian belum selesai."
Sava masih menatap Gagah dengan ragu.
"Aku di sini, kalian selesaikan aja. Kalau setelah ini dia masih ganggu, baru aku maju." Gagah hanya ingin memberi keduanya privasi. Masa lalu Sava biar milik keduanya. Tapi jika lelaki itu masih berani muncul setelah ini, baru Gagah akan bertindak. "Atau mau aku temenin ngobrol sama dia?"
Sava menggeleng dan akhirnya berdiri. Gagah masih duduk, menatapi kepergian Sava. Ia hanya memberi senyum saat beberapa kali Sava menoleh kepadanya.
Sebentar lagi, hanya menunggu sebentar lagi sampai Sava jadi miliknya dan tidak ada yang boleh mengizinkan mengambil perempuan itu darinya. Lagi pula tempat Sava dan mantannya bicara itu tidak jauh. Gagah hanya perlu berlari sebentar jika ada apa-apa.
Sava pasti tidak tahu sebesar apa rasa sayang Gagah padanya. Yang membuatnya kini bahkan menahan kuat-kuat cemburunya karena tidak mau egois. Sava harus memastikan bahwa tidak ada lagi orang lain yang akan masuk di antara mereka nanti.
Untunglah sampai Sava berbalik dan berjalan kembali, Gagah tidak mendapati perilaku kasar seperti tempo hari. Namun ia yakin Sava menangis kali ini. Entah karena apa.
"Aku benerin make up dulu," kata Sava saat sampai di depannya dengan menunduk. "Masih ada sesi foto kan abis ini? Kamu duluan ke ruang tamu aja."
"Aku tunggu."
Sava mendongak sebentar, lalu mengangguk tidak mau membantah. Mereka masuk ke rumah dan naik ke lantai dua. Sava membuka salah satu pintu yang ternyata sebuah kamar.
"Masuk aja," kata Sava sambil lalu.
Gagah mengangguk dan membiarkan pintu terbuka.
"Ditutup nggak apa-apa," kata Sava lagi yang kini sudah duduk di kursi menghadap cermin besar.
"Aku tunggu di luar aja kalau gitu." Gagah mundur beberapa langkah dan membiarkan pintu tetap terbuka agar bisa melihat Sava.
Namun ditunggu beberapa saat, Gagah justru mendapati Sava mematung. Tatapnya seolah kosong. Hal yang segera membuat Gagah kembali masuk dan menutup pintu perlahan. Langkah kakinya mungkin mengagetkan hingga membuat Sava tersadar.
"Kalian udah selesaikan tadi?" tanya Gagah pelan. Ia berdiri di belakang tempat duduk Sava, ikut melihat ke arah cermin.
"Udah."
Gagah menunduk, mengulurkan dua tangan untuk ditumpukan di meja rias dan mengurung Sava dalam rentangan tangannya. Ia tatap wajah di depannya. Tidak terlihat sembap namun ia tahu Sava memang habis menangis.
Secinta apa Sava dengan mantannya itu sampai menangis begini?
"Gah."
"Iya?" Gagah makin menunduk.
"Aku nggak yakin apa dia bisa berhenti."
"Walaupun setelah kamu nikah sama aku?"
Sava mengangguk.
Gagah menghela napas pelan dan menarik tangannya sebelum ditempatkan di bahu Sava. "Kalau gitu, dia bisa tetap ganggu kamu walaupun kamu udah nikah sama aku. Bedanya, kalau kita udah nikah, kamu punya aku dan kita bisa hadapi dia sama-sama."
Gerakan tangan Sava yang sedang menutup lipstick terhenti. Lalu ia mendongak dan mendapati wajah Gagah begitu dekat. "Kamu tau?" bisiknya pelan. "Itu alasan aku terima kamu. Kamu laki-laki yang baik."
Gagah tidak jarang dipuji. Tapi mendapati Sava mengatakan itu membuat hatinya menghangat. Dan rasa sakit tadi bisa ia lupakan begitu saja.
"Kamu juga perempuan baik," bisik Gagah.
Melihat Sava tersenyum memang cukup sering, namun kali ini kedua mata itu terlihat tulus. Usapan Sava di lengan Gagah membuatnya hampir hilang kendali. Di saat-saat seperti ini Gagah selalu takut.
Gagah paham mereka dua orang dewasa yang jika sudah memulai akan tahu ke mana arah bermuara. Tapi menahan selama itu rasanya terlalu lama. Gagah bahkan lupa kapan terakhir mencium perempuan. Sudah sangat lama. Dan ia tidak pernah merasa hasratnya sebesar saat bersama Sava.
Gagah sendiri tidak bisa yakin apa dirinya bisa menahan kalau sudah memulai. Maka sebesar apa pun inginnya saat ini, ia memilih menghindar. Ia mengangkat kepalanya agar tidak terlalu dekat dengan Sava. "Btw, Sav. Laki-laki emang berengsek. Baru gini aja pikiranku udah ke mana-mana," jujurnya.
"Ke mana?"
Gagah berdecak. "Pake ditanya. Hati-hati. Aku udah lama nggak cium cewek."
"Udah lama nggak ciuman?" tanya Sava heran. Kenapa arah bicaranya sampai ke sana?
"Cium bukan ciuman. Beda. Ciuman mah nggak pernah. Takut."
Giliran Sava yang berdecak. "Nggak ada bedanya."
"Ada dong." Gagah terkekeh.
"Buaya banget ya ngomongnya. Gitu aja dibedain," sindir Sava.
"Lah, nggak percaya." Gagah geleng-geleng kepala. "Kapan-kapan aku kasih tau bedanya."
Sava tidak menanggapi dan kembali mengarahkan pandangan ke cermin.
Gagah ikut memperhatikan. Tanpa sengaja tatapnya terarah ke telinga Sava yang terdapat tiga piercings tertata rapi. "Sav?"
"Hm."
"Kamu itu sempurna. Apa pun yang kamu pake bikin kamu tambah cantik. Mulai sekarang, jangan biarin orang yang belum berhak ambil itu dari kamu. Karena semua dari kamu itu berharga," kata Gagah pelan. "Aku tunggu di luar ya."
Sava kembali termenung, merasakan hangat pelukan Gagah tadi yang sebentar. Ia tatap Gagah yang berdiri di luar kamar, menatapnya dari sana sambil tersenyum.
Seumur hidup, Sava tidak pernah diperlakukan oleh pasangan dengan layak dan seberharga itu. Sava telah menghabiskan waktu dengan laki-laki yang tidak pernah menghargainya, menempatkan keinginan dirinya sendiri di atas segalanya.
Dan sekarang ... mendapat seseorang sebaik itu membuat Sava tidak biasa sekaligus terkejut.
Paling parah lagi, dalam dirinya justru merasa bahwa ia tidak pantas untuk Gagah tapi ia tidak mau mengecewakan. Apa Sava masih punya kesempatan untuk mendampingi lelaki itu dengan versi terbaik dirinya?
🐳🐳
Di wattpad, nggak cuma satu cerita tapi banyak, bahkan di dunia nyata juga, para lelaki dengan masa lalu nggak baik sangat mudah dimaafkan. Karena banyak perempuan yang bisa terima masa lalu laki-laki. Tapi nggak banyak loh laki-laki baik yang bisa terima masa lalunya perempuan. Gagah salah satu yang bisa nerima Sava dengan baik.
Jadi ... percaya sama pilihan Gagah yaa💛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top